Membongkar Neo-Imperialisme, ‘Menyelamatkan NGO’

In’amul Mushoffa

Intrans Institute

 

“Dalam kenyataannya, organisasi non pemerintah bukanlah non pemerintah. Mereka menerima dana dari pemerintah-pemerintah berbagai negara di seberang lautan, atau bekerja sebagai sub kontraktor bagi pemerintah-pemerintah lokal.”
(James Petras, Imperialism and NGOs in Latin America)

Pada paruh pertama tahun 2000-an, terjadi polemik serius di kalangan organisasi non pemerintah (Ornop) atau non government organization (NGO) di Indonesia. Polemik itu berkaitan dengan gugatan dan pembelaan terhadap eksistensi banyak NGO yang ditopang oleh bantuan donor asing. Berbeda dengan pada masa Orde Baru ketika kritik semacam itu digencarkan oleh rezim untuk memukul arus resistensi, di awal 2000-an kritik justru muncul dari kalangan NGO sendiri.

Eman Hermawan menulis buku Politik Isu Tunggal: Jalan Buntu Masyarakat Sipil (2002). Eman mengajukan tesis bahwa terjadi kebuntuan gerakan masyarakat sipil lantaran bantuan dana selalu berkelindan dengan agenda-agenda pemberi donor. Eksesnya adalah teralihkannya perhatian masyarakat sipil dari persoalan lokal yang sesungguhnya dan, secara tidak langsung, isu-isu yang menjadi fokus masyarakat sipil segaris dengan kepentingan negara-negara di mana pemberi donor itu berasal. Dua tahun berikutnya (2004), Jurnal Wacana—sebuah jurnal yang umum menjadi rujukan di kalangan NGO pada saat itu—memuat tajuk Membongkar Proyek-Proyek Ornop. Jurnal ini menyibak proyek lembaga-lembaga donor dari negara-negara kapitalis pusat untuk mengendalikan masyarakat sipil di negara-negara kapitalis pinggiran. Pengendalian itu dilakukan melalui berbagai proyek imperialisme ‘halus’ seperti demokrasi, HAM, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), politik lingkungan dll.

Pasca berbagai kritik itu, sebagian NGO memutuskan diri dari bantuan donor luar negeri. Tapi, tidak seluruhnya NGO demikian. Dalam perkembangannya, kritik terhadap bantuan donor dan ornop atau organisasi masyarakat sipil penerimanya kian hari kian tak terdengar. Program dan dana kini diterima begitu saja, tanpa curiga kepentingan apa yang ada di baliknya. Ungkapan apologetik yang sering mengemuka kemudian begini: “dari pada jatuh pada orang/lembaga yang salah, mending kita manfaatkan untuk kepentingan gerakan” atau “lebih baik kita terima, asal nggak mencuri, merampok, dll”. Jika yang mengkritik adalah pemerintah, maka jawaban yang biasa diunggah begini: “dikiranya proyek pemerintah tidak ada yang dari asing?”

Apa sesungguhnya implikasi bantuan donor asing bagi Indonesia dan gerakan NGO dan masyarakat sipil di Indonesia? Tulisan pendek ini menyorot USAID (United States Agency for International Development) sebagai lembaga donor.

USAID dapat menjadi pintu masuk dalam berbagai analisis mengenai kepentingan bantuan dalam mendesain masyarakat sipil di negara-negara berkembang. USAID adalah yang paling lama menancapkan pengaruhnya di antara lembaga donor NGO di Indonesia. Di tahun-tahun ini, mereka memang sedang masa-masa akhir untuk memberikan bantuan dana. Tapi, pengaruh USAID dalam bentuk pemberian bantuan teknis, pengembangan kapasitas, teknologi dan ide-ide yang mendorong ‘inovasi dan reformasi’—seperti dalam rilis mereka—bisa dipastikan akan terus berlangsung.

