Para Nabi Itu adalah Kita

Muhammad Al-Fayyadl

Mengajar di Ponpes dan IAIN Nurul Jadid, Probolinggo. Bergiat juga di FNKSDA. Kontributor Islam Bergerak. Alumnus Universite de Paris VIII, Prancis. Menulis buku Derrida (LKiS, 2005), Teologi Negatif Ibnu Arabi (LKiS, 2012), Filsafat Negasi (Cantrik Pustaka, 2017). Belakangan merintis Lingkar Studi Filsafat (LSF) Nahdiyyin. Akrab dipanggil Gus Fayyadl.

 

Peradaban manusia digambarkan dalam Al-Qur‘an layaknya piramida terbalik yang bergerak semakin mengerucut menjadi lebih sederhana, baik dalam bentuk maupun kekuatannya. Ini berarti bahwa peradaban hari ini yang dipuja-puja sebagai peradaban paling canggih, modern, atau paling hebat yang pernah ada sesungguhnya kalah canggih dan hebat daripada peradaban-peradaban terdahulu.

“Dan tidakkah mereka menjelajah di muka bumi lalu melihat bagaimana akhir tragis umat-umat sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Umat-umat itu lebih kuat daripada mereka (sendiri), dan umat-umat itu telah mengolah bumi serta membangun (peradaban di atas)nya melebihi (peradaban) yang mereka bangun. Dan telah datang kepada umat-umat itu para rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri (Q.S.al-Rum: 9).

Pada tahun 1808, tokoh sosialisme utopis Charles Fourier menulis traktatnya, Teori Empat Gerakan dan Takdir Umum Umat Manusia (Théorie des quatres mouvements et des destinées générales), di mana ia membagi perjalanan umat manusia dalam 80.000 tahun terakhir ke dalam empat fase besar, dua menaik-dua menurun. Dua fase menaik (ascendant) dicirikan oleh harmoni yang mengikat manusia dalam berbagai bentuknya, individual maupun komunal. Inilah fase ‘surgawi’ di atas bumi, ketika manusia dan binatang berkawan, kehidupan rimba yang polos dan sensual, ketika ikatan-ikatan afektif dan emosional antarmanusia begitu kuat, kebersamaan begitu hidup, antar-sesama manusia maupun alam. Kehidupan manusia berubah sejak diperkenalkannya metalurgi dan manusia mengenal alam sebagai ladang eksploitasi. Sejak saat itu, tabu-tabu seksual diperkenalkan, manusia mulai tersekat dalam sekat-sekat keluarga, harmoni menurun, peperangan berkecamuk, dan kekerasan merajalela. Peradaban metalurgi mengawali dua fase menurun yang selama ribuan tahun berikutnya memperkenalkan kehidupan manusia kepada tatanan “Peradaban” (l’ordre civilisé), yang bagi Fourier justru merupakan masa-masa dekaden (descendant) yang penuh dengan topeng dan muslihat kemunafikan—disebutnya “peradaban”, ketika yang terjadi sebaliknya. Kritik Fourier mengarah kepada tatanan peradaban dalam bentuknya yang terkini, tatanan kapitalis, yang sebenarnya merupakan kulminasi dari fase menurun ini, di mana harmoni mencapai titik nadir yang tragis. Dilihat dari leluhur primitifnya di era metalurgi, tatanan kapitalis ini hanyalah satu periode pendek dari perjalanan umat manusia. Pesan Fourier: tatanan ini akan berakhir, dan harmoni akan ditegakkan kembali di muka bumi.

Pembacaan Fourier menggemakan temuan Karl Marx (juga mengantisipasinya) tentang kontingensi tatanan kapitalis: bahwa tatanan kapitalis sejak Revolusi Industri bukan bentuk terakhir dari kehidupan umat manusia. Francis Fukuyama hubris mengklaim kapitalisme sebagai bentuk akhir sejarah manusia. Dua abad terakhir kapitalisme tidak mewakili keseluruhan perjalanan umat manusia. Ia hanya sekeping dari mata rantai dekaden, yang sialnya dianggap ujung dari capaian peradaban. Itu artinya, kapitalisme dapat runtuh. Lembaran peradaban manusia dapat berganti, cepat atau lambat. Marx menyebut fase baru pasca-kapitalisme itu dengan “komunisme” Fourier memberinya julukan kelahiran baru “Harmoni planeter”.

