Oleh:
Muhammad Nur Fitriansyah
(Peneliti Intrans Institute)
Kira-kira akhir Januari lalu, muncul gagasan kontroversial Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Ia menyatakan akan menutup Taman Nasional Komodo (TN Komodo) demi keberlanjutan hidup satwa langka komodo di sana. Pasalnya, TN Komodo yang menjadi habitat komodo kini sedang berada dalam zona degradasi akut. Populasi rusa yang merupakan makanan utama komodo makin terbatas sebagai dampak dari praktek perburuan liar di sana.
Wacana penutupan tersebut jelas menuai pro-kontra. Bagi pecinta lingkungan pada umumnya, hal ini adalah angin baik yang patut didukung. Upaya yang dilakukan Gubernur dianggap patut diteladani, terlepas dari apapun motif sebenarnya di balik tindakan tersebut. Namun bagi pebisnis pariwisata serta usaha-usaha di sekitarnya, jelas ini merupakan sebuah malapetaka. Ditutupnya Pulau Komodo berarti tertutup pula keuntungan dan pendapatan.
Di tengah pro-kontra tersebut, ada satu hal yang luput dari pemberitaan media, yakni nasib masyarakat yang hidup dan tinggal berdampingan dengan komodo. Keeksotisan serta keindahan alam TN Komodo seakan memberi sihir dan membuai kita, hingga luput melihat apalagi mempertanyakan: mengapa kondisi masyarakat pulau Komodo dan sekitarnya terus terjepit kian hari.
TN Komodo dan Neoliberalisme
Taman Nasional (TN) Komodo adalah sebuah kawasan yang terletak pada bagian barat Pulau Flores. Luas kawasannya kurang lebih sekitar 1.817 kilometer persegi. Dari jumlah areal ini, luas daratannya kurang lebih 603 kilometer persegi atau sekitar 60.300 ha. Luas kawasan sisanya merupakan taman laut. TN Komodo sendiri terdiri dari beberapa pulau kecil, diantaranya Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Pulau Gili Motang dan Pulau Nusa Kode. Luas Pulau Komodo sekitar 336 kilometer persegi. Pulau Rinca sekitar 211 kilometer persegi. Pulau Padar sekitar 16 kilometer persegi. Gili Motang seluas kurang lebih 10 kilometer persegi dan Nusa Kode seluas kurang lebih 7 kilometer persegi.[1]
Taman Nasional (TN) Komodo tentu tidak saja ada dengan sendirinya. Ia muncul dalam sebuah proses historis yang cukup panjang. Sebagai satwa langka, ia pertama kali ditemukan pada 1910 oleh seorang penjelajah Eropa. Penemuan ini kemudian diketahui oleh Direktur Museum Zoologi Bogor, Peter Ouwens, yang kemudian menuliskan karya ilmiah tentang satwa tersebut pada tahun 1912. Karya ilmiah ini berjudul “On a Large Varanus Species from an Island of Komodo”.
Dari penelitian Peter Ouwens-lah nama Latin komodo, Varanaus Komodoensis, disematkan. Pasca-penemuan tersebut, masih ada beberapa penelitian serupa untuk memecah misteri komodo pada tahun 1926 dan 1960. Kelak, penemuan-penemuan tersebut sampai pada kesimpulan bahwa komodo merupakan hewan langka yang hanya ditemukan pada beberapa kawasan di daerah Indonesia bagian timur.[2] Sebagai bentuk respon atas penemuan ini—dalam rangka melindungi komodo dan habitatnya—didirikanlah Taman Nasional Komodo pada tahun 1980.
Kurang lebih satu dekade kemudian, TN Komodo ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada 1991 dan menjadi salah satu diantara tujuh keajaiban dunia. Meski geliat pariwisata tak cukup menggairahkan seperti sekarang, namun ini menjadi awal-mula dari rentetan sejarah panjang bom pariwisata di daerah tersebut.
