Pembangunan di Tengah Kemelut Krisis Ekologi

Oleh: Rudi Hartono[1]

Tanpa suatu analisis yang mendalam secara historis dan luas secara geografis, tanpa analisis yang tidak mengkaji ekonomi politik, ada resiko yang kita temukan hanya residu makna. Mungkin yang kita temui kubangan, dan bukan badai hujan, dan yang pasti bukan awan yang berkumpul. Paul Farmer (2004: 309)

 

Persoalan ekologi (lingkungan) pada dasarnya merupakan hal vital dalam kehidupan. Relasi antara lingkungan dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Dari lingkungan, seseorang membutuhkan lahan untuk memproduksi bahan makanan untuk diri sendiri dan orang lain. Sedangkan dari manusia, lingkungan membutuhkan untuk dilestarikan, dijaga dan dirawat agar tidak rusak dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sudah selayaknya untuk saling berhati-hati dalam memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Purnawan D Negara[2] mengatakan, 60 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Daya dukung lingkungan, tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang tinggal di Jawa[3].

Di era industrialisasi dewasa ini, dunia global (Indonesia pada khusunya) tengah berada dalam suatu ancaman krisis lingkungan yang disebabkan oleh kekuatan industri yang beroperasi di beberapa daerah yang kaya sumber daya alam. Bangsa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, mulai dari darat hingga laut. Dengan bonus demografi, bangsa Indonesia memiliki kesempatan yang sangat besar untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera di muka bumi, jika kekuatan yang dimiliki dapat dioptimalkan dengan baik.

Dalam hal ini, pemerintah selaku pemangku kebijakan yang mendapat mandat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan amanah konstitusi seharusnya mampu mewujudkan sila ke-5 Pancasila ”Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Akan tetapi yang menjadi persoalan, cengkraman utang dalam/luar negeri telah memaksa Indonesia mengalami ketergantungan pada investor. Sehingga konsekuensi dari ketergantungan tersebut, telah memberikan keleluasaan bagi korporasi serta negara imperialis untuk mengeruk kekayaan alam bangsa Indonesia. Sehingga cita-cita ”kesejahtraan” hanya menjadi slogan musiman (Pilkada, Pilwali, Pilgub, dan Pemilu) yang bermakna utopis.

Kondisi ketergantungan itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah tidak melupakan sejarah. Sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah perlawanan terhadap penjajah. Sebelum kemerdekaan, negara-negara imperialis menduduki bangsa ini hanya semata-mata untuk mengeruk kekayaan alam. Akan tetapi dengan semangat dan kesadaran, rakyat Indonesia kala itu berhasil mengusir mereka dari bangsa ini. Saat pemerintahan di bawah rezim Soekarno, dengan tegas dan jelas pemerintah memutuskan untuk menolak modal asing. Sebaliknya, pemerintah justru menasionalisasi beberapa perusahan asing yang tengah beroperasi di Indonesia. Namun semua ketegasan pemerintah itu telah menjadi cerita masa lalu yang terekam dalam buku/dokumen sejarah. Saat kekuasaan Orde lama (Soekarno) lengser, bangsa Indonesia dinahkodai oleh Soeharto yang pro terhadap liberalisme. Inilah awal mula bangsa Indonesia berada dalam durasi panjang ketergantungan terhadap modal asing yang terjadi hingga saat ini.

Di bawah rezim Jokowi-JK, kondisi itu juga belum berakhir. Investasi justru semakin terbuka lebar untuk pemodal. Dengan demikian bangsa ini tengah berada dalam kendali korporasi sampai beberapa tahun mendatang. Kesejahteraan sosial kemudian nihil terjadi. Semakin pemerintah memberikan keleluasaan terhadap korporasi itu sama halnya dengan pemerintah membiarkan mereka menginjak-nginjak harkat dan martabat bangsa ini. Akar permasalahan ini bukan hanya terletak pada korporasi, melainkan pemerintah. Sebab dari merekalah korporasi dapat masuk. Inilah salah satu pesan Soekarno yang sudah sejak lama mengingatkan bahwa, “Lawan kita kedepan bukan lagi asing, melainkan bangsa kita sendiri”.

