Menyambut Pilkada Maluku Utara: Taruhan Masa Depan Demokrasi Lokal

Oleh:

Haris Samsuddin

(Peneliti Intrans Institute)

 

Meskipun masih lima bulan lagi menunggu pergelaran Pilkada serentak gelombang ketiga, dinamika politik di Maluku Utara (Malut) bisa dibilang cukup riuh. Masing-masing klik kepentingan yang terbentuk –baik dari hasil mobilisasi ataupun secara sukarela– sibuk menggalang dan memperluas basis massa pendukung mereka. Benturan kepentingan di antara masing-masing kubu jelas tidak bisa dihindari. Cara (pendekatan) yang digunakan pun cukup beragam. Mulai dari pendekatan etnis, kelompok, silsilah, bahkan agama coba dikerahkan demi memperluas volume dukungan (politik, ekonomi).

Sarana mobilisasi yang dipakai pun bermacam-macam. Ia dapat berupa kontak tatap-muka langsung oleh kandidat atau melalui ‘tim sukses’-nya dengan para warga, atau dengan cara memanfaatkan aneka ‘medsos’ yang ada. Wujudnya dapat disaksikan melalui berbagai lawatan politik di ruang-ruang pengajian, bakti sosial, komunitas warga, juga tak kalah menarik sosialisasi politik lewat media interaktif (elektronik) yang belakangan ini membanjiri ruang diskursivitas publik.

Fenomena di atas menunjukkan betapa begitu dinamisnya suasana politik di Malut saat ini. Resonansi wacana yang bergulir (pun) ternyata tidak saja terisolasi di bumi Moloku Kieraha, melainkan menembus wilayah eksternal. Kecepatan daya rembes informasi ini tentu saja dipengaruhi kuat oleh perkembangan media komunikasi (media online, FB, WA, Instagram, Twitter, dll) yang mampu mendiseminasikan beragam informasi dalam tempo yang cukup singkat. Inilah kelebihan utama kehidupan masyarakat era digital, dimana arus informasi bergerak begitu cepat.

Melalui pemanfaatan sarana komunikasi digital, berbagai tim pemenangan paslon berusaha menjaring massa pendukungnya via one to one and one to many, yang berada di berbagai pelosok. Derasnya arus mobilisasi politik ini mampu memengaruhi warga Malut yang tersebar di berbagai tempat ikut membahas isu politik yang kini sedang berkembang di Maluku Utara.

Nalar Publik dan Kuasa Elite

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menelaah potensi kemenangan masing-masing kontestan yang kini ikut bertarung dalam Pilgub Malut akan datang. Kajian khusus untuk itu akan coba disajikan dalam kesempatan lain. Kali ini penulis mencoba mengamati pertaruhan nalar publik di bawah hegemoni kekuatan elite politik. Dengan demikian, ujian bagi kematangan demokrasi warga lokal (Malut) dapat dianalisis lebih dalam.

Menimbang nalar publik memang tidak mudah. Butuh indikator yang cukup untuk menyingkap dengan baik. Keakuratan data dan kemampuan analisis tentu mengambil posisi penting. Namun, pembacaan atas fenomena terkait dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui penakaran terhadap kadar responsivitas warga dan ‘opini publik’ seputar isu Pilkada Malut.

Sejauh ini –jika diamati– antusiasme menjemput Pilgub di Malut tidak saja diwacanakan oleh kalangan elite (intelektual, politik, ekonomi), melainkan turut disambut dengan gegap gempita oleh berbagai lapisan warga Malut. Ini menandakan bahwa asumsi terkait minimnya ‘partisipasi politik’ di level grassroot telah terbantahkan. Artinya, diskursus politik di Maluku Utara tidak lagi hanya membentur pada lingkaran elite, tapi sudah mampu menembus pada strata sosial yang lebih luas. Tentu ini merupakan kabar baik bagi kemajuan demokrasi lokal.

Akan tetapi, penilaian konsolidasi demokrasi tidak bisa dipahami dengan cara sekadar mengamati derajat responsivitas warga atas isu pemilihan kepala daerah. Pemahaman akan hal itu harus diletakkan pada kualitas kesadaran politik warga dalam menyoal berbagai isu politik yang ada. Untuk mencermatinya, kita perlu menarik garis diametral agar mampu membaca pengaruh kuat kekuatan elite di satu sisi dan kesadaran memberikan dukungan politik oleh warga di sisi yang lain. Dari sana akan terbaca, sejauh mana penetrasi kepentingan elite yang ditetaskan berhasil menarik dukungan tanpa melalui sebuah pertimbangan kritis dari warga.

Interrelasi antara elite dan massa ini sangat penting untuk dikaji agar tidak bias dalam memahami bargaining position warga dalam melakukan tawar-menawar politik dengan kepentingan elite. Tentu warga sendiri tidak ingin dijadikan objek manipulasi dan mobilisasi untuk memperbesar dukungan demi kepentingan elite tertentu. Oleh karena itu, standing position warga harus ditempatkan dalam kerangka diskursivitas yang setara dan kritis. Hanya dengan cara itu, derajat partisipasi politik warga menjadi bermakna dalam iklim demokrasi.

Lalu bagaimana dengan kondisi di Maluku Utara hari ini? Penulis sendiri melihat level partisipasi politik warga Maluku Utara masih pada tataran ‘partisipasi minimalis’. Apa yang penulis maksudkan dengan partisipasi minimalis tiada lain merujuk pada kualitas keterlibatan warga yang masih tergolong sekadar ikut meramaikan. Ibarat gerombolan massa yang sedang menyambut pesta perayaan ulang tahun dan sejenisnya. Sehingga, setelah usai perayaan, massa pun mulai membubarkan diri. Pada level ini, masyarakat tidak memiliki sebuah agenda politik yang terencana, terprogram, terkonsolidasi, dan terkawal dengan baik dalam membuat keputusan, sehingga sangat sulit untuk mengharapkan pengawalan dan kontrol ketat atas agenda kepentingan publik.