Pengembangan TN Komodo kemudian mendapat momentum besar ketika pemerintahan Presiden SBY memetak pulau-pulau di Indonesia ke dalam kawasan-kawasan khusus. Proyek maha dahsyat itu sering kita kenal sebagai Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam proyek ini, NTT masuk dalam Koridor Ekonomi Bali-Tenggara yang disiasati sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional. Sebagai daerah serumpun, NTT diharapkan mampu tampil impresif seperti Bali. Pada tahun 2010, setahun sebelum MP3EI diberlakukan, Bali telah mampu menyerap 40 % kunjungan wisatawan asing yang datang ke Indonesia.[3]
Proyek MP3EI tidak lain merupakan manifestasi dari liberalisasi ekonomi yang gencar disuntikkan negara melalui regulasi-regulasi ramah pasar. Semboyan utamanya; liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Pintu masuknya terbuka sejak pertengahan dekade 1960-an, tepatnya pasca kudeta berdarah yang melengserkan Soekarno dan pindahnya tampuk kekuasaan ke tangan Soeharto. Pintu tersebut makin terbuka lebar sejak krisis besar menghantam Indonesia pada 1997-1998. Dalam rangka mencari pertolongan, Pemerintah Indonesia melambaikan tangan ke arah IMF (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia (World Bank/WB). Tentu saja, tak ada makan siang gratis. Sebagai gantinya, Pemerintah Indonesia mesti menandatangi Program Penyusuaian Struktural (Struktural Adjustment Program/SAP) jangka pendek dan panjang.[4]
Pasca krisis 1997-1998 yang berujung pada runtuhnya Soeharto dan bergulirnya reformasi, masa depan tak begitu saja berakhir baik. Sebab, cengkeraman kekuatan eksternal, khususnya IMF dan WB, masih mengakar begitu kuat. Bergantinya rezim bukan berarti berganti pula cara main. Logika sistem ekonomi (baca: kapitalisme-neoliberal) yang bekerja di belakangnya masih tetap sama, justru cenderung masif. Produk kebijakan Rezim SBY, MP3EI—yang kelak menjadi asbab dibukanya NTT sebagai wilayah pendongkrak prawisata—adalah contoh nyata. Pasca itu, lahirlah berbagai macam produk hukum pro-pasar sebagai legitimasi perampasan. Investasi modal asing menjadi kebiasaan lumrah. Privatisasi dan pencaplokan pun menjadi konsekuensi turunan dari malapetaka ini. Tak heran bila kita menyaksikan masifnya patok-mematok kawasan—yang sekiranya menghasilkan keuntungan materiil—dan, TN Komodo kelak menjadi salah satu korbannya.
Sebagai daerah yang disiasati sebagai ladang industri pariwisata, beberapa tahun belakangan Pulau Komodo (dan beberapa pulau kecil lainnya, Rinca dan Padar) menjadi salah satu spot wisata favorit. Ia menarik perhatian wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Pulau-pulau ini tidak hanya menampilkan sosok komodo sebagai satwa langka, namun juga memberikan pesona keindahan alam yang memanjakan mata. Daya tarik ini kemudian menjadi pemicu utama membanjirnya wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut. Kian tahun jumlah pengunjung makin menjadi-jadi, berpuluh-puluh ribu manusia berserakan masuk mengantri. Terhitung sejak 2014, jumlah pengunjung telah mencapai sekitar 80.626 orang. Angka tersebut naik menjadi sekitar 95.410 orang pada 2015, 107.711 orang pada 2016, 125.069 orang pada 2017,[5] dan 176.830 orang pada 2018.[6] Angka ini menunjukkan suatu lonjakan pengunjung yang luar biasa signifikan dan dahsyat. Hanya dalam tempo waktu beberapa tahun belakangan (2014-2018), jumlah pengunjung telah berkisar naik dua kali lipat.
Tentu, melonjaknya jumlah pengunjung ini berimbas pada jumlah pemasukan industri pariwisata tersebut. Pada tahun 2014, total pemasukan TN Komodo dari biaya tiket masuk kurang lebih berkisar Rp 5,4 miliar. Pemasukan bertambah menjadi sekitar Rp 19,20 miliar (2015), Rp 22,80 miliar (2016), Rp 29,10 miliar (2017) dan sampai 2018 lalu, angka ini telah mencapai jumlah Rp 33,16 miliar.
