Mengapa NGO dan Masyarakat Sipil Selalu Gagal?

Ali Fikri Hamdhani

Resensi Buku: “Janji yang Teringkari: NGO, Masyarakat Sipil, dan Kemunduran Demokrasi Global”, Ken Budha Kusumandaru

 

10 tahun yang lalu, seorang aktivis progresif asal India, Arundhati Roy, mengkritik keras tentang bahayanya dalam gerakan massa. Dengan jelas, ia menyebut –dan tertulis dalam judulnya- adalah NGO-isasi perlawanan. Itulah yang menurutnya bahaya dalam gerakan. Atas pengamatan kondisi gerakan di India, dan ketika era neoliberal ditancapkan di sana, ia mengecam NGO yang justru menghasilkan petaka bagi rakyat India, karena melanggengkan ketidaksetaraan. Meskipun tentu saja, ada NGO yang melakukan kegiatan berharga, namun yang dominan tidak demikian, yang dominan justru berkontribusi meredam kemarahan publik, mengubah amarah menjadi keramahan politik. NGO-isasi gerakan mengubah perlawanan menjadi pekerjaan yang sopan, masuk akal, dan bergaji. Gerakan ini muncul dari jam 9 pagi sampai 5 sore, tulis Arundhati Roy.

Arundhati bukan satu-satunya pengkritik metode NGO, dan masalah seperti itu tidak hanya terjadi di India, ini terjadi di belahan dunia, khususnya Amerika latin, Afrika, dan Asia, tentu saja Indonesia termasuk di dalamnya. Meskipun sekali lagi tidak bisa dipukul rata, artinya tidak semua NGO layak dikambing hitamkan dalam masalah gerakan.

Awal kemunculannya, NGO menjadi ekspresi dari kelompok yang disebut masyarakat sipil, asosiasi tentang keduanya memang dibenarkan oleh banyak teoritis. Juga secara praktek, banyak NGO yang mengklaim dirinya sebagai gerakan masyarakat sipil, sehingga kritik tentang NGO, juga kritik terhadap masyarakat sipil. Tulisan kritik tentangnya memang sudah banyak, mulai dari perkara yang menghamba pada agenda donor, sehingga bisa jadi terjebak pada logika kapitalisme neoliberal. Juga ada yang menyebutnya sebagai kelas menengah reformis, yang hanya berkepentingan mendorong perubahan institusional, dengan gerakan yang sporadis, sehingga disebut aktivisme borjuis.

Sementara bagi teoritis yang lain, khususnya pendekatan liberal, tanpa kritik apapun, mereka meyakini kehadiran NGO/Masyarakat sipil sebagai elemen kunci untuk mempertahankan demokrasi. Argumennya sederhana; masyarakat sipil yang kuat, otomatis akan memperkuat demokrasi. Inilah narasi yang dominan, kehadiran masyarakat sipil disebut sebagai satu-satunya penyangga keutuhan demokrasi.

Jika dilihat secara jumlah, NGO di Indonesia sangat banyak, tahun 2018 saja, release data kuantitatif menyebutkan 390 ribuan organisasi. Tentu ini akan bertambah setiap tahunnya, bahkan release tersebut menyebut dalam sehari ada sekitar 50 hingga 100 organisasi yang dibentuk. Jadi sekarang tidak bisa membayangkan betapa menjamurnya NGO di Indonesia. Namun di sisi lain, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, telah banyak data yang menunjukkan tren demokrasi di Indonesia semakin terancam, kondisi inilah yang dirangkum dalam buku, ditulis oleh para pengamat demokrasi di Indonesia: dari stagnasi ke regresi.

Apa yang menjadi banyak kritik dan pembenarannya terhadap NGO/masyarakat sipil yang hubungannya dengan demokrasi, kita bisa merangkumnya dengan fakta tersebut; mengapa semakin banyak NGO, justru demokrasi semakin suram?

Buku ini berusaha menjawab dari fenomena itu, dan mengisi kekosongan banyak perdebatan selama ini tentang peran NGO dan masyarakat sipil, yakni dengan melihat konsepnya secara teoritis, kemudian dilengkapi dengan kondisi kontemporer. Dalam penelusuran inilah, penulis menemukan bahwa konsepsi arus utama tentang NGO, dan narasi tentang masyarakat sipil yang diusungnya, bisa jadi sumber masalah bagi gerakan demokrasi di Indonesia saat ini.

