Quo Vadis Politik Indonesia Pasca Reformasi

In’amul Mushoffa[2]

“Demokrasi seperti dua ekor serigala dan seekor domba
yang sedang memutuskan siapa yang akan menjadi santapan berikutnya”

(Benjamin Franklin)

Pertanyaan antara revolusi dan reformasi
adalah sama dengan pertanyaan jadi atau tidak jadi
(Rosa Luxemburg)

Pertanyaan bagaimana nasib politik Indonesia pasca reformasi adalah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Sebabnya, apa yang dipakai sebagai indikator untuk menilai nasib (progresif, stagnasi, maupun dekadensi) politik Indonesia? Dalam banyak hal, indikator ini sangat tergantung pada paradigma atau ideologi apa yang dipakai.

Pada ranah ekonomi politik, tersingkirnya rezim otoriter Soeharto telah memuluskan agenda neo-liberalisme seperti liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Di level birokrasi, prestasi kebebasan politik yang dicapai melalui reformasi 98’ menjadi salah satu faktor penting untuk mereformasi birokrasi melalui penerapan konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang dipopulerkan oleh Bank Dunia (World Bank)[3].

Dalam konsep good governance, birokrasi yang ideal adalah pemerintahan yang akuntabel, bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), transparan, efektif dan efisien serta masyarakat aktif-partisipatif dalam kebijakan. Di level ekonomi, menurut konsep good governance, pemerintahan harus melancarkan masuknya modal asing melalui investasi dengan memproduksi kebijakan-kebijakan yang menjamin liberalisasi, privatisasi, dan kompetisi.

Di Indonesia, konsep tata kelola pemerintahan yang baik itu kemudian mengejahwantah dalam berbagai bentuk regulasi. Lantas, cukupkah kebebasan politik pasca reformasi dirayakan dengan memakai ukuran-ukuran neoliberal? Tentu saja tidak.

Reformasi: Dari Habibie sampai Jokowi

Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan reformasi, adalah penting untuk melihat kondisi objektif reformasi yang dimulai pada masa pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY, sampai Jokowi. Pertama, pemerintahan Habibie. Era Habbie adalah masa dimana unsur-unsur Orde Baru masih memegang kuat kendali pemerintahan negeri ini.. Kebebasan pers, kebebasan politik, kebebasan berpendapat dan berkumpul memang berhasil didapatkan. Tetapi, kebijakan-kebijakan Habibie—yang lemah secara politik karena dimunculkan oleh Orde Baru—kemudian tak menyentuh persoalan-persoalan fundamental seperti reformasi birokrasi dan kemandirian ekonomi. Gejolak politik yang sedemikian hebat memaksa pemerintahan Habibie dikudeta secara ‘demokratis’ oleh kalangan militer dengan cara menekan penyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999, dua tahun sebelum masa pemerintahannya habis pada tahun 2001.

Kedua, masa pemerintahan Gus Dur. Ini merupakan masa dimana harapan rakyat memuncak. Sebagai tokoh alternatif, selain Megawati, Gus Dur[4] dianggap merupakan presiden yang representatif untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Di era Gus Dur, banyak sekali kebijakan-kebijakan radikal yang dikeluarkan, salah satunya hendak mencapat Tap MPR tentang larangan PKI dan ajaran Marxisme-Leninisme, rencana pemutusan kontrak karya Freeport, sampai membangun kekuatan dengan negara-negara sosialis seperti Venezuela. Di sektor keuangan, Gus Dur merupakan Presiden yang berhasil menekan jumlah utang pemerintah, dari $ 148 M menjadi $ 139. Pada level birokrasi, Gus Dur melaksanakan politik radikal. Menteri-menteri yang yang tidak sesuai dengan arah dan kebijakan politiknya dipecat, termasuk SBY dan JK. Di luar birokrasi, Gus Dur juga tak segan memerintahkan aparat kepolisian untuk menangkap para oligark tanpa pengusutan kasus terlebih dahulu. Dalam banyak pendapat, politik radikal yang dijalankan Gus Dur itulah yang kemudian menyebabkan ia bertahan sebagai Presiden hanya dalam jangka waktu 21 bulan setelah di-impechment oleh MPR yang saat itu diketuai oleh Amien Rais.

Ketiga, Era Megawati. Megawati yang menggantikan Gus Dur pada tahun 2002 justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan neo-liberal. Pada masa Megawati inilah diberlakukan sistem kontrak atau outsourcing kepada buruh serta penjualan perusahaan-perusahaan negara kepada swasta (Privatisasi BUMN). Masing-masing melalui UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 19 tentang BUMN. Disinyalir kuat, pemerintahan Megawati yang kompromistis dengan modal itulah yang membuatnya kalah dalam Pemilihan Presiden secara langsung untuk pertama kalinya pada tahun 2004.