Tinjauan atas Kehadiran Industri di Kalimantan Selatan dan Jawa Timur

  1. Kalimantan Selatan.

Dalam masa sepuluh tahun, sejak 1994 hingga 2004, eksploitasi batubara di Kalimantan Selatan naik delapan kali lipat. Dari jumlah 7,04 juta ton tahun 1994, naik menjadi 54,54 juta ton pada 2004. Angka ini menyumbang sekitar 41,21% total produksi batu bara nasional pada 2004, peringkat ke dua setelah Kalimantan Timur, sebagai daerah penghasil batu bara terpenting di Indonesia. Peningkatan ini terjadi telah pemerintah Orde Baru menetapkan UU Pokok Pertambangan dan Penanaman Modal Asing pada tahun 1967. Untuk jumlah produksi batu bara di Kalsel mengalami kenaikan sejak tahun 90-an hingga 2004. Hal ini menunjukan betapa kekuatan korporasi semakin besar dan eksploitasi atas alam semakin menggila. Seperti dalam tabel berikut.

2 awal

Sumber: issuu.com[4]

Yang menjadi persoalan mendasar adalah eksploitasi yang semakin menggila, namun tidak memberikan dampak positif terhadap masyarakat setempat. Bahkan yang ada hanyalah masyarakat setempat semakin sengsara dengan kehadiran industri di sekeliling mereka, yang tengah membawa bencana kehidupan bagi mereka. Setidaknya pengerukan batu bara menyebabkan hancurnya ekosistem sungai, krisis air bersih, akibat tercermarnya sumber-sumber air dan penurunan muka air tanah, mengancam tingkat ketahanan pangan dan ekonomi rakyat serta potensi timbulnya wabah panyakit.

  1. Jawa Timur.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur Rere Christanto mengatakan sedikitnya 608.913 hektare lahan hutan di provinsi itu dalam kondisi kritis karena eksploitasi tambang secara berlebihan. Di Kota Batu, dari 111 sumber mata air yang pernah tercatat, sekarang hanya tersisa 57 mata air. Prakarsa masyarakat untuk penyelamatan sumber daya air tidak jarang harus menghadapi ancaman konflik, bahkan kriminalisasi[5].

Di wilayah Madura, keberadaan blok migas kebanyakan di wilayah lepas pantai, seringkali terjadi gesekan antara kepentingan nelayan dan tekanan investasi migas. Di wilayah ini terdapat 17 blok migas yang beroperasi di wilayah Madura. Walaupun kerap mendapatkan kritik karena persoalan ekologi yang di sebabkan oleh industri migas di kawasan Madura dan pesisir.

Potensi kekayaan alam (mineral) di wilayah pesisir selatan Jawa Timur merupakan lahan empuk bagi korporasi dalam melakukan akumulasi kapital. Terdapat 12 potensi mineral seperti tercatat dalam tabel berikut.

2 sdghfhj

Sumber: http://walhijatim.or.id[6]

3 hgsdfy

Sumber: http://walhijatim.or.id[7]

Sepanjang tahun 2016, situasi krisis ekologis di wilayah Jawa Timur tengah mengarah kedalam situsia yang buruk (seperti yang dirilis oleh WALHI Jatim). Persoalan yang ada semakin kompleks. Mulai dari pencemaran lingkungan, berkurangnya kualitas air, pembunuhan aktivis tambang (Salim Kancil), rencana perluasan bandara juanda yang berdampak pada berkurangnya lahan pertanian, sampai kematian warga desa Karanglo yang berada di sekitar kawasan tambang semen Kabupaten Tuban yang di sebabkan oleh penyakit saluran pernafasan yang di duga berasal dari pencemaran udara.

