Wahyu Eka Setyawan
Pegiat Walhi Jatim dan FNKSDA
Rilis laporan akhir tahun 2019 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada sekitar 279 konflik agraria, dengan rincian luas areal mencapai 734 hektar dan melibatkan kurang lebih 109 Kepala Keluarga (KK) (KBR.id, 7 Januari 2020). Jika dibandingkan dengan konflik tahun sebelumnya yang berjumlah sekitar 410 konflik, dengan luasan 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 KK, sekilas memang ada penurunan jumlah. Namun, letupan konflik semakin meluas dan intensif. Secara data, jika berkaca pada catatan akhir KPA tahun 2018, dalam empat tahun terakhir ada 1.769 konflik agraria (KPA, 2018). Ditambah jumlah konflik agraria tahun 2019 ini, maka kurang lebih ada sekitar 2.048 konflik agraria.
Data ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana negara membohongi petani dengan buih-buih reforma agraria sesat yang selalu mereka janjikan. Ini juga menunjukkan bagaimana watak sesungguhnya negara neoliberal yang secara gamblang memfasilitasi perampasan tanah-tanah rakyat, baik oleh pemerintah melalui proyek strategis nasional maupun korporasi negara seperti Perhutani dan PTPN, korporasi swasta, hingga militer. Terlebih jika melihat data konflik di sektor kehutanan dan perkebunan yang juga masih tinggi, khususnya Jawa Timur, dan lebih spesifik lagi, di wilayah Malang Selatan.
Merujuk tanahkita.id, wilayah Malang Selatan memiliki kompleksitas konflik yang lebih menyasar pada perampasan tanah rakyat. Sebelumnya pada 1965, PT. Sumber Manggis mengklaim tanah rakyat Jogomulyan sebagai wilayahnya, dan mengusir rakyat yang mayoritas adalah petani. Pada periode 1975, di Harjokuncaran, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, sekitar 2.252 KK diharuskan menyerahkan tanahnya, baik pekarangan maupun lahan pertanian eks perkebunan Tlogorejo Verponding 1289 dan 1290 kepada militer, yakni Puskopad DAM V Brawijaya. Tidak hanya itu, di Desa Ringin Kembar, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, rakyat dihadapkan dengan Puskopad DAM V Brawijaya yang mengklaim tanah eks perkebunan Sumber Mas Kalipadang.
Selain itu, merujuk catatan Iga Fauziyah (2018), tiga desa di Malang Selatan: Desa Singojayan (Kecamatan Ampelgading), Desa Tlogosari (Kecamatan Tirtoyudo), dan Desa Bumirejo (Kecamatan Dampit) diklaim sepihak oleh perkebunan Kalibakar yang dikuasai PTPN XII. Konflik tersebut terjadi pada 1996, berlangsung selama 17 tahun dan kembali memuncak pada 2013 hingga periode 2016. Konflik itu berawal dari ketidakjelasan kepemilikan lahan, dan klaim sepihak perkebunan negara, dalam hal ini PTPN. Ini menunjukkan struktur kuasa negara dalam perampasan tanah rakyat yang dilegitimasi oleh aturan-aturan despotik, seperti SK-Kementrian Pertanian soal pengakuan Hak Guna Usaha (HGU). SK No. 49/UM/1953: 17-4-1958s menjadi dasar penerbitan HGU kepada PTPN XII pada 1988, dengan luasan lahan sekitar 2.050 hektar.
Pada 2019, konflik agraria wilayah Malang Selatan, khususnya perkebunan, di Desa Tegalrejo (Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang) juga menghadapi perampasan lahan oleh PTPN XII Perkebunan Pancursari. Konflik tersebut berawal dari HGU PTPN XII dengan luasan 1.300 hektar, tetapi diperluas hingga 2000 hektar, yang berakibat pada terampasnya lahan petani. Dampaknya, petani melakukan aksi-aksi sepihak dengan menyerang PTPN XII. Tindakan itupun direspons dengan penurunan Brimob ke Tegalrejo. Tindakan itu dipicu oleh rusaknya kurang lebih 60 hektar lahan tebu rakyat, dan merupakan puncak ketegangan yang selama ini terjadi. Dalam rentang Desember 2019 hingga Februari 2020, aneka intimidasi juga menghantui rakyat Tegalrejo. Lalu lalang Brimob menganggu kerja-kerja kehidupan mereka. Bahkan pada beberapa kasus, rakyat didatangi dan diusir dari lahannya. Padahal berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Kabupaten Malang, PTPN XII dinyatakan tak berhak atas HGU dengan luasan kurang lebih 2000 hektar (catatan advokasi bersama Tegalrejo, 2020).
