Oligarki Pilpres, Golput, dan Politik Alternatif

Oleh:
Muhammad Nur Fitriansyah*

 

Sejak 1999, Indonesia telah memulai proses elektoralnya secara lebih terbuka. Pemilihan Umum April mendatang merupakan kali kelima dalam sejarah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini merupakan kabar baik bagi gairah berdemokrasi negeri ini. Hanya saja, meskipun putaran demi putaran pemilihan tersebut telah berlangsung cukup lama, ia bukan tidak menyisakan cacat. Sebaliknya, ia justru meninggalkan banyak celah yang sayangnya kerapkali disusupi kepentingan segelintir kelompok tertentu untuk memperkaya diri dan golongannya.

Beberapa waktu lalu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merilis informasi tentang pebisnis tambang yang berdiri dalam lingkaran masing-masing Capres-Cawapres. Baik pasangan Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi, keduanya dilingkari pebisnis-pebisnis tambang besar di Indonesia.

Ada banyak nama yang muncul. Di pihak Jokowi-Ma’ruf, ada orang seperti Luhut Binsar Panjaitan, Fachrur Razi, Suaidi Marasabessy, Surya Paloh, Wahyu Sakti Trenggono, Oesman Sapta Oedang, Harry Tanosoedibjo, Jusuf Kalla, dan beberapa lainnya. Sedangkan di lingkaran pasangan Prabowo-Sandi, keduanya juga adalah aktor yang masing-masingnya memiliki tambang. Selain Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Sudirman Said, Hashim Djojohadikusumo, dan Zulkifli Hasan. Aktor-aktor ini merupakan organ kunci penyedia dana kampanye bagi kedua Pasangan Calon melalui praktek-praktek ijon politik.

 

Sumber: jatam.org

 

Belakangan, film Sexy Killers menguak fenomena tersebut, khususnya di sektor tambang batu bara. Sebenarnya, dalam khazanah politik, fenomena semacam itu sudah lama terekam. Oleh Jeffrey Winters (2011), aktor-aktor yang memiliki kepentingan demikian disebut dengan Oligark. Sederhananya, mereka yang memiliki sumber daya kekuasaan tertentu, khususnya ekonomi. Dengan sumber daya ini, mereka (oligark) dapat dengan mudah meraih kursi dan duduk dalam jajaran struktur kekuasaan sebuah negara.

Bilapun tidak duduk secara langsung, oligark-oligark ini dapat mempengaruhi atau bahkan mengendalikan negara dan aparaturnya sebagai pemilik otoritas tertinggi suatu teritori, dari belakang layar. Upaya pemanfaatan, persekongkolan bahkan pengendalian atas negara ini, dapat dilihat sebagai cara untuk mempertahankan, melindungi, sekaligus mengakumulasi secara lebih masif untuk jumlah kekayaan yang lebih banyak.

 

Sumber: tempo.co

 

Sebagai langkah memperlancar akumulasi kekayaan, oligark terlebih dahulu perlu mengamankan sumber-sumber penting semisal izin usaha, konsesi, akses atas bahan baku dan sumber daya-sumber daya lainnya. Akses terhadap hal ini tentunya di pegang kendali oleh negara. Artinya untuk mendapatkan hal tersebut, aktor-aktor yang menguasai negara mesti di dekati dengan berbagai jalan, baik secara formal-prosedural maupun dengan kesepakatan belakang layar. Perihal yang disebutkan terakhir, dalam kenyataanya telah menjadi rahasia umum di berbagai negara, tak terkecuali negara dunia ketiga seperti Indonesia.

Seringkali negara kerap memainkan fungsi sebagai agen untuk mempermulus langkah akumulasi kekayaan oligark/pebisnis semata. Hal ini pun ditegaskan Hamza Alavi (1972) dalam analisisnya tentang peran negara Pasca-Kolonial di Pakistan dan Bangladesh. Ia menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, negara memainkan peran fungsionalnya sebagai mediator kepentingan-kepentingan kelas pebisnis. Senada dengan argumentasi di atas, Ziemann dan Landzendorfer (1977) juga menyiratkan titik tekan yang sama.