Perdebatan Teoritis

Istilah “NGO/Non Governmental Organization” telah lama muncul, pertama kali kita bisa melihatnya ketika digunakan dalam piagam PBB tahun 1945. Namun tidak ada pengertian yang pasti mengenainya, jika pun ada itu sangat simplikasi, biasanya sekedar berbunyi “kelompok warga negara yang bersifat non-profit dan sukarela yang diorganisir di tingkat lokal, nasional atau internasional”. Begitu pun dengan masyarakat sipil, sederhana menurut PBB “sekumpulan kerelawanan yang dibentuk demi tujuan bersama dan tindakan kolektif”, hampir sama dengan pengertian sebelumnya. Karena itu tidak perlu sibuk mencari definisi dari NGO dan masyarakat sipil, yang perlu dilihat adalah konteks historis kemunculan nya. Buku ini memulainya dengan konsep kemunculan masyarakat sipil yang menjadi embrio kelahiran NGO, yang ditelusuri dari banyak pemikir dari era klasik hingga modern.

Dimulai dari John Locke dan Thomas Hobbes, dua filsuf politik asal inggris yang sangat berpengaruh. Keduanya sepakat dengan, bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat dan bahwa tiap individu memiliki hak untuk kepemilikan pribadi. Ide ini muncul untuk menentang terhadap struktur feodal, yang menganggap kekuasaan berasal dari tuhan serta segala hal di kolong langit adalah milik para raja dan bangsawan. Karena itu, muncullah konsep selanjutnya tentang masyarakat sipil, keduanya sepakat bahwa masyarakat sipil berada di luar tatanan alami manusia. Menurut mereka, masyarakat sipil adalah ciptaan individu (manusia) agar terbentuknya keteraturan politik. Dan masyarakat sipil tidaklah berdiri berhadapan dengan negara, melainkan ia rahim yang melahirkan negara, melalui kontrak sosial. Sehingga keduanya sampai pada kesimpulan yang sama: bahwa masyarakat sipil adalah tatanan/otoritas politik yang dihasilkan oleh kontrak sosial dalam masyarakat.

Mari geser ke generasi pemikir era selanjutnya, yang dikenal sebagai kelompok Pencerahan Skotlandia (Scottish Enlightenment). Di sini muncul nama seperti Adam Ferguson. Tidak seperti Locke dan Hobbes, Adam Ferguson meninggalkan argumen kontrak sosial dan bergeser ke argumen evolusi untuk menjelaskan masyarakat sipil, negara, dan kepemilikan pribadi. Ia menghidupkan kembali pandangan Aristoteles bahwa manusia adalah hewan politik (zoon politikon), sehingga secara alami masyarakat manusia adalah masyarakat politik. Sumbangan penting Ferguson dalam teori masyarakat sipil adalah penjelasan tentang hubungannya dengan masyarakat dagang/kapitalisme (corak produksi yang mulai dominan waktu itu). Menurutnya, kemunculan masyarakat dagang diperlukan sebagai tonggak eksistensi masyarakat sipil, melalui pertukaran dagang dan terciptanya kecukupan material, pada gilirannya akan membawa kesempatan pada individu untuk mendayagunakan kebebasan dalam dirinya. Karenanya, kemunculan masyarakat dagang berdampak untuk menguatkan masyarakat sipil dan politik (negara).

Namun, Ferguson juga memperingatkan ada kontradiksi dalam masyarakat dagang dan sipil, di mana masyarakat dagang berlangsung dengan konsentrasi atas kepentingan pribadi dan persaingan untuk kekayaan, sementara kehidupan sipil kelas bawah berada dalam kondisi kesulitan, inilah kesenjangan sosial. Sehingga bayangan Ferguson untuk kebebasan masyarakat sipil bisa terancam karena perilaku masyarakat dagang. Untuk mengantisipasinya, Ferguson menganjurkan dua hal; partisipasi sipil dalam politik dan patriotisme (perlawanan sosial). Ini solusi menurutnya untuk mempertahankan esensi dari masyarakat sipil: kemerdekaan dan kebebasan.

