Resensi Buku: “Peluru Washington: Peran CIA dalam Pembunuhan dan Kudeta di Berbagai Negara“, Vijay Prashad
Pendahuluan
Amerika menjadi negara dengan kekuatan global yang dominan. Di era demokrasi modern, Amerika kerap mengklaim dirinya sebagai negara rujukan untuk model demokrasi, baginya “untuk menjadi negara maju yang demokratis, tirulah kami”. AS menciptakan standar demokrasi, mereka terus-menerus ikut campur urusan dalam negeri negara lain. Bagi AS, tujuan ini bukan sepenuhnya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menciptakan “dunia yang lebih baik”.
Klaim dan intervensi AS menguat di masa Perang Dingin, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya, yang popular lembaga seperti Central Intelligence Agency (CIA), lembaga yang dibentuk untuk tugas spionase di masa perang dingin. Pasca Perang Dingin, strategi berubah, Amerika sadar “mempromosikan demokrasi” dengan cara sembunyi-sembunyi sulit untuk mendapatkan hasil yang cepat. Karenanya, di tahun-tahun berikutnya AS gencar “promosi demokrasi”, kali ini diperankan oleh lembaga quasi-AS, seperti United States Agency for International Development (USAID)[1] dan National Endowment for Democracy (NED)[2]. Lembaga yang fungsi pokoknya adalah menyediakan kerangka institusional dan bantuan dana untuk “demokrasi” yang akan dibangun di luar negara AS. Lembaga ini dianggap non-government (biasa disebut NGO), seolah tidak terikat dengan kendali struktur politik kekuasaan, faktanya 2 lembaga tersebut bergantung pada dukungan finansial tahunan dan perintah dari pemerintahan AS itu sendiri.
Hingga sekarang pun intervensi lembaga-lembaga serupa yang dibentuk AS untuk negara lain masih eksis dan mampu mempengaruhi pengetahuan umum tentang apa yang dimaksud “demokrasi”. Namun ini hanya bagian kecil cara AS untuk membangun dunia. Kita perlu cek sejarah, melihat apa yang terjadi sebelum itu, karena membentuk institusi di suatu negara pada akhirnya membutuhkan kekuatan politik yang sejalan dengan kepentingan AS. Dari sinilah muncul strategi “Kudeta dan Pembunuhan” bagi negara yang tidak “seiman” dengan Washington.
Untuk mengungkap kejahatan AS, tulisan ini akan merangkum buku yang ditulis Vijay Prashad, buku yang berkisah tentang keterlibatan AS dalam pembunuhan dan kudeta di banyak negara (khususnya Dunia Ketiga). Ditulis berdasarkan dokumen-dokumen pemerintah AS (khususnya dokumen CIA), pemerintah sekutu, organisasi multilateral, dan memoar para pejabat. Sehingga menghasilkan kisah tentang kekejaman AS untuk menciptakan “tatanan dunia baru”.
Panduan Kudeta
“Begitulah permainan dilakukan” jawab Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat (AS) waktu itu yang berhasil merongrong pemerintahan sosialis Chile, Salvador Allende, yang terpilih secara demokratis di Pemilu 1970. AS sempat mengintervensi melalui jalan pemilu di Chile namun gagal, karena dukungan untuk Allende terlampau kuat. Kudeta di Chile terjadi tahun 1973. Melalui amanat Nixon dan penasihat keamanan nasional AS, mereka mengizinkan pemerintah AS untuk melakukan apa saja yang mungkin dilakukan untuk rencana kudeta Allende. Juni 1971, Menteri Keuangan AS berkata kepada Nixon bahwa “tampaknya cara untuk mengintervensi atau menghalangi mereka adalah dengan menutup pinjaman mereka atau menutup pasar untuk komoditi yang mereka produksi, sekarang anda tidak dapat menjatuhkan sanksi militer, tetapi kita dapat menjatuhkan sanksi ekonomi”.