Semangat Kapitalisme dalam Pembangunan

Gagalnya sistem bretton woods pada tahun 1960-an yang dikenalkan oleh Amerika Serikat dan Inggris membuat para kaum intelektual, teknokrat, politisi dan sebagainya, meninggalkan ajaran-ajaran Keynes menuju jalan baru, yaitu kapitalisme-neoliberalisme. Proses deindustrialisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa Barat telah melahirkan krisis fiskal di pertengahan 1970an, pada titik inilah faham kapitalisme-neoliberalisme semakin memperkokoh eksistensinya. Sejak lahirnya Konsensus Washington, terdapat tiga penegas utama yang mengulasnya, seperti Hayek (1994), Rapley (2002) dan Kruege (1998). Inti dari konsensus Washington adalah pertama, badan-badan negara tidak memiliki pengetahuan waktu dan ruang mengenai kebutuhan dan prefrensi riil dari masyarakat. Kedua, kepemiliki publik, kontrol harga dan bentuk intervensi negara lainnya terlalu mencekik swasta, sehingga mengurangi produktivitas ekonomi dan menurunkan harga-harga konsumen. Ketiga, otoritas yang tak terkontrol dan insentif yang tak memadai akan menciptakan pembengkakan birokrasi dan praktek korup yang mengalihkan sumber-sumber daya dari bentuk investasi yang sebenarnya produktif[8].

Kapitalisme pada dasarnya mendasarkan diri mereka dalam enam asumsi. Pertama, percaya akan kebebasan dalam bidang ekonomi. Kedua, ekonomi pasar diletakan diatas sistem persaingan. Ketiga, ekonomi akan berjalan lancar dan selalu mengalami penyesuaian jika tidak ada intervensi pemerintah. Keempat, memenuhi kepentingan individu akan memenuhi kepentingan masyarakat. Kelima, menitikberatkan kegiatan ekonomi, khususnya kegiatan industri. Keenam, ekonomi klasik percaya terhadap hukum pasar, yakni supply creates it own demand[9].

 

Industrialisasi Ilsui Kesejahtraan Namun Nyatanya Kesengsaraan

Menguatnya semangat kapitalisme neo-Liberalisme dalam tubuh pemerintah Indonesia, telah membuat Pancasila (Sebagai Ideologi resmi bangsa Indonesia) telah mengalami pergeseran nlai dari masa Orde lama, Orede baru hingga Reformasi[10]. Kesejahteraan sosial semakin menjadi ilusi ketika keberpihakan pemerintah dengan jelas terlihat bukan pada rakyat melainkan korporasi (pemodal). Dari beberapa persoalan yang sudah dijelaskan di atas tadi, pada dasarnya kehadiran industrialisasi telah membuat bangsa ini masuk dalam masalah besar. Tidak adanya kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat —misalnya yang ada di sekitar tambang— sudah jelas menunjukkan betapa industrialisasi hanya memberikan kesejahteraan kepada segelintir orang yang memiliki modal (uang dan jabatan) dalam meraup kapital dari hasil eksploitasi terhadap alam bangsa ini.

Sejak pemerintahan orde baru, semangat liberalisme dalam pembangunan telah dijalankan namun semua itu berakhir dengan krisis yang mengahantam bangsa ini di tahun 1997/98, hingga reformasi semangat pembangunan di masa Orba masih dilanjutkan. Padahal hingga saat ini pembangunan yang berlandaskan pada spirit neoliberalisme hanya melahirkan angka kemiskinan dan kesenjangan yang semakin lebar. Jasa terbesar Soeharto terhadap pebisnis Barat adalah dirinya telah menyingkirkan ”Soekarno[11]”, seorang nasionalis yang yakin pada kemandirian ekonomi rakyatnya.

Jika ditelisik kembali dari rezim Orde Lama sampai reformasi ada hal yang berbeda. Jika di rezim Orde Lama pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing serta menolak liberalisme, Orde Baru dan Reformasi melakukan hal yang sebaliknya yaitu memilih jalan liberalisme dan melakukan privatisasi terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini pada dasarnya merupakan dampak dari himpitan hutang dan dominasi korporasi yang semakin kuat pada bangsa ini.