Selain Adam Ferguson, sejawat dalam kelompok Scottish Enlightenment, juga ada nama Adam Smith. Ia memang terkenal dengan pemikir ekonomi-politik pasar bebas, namun telaahnya tentang penciptaan kekayaan dalam masyarakat, Smith terpaksa pula membahas basis sosial di mana kekayaan tersebut diciptakan. Menurutnya, bahwa keseluruhan sistem dan kelembagaan sosial-politik manusia berdiri di atas pondasi relasi ekonomi. Maka konsepsi Smith tentang masyarakat sipil adalah sebuah masyarakat dagang. Ia menganjurkan, negara seharusnya tidak perlu ikut campur dalam urusan ekonomi, biarkan masyarakat saling bertukar dengan sendirinya, karena dengan relasi pertukaran ini, menurut Smith, akan dapat menjamin tersedianya kebutuhan individu. Inilah masyarakat sipil menurut Smith, yang sekaligus juga menjadi masyarakat dagang dengan esensinya melalui relasi pertukaran antar individu. Titik kesimpulan yang sama sekali berbeda dengan Adam Ferguson.

Begitulah setidaknya dari pemikiran di era klasik, mulai dari John Locke hingga Adam Smith tentang masyarakat sipil. Kita bisa ambil tiga poin penting dalam pemikiran mereka. Pertama, bahwa tidak ada pemisahan yang tegas antara masyarakat sipil, politik (negara), dan ekonomi (pasar), mereka mengandaikan saling terikat dan mempengaruhi satu sama lain. Kedua, negara dipandang mutlak perlu ada, mereka sepakat bahwa masyarakat sipil tidak akan bertahan tanpa adanya negara. Ketiga, masyarakat sipil dan negara diperlukan untuk menjaga relasi sosial dan yang terpenting adalah relasi kepemilikan pribadi sebagai landasan masyarakat sipil.

Dengan demikian, kita dapat menunjuk titik lemah pertama dari konsep tentang masyarakat sipil, bahwa masyarakat sipil adalah konsep yang bias kelas (cetak miring dari penulis buku). Konsepnya adalah sesuatu yang lahir dari rahim ideologi kapitalisme, untuk melawan absolutisme feodal. Lalu, apakah ketika menggunakan konsep masyarakat sipil, maka niscaya akan berujung pada pembelaan terhadap kapitalisme?

Dalam buku ini mengurai cukup panjang satu pemikiran penting yang datang dari tradisi filsafat “idealisme/rasionalitas” untuk melegitimasi hak dan kebebasan, dipelopori oleh Hegel, yang tertulis dalam bukunya “Filsafat Hak (1821)”. Hegel memulai tentang masyarakat sipil berbeda dengan pemikir sebelumnya, baginya, negaralah sebagai ejawantah dari rasionalitas yang melahirkan masyarakat sipil, tanpa negara masyarakat sipil tidak akan bisa hidup. Tanpa negara, individu akan mengejar kebebasannya secara kebablasan. Untuk konsep masyarakat sipil, Hegel memang tidak mengakui kesetaraan antar-manusia, menurutnya, masyarakat berkelas adalah satu hal yang diperlukan agar negara kuat, dan pada gilirannya masyarakat sipil bisa sejahtera. Hegel memang tidak punya keyakinan sedikitpun akan terciptanya masyarakat yang setara, hak dan kebebasanlah yang menjadi pilar utama menurut Hegel.

Sebagai perwakilan dari ideologi borjuasi modern, Hegel membayangkan masyarakat sipil untuk sistem komoditas. Baginya tidak ada lagi tempat untuk rakyat berpolitik, yang ada hanya tempat untuk berbisnis atau turut serta dalam sistem komoditas itu. Negara hanya berfungsi untuk mengamankan ketika ada penyimpangan atau ketidakstabilan dalam sistem komoditas.

