Menggugat Narasi Hak Asasi Manusia Vis a Vis Negara

Oleh:
Surya Putra B.

 

“Fiat justitia ruat caelum”

-Lucius Calpurnius

 

Dalam beberapa bulan mendatang masyarakat Indonesia akan menghadapi ‘pesta’ demokrasi. Hajatan ini selalu diwarnai dengan perdebatan, baik yang sifatnya ‘sensasional’ maupun ‘substansial’. Isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu isu yang seringkali menjadi perdebatan. Pembahasan HAM di dalam pesta demokrasi memang sebuah keharusan, karena konsepsi HAM merupakan sebuah pengakuan terhadap hak-hak mendasar yang dimiliki setiap manusia, yang merupakan nyawa dari demokrasi itu sendiri.

Menjelang pemilu, isu HAM selalu menjadi perdebatan di ruang publik bahkan menjadi ‘gorengan’ politik. Kita masih ingat pada pemilu 2014 bagaimana isu HAM dijadikan alat oleh para elit politik untuk saling menjatuhkan elektabilitas. Pada pemilu kali ini, pembahasan mengenai HAM kembali hadir. Baru-baru ini muncul sebuah pernyataan dari salah seorang elit politik bahwa melanggar HAM adalah pilihan yang baik demi mencegah keruntuhan negara. Pernyataan ini memicu terjadinya perdebatan di dalam ruang publik kita akhir-akhir ini. Namun untuk menyikapi pernyataan tersebut, daripada kita terjebak dalam perdebatan ‘harus memilih siapa pada pemilu nanti’, lebih baik kita menempatkan pernyataan tersebut sebagai wacana (discourse).

“Negara Harga Mati” sebagai Wacana Dominan

Wacana seperti ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Tidak hanya di kalangan elit, nilai tersebut juga telah ter-internalisasi di dalam cara berpikir masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya genosida 65, pembubaran diskusi oleh ormas reaksioner, persekusi, dan konflik-konflik horizontal lainnya. Fenomena kekerasan, represifitas, dan tindakan anti demokrasi tidak hanya dilakukan oleh aparatus represif negara namun oleh masyarakat juga. Pola pikir “Negara Harga Mati” masih mengakar kuat dan menjadi wacana dominan.

Wacana Dominan menurut Michael Foucault adalah wacana yang dipilih dan didukung oleh kekuasaan, yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak. Dalam pandangannya, kekuasaan disusun dan dimapankan oleh suatu pengetahuan atau wacana tertentu. Munculnya wacana dominan seperti ini adalah sebuah keharusan bagi sebuah negara yang dikuasai oligarki. Jeffrey A. Winters menjelaskan bahwa Oligarki adalah segelintir orang yang memiliki dominasi atas sumber daya material sebagai basis dan upaya untuk mempertahankan kekayaannya lewat dominasi sumberdaya politik. Adanya ketidaksetaraan sumberdaya material dan politik ini menyebabkan terjadinya eksploitasi oleh negara terhadap masyarakat maupun alam. Negara-yang ditunggangi oligark-butuh kehadiran wacana tersebut agar tetap mendapat legitimasi untuk berkuasa. Kondisi itu juga lah yang terjadi di Indonesia saat ini.

Selama pelanggaran HAM dengan dalih kepentingan negara, perampasan lahan atas nama pembangunan, dan kriminalisasi dengan topeng penertiban masih dianggap sebagai hal yang wajar, selama itu pula kekuasaan negara & oligarki akan tetap bertahan.

Membongkar Miskonsepsi

Cara berpikir “Lebih baik melanggar HAM daripada negara runtuh” ini sesungguhnya mengandung berbagai kekeliruan. Yang pertama, berbicara soal HAM adalah bicara soal keadilan. Dan negara pada hakikatnya adalah alat bagi masyarakat untuk mewujudkan keadilan tersebut. Franz Magnis-Suseno dalam “Etika Politik” (1987) mengatakan bahwa jaminan terhadap HAM merupakan tanda solidaritas dan kepedulian sosial dari masyarakat. Menjamin hak asasi berarti menjamin standar atau tolok ukur bagaimana tiap anggota masyarakat harus diperlakukan dan bagaimana tidak, entah dia kuat atau lemah, menang atau kalah. HAM selalu berupa perlindungan bagi pihak yang terpinggirkan.

Sedangkan Negara, menurut Yuval Noah Harari dalam “Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia” (2018) adalah sebuah entitas fiksional. Entitas fiksional ini diciptakan sebagai alat untuk melayani kemanusiaan. Konsepsi negara diciptakan untuk mencapai cita-cita mulia kemanusiaan yaitu kehidupan yang adil, sejahtera, dan diwarnai persaudaraan. Artinya, negara lah yang seharusnya menjadi pelayan dari kemanusiaan. Menganggap HAM boleh dilanggar atas nama negara berarti memposisikan kemanusiaan sebagai ‘pelayan’ negara, bukan sebaliknya. Entitas fiksional yang diciptakan untuk menjaga harapan manusia akan keadilan, justru memupuskan harapan tersebut. Ia telah menjelma dari ‘pelayan’ menjadi ‘penjajah’ keadilan.