Keempat, masa SBY. SBY (mantan menteri yang dipecat di masa pemerintahan Gus Dur) menjadi Presiden setelah partai yang baru saja ia dirikan saat itu (Partai Demokrat) memenangkan Pemilu 2004. Kemenangan demokrat ini cukup mengegetkan mengingat partai ini adalah partai baru. Pemilu 2004 pun juga menyisahkan banyak masalah, termasuk kecurangan di KPU. Periode SBY-JK merupakan masa pemerintahan memang cukup stabil, walaupun tidak sepi dari kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi seperti UU No. 25 tahun 2007. Selama periode awal pemerintahannya, SBY berhasil menarik perhatian rakyat dengan berbagai program yang dilaksanakan. Gejolak politik mulai menguat pada periode pemerintahannya yang kedua, 2009-2014. Pada tahun 2012, muncul rencana penggulingan presiden yang digalang oleh kekuatan masyarakat sipil setelah berbagai peristiwa terjadi seperti kasus Korupsi Bank Century. Namun, kooptasi terhadap gerakan mahasiswa berhasil dan ancaman terhadap upaya demonstrasi besar-besaran berhasil dibungkam.

Kelima, pemerintahan Jokowi. Sebetulnya, banyak kalangan berharap agar Jokowi menjadi presiden yang dapat memutus dominasi unsur-unsur Orde Baru di pemerintahan. Namun, harapan itu sulit diwujudkan mengingat mereka masih menguasai perpolitikan Indonesia. Mayoritas partai politik dikendalikan oleh oligarki. Akibatnya, kebijakan Jokowi pun tersandera oleh para oligark yang juga ‘andil’ memenangkannya pada pemilu 2014.

Reformasi atau Revolusi?

Bagi kalangan reformis, kudeta terhadap Soeharto akan menjadi pintu pembuka bagi enam agenda reformasi, yakni:[5] amandemen UUD 1945; pencabutan Dwi Fungsi ABRI; menegakkan supremasi hukum; menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN melalui good governance; penerapan otonomi daerah; dan kebebasan politik, berpendapat, berkumpul, berekspresi dan lain sebagainya. Selain itu, mundurnya Soeharto merupakan pintu gerbang bagi kebebasan politik.

Namun, Orde Reformasi sebetulnya belum bersih dari anasir-anasir Orde Baru. Ia hanyalah—meminjam istilah Yasraf Amir Pilliang—‘aransemen baru’ dari Orde Baru. Bagi kalangan revolusionaris, kemunduran Soeharto yang ‘terlalu cepat’ dinilai merupakan hasil konsolidasi elit sebagai cara untuk mengamankan hegemoni Orde Baru agar tidak jatuh ke tangan kelompok lain. Muaranya, berbagai kejahatan korupsi dan HAM rezim Orba tidak dapat diusut tuntas karena kelompok oligarki[6] masih menguasai panggung politik negeri ini.

Indikator bahwa kelompok Soeharto berhasil mengamankan kekuasaannya dalam transisi reformasi juga tampak saat tahanan politik Orde Baru yang kemudian dibebaskan di masa Presiden Habibie tidak diberikan amnesti, melainkan grasi. Dengan pemberian grasi, aktivis-aktivis penentang soeharto yang ditangkap pada masa Orde Baru masih dianggap telah melakukan kejahatan subversif, meski diampuni ‘dosa-dosanya. Turunnya Soeharto sangat mencurigakan karena rezim ini jatuh tidak melalui people power, melainkan student power[7].

Melihat pro-kontra itu, kiranya masih cukup relevan apa yang dikatakan oleh Rosa Luxemburg, seorang pemikir Marxis, bahwa “pertanyaan revolusi atau reformasi adalah sama saja dengan pertanyaan jadi atau tidak jadi”. Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan situasi politik hari ini, maka jelas terlihat bahwa politik Indonesia belum sepenuhnya berubah dengan beberapa indikasi. Pertama, kelompok oligarki masih mendominasi dan membajak demokrasi politik meski pola atau model oligarki sudah berubah, dari “oligarki sultanian”, menjadi “oligarki kolektif” atau “oligarki liar”[8]. Kedua, “desentralisasi kekuasaan” yang diharapkan dapat mengurangi dominasi pemerintahan pusat dan memudahkan distribusi kesejahteraan di daerah kemudian menjadi “desentralisasi korupsi”. Peta korupsi kemudian menyebar dan melahirkan raja-raja kecil di daerah.[9]

Ketiga, dominasi sistem kapitalisme-neoliberal belum berubah, sehingga menguatkan kelompok kapitalis—baik lokal maupun global—untuk terus menghegemoni untuk mendorong birokrasi, baik pusat maupun daerah, agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memperhatikan prinsip cost and benefit’ an sich seperti: modernisasi ekonomi melalui industrialisasi, percepatan infrastruktur, pembukaan lapangan kerja dan lain sebagainya.