Kritik paling kuat untuk Hegel datang dari Karl Marx. Marx menilai semua konsep yang ada dan merumuskan tandingannya dari fakta ketimpangan yang terjadi di Jerman. Ini yang diciptakan oleh kapitalisme. Demikian pula cara Marx melihat masyarakat sipil, meskipun dia sebenarnya tidak merumuskan konsepsi orisinal tentang masyarakat sipil, melainkan ia mengkritik atas masyarakat sipil yang ia lihat di depan matanya. “Apa fungsi kebebasan tanpa kesetaraan, bagaimana mungkin semua orang dapat menikmati tingkat kebebasan yang sama di tengah ketimpangan yang akut?” Menurut Marx.

Kritiknya untuk Hegel ada terutama pada dua poin penting, Negara dan Hak Kebebasan. Sebagaimana menurut Hegel, negara akan mampu mengatasi semua kelompok dalam masyarakat. Marx justru membaliknya, benturan antara rasionalitas vs realitas. Pada kenyataannya, sikap negara dan birokrasinya nyaris selalu berpihak pada golongan tertentu. Hegel seperti menari di atas awan, kata Marx, begitu turun ke bumi faktanya berbanding terbalik. Tentang kebebasan, menurut Marx konsekuensi pandangan hegel adalah terjadinya kebebasan tanpa berkeadilan, kebebasan menumpuk hak milik pribadi tanpa batasan dan justru negara hadir untuk melindungi pengumpulan hak milik pribadi. Dengan kata lain, masyarakat sipil dalam konsepsi hegel telah dilucuti watak politiknya, dikekang semata ke dalam sistem pertukaran komoditas, kritik Marx.

Ketika Marx mulai mengkonsentrasikan pikirannya tentang ekonomi-politik -ditandai karya pertamanya The German Ideology (1845)- ia telah sampai pada kesimpulan bahwa analisis mengenai masyarakat sipil haruslah diletakkan pada kerangka ekonomi-politik. Marx menggunakan istilah ‘masyarakat sipil’ untuk merujuk dua hal yang berbeda: pertama, relasi sosial dan relasi ekonomi konkret dalam masyarakat borjuis; kedua, ideologi borjuis yang menggambarkan abstraksi dari relasi sosial dan ekonomi tersebut. Maksudnya adalah masyarakat sipil merupakan tampilan dari sistem sosial yang dibangun di atas relasi komoditas atau ekonomi kapitalisme. Marx menghentikan analisisnya tentang masyarakat sipil begitu dia sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat sipil adalah tampilan dari relasi dominan dalam masyarakat, terutama relasi ekonomi, dan bahwa dinamika masyarakat sipil itulah yang akan menentukan karakter negara. Masyarakat sipil adalah arena di mana perjuangan kelas itu bergulir.

Ide marx tentang negara dan masyarakat sipil kemudian di perlengkap melalui kritik untuknya oleh Gramsci. Jika Marx meletakkan masyarakat sipil sebagai bangunan bawah (basis) dari struktur ekonomi-politik, Gramsci meletakkannya pada bangunan atas (supra) struktur ekonomi-politik. Maka konsekuensinya, menurut Gramsci, masyarakat sipil bukan terletak pada kehidupan material, melainkan pada kehidupan intelektual dan spiritual. Dari sini konsepsinya yang terkenal darinya bermuara, yakni hegemoni. Sehingga Gramsci memandang masyarakat sipil sebagai ajang perjuangan ideologi. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah mediasi, ruang di mana struktur dan relasi produksi komoditas diterjemahkan ke dalam nilai, moralitas, budaya, dan interpretasi atas ilmu pengetahuan.

Namun penting untuk diketahui, baik Gramsci dan Karl Marx, keduanya memiliki tujuan politik yang sama, yakni menciptakan kesetaraan dengan menghapus masyarakat (sipil) yang berkelas. Jadi, Gramsci melengkapi apa yang bolong dalam teori Marx. Tujuan politik itulah yang membedakan mereka dengan pemikir tentang masyarakat sipil yang diulas di awal, dari kalangan liberal.