Tabel 1. Konflik Agraria di Malang Selatan
No. | Wilayah Konflik | Aktor |
1. | Desa Jogomulyan, Kec. Tirtoyudho | PT. Sumber Manggis (Swasta) pada 1965 mengklaim lahan warga, di mana keberadaannya masih memiliki irisan dengan militer. |
2. | Desa Harjokuncaran, Sumbermanjing Wetan | Puskopad DAM V Brawijaya pada 1975, mengklaim lahan warga berbasis eks Perkebunan Tlogorejo Verponding 1289 dan 1290. Ada sekitar 2.252 KK yang terimbas dari klaim sepihak ini. |
3. | Desa Ringin Kembar, Kec. Sumbermanjing Wetan | Puskopad DAM V Brawijaya pada 1975 mengklaim lahan dengan dasar berhak atas eks perkebunan Sumber Mas Kalipadang. |
4. | Desa Singojayan, Kec. Ampelgading |
Pada 1996, lahan seluas 2.050 hektar diklaim sepihak oleh Perkebunan Kalibakar yang dikuasai oleh PTPN XII. |
5. | Desa Tlogosari, Kepatihan, Tirtoyudo, Kec. Tirtoyudo | |
6. | Desa Bumirejo, Kec.Dampit | |
7. | Desa Tegalrejo, Sumbermanjing Wetan | Pada 2019, lahan seluas 2000 hektar diklaim sepihak oleh Perkebunan Pancursari PTPN XII. |
*Dirangkum dari berbagai sumber
Melihat Peran Negara dalam Perampasan Tanah di Malang Selatan
Saat melihat dominasi kuasa atas tanah, kita akan tahu secara faktual ada dua aktor yang terlibat: negara dan non-negara. Harvey (2005) menegaskan, pada konteks perampasan inilah, negara berperan menjadi aktor yang memfasilitasi pelepasan aset-aset secara murah.Sehingga menjadi daya tarik bagi kapitalis untuk menyerap surplus kapital secara terus-menerus. Dengan adanya pelepasan aset-aset secara murah, biaya kerugian kegiatan eksploitasi untuk memperbanyak keuntungan ditanggung oleh wilayah yang dikuasai, termasuk di dalamnya penduduk yang paling lemah dan rapuh. Kondisi ini korelatif dengan bagaimana perampasan lahan rakyat, seperti kawasan hutan oleh korporasi dan militer, secara tidak langsung hadir melalui peran negara yang cukup dominan dalam memperlancar upaya akumulasi kapital lewat perampasan ruang. Ini dilakukan melalui klaim-klaim teritorial berbasis tata ruang, kebijakan pemerintah, dan aksi-aksi kekerasan.
Afandi (2012), yang studinya berfokus pada konflik perkebunan di Deli Serdang, khususnya PTPN II, melihat bahwa salah satu yang paling dominan ialah relasi kuasa negara dalam merampas lahan rakyat. Mereka melakukan perampasan berbasis legalitas, di mana basisnya adalah lahan eks perkebunan Belanda, yang bahkan juga diklaim secara sepihak oleh militer. Tentu preseden ini memiliki rangkaian historis yang cukup panjang, di mana pasca peristiwa 65, banyak aset dan akses rakyat tercerabut.
Sebagaimana yang juga terjadi di Malang Selatan, banyak petani yang terusir dari lahan garapannya, sebab dituduh bagian dari gerakan komunis, khususnya di wilayah Sumber Manjing Wetan, Dampit, Tirtoyudo dan Donomulyo. Lahan-lahan yang ditempati petani selepas tahun 65 kemudian diambil alih negara, dalam hal ini militer. Ini terekam lewat beberapa konflik yang terjadi di wilayah tersebut, yang polanya melibatkan militer dan perkebunan milik negara, atau militer dengan perkebunan swasta.