Yang kedua, di dalam sebuah negara hukum yang mengakui HAM, justru negara-lah yang tidak boleh meruntuhkan HAM. Karena HAM sendiri memang lahir sebagai pembatas kekuasaan negara atas warga-nya.Indonesia mengakui keberadaan HAM, apabila kita melihat Undang-Undang Dasar (UUD 1945) pasal 28A-28J. Disana tertuang hak untuk berpendapat, hak atas kebutuhan mendasar, hak atas perlindungan dari kekerasan, dan hak-hak fundamental lainnya.

Konsepsi HAM, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke hadir sebagai antitesa dari konsep absolutisme negara/totalitarianisme. Konsep absolutisme negara sendiri dibenarkan oleh beberapa pemikir diantaranya Thomas Hobbes dan Robert Filmer. Dalam paradigma Hobbesian negara memang harus menjadi entitas yang kuat. Karena manusia-sebagai individu-sejatinya adalah ‘homo homini lupus’ (serigala bagi sesamanya), maka negara harus hadir sebagai penjaga ketertiban. Negara harus menjadi ‘Leviathan’ atas para serigala tersebut. Robert Filmer (1588-1653), seorang filsuf istana Inggris mengatakan bahwa negara memiliki wewenang selaku ‘ayah’. Pemikiran Filmer memiliki dua tesis utama yaitu setiap kekuasaan bersifat monarki mutlak, dan tidak ada orang yang lahir bebas. Pandangan-pandangan seperti ini seringkali menjadi legitimasi atas penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap manusia sebagai individu maupun kelompok.

John Locke (1632-1704) menolak pandangan-pandangan tersebut. Ia menyatakan bahwa negara harus memiliki batasan dalam menjalankan kekuasaan-nya. Batasan tersebut adalah Hak Asasi Manusia. HAM merupakan hak-hak yang dimiliki manusia karena ia manusia, bukan karena diberikan oleh masyarakat ataupun negara. Maka dari itu, negara tidak boleh dengan sewenang-wenang melanggarnya sekaligus harus melindungi hak-hak tersebut.

Yang ketiga, menjamin HAM adalah sebuah usaha untuk mempertahankan negara dari keruntuhan, bukan sebaliknya. Karena eksistensi negara (terutama negara modern) bergantung pada tingkat legitimasi/kepercayaan rakyat. Dan kepercayaan tersebut muncul apabila negara melindungi hak-hak asasi rakyatnya. Justru tindakan-tindakan melanggar HAM yang akan menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat terhadap negara (delegitimasi). Kita bisa melihat bagaimana diskursus memisahkan diri dari negara (separatisme) tumbuh ketika masyarakat papua dirampas hak-haknya oleh negara. Perampasan sarana produksi dan ruang hidup demi kepentingan korporasi, merepresi hak untuk berpendapat, membatasi akses terhadap ilmu pengetahuan serta pengekangan atas kebebasan berekspresi adalah hal-hal yang patut disalahkan atas munculnya potensi keruntuhan negara.

Bukan Soal Pilpres!

Jadi, mengatakan “lebih baik melanggar HAM daripada negara runtuh” merupakan pandangan yang ahistoris dan mengandung miskonsepsi. Apabila wacana dominan tersebut terus bertahan, jangan heran kalau kedepannya akan banyak Wiji Thukul, Munir, Salim Kancil, dan Marsinah lainnya.

Ini bukan soal harus memilih siapa pada 2019 nanti. Hak Asasi Manusia terlalu suci untuk dijadikan ‘gorengan politik’. Ini soal mendudukkan kembali pemahaman kita tentangposisi HAM dihadapan negara, yang telah disesatkan oleh para demagog. Karena hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.**

______________________________________________________________________________

Sumber:

Suseno, Franz-Magnis. 1987. “Etika Politik”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Harari, Yuval Noah. 2018. “Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia”. Tangerang: Alvabet

Budiman, Arief. 1997. “Teori Negara”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Jones, Pip. 2016. “Pengantar Teori-Teori Sosial”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

https://www.scribd.com/doc/26994716

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20181227181547-32-356828/ketua-timses-prabowo-pilih-langgar-ham-daripada-negara-runtuh

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/amnesty-international-djoko-santoso-kurang-pengetahuan-soal-ham-dcLJ

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/amnesty-international-djoko-santoso-kurang-pengetahuan-soal-ham-dcLJ

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/amnesty-international-djoko-santoso-kurang-pengetahuan-soal-ham-dcLJ

Sumber gambar utama: pengertianpakar.com

______________________________________________________________________________

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, peserta Sekolah Ideologi & Gerakan Sosial IV Intrans Institute

Tinggalkan Balasan