***

USAID adalah lembaga pemerintah AS (USAID is the lead U.S. Government agency[1]). Dalam website mereka versi Indonesia, USAID adalah Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat—semacam Bappenas di Indonesia. USAID secara berkala melaporkan seluruh kegiatannya kepada pemerintah Amerika. Isi laporan pada umumnya menginformasikan tentang dinamika sosial-politik di masing-masing negara termasuk Indonesia. Ruang lingkup bidang kerja USAID di Indonesia cukup strategis. Seperti pertanian, demokrasi dan pemerintahan, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, pendidikan dan universitas, lingkungan hidup, kerjasama global, kesehatan global, bantuan kemanusiaan, dan program-program lintas-kerjasama[2]. Kenyataan ini menunjukkan bahwa NGO yang bekerja sama dengan lembaga seperti USAID sesungguhnya bukanlah non govermental. Persis ungkapan James Petras yang dijadikan quote dalam pembuka artikel ini.

Di bidang ekonomi, USAID memainkan peran besar dalam upaya membelokkan ekonomi kerakyatan menjadi ekonomi kapitalis sejak dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia pada 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto, para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank), USAID, dan ADB (Asian Development Bank) dengan cara mengucurkan utang luar negeri.[3] Melalui program tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) pula, IMF, World Bank, dan USAID mendesakkan kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi secara lebih masif. Deregulasi berisi penyesuaian struktural agar perekonomian Indonesia sesuai dengan kehendak rezim kapitalisme global. Privatisasi dimaksudkan agar negara tak ikut campur dalam penyediaan barang-barang publik, sehingga BUMN harus diswastanisasi. Sementara liberalisasi dimaksudkan agar perusahaan MNCs/TNCs (Multinational Corporations/Transnational Corporations) semakin mudah mengeruk bahan baku sumber daya alam di negara berkembang sekaligus memasarkannya di berbagai negara.

Dalam bulan-bulan transisi reformasi 98’, USAID juga memainkan peranan penting lewat program Economic Law and Improved Procurement System (ELIPS). Program yang dikembangkan ini secara langsung berkaitan dengan beberapa paket kebijakan ekonomi, misalkan menyiapkan draft untuk UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal, UU Arbitrase, UU Kepailitian, UU Keamanan Transaksi dan lain sebagainya.[4] USAID juga mendorong Amandemen Pasal 33 UUD 1945, sehingga konstitusi Indonesia menjadi membuka ruang lebar bagi neoliberalisme. Praktis, banyak perundang-undangan[5] yang lahir pasca reformasi lebih liberal dari pada masa Orde Baru.

Melalui berbagai perundangan-undangan berkarakter liberal itulah reforma agraria juga dikhianati. Sejak Orde Baru berkuasa, berbagai UU sektoral, yang tidak lagi mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dibuat demi investasi. Seperti, UU Penanaman Modal, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan lain sebagainya. Akibat masifnya liberalisasi dan investasi ini, kini 175,06 juta hektar dari daratan Indonesia yang luasnya adalah 192,26 juta hektar sudah dikuasai investor[6]. Artinya, luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menghidupi lebih dari 60% masyarakat Indonesia, hanya tersisa 11,8 juta hektar. Cita-cita keadilan agraria akhirnya semakin jauh. Semakin banyak rakyat tak punya tanah. Makin banyak petani dipisahkan dari alat produksiya (tanah). Buntutnya adalah kaum urban yang mengungsi ke kota, tak punya alat produksi dan tak memenuhi kualifikasi sebagai pekerja formal kota, sehingga menjadi gelandangan dan kemudian diusir sana-sini.