Keempat, cita-cita luhur kemerdekaan belum sepenunya dicapai karena kedaulatan rakyat tidak diletakkan dalam posisi yang sebenarnya. Berbagai regulasi yang dibuat tidak didasarkan atas konsep kesejahteraan sesuai aspirasi rakyat, melainkan kesejahteraan perspektif kapitalisme global. Akibatnya, sumber daya alam dan cabang-cabang produksi strategis yang seharusnya diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat masih dikuasasi oleh perusahaan asing.

What’s to be Done?

Atas dasar itu, maka berbagai upaya harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan. Dengan demikian, pola pergerakan yang harus dilakukan di era rezim demokratis (bukan otoriter) adalah “perang posisi”—meminjam istilah Antonia Gramsci.

Perang posisi ini bisa dilakukan melalui berbagai cara: Pertama, melakukan “ijtihad ideologis” terhadap cita-cita kemerdekaan yang telah diinisiasi oleh para pendiri bangsa seperti cita-cita trisaksi (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan). Jika ijtihad ideologis ini dijalankan secara konsekuen, akan terlihat bahwa sistem politik kita sebetulnya di atas fondasi sosialisme Indonesia—sebagaimana telah diletakkan fondasinya oleh para founding fathers[10].

Kedua, “penguatan gerakan masyarakat sipil” harus terus dilakukan untuk menaikkan posisi tawar rakyat di hadapan kekuasaan, tentu dengan pembekalan kapasitas politik dan ekonomi yang memadai. Upaya ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti “pendidikan politik” dan “pengorganisasian”. Kekuatan rakyat ini salah satunya dipergunakan untuk menetralisir pemerintahan dari oligarki politik dan unsur-unsur Orde Baru.

Ketiga, praktik demokrasi prosedural-liberal—yang saat ini sedang berjalan dan didominasi oligarki—harus diperdalam ke arah demokrasi substantif-sosialis. Tanpa upaya “pendalaman demokrasi” (depeening democracy) ini, perjuangan demokratis di berbagai sektor dan level akan menemui jalan buntu karena arah perubahan yang tidak jelas. Keempat, gerakan mahasiswa (student power) harus mengambil peran untuk memprogandakan kontradiksi objektif sistem demokrasi liberal yang dikuasai para oligark dan sistem ekonomi neoliberalisme yang diprogandakan oleh kekuatan kapitalisme global. Hal ini harus dilakukan demi mewujudkan kontradiksi subjektif dalam alam pikiran rakyat. Untuk mengambil peran ini, gerakan mahasiswa harus menjadi bagian dari gerakan transformatif[11], bukan reformis.

Langkah-langkah tersebut tentu akan melewati proses perjalanan yang sangat panjang dan memerlukan banyak energi dan sumber daya. Namun, proses yang panjang dan beratnya perjuangan akan memiliki konsekuensi terhadap perubahan yang dihasilkan. Penulis yakin, jika setiap upaya perubahan memiliki road map yang jelas dalam jangka panjang, ruang-ruang konsolidasi intelektual dan gerakan seperti Madzhab Djaeng ini bisa menjadi bagian dari alat perubahan yang efektif untuk mewujudkan Indonesia yang adil-makmur yang diridhai oleh Allah Swt. Amin.

Daftar Bacaan

Amien Rais dkk., Reformasi dalam Stagnasi (Jakarta: Yayasan Al-Mukmin, 2001)

Andre Gortz, Sosialisme dan Revolusi (Yogjakarta; Resist Book, 2005)

Budiman Sudjatmiko, Anak-Anak Revolusi Jilid I & II (Jakarta: Gramedia, 2014)

In’amul Mushoffa dkk., Memperdalam Demokrasi: Dari Prosedural ke Substantif Menuju Representasi Politik yang Berkualitas (Malang: Intrans Publishing, dalam proses cetak)

Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia Cet. III (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004)

Jurnal Prisma, Demokrasi di Bawah Cengkraman Oligarki (Vol 33 2014)

Jurnal Transisi, Otonomi Desa dan Kesejahteraan Rakyat (Edisi IX 2014)

