Non Papua, Penjajahan dan Papua Merdeka

Oleh:
Jhon Gobai

“Kami tidak membenci rakyat Indonesia, jadi [mereka] harus mengambil sikap karena kemerdekaan Papua itu menguntungkan mereka juga. Papua tidak akan pernah usir yang sudah hidup di tanah ini,” ungkap Edison Waromi. Ketua I Komite Legislatif ULMWP itu justru berharap rakyat Indonesia di Papua membentuk front sendiri untuk mendukung kemerdekaan Papua (Jubi, 9/9/2019).

Hal itu diungkapkan dalam peluncuran laporan pelanggaran HAM selama bulan Agustus hingga September 2019 oleh Komite Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Edison Waromi dan Markus Haluk di Jayapura, 09 September 2019 lalu.

Sementara pengertian siapa saja orang Papua, orang Papua yang ingin merdeka menjadi wacana diskursus gerakan pembebasan nasional West Papua sejak akhir 2015. Diskursus itu datang dari pandangan perlawanan terhadap penindasan dan pembebasan bangsa tertindas.

Jargon “tak semua orang kulit putih adalah musuh kami, juga tak semua kulit hitam adalah kawan” merupakan semangat merajut kekuatan berdasarkan rasa senasib, rasa ketertindasan, dan bersama berjuang untuk menentukan nasibnya sendiri.

Kolonialisasi West Papua merupakan dalang dari Imperialisme. Rezim Indonesia menjadi alat untuk menjajah rakyat di negeri ini, termasuk aneksasi West Papua ke dalam NKRI.

Sehingga, aneksasi West Papua itu sejalan dengan program transmigrasi rakyat Indonesia ke West Papua. Setelah UU Penanaman Modal Asing ditandatangani Soeharto dan disusul Kontrak Karya Freeport Indonesia di West Papua pada 1967.

Rencana pembangunan pulau Jawa menjadi pusat kota industri dan perkotaan, sementara wilayah luar pulau Jawa, terutama ke arah timur Indonesia menjadi wilayah eksploitasi kekayaan alam untuk kemajuan industri tersebut. Itu juga yang dibicarakan dalam pertemuan G20 di Bali kemarin.

Sehingga transmigrasi non Papua di Papua itu orientasinya mengusir penduduk pribumi dengan dibungkus semangat “NKRI harga mati” atau “Papua Indonesia”, untuk kemudian lahan-lahannya dikuasai oleh pemodal. Program transmigrasi itu tentu program penjajahan terhadap suku-suku yang mendiami setiap pulau di nusantara ini. Pendeknya, merelokasi rakyat Indonesia ke Papua.

***

Pendudukan non Papua di Papua terjadi bersamaan dengan berlangsungnya operasi-operasi militeristik. Sehingga kesan Indonesia Papua, selain ABRI, juga non Papua dan orang Papua adalah berkulit hitam dan orang berketurunan gen asal Papua. Itu sangat kental dalam kehidupan orang Papua pasca pendudukan Indonesia.

Sekat Papua dan Indonesia itu tumbuh subur dengan berbagai stigma yang dialamatkan kepada orang Papua; aibon, separatis, pemecah-belah NKRI, dan lain-lain. Stigmatisasi semacam itu dilabeli kepada orang Papua, yang mencoloknya berdasarkan ras. Kemudian, desain kebencian pendatang dan orang Papua yang sangat masif propagandanya diorganisir oleh rezim. Itu terlihat dengan tindakan pembelaan terhadap non Papua oleh TNI dan Polri di Papua. Seakan perjuangan rakyat Papua melawan penjajahan mencederai atau merugikan warga non Papua di Papua. Sebenarnya tidak. Rakyat Papua hanya melawan sistem yang menjajah.

Pembentukan organisasi pro NKRI atas nama “Bela Negara” didorong oleh Wiranto. Lalu muncullah kelompok “Bela Nusantara” yang wataknya tak jauh berbeda dengan fasis militer Orde Baru –dua tahun periode Jokowi – dan juga kelompok Barisan Merah Putih peninggalan Badan Musyawarah Pepera (1969) bentukan ABRI. Juga kelompok LMR-RI yang dilatih TNI untuk tentara relawan di tanah West Papua. Atau kelompok nasi bungkus yang mengaku diri tokoh Papua, Dewan Adat, Kepala Suku Papua dan melakukan dialog, pendekatan moralis atas nama NKRI Harga Mati, Papua Damai, dan sebagainya.

Mereka adalah kelompok yang mewakili kepentingan pribadi. Siapapun yang bersikap politik sebagai bagian dari NKRI Harga Mati, lalu mencoba masuk dalam politik tempe yang dibangun oleh NKRI untuk mempertahankan West Papua dalam NKRI, tentu mereka bukan orang Papua yang berjuang untuk merdeka. Apalagi segelintir orang nasi bungkus itu mengklaim mewakili suara rakyat West Papua, kemudian mengumbar narasi Papua damai, kondusif, dan sebagainya. Tentunya itu propaganda yang menguatkan produk rasis dan penjajahan. Rakyat West Papua dengan keras melawan hal itu.

***

Rasisme dan penjajahan tak akan pernah dihapuskan sepanjang warga non Papua di Papua merasa sebagai bagian yang terpisah dari rakyat tertindas West Papua.

Anda bagian dari rakyat West Papua. Turut merasakan penindasan dan berjuang bersama untuk bebas dari penjajahan Republik Indonesia. Itu merupakan amanah dari sejarah perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan.

Keberanian anda akan membawa kemajuan bagi perjuangan melawan rasisme dan penjajahan. Sebab pengertian siapa rakyat Papua yang ingin merdeka adalah mereka yang turut merasakan penindasan dan berjuang bersama untuk membebaskan diri dari penindasan. Tidak semata merdeka, melainkan jauh lebih bermartabat sebagai bangsa manusia yang beradab.


Jhon Gobai, Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)


 

*Tulisan ini sebelumnya diterbitkan suarapapua.com. Diterbitkan ulang di sini atas izin redaksi suarapapua.com untuk tujuan pendidikan.

Gambar: grid.id

Tinggalkan Balasan