Privatisasi dan Proletarisasi
Jumlah pemasukan TN Komodo yang terlihat cukup fantastis nyatanya tak berdampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Dalam logika akumulasi, golongan yang menikmati hasil kerja tidak lain adalah pemilik kapital dalam proses kerja tersebut. “Siapa memiliki apa” akan menentukan “siapa melakukan apa” dan “siapa mendapatkan apa”.[7] Jelas sekali, orang yang diuntungkan dalam cara kerja kapitalisme adalah si pemilik kapital. Dalam hal TN Komodo, entitas ini diwakili oleh pebisnis-pebisnis swasta di daerah tersebut. Dari hasil penelitian Sunspirit for Justice and Peace, kalangan yang menikmati kue pariwisata adalah operator swasta dan pengusaha kapal swasta (75,55 %), pengusaha perhotelan dan restoran (23,36 %) dan sisanya dinikmati pengelola TN Komodo dan Pemerintah Daerah.[8] Dari sini, kita dapat melihat jelas ke mana aliran keuntungan dari bisnis Pariwisata TN Komodo ini mengalir. Alih-alih memakmurkan rakyat setempat, pundi uang yang mengalir dari bisnis pariwisata justru hanya masuk ke kantong-kantong segelintir orang pemilik kapital.
Masuknya bisnis pariwisata juga kemudian mengubah status kepemilikan kawasan ini. Tercatat, beberapa kawasan mesti menerima pil pahit privatisasi. Dengan dalih konservasi, berhektar-hektar areal lahan dibuka untuk kepentingan swasta. Beberapa perusahaan tersebut tampaknya perlu disebutkan, diantaranya PT. Putri Naga Komodo (PNK) yang diberikan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) selama 30 tahun (2004-2034);[9] PT. Segara Komodo Lestari (SKL) yang telah mendapatkan izin usaha di Pulau Rinca seluas 22,1 hektar pada Desember 2015; PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) yang telah mendapatkan izin usaha di Pulau Padar (274,13 hektar) dan Pulau Komodo (151,94 hektar) pada September 2014.[10] Selain tiga perusahaan ini, ada pula beberapa perusahaan lain, diantaranya PT. Sinar Cahaya Kemuliaan, PT. Perdana Surya Dinamika, PT. Kirana Satya Abadi, PT. Inti Selaras Abadi dan PT. Karang Permai Propertindo.[11]
Privatisasi kawasan TN Komodo, tak dapat dipungkiri, merupakan kesengsaraan berlapis bagi masyarakat sekitar. Pembangunan dan penyingkiran datang sudah seperti setan kembar yang menggiring masyarakat menuju siksa neraka. Penjarahan ruang sejak dialih-fungsikannya menjadi Taman Nasional bukan saja berhasil menyingkirkan mereka dari ruang hidup. Ia juga menjauhkan mereka dari sistem mata pencaharian dan pola bertahan hidupnya yang tradisional.
Bila kita telusuri, sejak terbentuknya TN Komodo pada 1980 dan sistem zonasinya demi pelestarian lingkungan, masyarakat yang sebelumnya tinggal berpencar-pencar dipaksa tinggal dalam satu lokasi terbatas. Rumah dan berbagai tanaman dibakar. Mereka diusir paksa dari tanahnya tanpa ada ganti rugi. Tak cukup sampai di situ, derita mereka masih saja bertambah. Pola hidup dengan menggantungkan diri dari berburu (khususnya rusa) dilarang. Bila masih bersikeras, mereka kerapkali dituduh sebagai pemburu liar. Teror, intimidasi dan kekerasan adalah imbalan yang dianggap sepadan.[12]
Alhasil, agar dapat bertahan hidup, mata pencaharian mesti berganti. Laut dan dawai ombaknya adalah tempat yang dirasa terbaik melabuhkan harapan. Alih profesi menjadi nelayan mau tidak mau jadi pilihan. Pun begitu, dengan dalih zonasi dan pengelolaan kawasan pelestarian alam, pembatasan area penangkapan ikan diberlakukan. Mereka dilarang menangkap ikan pada area tertentu, misal area diving dan beberapa tempat yang dianggap terlalu indah untuk dicemari perahu kecil yang makin sempoyongan untuk bertahan hidup.
Sebagai jalan keluar, sebagian memilih beralih ke usaha kerajinan tangan dan souvenir. Jika cukup modal, mereka dapat membuka industri rumahan dan/atau toko souvenir. Namun, usaha souvenir skala kecil dihadapkan pada persaingan diantara mereka. Jika tak sanggup bersaing, pemilik usaha souvenir yang memiliki modal besar akan melumpuhkan yang kecil. Usaha souvenir skala kecil juga tak diberi payung perlindungan dari Pemerintah. Mereka dipaksa berkompetisi. Di akhir cerita, tentunya kita pasti tahu siapa pemenangnya.
