Papua, Referendum, dan Tuduhan Separatisme

Oleh:
In’amul Mushoffa
(Direktur Intrans Institute,
Pegiat Front Nahdiyyin untuk Kedulatan Sumber Daya Alam)

 

“…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia,
maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”.
(Mohammad Hatta)

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
(Pembukaan UUD 1945)

Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan jalan orang-orang tertindas yang terdiri dari laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak yang semuanya berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya (QS: An-Nisa [5]: 75)

Suara menuntut “Referendum Ulang” di Papua Barat semakin gencar. Tahun 2017 lalu, sebanyak 1.8104.421 petisi ditandatangani masyarakat Papua untuk menuntut referendum diberikan kepada Komite Dekolonisasi PBB. Jumlah tanda tangan itu sudah mewakili 70,88% penduduk asli Papua Barat. Persoalan politik negara saja yang membuat petisi itu tak diloloskan Komite dekolonisasi PBB.

Dalam skala internasional, dukungan terhadap kemerdekaan Papua Barat terus mengalir. Tujuh Negara Pasifik, Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu, Kepualauan Marshall, Nauru dan Kepulauan Solomon sudah menyatakannya dukungannya secara terbuka. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada tahun 2012 mengklaim mendapat dukungan dari 111 negara, meski sebagian besar pemerintahnya belum menyatakan dukungan secara terbuka. Tahun 2015, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat diberikan status sebagai Peninjau di Melanesian Spearhead Group (MSG) atau Kelompok Pelopor Melanesia, yang terdiri dari Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu, serta Front Pembebasan Nasional Kanak dan Sosialis Kaledonia Baru, dan Indonesia (2017).

Pemerintah Indonesia berupaya menggagalkan upaya ULMWP di MSG dengan klaim, “Indonesialah yang berhak menjadi anggota MSG karena memiliki teritorial di Melanesia.” Bersamaan dengan itu, Pemerintah Indonesia tak pernah menggubris tuntutan referendum. Demonstrasi menuntut referendum dibubarkan paksa, pelakunya ditahan. Di era Jokowi (hingga 2016) penangkapan-penangkapan warga Papua meningkat sekali sampai 6000 orang.

Senada dengan pemerintahnya, masyarakat Indonesia juga bersikap reaktif terhadap tuntutan referendum Papua. Kecaman terhadap gerakan Papua merdeka diungkapkan dengan level kebencian yang sama terhadap zionis Israel. Sekalipun tak dilakukan secara terbuka, kegiatan-kegiatan mahasiswa Papua lalu dibubarkan, pesertanya dipersekusi. Seperti yang dialami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Malang, 1 Juli kemarin.

Penangkapan, persekusi, dan pembubaran kegiatan-kegiatan itu—meski dibumbui dengan isu-isu yang tidak masuk akal seperti tidak bayar kontrakan, tidak baiknya hubungan dengan warga sekitar, dll—sebetulnya dilakukan dengan satu alasan: mereka adalah separatis dan mengancam disintegrasi NKRI. Tulisan singkat ini menyoal dua tuduhan ini.

Separatisme kerap dipahami sebagai paham atau gerakan untuk memisahkan diri. Dalam konteks bernegara, separatisme merupakan paham atau gerakan untuk memisahkan diri dari negara tertentu. Makna ini mengandaikan bahwa separatisme selalu didahului dengan proses mengintegrasikan wilayah, penduduk, dan kekuasaan ke dalam teritori, kewargenagaraan, dan kekuasaan negara tertentu secara sukarela. Lalu, benarkah Papua Barat sebelumnya sukarela mengintegrasikan diri ke dalam NKRI?

Di Indonesia, tidak ada provinsi lain yang proses ‘integrasinya’ diperdebatkan serumit Papua. Asal-usul dan sejarah bangsa Indonesia dan Papua memang berbeda. Jika nation dimaknai sebagai satu persatuan nasib, seperti yang sering diungkapkan Soekarno dengan mengutip pernyataan Ernest Renan, nasib keduanya juga berbeda. Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun.

Tak ada satu pun perwakilan Papua Barat berpartisipasi dalam Sumpah Pemuda 1928, juga pada saat mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12 Agustus 1945 menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Lalu kenapa Papua Barat dianggap merupakan bagian dari NKRI?