Seperti yang terjadi di Tegalrejo, di mana wilayah tersebut tidak hanya dikuasai oleh PTPN XII, tetapi juga militer. Relasi ini menunjukkan bahwa akar perampasan tanah di Malang Selatan didasarkan pada faktor historis, saat di mana rezim otoriter Orde Baru berkuasa, lalu secara brutal merampas tanah-tanah petani dan dilegitimasi melalui regulasi. Sehingga perampasan tersebut dilegalkan oleh negara sebagai bentuk dominasi kuasa untuk membuka ruang-ruang produksi kapital, dalam hal ini adalah perusahaan perkebunan.
Di sini kita melihat peran negara dalam konteks perampasan ruang. Akses monopoli kekerasan dan penggunaan definisi legalitas memainkan peran penting dalam mendukung dan mempromosikan proses-proses ini. Proses perampasan ini pada dasarnya sangat bergantung pada logika kekuasaan negara. Negara, dalam konteks ini, benar-benar menjaga logika kekuasaan teritorial dan kapitalistiknya, dua hal yang selalu terjalin meskipun belum tentu sesuai (Harvey, 2005). Kondisi itulah yang terjadi di Tegalrejo. Mereka kehilangan tanahnya melalui perluasan HGU PTPN XII Perkebuan Pancursari.
Pencaplokan yang dilakukan PTPN XII Pancursari tidak sah, sebab keluar dari luasan konsesi HGU yang dimilikinya. Namun, mereka tetap ngotot mengklaim tanah-tanah petani di Tegalrejo sebagai wilayah produksinya. Tak cukup memanipulasi luasan HGU, pihak PTPN XII Pancursari juga menggunakan aparatus keamanan negara, dalam hal ini Brimob, sebagai pihak keamanan. Aparat Brimob sering melakukan intimidasi pada petani kala mereka menggarap lahannya, bahkan hingga mengusir.[1] Situasi serupa juga terjadi pada petani di wilayah PTPN XII Perkebunan Kalibakar, di mana mereka harus berhadapan dengan aparatus keamanan negara dalam upaya merebut dan mempertahankan tanah yang mereka miliki.
Hampir seluruh ruang konflik agraria di Malang Selatan selalu beririsan dengan perampasan tanah oleh perkebunan, baik negara maupun swasta. Selain itu, ada juga aktor lain seperti Perhutani dan militer. Ini dapat dilihat dari peta sebaran konflik di Malang Selatan yang menghinggapi empat kecamatan. Di antaranya ada sekitar enam desa yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan. Mereka berjuang melawan dominasi kuasa negara, di mana tanah-tanah yang menjadi sumber kehidupan para petani dirampas oleh aktor-aktor negara. Perampasan tersebut dilakukan untuk menciptakan ruang akumulasi kapital, dengan mengubah tanah-tanah petani menjadi perkebunan yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Inilah yang kita lihat pada konflik antara rakyat dengan Perhutani, PTPN, dan militer. Semua memiliki keterkaitan satu sama lain dan dengan menggunakan kekerasan, baik fisik maupun kebijakan pemerintah. Perampasan ruang di Malang Selatan ini memperlihatkan pada kita bagaimana peran negara yang hadir, bukan untuk melindungi hak rakyatnya melainkan menjadi aktor yang turut menyuburkan perampasan itu. Kondisi inilah yang tengah dihadapi petani di Malang Selatan, baik di Desa Singojayan (Kecamatan Ampelgading), Desa Tlogosari (Kepatihan, Tirtoyudo, Kecamatan Tirtoyudo), Desa Bumirejo (Kecamatan Dampit) dan Desa Tegalrejo (Kecamatan Sumbermanjing Wetan).