Ambisi pemerintah dalam membawa bangsa ini maju seperti negara-negara eropa dan lainnya telah merangsang mereka untuk melakukan pembangunan yang sudah terdistorsi. Pembangunan seakan dilihat pada aspek infrastrutur, gedung bertingkat, hotel mewah, jalan lebar beraspal, dan mall-mall. Padahal ini bukanlah hal yang utama dalam membangun sebuah bangsa. Padahal Pembangunan yang utama adalah pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik yang baik. Oleh karena pembangunan dimaknai semacam itu, konsekuensi logisnya adalah membuka keran investasi yang besar dan berakhir pada kesengsaraan rakyatnya sendiri. Oleh karena yang menikmati keuntungan hanyalah pemodal, sedangkan rakyat paling tinggi hanya sebagai pekerja yang dipaksa untuk menggantungkan hidup mereka pada pemodal.

 

 

[1] Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN Malang

[2] Dewan Daerah Walhi Jawa Timur, Kritik ini disampaikan ke Perhutani, terkait pembukaan rest area di Gubuk Klakah, Kecamatan Poncokusumo. Sebab warga sekitar melaporkan, ada sejumlah pohon yang sengaja ditebang. Diambil dari http://walhijatim.or.id/2016/09/tebangi-pohon-inilah-kritik-wahana-lingkungan-hidup-ke-perhutani/, Diakses pada tanggal 21 Januari 2017, Jam 19.20 WIB.

[3] http://walhijatim.or.id/2016/09/tebangi-pohon-inilah-kritik-wahana-lingkungan-hidup-ke-perhutani/, Diakses pada tanggal 21 Januari 2017, Jam 19.20 WIB.

[4] https://issuu.com/walhi/docs/buku_walhi_kalsel_menggali_kubur_se, Diakses pada 30 januari 2017, Jam 03.57 Wib.

[5] http://walhijatim.or.id/2016/06/walhi-608-913-hektare-lahan-hutan-jatim-kritis-akibat-eksploitasi-tambang/, Diakses pada tanggal 21 Januari 2017, Jam 19.12 WIB.

[6] Diambil dari catatan lingkungan hidup jawa timur 2016, yang dirilis oleh WALHI Jawa Timur dengan tema “Mendiami Negeri Yang Tak Layak Huni”.

[7] Data yang diambil dari catatan lingkungan hidup jawa timur 2016, yang dirilis oleh WALHI Jawa Timur dengan tema “Mendiami Negeri Yang Tak Layak Huni”. Data tersebuk kemudian diolah kembali oleh penulis

[8] Craig Jhonson, Pembangunan Tanpa Teori Kuasa pengetahuan dan perubahan sosial, Terj. Eko P. Darmawan (Yogyakarta: Resist Book, 2013), Hal 12-13. Ulasan lebih lanjut dari ketiga penegasan tersebut dapat dilihat dalam gagasannya (Hayek 1994), (Rapley 2002) dan (Kruege 1998)

[9] Mansour Fakih, Runtuhnya teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogjakarta: INSISTPrees, 2001) Hal 40.

[10] Pada masa orde lama Pancasilah mengarah ke Sosialisme Demokratik, Orde Baru mengarah ke Liberalisme campuran dan Reformasi mengarah ke Neoliberalisme. Suryajaya, Martin. “Pengantar Ideologi” 6 Februari 2017. http://indoprogress.com/2014/12/pengantar-ideologi/

[11] Soekarno (Presiden Indonesia Pertama) dengan tegas menentang masuknya korporasi barat ke Indonesia serta mengusir agen-agen Barat seperti; Bank Dunia dan dana moneter internasional.

Gambar: https://www.motherjones.com/environment/2010/04/climate-desk-climate-change-corporations/

Tinggalkan Balasan