Dalam bidang lingkungan, USAID bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mengurangi kegiatan penebangan hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung adaptasi perubahan iklim di Indonesia, dengan melibatkan pemerintahan pusat, provinsi dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat lokal, serta sektor swasta di Indonesia. Padahal, Amerika Serikat adalah salah satu negara penghasil emisi terbesar yang membangkang untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto (2001)—yang oleh dunia internasional disepakati sebagai upaya penurunan tingkat emisi gas karbon yang ditujukan bagi negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia melalui tiga mekanisme, yaitu melalui Emmision Tradding, Clean Development Mechanism (CDM) dan Joint Implementation (JI).[7] Inilah standart ganda pemerintah AS. Proyek ini memberikan image positif bagi “pemerintah” negara adidaya itu, tetapi pada saat bersamaan ia juga melindungi perusahaan-perusahaan perusak lingkungan yang berada di Indonesia agar dapat terus berinvestasi dan meningkatkan keuntungannya di Indonesia tanpa hambatan.

USAID, World Bank dan IMF juga mengaburkan jumlah penduduk miskin dengan menetapkan standar kemiskinan internasional 2 Dollar AS per hari dan 1,25 dollar sebagai ukuran di bawah garis kemiskinan. Padahal kita tahu, bahwa pendapatan di atas 2 Dollar AS belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, apalagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sini, standart kemiskinan diperkecil agar jumlah kemiskinan terlihat banyak. Dalam laporannya yang berjudul Investasi Pembangunan di Indonesia: Indonesia Yang Lebih Kokoh dalam Memajukan Pembangunan Nasional Dan Global: Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia-Amerika Serikat 2014–2018 [8], USAID mengakui bahwa jumlah penduduk miskin adalah lebih dari separuh jumlah penduduk dan hingga kini 40 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, meski pertumbuhan ekonomi telah melampaui 6 persen dalam beberapa tahun terakhir. Bisa dibayangkan, berapa jumlah penduduk miskin jika ukuran yang kita gunakan lebih dari 2 dolllar.

Program ‘Reformis’

Singkat kata, jika kita jeli melihat upaya pengaruhnya secara internasional, maka posisi USAID adalah jangkar imperialisme. Tak heran jika program-program yang ditawarkan bersifat reformis. Program-program perbaikan untuk mengatasi berbagai problem ekonomi sepeti kemiskinan, pengangguran, krisis pangan dan lain-lain yang dianjurkan tak keluar dari koridor agenda developmentalism (developmental capitalism). Struktur sosial-politik-ekonomi yang eksploitatif menjadi kabur karena perhatian masyarakat dialihkan dari akar persoalan yang sesungguhnya: globalisasi kapitalisme dan neoliberalisme. Sehingga, pengaruh dan kepentingan AS di negara penerima bantuan dapat terus berlangsung.

Dulu, Rosa Luxemburg—seorang pemikir Marxis—pernah bilang bahwa penyataan antara revolusi dengan reformasi sama dengan jadi atau tidak jadi (perubahan—penulis). Ini lantaran kepentingan antara pemodal dengan buruh dianggap tidak akan pernah ketemu. Buruh memiliki kepentingan ingin merdeka dan sejahtera, sementara pemodal memiliki kepentingan mengakumulasi kapital. Maka, pemilik modal tak akan mungkin bersedia melepaskan alat produksinya kepada kaum buruh. Dalam Manifesto Komunis, kritik sebelumnya juga dilakukan Karl Marx terhadap reformasi kaum borjuis di Inggris (Reform Bill 1832). Tapi, proyek reformasi yang ditawarkan USAID ini lebih naif. Jika tawaran reformasi kaum borjuis bertujuan agar alat-alat produksi tak jatuh ke tangan kaum proletar, program-program reformasi USAID justru melapangkan jalan agar eksploitasi terhadap sumber daya, masyarakat, dan kelas pekerja di negara-negara lain dapat dilakukan secara masif.

Campur tangan lembaga-lembaga donor seperti USAID tentu memiliki se-abrek dampak serius, baik bagi gerakan masyarakat sipil secara khusus maupun Indonesia secara umum. Meski tidak seluruhnya akan termuat dalam tulisan yang pendek ini, yang jelas agenda USAID pada intinya adalah depolitisasi dan deradikalisasi seluruh aspek kehidupan sosial yang dilakukan oleh NGO[9]. Secara sadar maupun tak sadar, aktivisme penerima bantuan USAID akhirnya menggelar karpet merah bagi neo-imperialisme.