Memunculkan Ulang Ide Landreform by Leverage
Praktik-praktik perlawanan petani yang menuntut haknya selalu menemui jalan buntu, kala perlawanan mereka dimoderasi oleh kebijakan-kebijakan agraria yang dalam praktiknya tidak pernah mengubah nasib dari kaum tani. Ini tercermin dari perlawanan petani di Perkebunan Kalibakar, Malang Selatan, selepas melakukan aksi sepihak dengan melakukan reklaiming pada 1997. Hingga kini, mereka tidak tidak kunjung mendapatkan kepastian aset dan akses oleh negara. Bahkan hingga aksi dilakukan berkali-kali dengan mengerahkan ribuan petani, mulai dari DPRD hingga Presiden, sampai detik ini tanah mereka tidak pernah diakui.
Apa yang dialami petani di Kalibakar menjadi contoh serius bagi gerakan tani hari ini, di mana perampasan tanah yang dilakukan negara tidak bisa diselesaikan dengan jalur-jalur kompromi. Seperti menggantungkan perjuangan memperoleh hak atas tanah dan distribusi tanah dengan hanya menunggu negara berbaik hati. Sebab dalam praktiknya, negara justru malah menjadi aktor perampasan tanah. Tidak mungkin juga mengharapkan kebaikan hati untuk mengembalikan apa yang telah dirampas itu.
Sebaliknya, ia justru akan semakin memperkuat dominasinya, sebagai syarat mutlak untuk mempertahankan ruang akumulasi kapital. Kondisi ini tercermin dari kebijakan Reforma Agraria melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS), di mana kebijakan tersebut hanya proyek manipulatif untuk memberi rakyat buih-buih harapan. Tetapi sebaliknya, program tersebut merupakan bagian dari dominasi kuasa atas ruang. Jika hanya menunggu Reforma Agraria dari rezim yang berkuasa, sampai kapanpun hak atas tanah dan kehidupan yang layak tidak akan pernah terpenuhi. Gerakan tani hari ini perlu melihat ulang konsep reforma agraria dari bawah (Land Reform by Leverage).
Powelson dan Stock (dalam Rekha, 1992) mengatakan bawah reforma agraria dari bawah (LRL), merupakan suatu konsep reforma agraria dengan melakukan reklaiming lahan tanpa menunggu kebaikan negara dan dilakukan melalui suatu organisasi yang kuat. Pasca dikuasai, organisasi itu membentuk dan mengelola lahan. Kondisi tersebut menguatkan posisi tawar organisasi tani dengan penguasa atau pemerintah, sehingga posisinya menjadi setara. Secara lebih luas, kondisi tersebut merupakan bentuk strategi tawar-menawar dengan penguasa atau pemerintah, agar kuasa atas lahan yang dikuasai organisasi tani diakui dan pemerintah tunduk kepada kehendak rakyat.
Tentu, untuk melakukan LRL dibutuhkan waktu yang panjang. Minimal harus ada wadah organisasi tani berbasis petani kecil dan buruh tani yang solid. Proses panjang tersebut dilakukan melalui pendidikan rakyat yang berkala, sehingga terbentuk satu organisasi yang kuat dan tidak mudah dihancurkan, khususnya oleh rayuan para borjuasi. Sebab, sudah berkali-kali rakyat dijanjikan reforma agraria oleh pemerintah, namun realitanya jauh panggang dari api. Konflik semakin mengerucut, dan negara justru turut menjadi aktor perampasan.
Program-program reforma agraria semu, seperti TORA dan PS, pada dasarnya hanya untuk meredam gerakan agraria semata, bukan untuk memberikan kedaulatan rakyat atas tanah. Sebab faktanya, dominasi aktor perampasan ruang seperti Perhutani, PTPN dan lainnya, justru semakin leluasa. Ini tergambar dari munculnya kebijakan agraria di Jawa yang condong ke PS. Dalih negara adalah tutupan hutan kurang dari 30%, tetapi lupa bahwa mereka turut menjadi aktor rusaknya hutan itu, di mana perusahaan milik negara-lah yang banyak menjadi aktor penghancuran hutan. Belum lagi konsesi pertambangan, serta pembentukan kawasan industri yang merampas banyak lahan produktif dan merusak hutan. Sementara itu, kebijakan TORA sendiri tidak berlaku bagi para pemegang HGU besar, dan rakyat hanya bisa berharap; berharap sampai kiamat.