Sangat mungkin—dan ini tetap menjadi hipotesis bagi riset ilmiah—bahwa umat-umat terdahulu yang menjadi tempat diutusnya para Nabi dan Rasul adalah fase-fase awal mekarnya peradaban dekaden yang digambarkan oleh Fourier, fase menurun di mana pesan Tauhid yang mengajarkan harmoni dalam tiga sumbu aspeknya (Tuhan, alam, manusia) mulai luntur dan digantikan dengan nilai-nilai persaingan, individualisme, kompetisi bebas, yang melahirkan penindasan, perbudakan, dan dominasi. Membaca penggambaran Al-Qur‘an tentang kecanggihan peradaban yang pernah dimiliki oleh suku ‘Aad ribuan tahun silam, dengan istana-istananya yang tinggi dan benteng-bentengnya yang megah (Q.S. al-Syu‘ara‘: 128-129), terlihat kemajuan material apa yang dicapai oleh umat manusia pada fase-fase itu. Kemajuan material itu tidak mungkin tanpa sebab. Ia muncul dari proses-proses sosial yang melibatkan perubahan nilai-nilai, pembentukan kelas-kelas sosial, dan pemapanan hubungan-hubungan sosial yang sebelumnya harmonis menjadi sarat dominasi dan ketimpangan. Al-Qur‘an menyebutnya dengan jabbarin, para penindas (Q.S. al-Syu‘ara‘: 130). Fase-fase awal dekadensi ini ditandai oleh munculnya kelas penindas dan hubungan antarmanusia yang rumpang.

Untuk siapakah dan untuk tujuan apa para Nabi dan Rasul itu diutus? Dilihat dari rentang masa historis yang dijalani oleh umat manusia di atas, para Nabi dan Rasul itu diutus Allah Swt untuk suatu meng-address fase peradaban yang mulai menunjukkan dekadensinya itu, dan mengembalikannya ke jalur yang benar. Misi peradaban para Nabi dan Rasul itu adalah menghilangkan faktor-faktor dekadensi itu dan mengembalikan kehidupan bermasyarakat ke tingkat yang seimbang dan harmonis, baik vertikal maupun horizontal, baik ilahiah, alamiah, maupun sosial. Dalam arti ini, misi tersebut adalah misi reformasi peradaban—para Nabi dan Rasul itu datang untuk membenahi keterpurukan kehidupan sosial secara menyeluruh (total). Tidak ada kompromi dalam misi itu. Misi itu harus ditunaikan sesungguh-sungguhnya dan seluas-luasnya, dengan dampak yang harus mampu mengubah sendi-sendi kehidupan. Inilah yang disebut tabligh itu.

Sebagai kritikus dan reformator peradaban, para Nabi dan Rasul harus terlebih dulu meng-address sumber dekadensi itu—penyakit sosial yang menyebabkan peradaban bergerak merosot dan mengalami perusakan. Sumber itu tak lain adalah kelas elite, mereka yang menjadi pemegang kekuasaan produksi kesejahteraan dan kekayaan dalam masyarakat. Bukan untuk memusuhinya, tetapi untuk menghilangkan penguasaan itu. Strategi dakwah para Nabi dan Rasul itu cerdas: mereka melayangkan ajakan Tauhid kepada seluruh umatnya, tanpa kecuali. Strategi ini menempatkan keseluruhan umat secara setara sebagai objek dan audiens bagi risalah mereka. Strategi ini otomatis menghadapkan sang Nabi dan Rasul secara langsung vis-à-vis dengan umatnya. Jika dalam kehidupan sehari-hari umat menghadapi junjungannya yang lebih berkuasa, kali ini para elite menjadi tidak penting. Di hadapan Utusan Allah Swt, mereka sama.

Strategi dakwah itu memicu kecemburuan para elite. Tidak heran bahwa kalangan pertama yang terusik dengan diutusnya para Nabi dan Rasul adalah kelas-kelas yang berkuasa ini, yang berusaha menjatuhkan legitimasi kerasulan dengan seribu satu cara. Salah satu ilustrasi yang diberikan Al-Qur‘an adalah tuduhan mereka bahwa para Nabi dan Rasul berdakwah untuk mendapatkan upah atau keuntungan finansial (al-ajr). Tuduhan ini tidak mungkin muncul dari kalangan jelata yang tidak memiliki apa-apa untuk diberikan, tetapi niscaya muncul dari kalangan berduit yang mampu. Strategi dakwah ini memperlihatkan secara langsung antagonisme kelas, pertama, yang terjadi di tengah masyarakat tersebut, dan kedua, antagonisme yang membawa Nabi dan Rasul berhadapan langsung dengan kelas-kelas penindas. Dakwah kenabian itu sendiri adalah bentuk antagonisme kelas.

