Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi
Moi, Wainambe, Nayaklak
Waa…waa…waa…waa…waa…waa..waa..waa..waa..waaa!
Hak atas dasar perjuangan Rakyat Papua Barat dan penentuan nasib sendiri adalah bagian dari kemenangan rakyat Papua Barat. Sejak 1 Desember 1961, Papua Barat adalah kebangsaan secara konstitusional yang dimenangkan oleh rakyat Papua Barat sendiri. Namun, ketika tepat pada 19 Desember 1961, lahirlah Tri Komando Rakyat [TRIKORA] dengan tuntutan untuk mengklaim hak kemenangan kebangsaan Papua Barat dan lahirnya perjanjian-perjanjian yang di atur sepihak mengenai status Papua Barat. Perjanjian tersebut dilakukan oleh Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia serta PBB tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat sendiri.
Salah satu perjanjiannya adalah penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat. Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua Barat sebagai kebangsaan.
Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek hukum Internasional, yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.
Setelah transfer administrasi atau aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua Barat, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua selama 6-7 tahun.
Namun ternyata, Indonesia tidak menjalankan kesepakatan sesuai dalam Perjanjian New York. Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat.
Dengan itu, sebelum proses penentuan nasib dilakukan pada tahun 1969 PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), tepat 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani Kontrak Karya Pertamanya dengan pemerintah Indonesia secara ilegal.
Klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh kolonial Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum PEPERA. Sehingga dari 809.337 rakyat Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya 1026 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Secara sistematis, Kolonial Indonesia melakukan dua musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional, yang mana harus “Satu orang satu suara” (One Man One Vote), yang telah diatur juga dalam New York Agreement secara hukum Internasional. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat selama PEPERA berlangsung adalah bentuk tidak demokratisnya Indonesia. Sehingga, hasil manipulasi kolonial Indonesia atas Papua Barat sudah diatur dalam Resolusi SU PBB No. 2504 (XXIV) pada November 1969, dengan alasan kolonial Indonesia telah merebut dan merekayasa hasil PEPERA yang tidak demokratis dalam resolusi yang ilegal.
Keadaan dari manipulasi sejarah gerakan Rakyat Papua Barat oleh Kolonial Indonesia, masih terus berlangsung dengan teror, intimidasi, penahanan, diskriminasi, penembakan, bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua Barat terus terjadi hingga dewasa ini. Hak Asasi Rakyat Papua Barat tidak ada bernilai bagi Indonesia, kecuali penentuan nasib sendiri di tangan Rakyat Papua Barat.
Maka, dalam rangka peringatan 56 Tahun Perjanjian New York (New York Agreement) yang Ilegal,
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Malang menyatakan sikap kami kepada Rezim Jokowi-Jusuf Kalla, Belanda, Amerika Serikat dan PBB untuk segera:
1. Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua.
2. Mengakui bahwa New York Agreement 15 Agustus 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua Barat.
3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.
4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan yang lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.
5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.
6. Dijaminnya Kebebasan Jurnalis Nasional, Internasional dan akses terhadap informasi di Papua Barat.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerjasama oleh semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Malang, 15 Agustus 2018
Juru Bicara
Yohanes Giyai