Khittah Kemerdekaan

Sekedar memoar, perjuangan rakyat merebut kemerdekaan 1945 bisa dikatakan berhasil karena bebas dari bantuan asing. Para aktivis kemerdekaan merumuskan persoalan bangsanya sendiri, menyusun pola perjuangannya sendiri, dan pada akhirnya merebut kemerdekaannya. Di masa itu, imperialisme dan kapitalisme diyakini satu paket: musuh bersama. Dalam Pledoinya Indonesia Menggugat (1930) yang dibacakan di hadapan pengadilan kolonial Belanda di Bandung, Soekarno menyebut imperialisme satu paket ini sebagai imperialisme modern, untuk membandingkannya dengan imperialisme tua.

“Tidaklah besar beda antara imperialisme-tua daripada bangsa Portegis atau Spanjol atau East India Company Inggeris atau Oost Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, ke 17, dan ke-18—dengan modern-imperialisme jang mulai mendjalar ke mana-mana sesudah modern-kapitalisme bertachta keradjaan di benua Eropah dan di benua Amerika-Utara? ... modern-imperialisme itu adalah anaknja modern-kapitalisme.”[10]

Dengan identifikasi persoalan dan agenda revolusi yang radikal, kemerdekaan akhirnya tercapai. Kalaupun kemerdekaan akhirnya diproklamasikan ketika Penjajah Jepang dibom-atom oleh AS, itu hanya merupakan momentum. Bukan berarti kemerdekaan adalah pemberian sekutu. Toh di detik-detik itu, dengan taktiknya yang jenius Soekarno bermain mata dengan Jepang yang notabene negara yang kalah dalam Perang Dunia II[11], bukan dengan negara pemenang seperti AS.

Dus, presiden terkorup di dunia seperti Suharto lah yang mengundang Nekolim (neokolonialisme dan imerialisme) untuk kembali bercokol di negara yang didirikan dengan getir darah dan nanah ini. Di masa Orde Lama, betapa gigihnya revolusi kemerdekaan dipertahankan meski bangsa ini harus tertatih-tatih. Masih ingat pekik “Go to hell with your aid” Presiden Soekarno pada detik-detik dimana negara ini terus menerus berupaya diintervensi oleh imperium AS untuk memberangus paham komunis. Dalam Pidatonya pada tahun 1946, Soekarno dengan sarkas mengatakan:

Prinsip – inti daripada imperialisme adalah membuat bangsa-bangsa memerlukan barang-barang bikinan imperialis, memerlukan persenjataan daripada pihak imperialis, memerlukan bantuan daripada pihak imperialis. Malaysia, apakah engkau berdikari??? Sama sekali tidak! Kalau mau pertahanan tidak berhenti-berhenti,’oy minta tolong, Inggis, minta tolong, Australie, minta tolong, New Zealand. Heeeh, kalau betul-betulan kau anggota commonwealth, tolonglah kami. Hey Australie kalau betul-betul kau anggota dariapda commonwealth, tolonglah kepada kami. Hey New Zealand, kalau betul-betul kau anggota daripada commonwealth, tolonglah kepada kami! Tolong, tolong, tolong! Manakah berdikarinya, saudara-saudara, sama sekali tidak ada!!![12]

Bagi banyak NGO atau organisasi masyarakat sipil, mungkin membicarakan imperialisme dan kapitalisme adalah hal tabu. Cengkraman lembaga donor seolah mustahil diakhiri. Menghapusnya adalah utopis di tengah cengkraman keduanya yang sedemikian dominatif dan hegemonik. Tapi, jika rakyat Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan berfikir demikian (pesimis), negara ini barangkali tidak akan pernah berdiri. Revolusi nasional 1945 bisa tercapai karena para perjuang kemerdekaan terlebih dahulu membangun berbagai imajinasi tentang masa depan secara radikal, walau di tengah jumlah buta huruf (latin) yang mencapai 92 %.