Dakwah dengan segera berubah menjadi konfrontasi. Buku Eko Prasetyo ini menyajikan kepada kita adegan-adegan hidup konfrontasi para Nabi dan Rasul dengan kelas yang berkuasa dan keterlibatan mereka dengan relasi kelas yang berkembang di tengah umatnya masing-masing. Konfrontasi itu berwujud pembangkangan langsung dan ikonoklasme (dalam kisah Ibrahim dan Syu‘aib ‘alaihimus salam), duel fisik (Dawud ‘alaihis salam melawan Jalut), aksi parrhesiastik (keberanian mengucap yang benar di hadapan risiko yang besar, dalam kisah Musa, Harun, dan Yahya ‘alahimus salam), dan sebagainya. Konfrontasi itu merupakan puncak dramatis dari peristiwa yang mempertemukan para Nabi dan Rasul dengan kelas yang memelihara hubungan-hubungan antagonistik di tengah umat—kelas penguasa dan pendukung-pendukungnya.

Apakah konfrontasi tersebut merupakan implikasi dari misi kenabian (karena penolakan yang kuat terhadapnya oleh pihak-pihak yang ingkar) atau memang merupakan bagian dari misi politik dari Tauhid yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul? Apakah mendakwahkan ajaran Tauhid mesti mengandaikan konfrontasi dengan kekuasaan di dalamnya? Pertanyaan ini mesti dijawab dengan melihat struktur objektif tatanan sosial di mana misi Tauhid itu disampaikan. Dalam konteks umat-umat terdahulu, konfrontasi merupakan bagian dari misi politik Tauhid yang tanpanya tidak mungkin terjadi perubahan yang radikal di tengah masyarakat, karena begitu kuatnya belenggu-belenggu kekuasaan (ekonomi dan politik) yang memperbudak. Tatanan politik yang tiranik seperti Orde Fir‘aun (mirip seperti Orde Baru-nya Soeharto) tidak mungkin diruntuhkan tanpa perlawanan yang keras dari seorang Musa ‘alaihis salam. Dengan perlawanan langsung yang frontal di hadapan kekuasaan, perubahan dimungkinkan. Terkadang para Nabi melakukan subversi terhadap kekuasaan tiranik itu secara simbolik, dengan melecehkan simbol-simbol kekuasaan, seperti dilakukan Ibrahim ‘alaihis salam terhadap patung pujaan Namrud. Terkadang pula para Nabi melakukan subversi dengan melakukan kritik terhadap kelas-kelas sosial pendukung kekuasaan, seperti kritik ‘Isa ‘alaihis salam terhadap para pendeta Yahudi yang korup. Berbagai konfrontasi itu menjadi jalan yang harus dilakukan, karena tatanan sosial yang dihadapi menuntutnya demikian.

Namun terkadang ada jalan yang lebih lunak yang ditempuh Nabi dan Rasul, sebelum menempuh jalan terakhir mengangkat senjata atau mengerahkan kekuatan fisik: jalan diplomatik atau konstitusional. Sulaiman ‘alahis salam berdiplomasi dengan Balqis Ratu Saba‘ dan menaklukkannya. Rasulullah Muhammad SAW kerap berdiplomasi dengan para musuh penentangnya dan mengikat mereka ke dalam perjanjian politik—kemenangan Rasulullah di fathu Makkah adalah kemenangan politik konstitusional, setelah sekian peperangan dan perjuangan fisik. Tetapi, langkah-langkah soft power itu hanya ditempuh setelah sang Nabi dan Rasul memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan kelas lama yang berkuasa. Sulaiman ‘alahis salam menjadi raja yang disegani Balqis, Rasulullah Muhammad SAWmenjadi pemimpin Madinah yang dicintai. Modal kepercayaan dan bahkan kekuasaan yang dipegang digunakan oleh para Nabi dan Rasul untuk meruntuhkan kelas lama, tanpa menjadi tiran baru, melainkan menjadi pemimpin yang dicintai dan egaliter. Meski Sulaiman ‘alaihis salam seorang raja, kerajaannya tidak dibangun dari keringat para buruh atau budak, tetapi pemberian supranatural Allah Swt.