Seperti yang telah diulas di atas, secara garis besar buku ini mengurai tentang masyarakat sipil dari dua perspektif dan tujuan politiknya, antara: kebebasan dan kesetaraan. Namun posisi buku ini jelas, penulis menunjukkan gambaran kegagalan teori masyarakat sipil yang melegitimasi masyarakat berkelas dalam demokrasi borjuis (kapitalisme). Cukup panjang penulis mengurai kegagalan itu, khususnya bagian pengalaman Tocqueville, seorang pemikir yang banyak mengutipnya tentang masyarakat sipil di era modern. Tocqueville menyebut masyarakat sipil sebagai “asosiasi politik”, yang dianggapnya unsur penting dalam menjaga demokrasi. Ini ide yang ditulis dalam bukunya ketika menggambarkan Amerika yang dianggap “demokrasi paling maju di dunia”. Namun di sisi lain, Tocqueville juga menggambarkan betapa buruknya kehidupan yang timpang yang dialami Indian Amerika dan budak Kulit Hitam. Inilah watak dari kekuasaan borjuis, yang kadang kala menghianati nilai-nilai demokrasi yang diusungnya sendiri ketika akumulasi kapitalnya terganggu. Sementara solusi “asosiasi politik” ala Tocqueville, tidak mampu mengatasinya.

Perkembangan Neoliberal

Perdebatan teoritis tidak lekang oleh zaman, kemunculan formulasi ekonomi-politik baru menciptakan tinjauan ulang tentang masyarakat sipil. Setelah perang dunia ke II, dan terjadinya krisis besar di masa Perang Dingin, tibalah ideologi baru sebagai ‘jalan ketiga’, adalah neoliberalisme. Ideologi ini yang memenangkan pertempuran formasi ekonomi-politik global. Neoliberal merupakan salah satu varian kapitalisme yang paling agresif, dengan mengambil tiga prinsip dasar: pemangkasan peran negara dalam ekonomi sosial, deregulasi pasar dan keuangan, peran negara untuk arus kapital. Untuk menyebarkan paham ini, selain aktivitas politik (negara) dan ekonomi (pasar), juga membutuhkan legitimasi melalui peran masyarakat sipil, melalui lembaga-lembaga NGO yang menghubungkan para ilmuwan, pengusaha, jurnalis, aktivis sosial, dll. Program pengetatan keuangan neoliberal menjadi syarat bagi bantuan keuangan yang mereka kucurkan melalui NGO. Dengan ditariknya program layanan publik yang semula dipangkas, kembali masuk ke dalam agenda, namun bukan melalui negara, melainkan melalui NGO. Dalam hal ini, NGO menjadi pelayan publik yang dianggap lebih efektif.

Mont Pelerin Society (MPS) 1947, disebut sebagai lembaga NGO pertama yang menjadi model promosi neoliberal, lembaga ini menjadi think tank atau mesin ideologi yang didanai oleh para bilyuner. Gelombang pertama think thank neoliberal selama dekade 1940 hingga 1950-an, termasuk The American Enterprise Institute (AEI) dan The Foundation for Economic Affairs (IEA) di Amerika Serikat. Lembaga ini mempromosikan pasar bebas dengan kemasan “hak kebebasan”, sehingga banyak aktivis sosial tertarik dengannya, tentu idenya pula. Jejaring neoliberal ini tidak hanya bekerja lewat kampanye propaganda, melainkan juga dengan cara pembantaian melalui kudeta militer. Neoliberalisme menyembunyikan wataknya: menahbiskan dirinya sebagai pembela kebebasan, sementara banyak darah yang harus dibayar.

Lembaga-lembaga neolib berkembang pesat, sehingga teori masyarakat sipil yang berkembang di era 1980-an memiliki kemiripan dengan prinsip politik neoliberal. Yang paling mencolok adalah prinsip ‘depolitisasi’ bagi rakyat, praktis masyarakat sipil melakukan ‘pembatasan radikalisme’. Ini berarti akan memagari dirinya pada upaya untuk mempengaruhi kebijakan negara tanpa campur tangan dalam ‘politik praktis’, menghindari mengubah struktur kekuasaan. Masyarakat sipil biasanya mereduksi masalah menjadi sporadik, disebut juga ‘politik identitas’, ide ini menganggap segala persoalan dalam masyarakat hanyalah persoalan antar identitas, antar kepentingan kelompok, melucuti konsep ‘kelas’ dari pemikir sebelumnya.