Negara, pada waktu-waktu tertentu, merupakan instrumen strategis yang dapat dimanfaatkan sebagai perantara untuk mempermulus langkah akumulasi kekayaan segelintir orang. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan, misalnya lewat Undang-Undang, konsesi yang menguntungkan pebisnis/oligark, pemberian izin usaha dan lain sebagainya. Iklim seperti ini tentunya amat diminati oligark, termasuk salah satunya tambang.

 

Sumber: mongabay.co.id

 

Dengan begitu, agenda elektoral tahun ini merupakan momentum krusial bagi oligark-oligark tersebut untuk mengamankan masa depan bisnis dan kegiatan akumulasi. Setidaknya untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Dalam upaya demikian, pilihan politik tentunya adalah hal penting. Pasangan Calon yang dianggap potensial menanglah yang akhirnya dipilih sebagai tempat berlabuh. Dari situ, pertautan ekonomi-politik antara oligark dan birokrat akhirnya dibangun.

Pertautan politik ini dalam beberapa hal merupakan cara untuk menambal biaya percaturan politik tanah air yang tidak sedikit jumlahnya. Alhasil praktek-praktek ijon politik makin marak menjelang waktu pemilihan berlangsung. Pebisnis tambang menyediakan dana untuk kampanye, sebaliknya Pasangan Calon akan melindungi keamanan bisnisnya kelak ketika telah terpilih.

Ini telah menjadi kebiasaan politik yang menggurita di tanah air. Indikasi-indikasi ini, bukan tidak mungkin, justru malah sangat potensial masif terjadi dalam pesta demokrasi tahun ini. Sebagaimana terlihat pada geliat oligark-oligark tambang yang melingkari kedua Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Iklim demokrasi seperti ini sangat fatal akibatnya bagi kepentingan rakyat luas. Dengan sendirinya kesejahteraan massa rakyat terpinggirkan, direduksi menjadi kepentingan segelintir orang belaka. Alih-alih untuk rakyat, pesta demokrasi kali ini menjadi sekedar pertarungan antar elite dan oligark untuk mengokohkan cengkeraman kuasa dan kepentingannya.

Golput adalah pilihan yang rasional, sebagai bentuk protes pada oligarki. Sebagai bentuk protes atas penindasan pada rakyat yang akan terus direproduksi pasca pemilu, siapapun yang akan menang nanti. Pemilu elektoral yang borjuis ini, memang tak mungkin memperbaiki nasib rakyat. Dalam momentum ini, harus dibangun kesadaran bahwa tak relevan lagi menyandarkan nasib pada oligark, atau pada elit yang disokong oligark.

Tak menutup kemungkinan, golput ‘menang’. Namun, jangan lupa, para oligark tetap berkuasa. Untuk itu, ikhtiar politik alternatif perlu terus digaungkan dan dikonsolidasikan. Untuk merebut kedaulatan rakyat yang dibajak oleh oligarki-kapitalis.

 

*) Penulis merupakan Relawan Intrans Institute Malang

*) Tulisan ini adalah pengembangan tulisan yang pernah terbit di laman geotimes.co.id, berjudul “Pilpres 2019: Geliat Oligarki dalam Pesta Demokrasi

 

Daftar Rujukan:

Jeffrey A. Winters (2011). Oligarki. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Vedi R. Hadiz (1999). Politik Pembebasan (Teori-Teori Negara Pasca Kolonial). Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar.

Sumber Gambar Utama: jatam.org

101 Shares

One thought on “Oligarki Pilpres, Golput, dan Politik Alternatif

  1. Jika kita lihat lagi, ternyata banyak masyarakat yang sudah tidak percaya lagi dengan pemimpin yang dilahirkan oleh pemilu. Namun mereka tidak memilih untuk golput, mereka lebih bersikap prakmatis dengan mencblos calon yang memberinya uang.

    Ini berarti wacana politik alternatif akan lebih sulit untuk terealisasi, karena masyarakat lebih memilih uang daripada wacana-wacana yang dikembangkan “elit”, termasuk akademisi dan aktifis…

    Menurut saya, rasanya tidak mungkin lg melawan oligark …

Tinggalkan Balasan