Paling tidak, bukti mengenai hal ini dapat dilihat dari pengalaman-pengalaman Pilkada Malut sebelumnya. Euforia-nya hanya berlangsung sesaat, setelahnya masyarakat melepas komitmen untuk mengawal kontrak politik. Alhasil, ruang kosong itu kembali memberi peluang bagi elite penguasa (pemenang kontestasi) begerak di luar kontrol warga. Parahnya, masyarakat sendiri tidak memikirkan untuk membentuk sebuah wadah (alat advokasi warga) untuk mengawasi dan ikut terlibat dalam agenda perumusan kebijakan publik selanjutnya. Posisi kontrol dan partisipasi politik warga yang lemah pascapemilihan ini, juga turut melapangkan jalan bagi elite politico-business membajak (hijacking) sumber daya yang ada, berikut mengkhianati mandat desentralisasi demi kepentingan mereka sendiri.

Situasi di atas bukan lagi rahasia umum di Maluku Utara. Hemat penulis, mayoritas warga Malut belum memiliki kesadaran politik yang kuat untuk dikatakan ambil peran dalam melakukan tawar-menawar politik. Pengaruh mobilisasi elite masih jauh dominan. Performa partisipasi politik warga baru sebatas ikut menyeleksi calon delegator, belum pada tingkat konsistensi mengawal cita-cita politik (common good). Rendahnya nilai tawar politik warga ini kembali menempatkan mereka dalam posisi subordinat, dimana pengaruh elite lokal-lah yang jauh lebih berperan dalam menentukan agenda politis.

Ruang diskursivitas publik sebagai arena kontestasi politis belum dimanfaatkan dengan baik oleh warga. Realitas sosial-politik inilah yang selama ini bergelayut di bumi Moloku Kieraha. Kondisi tersebut sekaligus memperkuat asumsi bahwa demokratisasi dan desentralisasi yang kini dipraktikkan di Malut tak lebih sekadar barang mainan. Alhasil, kejumudan mendorong kualitas demokrasi tersebut kian diperparah oleh eksistensi civil society di Malut yang tidak memiliki agenda dan arah perjuangan politik yang jelas dan terukur menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Pendeknya, alam demokrasi di Malut masih sebatas ajang permainan elite kekuasaan.

Membaca Arah Politik dan Masa Depan Demokrasi di Malut

Lantas, adakah harapan bagi masa depan demokrasi di Malut? Menjawab pertanyaan ini tidak bisa dengan cara seperti orang sedang bermain dadu. Ia bukan soal probabilitas yang memberi kemungkinan “iya” atau “tidak”. Prospek demokrasi Malut harus ditakar dengan lensa pembacaan yang tidak menafikan kondisi riil saat ini. Preferensi argumentasi yang penulis kemukakan tidak bermaksud menebar pesimisme dalam mengawal cita-cita demokrasi. Selama masih ada kemauan dan komitmen dari segenap lapisan warga untuk mendorong arah perubahan sosial menuju masa depan Malut yang kuat secara ekonomi dan berkesadaran politik, tentu optimisme akan menjadi barang lumrah.

Sayangnya, kondisi lemahnya infrastruktur politik di tataran negosiasi politis warga saat ini membuat kita perlu menimbang ulang visi demokrasi di Malut. Tentu penulis tidak bermaksud mereduksi usaha yang telah dan kini sedang dilakukan secara bergotong untuk memperkuat daya tambat pembumian nilai-nilai demokrasi di Maluku Utara. Akan tetapi, berpandangan realistis juga penting. Bahwa proyek demokratisasi di Malut masih jauh dari tahap perealisasiannya, adalah fakta tak terbantahkan. Untuk sekadar membedakan mana ‘partisipasi’ dan mana ‘mobilisasi’ dalam membuat keputusan politis masih sangat jelas teramati di Malut.

Tanpa harus merinci secara detail ‘level partisipasi’ warga dalam memengaruhi keputusan politik, dengan melihat kondisi yang ada, rasanya terlalu berlebihan untuk menyebut kemeriahan menjelang Pilgub Malut sebagai benar-benar ‘partisipasi’. Barangkali akan lebih tepat, jika suasana riuh meriah itu disebut ‘mobilisasi’. Kenapa begitu penting untuk membedakan kedua aktivitas politik warga (partisipasi & mobilisasi)? Jika yang pertama adalah benar-benar aktivitas yang bersumber dari kesadaran warga sendiri, karena sadar akan posisinya sebagai subjek politik berdaulat, sementara yang kedua adalah aktivitas politik yang semata dilakukan karena ada dorongan atau intervensi dari kekuatan elite tertentu.

Berpijak pada kenyataan ini, penulis memandang arah politik Malut ke depan masih tetap berada pada kontrol kuasa elite. Dengan demikian, political will dari pemenang Pilgub Malut sangat menentukan arah politik Malut ke depannya. Jika dalam beberapa tahun terakhir konfigurasi kepentingan di antara beberapa kekuatan elite yang ada masih begitu saja, maka bisa dikatakan peluang untuk melakukan transformasi sosial, politik dan ekonomi di Maluku Utara jelas sangat kecil. Ini disebabkan mandulnya fungsi institusi representasi masyarakat di Malut, berikut ketidakjelasan agenda masyarakat sipil dalam mendorong konsolidasi demokrasi serta ketidakberdayaan warga dalam membangun diskursus politik yang kuat, setara dan kritis.

—————————–

*Sumber gambar utama: amabeltravel.com

 

0 Shares

Tinggalkan Balasan