Dari kisah-kisah yang disuguhkan oleh Eko Prasetyo tergambar bahwa para Nabi dan Rasul bukan manusia-manusia yang nyaman dengan posisinya dan misi yang diembannya. Meski pada titik tertentu para Nabi tersebut telah berhasil menjadi pemimpin yang disegani kaumnya, mereka tidak mengambil keuntungan dari posisi itu dan terus melakukan peran aktif dalam mengubah umatnya. Intinya, para Nabi dan Rasul tidak pernah membentuk kelas tersendiri yang elitis. Sulaiman ‘alahis salam dan Rasulullah Muhammad SAW sendiri menjadi buktinya. Meski telah menjadi raja bagi segala jenis makhluk, Nabi Sulaiman menjadikan kerajaannya utopia sempurna tentang keadilan dan kemakmuran di muka bumi saat itu. Tidak ada yang tidak penting, bahkan seekor semut menjadi faktor penting dari eksistensi kerajaan itu (Q.S. al-Naml: 15-24). Mungkin inilah masyarakat komunis itu, suatu masyarakat tanpa kelas di mana semuanya tidak terbedakan dan sama-sama penting. Demikian pula keberhasilan Rasulullah Muhammad SAW menyatukan bangsa Arab di akhir-akhir hidupnya tidak menempatkan dirinya menjadi penguasa. Rasulullah wafat dalam keadaan fakir, dan terus berpesan kepada para penerusnya untuk menuntaskan misi masyarakat yang adil dan bebas dari eksploitasi sepeninggalnya.

Ketika dibaca dalam kerangka kelas, maka tampak bahwa risalah kenabian para Nabi dan Rasul memiliki watak antagonistik dengan kelas apapun yang berkuasa di tengah masyarakat. Pertama, para Nabi dan Rasul ingin mengubah relasi-relasi yang timpang dengan kelas yang dominan dan hendak menghancurkan dominasi tersebut. Sebagai konsekuensinya, maka dakwah kenabian ini akan menghadapkan para Nabi dan Rasul dalam konfrontasinya langsung dengan kelas dominan. Kedua, jika para Nabi dan Rasul berhasil membebaskan masyarakat dari dominasi elitenya, maka mereka menjalankan misi kedua: memberi bentuk bagi masyarakat baru ini dengan mengorganisasikan suatu kesadaran akan masyarakat tanpa kelas, di mana keadilan, kebaikan umum, dan kemakmuran bersama menjadi nilai-nilai bersama. Dapatkah kita menyebutnya sosialisme? Ya, bila dilihat dari nilai-nilainya. Dan untuk itu para Nabi dan Rasul membutuhkan prasyarat produksi baru, yaitu partisipasi seluruh orang dalam produksi sosial tersebut. Penghapusan budak yang menjadi agenda Rasulullah Muhammad SAW, misalnya, dapat dilihat dari sudut pandang ini. Budak tidak lagi menjadi alat produksi, tetapi produsen nilai kerjanya sendiri yang sama berhaknya dengan orang-orang “merdeka”.

Pengertian “kelas” di sini tentu harus dipahami dalam artinya yang luas, baik secara Marxian maupun Weberian. Bagi Marx, kelas berpaut dengan alat dan sarana- sarana produksi; bagi Weber, kelas berpaut dengan kekayaan, kekuasaan, dan prestise. Kedua konsep kelas ini menjadi sama pentingnya dalam kisah para Nabi dan Rasul, karena kekayaan, kekuasaan, dan prestise kaum penguasa di zaman mereka tidak terpisah dari sarana-sarana produksi yang berkembang—meskipun sebagian masih dalam stadium feodal atau feodalisme lanjut (melalui kepemilikan atas tanah dan budak).

Penulis buku ini menggunakan konsepsi kelas dalam kedua pengertian di atas, sehingga kita tidak perlu heran mengapa Nabi Syu‘aib ‘alaihis salam dibaca sebagai anti-kapitalis, dengan pesan-pesannya yang tajam terhadap kecurangan dan praktik mafia para pengusaha zamannya. Kecaman Syu‘aib ‘alaihis salam terhadap praktik mengurangi timbangan dan neraca (Q.S.Hud: 84) mengisyaratkan bahwa pertukaran komoditas telah berkembang pesatnya pada era itu dan sudah mengenal mata uang sebagai sarananya. Eksisnya komoditas (asyya’), mata uang, dan neraca perdagangan (al-mizan wa al-mikyal) mungkin menunjukkan bahwa masyarakat saat itu telah mengenal bentuk-bentuk kapitalisme tertentu yang cukup canggih dan telah mampu mengembangkan suatu ilmu ekonomi yang memungkinkan praktik-praktik itu diterima wajar di tengah masyarakat. Kritik Syu‘aib ‘alaihis salam mengungkap kekotoran praktik itu, dan dalam hal ini, Nabi Syu‘aib sebenarnya tengah menjalankan apa yang dilakukan Marx di abad ke-19: melakukan kritik ekonomi-politik.