Menekan ekonomi nasional Chile adalah pilihan yang rasional untuk memulai rencana kudeta, karena Allende pada saat yang sama, menunjukkan keseriusannya untuk memulai agenda rezim sosialisnya melalui nasionalisasi industri di banyak sektor. Di lain sisi, Chile masih bergantung pada pinjaman bank dunia, yang jelas-jelas dibawah kendali Amerika Serikat. Di bawah rezim Allende, tekanan ekonomi AS bagi Chile akhirnya meningkat, pinjaman AS untuk Chile berkurang dari $46 juta pada 1970 menjadi $2 juta 1972, ekspor-impor Bank menurunkan rating Chile dari B ke D, yang merupakan angka tingkat terendah. Akhirnya, ekonomi Chile kocar-kacir, inflasi naik lebih dari 1.000 persen dan standar hidup rakyat Chile mulai menurun. Kondisi ini menciptakan protes massa oleh rata-rata kelas yang tidak diuntungkan akibat program nasionalisasi ekonomi dan reforma agraria, protes tentu dikendalikan oleh militer pro AS karena alasan tidak puas dengan kondisi ekonomi.
Setelah embargo diterapkan, CIA mulai menyebarkan kampanye hitam tentang pemerintahan Allende. Situasi Chile semakin berantakan, inflasi tinggi, defisit pangan dan kekerasan antar kelompok terjadi semakin intens. Di lain sisi, CIA melakukan pendekatan dengan militer yang bisa dikendalikan, militer AS bahkan ditempatkan di bawah kendali operasional CIA untuk menyampaikan perintah kudeta di tengah gejolak politik dalam negeri Chile. September 1973, waktu yang tepat bagi para Jenderal, mereka meluncurkan aksi untuk menggulingkan Allende, barisan pasukan dan deretan tank mengepung istana. Serangan udara diluncurkan ke arah istana, kobaran api menyelimuti sebagian besar sisi La Moneda. Militer masuk ke dalam dan menggeledah seisi ruangan. Allende ditemukan tewas dengan senapan di tangannya. Kekuasaan kini berada di tangan diktator Augusto Pinochet, jendral sokongan AS.
Setelah kekuasaan berada di tangan proxy AS, mereka tidak akan membiarkan kelompok kiri berkeliaran begitu saja, sekalipun tidak lagi memiliki pengaruh di kekuasaan, namun kelompok kiri punya aktor intelektual yang mampu mempengaruhi massa. Maka, panduan selanjutnya adalah “penyelidikan pembunuhan”. Vijay dalam hal ini mengisahkan beberapa negara yang dibantai AS setelah kudeta berhasil dilakukan. Salah satunya kudeta Jacobo Arbenz, Guatemala (1954). Muncul nama Carlos Castillo Armas, kolonel militer binaan United Fruit Company (Perusahaan AS yang memiliki tanah terluas di Guatemala) sebagai Presiden pilihan AS yang menggantikan Arbenz. Setelah kudeta, Castillo membawa Guatemala ke era pemerintahan teror, baginya “jika diperlukan, saya tidak akan segan mengubah negara ini menjadi kuburan agar damai”. Lalu beredarlah “daftar pembersihan” dari CIA untuk orang-orang yang harus di eksekusi. Pemimpin petani, pekerja, kaum komunis, dan intelektual marxis di Guatemala berada di daftar ini.
CIA sendiri punya daftar kaum komunis terkemuka yang akan disingkirkan, termuat dalam dokumen mengerikan dengan judul sederhana, Penyelidikan Pembunuhan. Tertulis dalam dokumen ini “perintah pembunuhan tidak boleh ditulis atau direkam, keputusan harus diambil dan dipertahankan di lapangan”. Militer kanan tentu menyambut baik instruksi ini, kemudian membantai ratusan orang yang dianggap terlalu bahaya jika dibiarkan hidup di tengah rakyat. Dengan pola yang sama, situasi yang lebih mengerikan sebenarnya terjadi di Indonesia (1965-1966), pembersihan politik paling brutal pada era modern. Dalam hal jumlah, dibandingkan Guatemala pun, di Indonesia jauh lebih banyak (sebagian data menunjukkan 500 ribu-1 juta orang).