Jika tanpa modal, mereka terpaksa menjual tenaga untuk industri kerajinan souvenir. Pekerja souvenir dihadapkan pada informalitas, seperti tiadanya kontrak kerja, standar upah minimum, perlindungan kerja, jaminan kesehatan, dan hak-hak lain yang hanya dimiliki pekerja sektor formal.
Rentetan sejarah panjang TN Komodo dari waktu ke waktu dapat melihat garis-garis tertentu yang jauh-jauh hari sudah dikerangkakan dengan baik dalam ekonomi-politik. Ini kemudian jalin-menjalin dengan akibat yang hari ini dirasakan masyarakat sekitar; kemiskinan sistematis. Kemiskinan dan kemelaratan hidup yang kian mencekik bukan datang begitu saja dan tanpa alasan. Ia diciptakan, dan telah melalui proses historisnya yang panjang. Kemelaratan itu adalah imbas dari dosa masa lalu yang dilakukan negara, dengan mengusir paksa masyarakat setempat dengan dalih konservasi lingkungan. Pengusiran, pencaplokan lahan bersamaan privatisasi memisahkan masyarakat dari sarana-sarana produksi. Inilah yang kelak kemudian Marx definisikan sebagai “proletarisasi”.[13] Tanah, ladang berburu dan sarana lainnya yang dengan itu masyarakat hidup dirampas sewenang-wenang. Tak hanya tanah tentunya, privatisasi dan pembatasan laut bagi nelayan jelas memperparah kondisi kemelaratan tersebut. Dengan hilangnya sarana produksi sebagai basis utama penyokong hidup, hilanglah pula setengah daya masyarakat setempat.
Perampasan dan privatisasi lahan secara paksa pada saat bersamaan juga menjadi sebab asal muasal tersentralnya kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Di satu sisi, masyarakat hilang daya dan sarana hidupnya (proletarisasi). Pada sisi lain, daya dan kuasa tersebut berpindah tangan (baca: dipindah-tangankan secara paksa) pada segelintir golongan. Pada 1980-an, awal TNK dibuka, hal ini dilakukan secara sengaja oleh negara. Kini, swasta yang kemudian melenggang santai mencaplok dan mengambil-alih lahan-lahan dan kawasan tersebut. Dalam bahasa yang lebih elegan, upaya-upaya ini –perampasan, privatisasi, dsb— jamak kita kenal sebagai “akumulasi primitif”. Untuk menjembatani proses akumulasi kapital kelak, akumulasi primitif dibutuhkan. Akumulasi primitif memuluskan kapitalis/pebisnis mendapatkan akses atas sumber daya-sumber daya murah, utamanya tanah, bahkan seringkali dengan tanpa biaya sepeserpun. Melalui aparatus represif negara pada masa lalu, dengan kekerasan dan intimidasi masyarakat diusir paksa. Tanah dirampas tanpa biaya ganti rugi. Ini adalah salah satu keuntungan mendasar dalam bisnis. Kini dengan upaya yang lebih rapi, perampasan dan privatisasi tersebut diwadahi dengan baik oleh negara. Melalui berbagai instrumen, khususnya hukum, akses kepemilikan dialih-limpahkan kepada swasta.
Alih-alih menguntungkan masyarakat sekitar, kasih sayang berlebihan pemerintah terhadap pebisnis makin memperkeruh keadaan. Imbas bisnis pariwisata jelas-jelas tak menguntungkan masyarakat. Justru adalah sebaliknya, bisnis pariwisata cenderung menyudutkan kehidupan masyarakat rentan. Sejak awal berdirinya, mereka terusir, mata pencahariannya hilang, berganti lalu pula dibatasi, kondisi hidup tak menentu. Tanah rakyat dicaplok-caplok untuk diprivatisasi investor, sementara akses ke sumber daya dan mata pencaharian mereka pun dibatasi. Pada titik inilah, butuh kegilaan berlipat-lipat untuk sepakat pada pernyataan; ‘proyek strategis nasional pembangunan pariwisata adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat’.