Baca Juga: Marx dan Tauladan Bagi Remaja


Para Nabi memiliki mukjizat, kemampuan-kemampuan supranatural yang diberikan Allah Swt untuk membuktikan kebenaran misi mereka. Tetapi buku Eko Prasetyo ini meyakinkan kita bahwa mukjizat utama yang dimiliki oleh para Nabi adalah keluarbiasaan mereka justru dalam status mereka sebagai manusia-manusia biasa, sosok-sosok historis yang sama berpeluh dan berkeringatnya dengan para buruh, para petani, dan orang-orang jelata. Mereka berada di pasar, di jalanan, dikejar-kejar aparat dan tentara, dipenjara, hidup dalam kemiskinan dan kepapaan, diasingkan dan dipenjara, difitnah dan diintimidasi, di-bully dan didiskriminasi, merasakan kecemasan dan ketakutan sehingga butuh teman untuk saling menguatkan—hal-hal yang hanya bisa dibayangkan dari manusia biasa. Dengan kata lain, para Nabi itu adalah kita, kita, rakyat, yang hari ini mengalami kesulitan- kesulitan hidup, berada dalam tekanan, hidup dalam krisis ekonomi, dihajar kanan-kiri oleh negara yang fasis dan pro-kapital, hidup dalam ancaman penggusuran dan harga-harga yang terus melambung, hidup dalam diskriminasi SARA, diawasi dan diintimidasi oleh tentara dan para intelnya, hidup dalam ancaman ekstradisi, perdagangan manusia, eksil, pemerkosaan dan pelecehan seksual, kriminalitas, dan lain seterusnya. Para Nabi itu adalah kita, sejauh mereka dan kita adalah sama-sama manusia yang menghadapi persoalan yang sama: penindasan yang terus beranak-pinak, dengan modus-modusnya yang eksplisit atau terselubung. Para Nabi itu adalah kita, sejauh mereka menunjukkan contoh bagaimana menjadi manusia sejati, sebenar-benar manusia yang tidak memperbudak dan menjualbelikan harkat kemanusiaannya menjadi sekrup-sekrup kekuasaan, yang terus berjuang mengatasi keterbatasan-keterbatasannya, dalam keimanan yang bulat kepada pertolongan Allah Swt. Sejauh mereka menunjukkan contoh bagaimana menjadi manusia yang militan dalam prinsip dan aksi, serta siap menghadapi risiko terburuk dalam perjuangan.

Kalau para Nabi itu adalah kita, sebaliknya mungkin juga ditanyakan: apakah kita adalah para Nabi itu? Dengan kata lain, apakah kita telah siap memikul misi pembebasan sebagaimana para Nabi dulu memikulnya? Apakah kita mampu menjadi pewaris garda depan peran-peran kenabian di masyarakat yang berkecamuk krisis dan ketimpangan hari ini? Pertanyaan ini menunggu untuk dijawab. Bila kita mengingat statemen Al-Qur‘an bahwa peradaban hari ini kalah canggih daripada peradaban umat-umat terdahulu, tugas menunaikan peran kenabian itu, bagi kita hari ini, sesungguhnya jauh lebih ringan daripada yang dilakukan oleh para Nabi dahulu. Kisah-kisah para Nabi yang terangkum dalam buku ini menyadarkan bahwa kita tidak boleh ciut atau minder. Jika para Nabi, berkat pertolongan Allah Swt, mampu, kita pun dapat mampu selama kita meneladani keluhuran akhlak budi mereka dan keimanan mereka yang kukuh.

 


Tulisan ini adalah Epilog buku karya Eko Prasetyo yang berjudul Kitab Pembebasan: Tafsir Progresif atas Kisah-kisah dalam Alqur’an (Intrans Publishing, 2016). Eko Prasetyo dan Muhammad Al-Fayyadl telah mengizinkan kami untuk publikasi ini.


Gambar : https://m.merdeka.com/foto/peristiwa/691899/20160411102945-tangisan-histeris-ibu-ibu-warnai-penggusuran-pasar-ikan-004-nfinanda-farikh-ibrahim.html

Tinggalkan Balasan