Maka dari itu, reforma agraria dari bawah (LRL) menjadi tawaran yang cukup serius untuk dijalankan kembali, khususnya untuk melawan kuasa negara. Konsep LRL sendiri pernah dipraktikkan Serikat Petani Pasundan (SPP). Mereka mengorganisir sekitar 30.000 basis yang mayoritasnya tidak bertanah dan miskin, untuk mendesak tuntutan kebutuhan mereka akan tanah yang tak kunjung dijamin negara. Melalui basis-basisnya, SPP melakukan reclaiming tanah di Jawa Barat yang dikuasai tuan tanah negara dalam wujud Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani) kurang lebih 15.000 hektar (Borras, dkk, 2008). SPP mencoba membuat gerakan agraria baru, di mana mereka menduduki lahan yang dikuasai tuan tanah negara serta melakukan aksi-aksi kolektif untuk merawat dan mempertahankan tanah tersebut. Situasi ini menggambarkan bahwa reforma agraria dari bawah merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan saat negara tidak mampu memberikan aset dan akses.
Merujuk Mustain (2007), gerakan reforma agraria dari bawah (LRL) juga pernah dilakukan oleh petani yang tinggal di sekitar PTPN XII Perkebunan Kalibakar. Pada periode 1997, kaum tani melakukan aksi-aksi sepihak dengan melawan PTPN XII. Mereka melakukan reclaiming atas perkebunan Kalibakar yang melahap lahan pertaniannya. Tindakan itu dilakukan kala negara tidak mampu menjamin penghidupan mereka, dan pada saat bersamaan, ketimpangan ekstrem dalam penguasaan atas lahan begitu tajam. Sehingga para petani yang rata-rata tak memiliki tanah dan miskin, mengambil alih Perkebunan Kalibakar untuk diduduki dan dikelola. Hingga kini, mereka masih bertahan dari wilayah reclaimingnya. Mereka berjuang melawan dan mempertahankan lahan yang mereka kuasai dari perampasan ulang Perkebunan Kalibakar yang disokong oleh aparatus keamanan negara.
Meski pernah dilakukan SPP maupun Petani Kalibakar, dan tergolong sukses, tetapi posisi tawar rakyat secara umum tidak pernah setara dan dianggap oleh negara. Sebab watak LRL yang dilakukan adalah dengan melakukan reclaiming lahan, lalu berharap pada kebaikan negara. Melakukan penguasaan, lalu melaporkan pada negara dan menunggu kebaikannya. Padahal yang menguasai tanah-tanah rakyat adalah aktor negara dan aktor yang diberikan kewenangan oleh negara. Kondisi itu tak jauh dari peran serta elite-elite tani yang membawa gerakan tani pada sikap yang terlalu menurut, pasrah dan pada akhirnya meredup. Organisasi tani yang sedianya merupakan alat untuk mendapatkan hak, diubah menjadi alat untuk mendukung kekuasaan borjuasi. Ini menjadikan konsep LRL yang progresif, kemudian tereduksi, dan pada akhirnya terjebak kembali pada Landreform by Grace yang menunggu kemurahan hati negara, di mana negara melalui elite borjuasinya menentukan reforma agraria yang sesuai kehendak mereka, bukan kehendak rakyat mayoritas.
Saat ini, penting untuk memunculkan kembali ide reforma agraria dari bawah sebagai salah satu konsep untuk menghentikan dominasi kuasa tanah oleh negara. Karena secara dasar, melalui gerakan inilah sebenarnya landreform dapat dijalankan sepenuhnya. Lewat LRL, petani mendapatkan kuasa atas tanah yang nantinya didistribusikan secara adil kepada petani lainnya. Karena reforma agraria dari bawah secara konsep lebih dekat dengan situasi dan kondisi materiel rakyat, di mana mereka yang mengetahui seperti apa distribusi tanah yang adil.