Lampiran 1

good governance

Lampiran 2

KONFORMISME REFORMASI TRANSFORMASI
SEBAB-SEBAB MASALAH – keadaan rakyat setempat

– takdir Tuhan

– nasib buruk

– lemahnya pendidikan

– penduduk yang berlebihan

– nilai-nilai tradisional

Korupsi

– Eksploitasi

– struktur yang timpang

– hegemoni kapitalis

SASARAN – mengurangi penderitaan

– mendoakan

– Mengharapkan

– Meningkatkan produksi

membuat struktur yang ada bekerja

mengubah nilai-nilai rakyat

– menentang eksploitasi

– membangun struktur perekonomian/ politik baru

– kontra –diskursus

PROGRAM – perawatan anak

– bantuan kelaparan

– klinik

– rumah panti

– pelatihan teknis

– bisnis kecil

pengembangan masyarakat

bantuan hokum

– pelayanan suplementer

– penyadaran

pembangunan ekonomi alternative

– serikat buruh

Koperasi

TIPE PERUBAHAN DAN ASUMSI FUNGSIONAL/KESEIMBANGAN – KRITIK STRUKTURAL
TIPE KEPEMIMPINAN – percaya pada pemerintah

– Konsultatif

partisipatif

– memiliki tanggung jawab bersama

– fasilitator partisipatif

– disiplin yang kuat

TIPE PELAYANAN – memberi derma kepada yang miskin

– Kesejahteraan

membantu rakyat untuk menolong dirinya sendiri

– revolusi hijau

pembangunan komunitas

pendidikan non-formal

– pendidikan kejuruan

– land reform

– riset partisipatif

– popular education

INSPIRASI – konformasi – reformasi – emansipasi

– transformasi

 

[1] Naskah awalnya ditulis sebagai bahan diskusi di forum Madzhab Djaeng, Quo Vadis Politik Indoensia Pasca Distorsi Reformasi. Rabu, 2 Desember 2015. Dimuat disini untuk tujuan pendidikan.

[2] Anggota Divisi Penguatan Masyarakat Sipil Intrans Institute.

[3] Lihat Lampiran 1: Skema Good Governance.

[4] Pemilu 1999 memang dimenangkan oleh PDI-P, namun Gus Dur terpilih menjadi presiden melalui pemilihan di MPR, setelah secara politik Amien Rais berhasil menciptakan kekuatan porose tengah yang terdiri dari parpol-parpol Islam.

[5] Disarikan dari M Amien Rais, Menyelematkan Perjalanan Reformasi dalam M. Amien Rais dkk. Reformasi dalam Stagnasi (Jakarta: Yayasan Al-Mukmin, 2001), 1-2.

[6] Oligarki pada intinya adalah praktik kekuasaan yang dijalankan untuk mempertahankan dan melipatgandakan kekayaan. Di banyak negara yang sedang berusaha melepaskan diri dari rezim otoriter, para oligark selalu mempersiapkan diri dalam transisi demokrasi.

[7] Mengenai ini, lihat: Budiman Sudjatmiko, Anak-Anak Revolusi Jilid II (Jakarta: Gramedia, 2014)

[8] Oligarki sultanian adalah praktik pemerintahan yang didominasi oleh kekuatan modal dan kekuasaan yang bertumpu pada satu penguasa. Demokrasi yang berjalan diarahkan sedemikian rupa untuk memuluskan kepentingan pemodal, namun harus mendapat restu terlebih dahulu dari penguasa rezim. Inilah yang terjadi pada masa Soeharto. Sedangkan oligarki kolektiv adalah situsasi politik dimana kelompok oligark tidak memiliki satu dominasi tunggal, sehingga yang terjadi adalah perebutan pengaruh para oligark terhadap rezim yang berkuasa. Dalam situasi yang demokratis, peta politik menjadi rumit karena para oligak memainkan peranan tidak hanya di eksekutif, melainkan juga di legislatif dan partai politik. Lihat mengenai oligarki ini dalam Jeffery Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Prisma (Volume 33 tahun 2014) 11-34. Jeffery Winters adalah akademisi yang menerbitkan karya monumentalnya, Oligarchy yang diterbtkan Cambridge University Press pada 2011 yang mendapatan perhatian luas karena dapat menjadi bahan pentingd alam melihat situasi politik di berbagai negara.

[9] Akibat desentralisasi yang gagal mendistribusikan kesejahteraan di daerah ini, proses urbanisasi massal terus berlangsung sehingga menyebabkan perpuataran ekonomi tetrap tersentral di pusat. Pada tahun 2012, penduduk kota bahkan sudah mengungguli 54% dari pada penduduk desa. Lihat: In’amul Mushoffa, Menimbang Kesejahteraan Masyarakat dalam UU Desa, Jurnal Transisi Edisi IX 2014, 1.

[10] Mengenai ini, maka menjadi keharusan untuk menelaah kembali gagasan-gagasan besar Soekarno, Sjahrir, Tan Malaka, Hatta, Tjokroaminoto dan lain-lain. Sebab, cita-cita sosialisme, apapun implementasi praksis yang mereka gunakan, bagaimanapun telah mewarnai negeri ini, sampai Orde Baru (1967) berkuasa dan melanggengkan kapitalisme di Indonesia, hingga kini.

[11] Lihat: Lampiran 2

Tinggalkan Balasan