Masyarakat sipil akan menentang keras neoliberalisme, mungkin juga akan bersikap tanpa kompromi terhadapnya, tapi tidak akan ada upaya untuk mengubah tatanan ekonomi-politik secara mendasar. Tanpa analisis kelas yang kritis, gerakan sosial apa pun tidak akan memiliki cetak biru untuk membangun alternatif terhadap neoliberalisme. Menentang neoliberalisme tanpa menyediakan alternatif itulah ciri masyarakat sipil modern saat ini. Persisi seperti semboyan neoliberal setelah 1980-an: There is No Alternative.

Adakah Harapan untuk NGO?

Dari semua paparan di atas, lalu apakah kelompok masyarakat sipil atau lebih spesifik lagi yakni NGO, merupakan ‘lawan’ yang menyelinap dalam gerakan? Penulis dalam buku ini tidak menjawab dengan tegas, berdasarkan pengalaman pribadinya, ia hanya berkeyakinan bahwa NGO masih mungkin bisa diharapkan. Ini artinya bergantung pada pegiat NGO itu sendiri. Namun, penulis menekankan betapa pentingnya NGO harus sadar posisi dalam percaturan ekonomi-politik hari ini. Tanpa kesadaran penuh dan mata yang waspada, para pegiat NGO akan diombang-ambing oleh permainan politik donor yang ujung-ujungnya promosi skema neoliberal, sehingga menumpulkan perlawanan rakyat.

Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa sumber legitimasi NGO berasal dari kepakarannya, bukan dari representasi publik (cetak miring penulis). Sehingga bukan pada tempatnya NGO bertindak atas nama publik. NGO memang bagian dari masyarakat sipil, tapi tindakannya tak dapat mengatasnamakan masyarakat sipil, karena NGO tidak akuntabel pada masyarakat sipil, melainkan pada donornya (begitu praktek yang dominan di NGO).

Fokus bagi NGO seharusnya adalah serikat-serikat massa rakyat. Inilah rekanan sejati bagi NGO, yang memiliki kedekatan paling rapat dalam pertarungan politik praktis di lapangan. Perubahan sosial untuk hidup yang lebih baik dalam sejarah hanya dapat dicapai jika serikat-serikat rakyat, khususnya serikat pekerja berada di garda depan. NGO harus sadar kalau dirinya bukanlah pemain kunci dalam perjuangan demokrasi, mereka tidak mempunyai cukup kekuatan dan legitimasi untuk memanggul peran ini. Namun, NGO memiliki sumber daya yang memadai yang tidak dimiliki serikat. Serikat rakyat harus disadarkan bahwa dirinya memanggul peran politik, bukan sekedar hadir untuk memenangkan kasus dalam advokasi. Advokasi kasus adalah hal penting, tidak dapat diabaikan, namun tidak cukup hanya berhenti di situ.

Saat ini, neoliberalisme telah menduduki tahta hegemonik, penguasa kolong langit. Sedemikian kuatnya monster ini sehingga gerakan rakyat, khususnya di Indonesia, tenggelam dalam keputusasaan, tidak berani bercita-cita, dan hanya berani mengejar tujuan-tujuan jangka pendek. Akibatnya, gerakan rakyat di Indonesia pun terseret untuk ikut menari dalam irama gendang yang ditabuh oleh neoliberalisme. Sudah banyak pengalaman kegagalan gerakan di Indonesia jika hanya bertumpu pada ide NGO/Masyarakat sipil, bahkan gelombang perlawanan besar untuk kasus Reformasi Dikorupsi hingga Cipta Kerja tidak berumur panjang

Untuk mengubah kondisi di era neoliberal, tidak cukup hanya dengan seruan rekomendasi kebijakan atau advokasi jalur legal, kemudian berharap pada political will dari elit-elit pemegang kuasa, mustahil. Hanya rakyat yang terorganisir dengan kesadaran politik tinggi yang mampu mengubahnya. Dengan kerja sama antara NGO dan serikat rakyat yang bersedia memikul beban kepemimpinan politik dan mempertahankan demokrasi.

Namun sekali lagi, NGO bukan pemain kunci. Seperti permainan bola, ketika seorang pemain belakang dipaksa menjadi penyerang, bukan saja gol tidak tercipta, tetapi gawang sendiri akan kebobolan berkali-kali.

 


Gambar: https://global.chinadaily.com.

 

 

 

Tinggalkan Balasan