Tanggal 19 Agustus 1945, Indonesia dibagi dalam delapan buah Provinsi. Salah satu Provinsinya adalah Maluku. Papua Barat diasumsikan masuk dalam wilayah Provinsi Maluku. Padahal, penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Provinsi Maluku direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian tanggal 14 Desember 1953. Biro ini bertugas meneliti daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Hasil penelitian itu memilih wilayah Maluku Utara. Melalui UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Irian Barat. Padahal, Soasiu berada di Kepulauan Maluku.

Setelah peresmian Provinsi Irian Barat Perjuangan, Papua Barat tetap menjadi sengketa Indonesia dan Belanda. Belanda berulang-ulang menyatakan bahwa Papua bukan bagian dari teritori Indonesia, seperti dalam Perjanjian Linggarjati dan Konferensi Meja Bundar. Merasa dikuasai Belanda, masalah Papua Barat dibawa Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.

Pada 1 November 1961, Papua Barat sebetulnya sudah akan mendeklarasikan kemerdekaan. Tapi terganjal karena pemerintahan Belanda belum menyetujui. Hingga 1 Desember 1961, Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaan, lengkap dengan Bendera Negara “Bintang Kejora” yang dikibarkan di samping Bendera Belanda, Lambang Negara “Burung Mambruk” dengan semboyan “One People One Soul”, dan Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua”. Soekarno berasumsi bahwa Papua Barat merupakan boneka pemerintahan Belanda.

Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno menyerukan operasi pembebasan Irian Barat yang kemudian dikenal sebagai Operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat), yakni: gagalkan pembentukan negara boneka Papua, kibarkan bendera Merah Putih di Papua Barat, dan bersiaplah untuk mobilisasi umum dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Tanah Air. Soeharto—mantan penguasa Otoriter Indonesia selama 32 tahun (1966-1998)—ditunjuk sebagai Panglima Komando Operasi itu.

Kenapa Soekarno memerintahkan Trikora? Ada tiga kemungkinan: pertama, Papua Barat diklaim sebagai bagian dari bekas kerajaan Majapahit. Kedua, Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda. Ketiga, Soekarno ingin mencegah pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara.

Soekarno pun mengancam akan meminta bantuan persenjataan Uni Soviet jika Belanda tak bersedia menyerahkan kedaulatan Papua Barat kepada Indonesia. Amerika Serikat yang takut Indonesia dan Papua Barat jatuh ke tangan Negara Komunis lalu mengancam Belanda jika tidak menyerahkan Papua Barat pada Indonesia. Sebagai tindak lanjut, AS mengunjungi pemerintah Indonesia untuk menyatakan dukungan agar Papua Barat jatuh ke tangan Indonesia.

Agar mendapatkan dukungan dunia, AS memfasilitasi dibuatnya perjanjian hukum antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda, Perjanjian New York yang diteken pada tanggal 15 Agustus 1962. Perjanjian ini sama sekali tak mengikutsertakan wakil-wakil resmi Papua Barat. Padahal, hasil perjanjian ini berkaitan dengan tanah mereka dan kedaulatan mereka. Atas dasar itulah, orang-orang Papua Barat hingga saat ini mempermasalahkan perjanjian ini. Apalagi tanggal 1 Oktober 1962, Belanda sebetulnya menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB untuk membentuk Negara Papua Barat.

Perjanjian New York berisi kesepakatan untuk membentuk United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA), semacam Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat, yang akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Sementara Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil referendum itu.

Pasca perjanjian ini, pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya, hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan. Bahkan dalam pelaksanaanya pada tahun 1969, Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) didesain sedemikian rupa agar hasilnya ‘dimenangkan’ Indonesia. Sejumlah 1025 orang Dewan Musyawarah Pepera yang sejak awal Pro integrasi Indonesia dipilih oleh pemerintah Indonesia untuk menentukan nasib bangsa Papua. Jumlah ini tidak lebih dari 0,2 % dari total penduduk Papua yang saat itu berjumlah 815.906 jiwa. Padahal, Pepera seharusnya dilakukan dengan cara one man-one vote sesuai Perjanjian New York.

