Oleh:
Rinto Pangaribuan
Judul: Genealogi Kapitalisme, Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik
Penulis: Dede Mulyanto
Penerbit: Resist Book
Cetakan: Cetakan Pertama, Januari 2012
Format: Cetak
Halaman: 284 halaman
Buku ini ditulis oleh Dede Mulyanto. Ketika naik cetak, beliau menjabat sebagai dosen tetap. Dia mengajar di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran. Sebelumnya, diberitahukan juga, dia sempat membantu mengajar di program sarjana Sekolah Bisnis dan Manajemen, kisaran tahun 2005-2006 di Institut Teknologi Bandung.
Ada beberapa buku yang sudah ditulisnya sejak tahun 2006-2011. Semua daftarnya ada tercantum di halaman paling belakang buku. Jika melihat daftar itu, bisa dikategorikan kalau beliau adalah penulis yang cukup produktif. Jadi, tidak salah rasanya jika kita berasumsi bahwa buku ini bukan karya sembarangan.
Ada banyak alasan kenapa harus meresensi buku ini. Pertama, karena alasan pribadi. Penggerakan utama saya membaca buku ini karena kesulitan memahami Kapital 1 karya Karl Marx. Sudah banyak orang mengakui kalau buku itu bukanlah tulisan yang mudah dipahami. Di dalamnya terdapat berbagai aspek analisis, mulai dari filosofis sampai rumusan matematis. Kondisi ini semakin dipersulit karena metode Marx yang sangat dialektis. Akibatnya, sifat “buku terlarang” itu jadi lintas disiplin ilmu. Di dalamnya ada kajian sosiologi, politik, filsafat, ekonomi, dsb. Di tengah kerumitan itulah, buku ini hadir untuk mengurai kesulitan itu. Secara pribadi, buku ini sangat membantu saya memahami gagasan-gagasan Marx dalam Kapital 1 itu.
Kedua, dalam konteks Indonesia, buku ini bisa disebut sebagai sebuah karya langka. Kenapa? Komentator pemikiran Marx selama ini hanya didominasi orang Eropa. Sebut saja dua nama besar Althusser dan David Harvey, yang menulis dalam bahasa asing. Bagi yang gagap berbahasa Inggris, tentu saja akan mengalami kesulitan mencerna isi pikiran Marx. Akibatnya, pemikiran Marx jadi “terkerangkeng” hanya untuk kaum elit intelektual saja. Dengan melihat kenyataan ini, maka buku ini jadi sangat berharga. Sebuah karya yang bisa dikatakan sumbangan besar untuk memajukan wacana intelektual Marxisme di Indonesia.
Bukan saja hanya berkomentar, Dede Mulyanto juga berusaha meletakkan kesegaran. Dia berusaha merelevansikan pemikiran Marx dalam spektrum pergumulan Indonesia. Misalnya, dia mengangkat proses proletarisasi di Jawa sebagai sebuah studi kasus (hlm. 31), yang bagi saya pribadi, adalah sesuatu yang menarik.
Ketiga, buku ini setidaknya bisa jadi referensi penting untuk menjernihkan pemikiran Marx. Kita semua tahu, di Indonesia, Karl Marx selalu dilihat negatif oleh masyarakat kita. Stigma itu kerap membuat Marx dilihat hanya dari satu perspektif sempit. Akibatnya, pikiran besarnya tentang perjuangan keadilan, kebebasan, dan kemerdekaan tercecer begitu saja. Pendeknya, inti pemikiran Marx tentang adanya penindasan oleh kapitalisme jadi terabaikan. Syukur pada Tuhan, buku ini hadir untuk mengantisipasi situasi ini.
Sebelumnya, sudah saya sebutkan kesulitan dalam membaca Kapital 1 dari Karl Marx. Tentu saja, saya berharap buku ini bisa membantu mencari jalan keluarnya. Buku ini diharapkan bisa mengurai kusutnya pemikiran Marx menjadi mudah terpahami. Minimal, dia bisa mengelaborasinya menjadi sesuatu yang renyah, sederhana, dan mudah dicerna.
Secara garis besar, harapan itu, bisa saya katakan tercapai. Lewat buku ini, setidaknya, saya terbantu mendapatkan pemahaman yang lebih jernih tentang Marx. Mungkin itu disebabkan contoh-contoh yang digunakan sangat dekat dengan keseharian saya pribadi.
Buku ini menyenangkan karena kesederhanaan yang ditawarkannya. Dia bahkan jauh dari kesan buku teori yang selama ini kita bayangkan berat, rumit, dan ribet. Istilah teknis yang digunakan pun jauh dari kesan “njelimet”.
Namun, dalam beberapa hal tertentu, pemakaian istilah teknis terkadang tak bisa dihindarkan. Dede Mulyanto mungkin sudah menduga ini. Sehingga setelah daftar isi, disusunnya sebuah glosarium (daftar istilah). Jadi, kalaupun kita berjumpa dengan istilah yang kompleks, kita bisa merujuk pada daftar. Di sana akan disediakan definisi tentang terma yang rasanya sukar terpahami.
Ada petualangan tersendiri ketika membaca buku ini. Dede Mulyanto, secara terbuka, sering sekali berani berkonfrontasi dengan begawan filsafat Indonesia. Siapa lagi kalau bukan Franz Magnis Suseno. Bagi pembaca teori Marxis di Indonesia, Magnis Suseno bisa disebut kritikus Marx nomor wahid. Beliau dikenal banyak menulis buku yang menyanggah pemikiran Karl Marx.