Memutus rantai donor ini diakui atau tidak memang berat. Apalagi mereka menawarkan berbagai program yang kelihatannya baik (the friendly face of imperialism), seperti bagaimana menangani masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya. Tapi satu hal yang pasti, lembaga donor akan selalu menjaga agar kontradiksi sistem ekonomi global yang saat ini berjalan tidak teridentifkasi. Dan karena pengaburan atas akar persoalan inilah, hingga detik ini kita belum berhasil melepaskan diri dari jerat penjajahan dan kapitalisme mutakhir (neoimperialisme-neoliberalisme).

Oleh karena itu, mengarahkan gerakan NGO dan masyarakat sipil pada perlawanan terhadap neo-imperialisme (Empire dalam konsepsi Michael Hardt dan Antonio Negri, 2000) dan neoliberalisme menjadi keharusan. Sebab dari sini akar segala persoalan kemudian dapat digali secara lebih akurat, radikal, dan penuh kejujuran. Jika tidak, maka izinkan Penulis meminjam ungkapan satire Hendro Sangkoyo[13]: mari berdoa menurut funding kita masing-masing!

Catatan Kaki

[1] https://www.usaid.gov/who-we-are Diakses 12 April 2017

[2] Hendrajit, USAID: Instrumen Terselubung Politik Luar Negeri Amerika Serikat Kendalikan Indonesia-Bagian I. http://www.theglobal-review.com. 7-11-2010. Diakses: 11 April 2017. Di antara strategi USAID di bidang ekonomi adalah: 1. Mempromosikan perdagangan dan investasi. Dengan begitu, USAID berperan membantu Indonesia menjadi perantara antara pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan asing maupun dalam negeri. 2. Memfasilitasi Indonesia dalam penyelenggaraan penelitian-penelitian mengenai peluang bisnis di Indonesia. Tujuannya, untuk menciptakan suasana kondusif di Indonesia dan rasa aman bagi para investor asing yang mau berinvestasi di Indonesia. 3. Memberikan pelatihan-pelatihan kepada Sumber Daya Manusia di Indonesia dalam penyusunan undang-undang baru di bidang perdagangan, ijin teknologi, hukum kerja sama dan hukum kontrak kerja. 4. Dan yang tak kalah penting, membantu pemerintah berserta ASEAN melalui ASEAN-US Free Trade, sebagai langkah pesiapan untuk menghadapi perdagangan global melalui Wordl Trade Organization (WTO). 5. Reformasi Sistem Perbankan, melalui reorganisasi dan rekapitulasi lembaga-lembaga perbankan yang ada, serta mengarahkan perbankan untuk lebih mempererat jalinan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha kecil dan menengah untuk mempermudah pemberian kredit kepada mereka. 6. USAID dengan bantuan Departemen keuangan Amerika, membentukk badan bantuan teknis untuk Indonesia yang dulu dikenal sebagai IBRA (Indonesian Bank Restructuring Agency). Fungsinya untuk menganalisis dan menangani restrukturisasi/revitalisasi Bank yang sedang bermasalah.

[3] Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme, http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm Diakses 12 April 2017

[4] Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria (Yogjakarta: STPN Press, 2014), 156

[5] Jika ditotal keseluruhan undang-undang pro asing yang lahir sejak Orde Baru, jumlahnya cukup segnifikan. Ada yang mengatakan 72, Muhammadiyah secara resmi pernah menyatakan 115. Lihat: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/06/21/ln58me-72-undangundang-di-indonesia-dinilai-diintervensi-asing. Bandingkan: http://nasional.kontan.co.id/news/muhammadiyah-ada-115-uu-melanggar-konstitusi. Penulis sendiri belum pernah menjumpai penelitian mendalam atas kepastian jumlah ini.