Teror, intimidasi, dan pembunuhan digunakan militer Indonesia untuk mensukseskan agar hasil Pepera ‘memenangkan’ Indonesia yang saat itu berada dalam kendali Orde Baru. The Diplomat mencatat, beberapa tahun setelah referendum, kurang lebih 30.000 rakyat Papua yang dinilai memprotes integrasi Papua Barat ke NKRI dibunuh oleh militer Indonesia.

Kenapa militer Indonesia begitu represif sejak menduduki Papua, hingga masa-masa Pepera dan setelahnya? Penulis menduga, ada hubungannya kepemimpinan Soeharto. Pada tanggal 13 Januari 1962, Soeharto dilantik menjadi panglima Mandala dan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Soeharto juga merangkap sebagai Deputi Kasad Wilayah Indonesia bagian Timur. Atas perintah Soekarno, Soeharto mulai memimpin Operasi Trikora sejak 19 Desember 1962. Pada 1 Mei 1963, ia diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanggal 3 Oktober 1965, Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib dan melakukan pembersihan besar-besar terhadap siapapun yang dituduh sebagai G30S.

Pasca itu, berbagai upaya ia lakukan untuk mengkudeta Soekarno yang sudah dalam posisi lemah seiring dihabisinya kekuatan PKI dan pendukungnya. Sejak 25 Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967, Soeharto adalah Ketua Presidium Kabinet yang menguasai pemerintahan menyusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang konspiratif itu. 12 Maret 1967, saat dilantik sebagai Presiden, praktis sejak itulah, Indonesia sepenuhnya dalam kendali Orde Baru. Artinya, Soeharto tidak lagi memegang urusan di Papua atas instruksi Soekarno, tetapi ia sendirilah yang mengintruksikan seluruh persoalan Papua sebagai kebijakan pusat. Maka sebelum Pepera dilaksanakan sekalipun, Soeharto—dengan tabiat yang anda bisa nilai sendiri—sudah berani meneken perjanjian Kontrak Karya dengan Freeport untuk mengekspoitasi perut pegunungan Grasberg pada tahun itu juga, tepatnya pada 7 April 1967. Awalnya 10 ribu hektare, lalu diperluas hingga 2,5 juta hektare pada 1989 dengan kontrak baru.

Tidak perlu penulis jelaskan bagaimana karakter kepemimpinan Soeharto. Di masanya, menyebut “Papua” bisa dituduh separatis, ditangkap tanpa pengadilan, dan dibunuh. Human Right Watch mencatat, hingga 2006 telah lebih dari 500.000 warga Papua telah direnggut nyawanya secara sistematis, dan ribuan lain mengalami diskriminasi rasial, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemenjaraan, dan pemerkosaan.

Hingga kini, Pemerintah menjadikan hasil Pepera 1969 sebagai dasar untuk mengklaim integrasi Papua dalam Republik Indonesia. Padahal, pelaksanaan Pepera sendiri sudah cacat. Kenapa orang Papua terus menyuarakan kemerdekaannya? Jawabannya, karena sejak awal mereka ingin mendirikan negara sendiri. Dan kita, Indonesia, memang belum memberikan kesempatan kepada mereka untuk menentukan nasibnya sendiri (self determnation). Yang ada, Pemerintah Indonesia menganeksasi Papua sejak Trikora. Itulah sebabnya, kenapa stigma separatisme terhadap mereka memang tidak memiliki dasar. Apalagi pasca aneksasi, perut bumi Papua dikuras, hutan-hutan dialihfungsikan ke perkebunan. Pada saat bersamaan, tak ada kebebasan politik dan berpendapat di sana. Hak ekonomi, sosial, dan budayanya juga diabaikan. Itu sebabnya pula, kenapa sejak operasi Trikora hingga sekarang, mereka menganggap Indonesia mengkoloni Papua.

Masihkah masyarakat Indonesia memberikan tuduhan-tuduhan tidak beradab dan tanpa dasar itu (separatis) pada rakyat Papua yang menuntut referendum? Kapan kita menginsyafi ‘penjajahan’ bangsa sendiri terhadap bangsa lain dan memberikan hak pada mereka untuk menentukan nasib sendiri?

 

*Sumber gambar utama: tabloidjubi.com

Tinggalkan Balasan