Dari paparan singkat diatas, penulis menunjukkan dua panduan yang sering digunakan AS untuk menghancurkan negara-negara lain, yakni strategi “ciptakan masalah ekonomi” dan “penyelidikan pembunuhan”. Dalam buku ini, Vijay menulisnya ada 9 (Sembilan) panduan[3]. Ia menjelaskan dalam bukunya dimulai dari kudeta AS untuk Jacobo Arbenz di Guatemala yang terjadi di tahun 1954. Kelak digunakan kembali untuk melengserkan banyak rezim sosialis; Joao Goulart (Brazil, 1964), Jacobo Arbenz (Guatemala, 1954), Abd al-Karim Qasim (Irak, 1961), Sukarno (Indonesia, 1965), Patrice Lumumba (Kongo, 1961), Juan Jose Torres (Bolivia, 1971). Pada intinya, siapa pun yang mendorong agenda nasionalisme ekonomi dan segala hal yang mengancam dominasi pasar korporasi transnasional serta menawarkan keuntungan kepada kaum sosialis, maka masuk dalam “daftar pembersihan”.
Ini Perang “Kelas”
Dari semua negara industri besar, Amerika Serikat menderita kerugian paling sedikit dalam Perang Dunia II. Tidak ada kota yang dibom. Tidak ada pasar manufaktur yang hancur, para ilmuwan dan insinyur Amerika justru semakin terampil dalam meningkatkan produktivitas sektor manufaktur Amerika dan dengan cepat mengembangkan kapasitas teknologi yang diperlukan untuk menghancurkan seluruh dunia. Di Amerika Serikat, jumlah korban tewas dalam Perang Dunia II hanya sekitar 400.000 jiwa. Tidak ada keraguan bahwa Amerika Serikat, dengan keunggulan teknologi dan industri serta kekuatan militernya, menjadi negara yang dominan setelah Perang Dunia II. Di lain sisi, Soviet kerusakan parah, dalam Pertempuran Stalingrad saja, 1,2 juta warga Soviet tewas, dan sektor manufaktur Soviet terkena dampak parah akibat pengeboman Nazi Jerman di pusat-pusat industri yang tidak berproduksi selama Perang Dunia II. Pada akhir perang, rakyat Soviet rata-rata kehilangan pendapatan selama 25 tahun karena pendanaan perang.
Tanda-tanda kemenangan Amerika semakin dekat. Setahun sebelum berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1944, Amerika Serikat menjadi tuan rumah bagi perwakilan pemerintah dari seluruh dunia untuk merayakan akan munculnya “tatanan dunia baru”. Konferensi ini tidak didasarkan pada kesetaraan tetapi bertujuan untuk menetapkan kondisi untuk mengakui kekalahan. Masa depan Eropa harus diputuskan sebelum Amerika mengambil kendali atas seluruh dunia. Pertemuan ini melahirkan lembaga tukang dikte untuk membentuk “tatanan dunia baru” yang masih eksis hingga saat ini, adalah IMF dan Bank Dunia. Tujuannya jelas untuk membangun kembali dunia setelah kehancuran dan menstabilkan turbulensi kapitalisme.
Di periode baru, Perang Dingin, muncul blok utara dan Selatan. Kontradiksi utama periode baru ini tampak antara kekuatan dekolonisasi dan imperialisme. Pada 1953, Dewan Keamanan Nasional (NSC) AS menyusun laporan yang secara terus terang menunjukkan kepentingannya di dunia. Laporan ini menyatakan bahwa Amerika Serikat harus memastikan “tidak ada yang diperbolehkan ikut campur secara jauh terkait dengan ketersediaan minyak dari sumber-sumber tertentu di dunia dengan semuanya”. Dalam laporannya, NSC merujuk pada kawasan Teluk, yang merupakan produsen utama minyak untuk kapitalisme yang digerakkan dengan bahan bakar fosil. Dari Sini Amerika Serikat melakukan “setiap upaya untuk memastikan bahwa sumber daya ini tersedia dan digunakan untuk memperkuat Dunia Bebas”. Pemerintah Amerika Serikat (dibawah pimpinan Truman) menggunakan istilah “Dunia Bebas” sebagai alat untuk kampanye masif dalam perang. Ideologi komunisme di bawah kelas pekerja dianggap berwatak totaliter, sedangkan liberalisme identik dengan kebebasan. Maka, Dunia Bebas berhak mengklaim sumber daya dari dunia terjajah, yang harus dipaksa menyerahkan kekayaannya demi kebebasan pihak lain.