Seolah tidak gentar dengan nama besarnya, Dede malah terkesan meledek beliau dengan jenaka (hlm. 228). Dede Mulyanto kerap mencurigai Magnis keliru memahami pemikiran Marx (pernyataan gamblang ada di hlm. 126). Sang Guru Besar itu, bahkan, disebutnya tidak membaca Das Kapital secara tepat (hlm. 129 dan 251).
Konfrontasi ini tentu menjadi sesuatu yang menyenangkan dalam iklim akademis. Argumentasi tandingan terhadap pemikiran Suseno, yang selama ini jumawa, jadi punya perlawanan. Setidaknya, kita disuguhi sebuah percakapan akademis yang segar dan sehat.
Tapi tentu saja, buku ini bukan tanpa kekurangan. Menurut saya, buku ini kurang mampu menyederhanakan gagasan Marx dalam beberapa bagian. Pada bab tertentu, mau-tidak-mau, dia menuntut pembacanya harus berpikir lebih keras. Khususnya beberapa bagian yang menyangkut persoalan rumusan matematis bagaimana reproduksi kapital bekerja.
Contohnya dalam bab “Akumulasi dalam Anarki” (hlm. 132-171). Bab ini banyak memasang rumusan matematis untuk menjelaskan mekanisme reproduksi kapital. Persamaan itu melibatkan unsur kapital konstan (c), kapital variabel (v), dan nilai lebih (s). Persamaan-persamaan yang dipaparkan dalam bab ini, bagi saya pribadi, cukup sulit. Dia baru bisa dipahami ketika dibaca lebih dari satu kali.
Menurut saya, ini menjadi kesulitan tersendiri bagi pembaca pemula. Yaitu mereka yang tidak terbiasa dengan kajian analitis matematis. Padahal, akumulasi kapital bisa disebut sebagai jantung dari kapitalisme itu sendiri.
Walau begitu, banyak hal yang saya setujui dari buku ini. Setidaknya, ada dua hal yang terutama.
Buku ini selalu mengulang bahwa sasaran utama kapitalisme adalah untuk mencari untung. Inilah yang menjadi dasar keputusan seorang kapitalis dalam mengambil tindakan. Profit adalah tujuan absolut. Sehingga, penilaian moral dan etis menjadi bias oleh hasrat mencari laba itu. Nafsu yang tak bisa dibatasi inilah yang kelak mengakibatkan kapitalisme hancur dengan sendiri. Karena hasrat itulah pemicu utama kontradiksi logis kapitalisme. Ini merupakan poin pertama yang sangat saya setujui dari buku ini.
Kedua, Dede Mulyanto menjelaskan sifat khas dari komoditi. Dia merupakan sesuatu yang harus masuk dalam proses transaksi jual beli (hlm. 62). Barang yang dikonsumsi sendiri tidak masuk kategori komoditas. Syarat ini membuat kapital selalu sebagai hubungan sosial (hlm. 260). Hajatan ini merupakan urusan yang hanya mewujud dalam bentuk hubungan antar orang (hlm. 261). Oleh karena itu, kapitalisme menjadi sesuatu yang bernuansa antropologis.
Bisa dikatakan, sependek pembacaan saya, ini merupakan tesis utama Kang Dede. Selain menyetujuinya, ini juga menjadi sesuatu yang baru buat saya pribadi. Karena selama ini, saya hanya melihat kapitalisme dari perspektif ekonomi-politik belaka. Sehingga, saya kerap melupakan bahwa ada persoalan tentang relasi antar manusia dalam kapitalisme. Budaya, agama, pendidikan, dsb berperan besar dalam eksploitasi. Padahal, pengisapan antar sesama manusia adalah sumber utama kehadiran nilai lebih.
Saya tentu saja mengalami kesulitan dalam mencari titik salah dalam buku ini. Alasannya karena saya pun belum membaca tuntas tiga jilid Das Kapital. Padahal, karya itu merupakan referensi utamanya. Ini jugalah yang akhirnya memutuskan saya membuat resensi ini, mungkin, mengalami banyak kekurangan.
Walau demikian, menurut saya, buku ini adalah sebuah karya penting. Khususnya, dalam khasanah literatur Marxisme di Indonesia. Dede Mulyanto setidaknya berusaha untuk menyederhanakan sekaligus mendaratkan gagasan Karl Marx dalam nuansa Indonesia. Buku ini seperti sedang ingin bicara dengan orang Indonesia, yang sering keliru memahami Marx.
Bagi saya pribadi, penjelasan dan tafsir penulis terhadap Das Kapital cukup baik dan valid. Selain merujuk langsung pada teks primer, rujukan-rujukan teks sekunder pun cukup mumpuni. Hal ini sangat membantu bagi pembaca. Terutama bagi mereka yang pernah mencoba membaca Das Kapital, tapi gagal paham karena kerumitannya
______________________________________________________________________________
Penulis adalah Penatua Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba. Kontributor di indoprogress.com
*Artikel ini sebelumnya beredar di bukuonlinestore.com dengan judul “Mengurai Kerumitan Das Kapital”. Diterbitkan di sini dengan seizin penulis untuk tujuan pendidikan.