Catatan Kaki
[1] Arnaz Mehta Erdman, 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. Dipublikasikan oleh The Nature Conservancy Indonesia Coastal and Marine Program (PDF), hal. 4
[2] Artikel ini ditulis Echi, yang disarikan dari karya Peter Ouwens (1912) berjudul On Large Varanus Species from an Island of Komodo. Lebih lanjut dapat dilihat pada https://phinemo.com/sejarah-penemuan-komodo/
[3] Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dapat diakses pada https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kegiatan-utama/master-plan-percepatan-dan-perluasan-pembangunan-ekonomi-indonesia-mp3ei-2011-2025/
[4] Kebijakan jangka pendek meliputi; devaluasi nilai tukar mata uang dan kontrol mobilitas mata uang, liberalisasi perdagangan, dan pengetatan anggaran. Kebijakan jangka panjang meliputi; liberalisasi perdagangan dengan mengurangi tarif dan kuota impor, reformasi sistem keuangan, reformasi sektor pajak dan peningkatan pajak tak langsung. Lebih lanjut, lihat Muhammad Rahmat dan Ahmad Erani Yustika, 2017. Dibawah Bendera Pasar (dari Nasionalisasi Menuju Liberalisasi Ekonomi). Malang: Intrans Publishing
[5] Jumlah angka ini diambil dari website Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Manggarai Barat. Selengkapnya dapat diakses pada https://manggaraibaratkab.bps.go.id/subject/16/pariwisata.html#subjekViewTab4
[6] Berbeda dari data sebelumnya, data ini tidak diambil dari BPS Kab. Manggarai Barat dikarenakan data pada tahun 2018 belum dipublikasi. Selengkapnya bisa dilihat dalam https://www.validnews.id/Tarif-Taman-Nasional-Komodo-Naik-untuk-Tekan-Wisata-Massal-DOe
[7] Untuk mengidentifikasi relasi sosial produksi dan reproduksi, Henry Bernstein merumuskan empat pertanyaan kunci ekonomi-politik, meliputi; “siapa memiliki apa”, “siapa melakukan apa”, “siapa mendapatkan apa”, dan “digunakan untuk apa hasil yang didapatkan itu”. Selengkapnya, lihat Henry Bernstein, 2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria, edisi terj. dari bahasa Inggris berjudul Class Dynamics of Agrarian Change. Yogyakarta: Insist Press, hal. 24-25
[8] Divisi Riset dan Publikasi Sunspirit for Justice and Peace, 2016. Pariwisata, Pembangunan dan Keadilan Agraria di Flores (PDF). NTT: Sunspirit for Justice and Peace, hal. 11
[9] Perusahaan ini hanya beroperasi selama 10 tahun dan lantas pergi begitu saja meninggalkan jejak ekologis tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.
[10] PT. Segara Komodo Lestari mendapatkan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) berdasarkan keputusan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 7/1/IUPSWA/PMDN/2015. Sedangkan PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) mendapatkan IUPSWA Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.796/Menhut-II/2014. Selengkapnya https://www.mongabay.co.id/2018/08/16/klhk-pengembangan-wisata-komodo-berprinsip-konservasi-dan-libatkan-masyarakat-benarkah/
[11] PT. Karang Permai Propertindo mengajukan permohonan izin pada 2013, sedangkan empat perusahaan lainnya mengajukan izin setahun sebelumnya. Selengkapnya dalam https://www.mongabay.co.id/2018/08/10/masyarakat-tolak-pembangunan-rest-area-di-kawasan-tn-komodo-apa-alasannya/
[12]Tahun-tahun ini merupakan saat dimana kekuasaan Soeharto dan bala tentaranya masih cukup kuat mengakar. Tindakan-tindakan keji militer bukan main mengintimidasi masyarakat yang tak berdaya ini. Tak ada perlawanan berarti dari masyarakat, mengingat Soeharto dan aparaturnya masih begitu garang waktu itu. Selengkapnya lihat artikel Gregorius Afioma dalam floresa.co. http://www.floresa.co/2017/09/28/bagaimana-efek-pariwisata-bagi-warga-kampung-komodo/
[13] Lebih jauh, lihat Dede Mulyanto, 2012. Genealogi Kapitalisme (Antroplogi dan Ekonomi Politik Pranata Eksplotasi Kapitalistik). Yogyakarta: Resist Book, hal. 27
Sumber Gambar Utama: pintaram.com/u/sunspiritforjusticeandpeace
Lebih dari 8 perusahaan swasta yang mengelola TNK berapakah di antaranya yg kepemilikannya adalah orang Manggarai sendiri. Kalau kurang dari 50% layak pengelolaan tersebut diberhentikan.