[6] Keterangan Salamudin Daeng—Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)—dalam posisinya ketika menjadi saksi ahli dalam Sidang Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materi UU No. 25 Tahun 2007. Lihat: Risalah Sidang Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta Selasa, 25 Maret 2008

[7] Lihat: Lisa Aulia, Kepentingan Amerika Serikat Dalam Proyek IFACS (Indonesia Forest And Climate Support) Melalui Program Usaid (United States Agency For International Development) Di Indonesia. Jurnal JOM FISIP Volume 2 Nomor 2 Mei 2015.

[8] Investasi Pembangunan di Indonesia: Indonesia Yang Lebih Kokoh dalam Memajukan Pembangunan Nasional Dan Global: Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia – Amerika Serikat 2014 – 2018. Laporan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia ‐ Amerika Oktober 2013,.

[9] James Petras, Imperialism and NGO’s. Monthly Review 49 (7): 10-27 diterjemahkan dan dimuat dalam Jurnal Wacana, Op.Cit. 123-142

[10] Soekarno, Indonesia Menggugat (1930) dalam Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966 Jilid I, disusun Iwan Siswo, (Jakarta: KPG, 2014), 55

[11] Sebagaimana tradisi yang berkembang di kalangan negara-negara penjajah yang sedang terlibat dalam peperangan, mereka yang kalah harus menyerahkan negara jajahan yang dikuasasinya, seperti yang terjadi atas Filipina ketika harus beralih dalam kekuasaan Amerika ketika negara yang menjajahnya, Spanyol, berhasil dikalahkan oleh Amerika. Demikian juga dengan Indonesia, mestinya dia harus berada dalam kekuasan AS dan Inggris, ketka Jepang, negara yang berhasil merebutnya dari tangan Belanda, dikalahkan oleh AS. Namun berkat kelicikan Jepang dan akrobat politik Seoakrno dan kawan-kawan, akhirnya lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945. Lihat: Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (Jakarta: LP3ES), 13

[12]Lihat: http://www.youtube.com/watch?v=M2GnrDhaJIQ; http://minepad.blogspot.co.id/2014/08/pidato-ir-soekarno-tentang-malaysia.html

[13] Kalimat pembuka Pengantar Jurnal Wacana, Membongkar Proyek Ornop, Edisi 16 Tahun IV 2002, Pengerahan Menuju Demokrasi: Politik Pembiayaan Tindakan Kolektif di Indonesia. Hendro Sangkoyo adalah aktivis senior, pegiat gerakan sosial di Indonesia.

Sumber gambar:
http://www.anti-imperialist.org/u.s.-continues-to-attack-cuba-53-years-after-airport-bombins_4-17-14.htm

Pustaka

James Petras, Imperialism and NGOs in Latin America. Monthly Review 49 (7): 10-27 terjemahan Jurnal Wacana, Edisi 16 Tahun IV 2002

Soekarno, Indonesia Menggugat (1930) dalam Iwan Siswo (Penyusun) Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966 Jilid I, (Jakarta: KPG, 2014)

Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (Jakarta: LP3ES)

Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria (Yogjakarta: STPN Press, 2014).

Lisa Aulia, Kepentingan Amerika Serikat Dalam Proyek Ifacs (Indonesia Forest And Climate Support) Melalui Program Usaid (United States Agency For International Development) Di Indonesia. Jurnal JOM FISIP Volume 2 Nomor 2 Mei 2015.

Investasi Pembangunan di Indonesia: Indonesia Yang Lebih Kokoh dalam Memajukan Pembangunan Nasional Dan Global: Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia-Amerika Serikat 2014–2018. Laporan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia ‐ Amerika Oktober 2013

Risalah Sidang Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta Selasa, 25 Maret 2008

Hendrajit, USAID: Instrumen Terselubung Politik Luar Negeri Amerika Serikat Kendalikan Indonesia-Bagian I. http://www.theglobal-review.com 7-11-2010. Diakses: 11 April 2017.

Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme, http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm Diakses 12 April 2017

https://www.usaid.gov/who-we-are Diakses 12 April 2017


Artikel ini telah diedit ulang pada 11 Desember 2019

Tinggalkan Balasan