Contohnya, di wilayah timur, Raja Arab Saudi (Abdul Aziz bin Saud) dipuji Truman karena “kepemimpinannya yang tercerahkan”. Pemimpin yang “tercerahkan” ini menghadapi perjuangan buruh yang kuat di kawasan minyak Arab Saudi (ARAMCO) sejak 1945 yang dimobilisasi kelompok komunis. Arab Saudi menggunakan hubungannya dengan AS untuk menempatkan tentara AS di kawasan minyak sebagai jaminan apabila terjadi pemberontakan oleh perjuangan buruh. Akhirnya, Arab Saudi setuju untuk membagi laba minyak dengan AS, setiap pihak, dalam hal ini AS-Arab Saudi mendapatkan 50 persen laba. 1956, pemogokan buruh minyak ditindas dengan kekuatan penuh oleh aparat keamanan, para pemimpin buruh dipenjara, kebebasan pers dibungkam, alih-alih kebebasan rakyat, minyak harus mengalir. Inilah motif utama AS, mendapatkan keuntungan dari produksi minyak dan menumpas perjuangan buruh.
Ini adalah perang kelas, kelas-kelas yang mendukung imperialisme biasanya adalah aristokrasi lama, oligarki tanah, dan kapitalis baru. Pertarungan antar kelas ini berlangsung lama setelah Perang Dunia Kedua. Jika partai pekerja dan petani mendekati kekuasaan kaum imperialis, mereka harus dicegah atau disingkirkan dari jabatan, instrumen yang paling sering digunakan Amerika adalah campur tangan dalam pemilihan umum dan kudeta. Jika partai pekerja dan petani mendekati kekuasaan, mengambil-alih kekuasaan, dan menentang kekuasaan kaum kapital imperialis, mereka harus dicegah atau disingkirkan dari jabatan
Penutup
Untuk menutup tulisan rangkuman ini, penulis ingin menyampaikan dalam bagian pengantar buku ini, yang ditulis tahun 2020 oleh Evo Morales Ayma (Mantan Presiden Bolivia).
“Zaman telah berubah dan bisnis tidak lagi dijalankan dengan cara yang sama. Namun, metode dan respon utama kaum imperialis umumnya tidak berubah, imperialis-kapital lah yang menyebabkan krisis di planet kita hari ini, melahap sumber daya alam, dan memusatkan kekayaan yang diperoleh dari hisap dan penghancuran. Namun, jika mimpi kami tentang keseimbangan Pachamama (ibu pertiwi), kebebasan, dan keadilan sosial belum terwujud atau malah dipatahkan, penyebab utamanya adalah imperialisme yang ikut campur dalam revolusi politik, budaya, dan ekonomi kami, sikap keras kepala Washington dalam menembakkan peluru ke arah penduduk kami”
Catatan Kaki
[1] Membongkar Neo-Imperialisme, ‘Menyelamatkan NGO’ – Transisi
[2] Lembar Fakta tentang National Endowment for Democracy (china-embassy.gov.cn)
[3] 9 Panduan pergantian rezim menurut Vijay: Pengaruhi opini publik, menunjuk orang lapangan, menyiapkan jenderal, ciptakan masalah ekonomi, pengucilan diplomatik, mengadakan protes massa, lampu hijau, penyelidikan pembunuhan, dan menyangkal.
Gambar: socialistaction.net