Tetapi perlu diingat, ide ini tidak mudah untuk dijalankan. Karena jika belajar dari yang sebelumnya, meski LRL dijalankan toh ujung-ujungnya terjebak pada reforma agraria atas kebaikan hati negara. Kondisi ini merupakan akibat dari penyakit elitisime dan oportunisme dalam gerakan agraria, sehingga revisionisme reforma agraria masih erat kita jumpai. Oleh karena itu, reforma agraria dari bawah (LRL) adalah salah satu jalan untuk mewujudkan reforma agraria sejati yang berasal dari kehendak rakyat. Tentu, semua itu perlu perjuangan panjang dalam wujud pendidikan tani yang revolusioner, di mana petani tak bertanah dan petani miskin menjadi ujung tombak dari reforma agraria tersebut.
Catatan Kaki
[1] Tercatat Tindakan sepihak tersebut didasari klaim PTPN XII yang menyatakan tanah yang saat ini digarap oleh para petani berada di atas HGU mereka. Hal ini bertolak belakang dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen yang memenangkan gugatan perdata rakyat Desa Tegalrejo atas PTPN XII dengan nomor perkara 93/pdt.G/2019/PN Kpn. Adapun putusan tersebut menyatakan; 1) bahwa sertfikat HGU No. 2 Tahun 2010 di Desa Tegalrejo atas nama PTPN XII Pancursari Malang dinyatakan tidak sah; 2) bahwa SK Mendagri No. 35/HGU/DA/88 tanggal 19 April 1988 telah batal berdasarkan SK Menteri Agraria Nomor 3 dan 4 tahun 1996 tertanggal 28 Maret 1996, di mana oleh PTPN XII, dijadikan sebagai dasar terbitnya HGU tahun 2010 di Desa Tegalrejo; dan 3) bahwa PTPN XII Pancursari Malang yang ada di Desa Tegalrejo secara sah melakukan perbuatan melawan perbuatan melawan hukum. (Rilis KPA, November 2019) diakses dari http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/138/KPA_Mengutuk_Keras_Tindakan_Penggusuran_PTPN_XII_Terhadap_Tanah_Petani_Tegalrejo__Segera_Patuhi_Putusan_PN_Kepanjen/
Daftar Pustaka
Afandi, M. (2013). Perlawanan Ekstra Legal:“Transformasi Perlawanan Petani Menghadapi Korporasi Perkebunan”. BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, (37), 63-95.
Bandyopadhyay, R. (1992). Land Rights and Land Reform. Economic and Political Weekly Vol. 27, No. 23, pp. 1191-1193.
Borras Jr, S. M., Edelman, M., & Kay, C. (Eds.). (2009). Transnational agrarian movements confronting globalization. John Wiley & Sons.
Fauziah, I. A. R. (2018). Konflik Pertanahan Lahan Perkebunan Kalibakar Antara PTPN XII Dengan Masyarakat di Kabupaten Malang (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
Harvey, D. (2005). The new imperialism. Oxford: Oxford University Press.
Mustain. (2007). Petani vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sumber berita:
KBR.id. (Selasa, 07 Januari 2020). KPA: Korban Konflik Lahan Meningkat Sepanjang 2019. https://kbr.id/nasional/01-2020/kpa__korban_konflik_lahan_meningkat_sepanjang_2019/101852.html (diakses pada 29 Maret 2020)
KPA.or.id. (11 November 2019). KPA Mengutuk Keras Tindakan Penggusuran PTPN XII Terhadap Tanah Petani Tegalrejo, Segera Patuhi Putusan PN Kepanjen. http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/138/KPA_Mengutuk_Keras_Tindakan_Penggusuran_PTPN_XII_Terhadap_Tanah_Petani_Tegalrejo__Segera_Patuhi_Putusan_PN_Kepanjen/ (diakses pada 29 Maret 2020)
Kumparan.com. (25 Februari 2019). Di Malang, 2050 HA Lahan Masih Bersengketa, Libatkan 13 Ribu Petani. https://kumparan.com/tugumalang/di-malang-2050-ha-lahan-masih-bersengketa-libatkan-13-ribu-petani-1551082703084774556 (diakses pada 28 Maret 2020)
Sumber gambar: pri.org