Oleh:
Rudi Hartono
Di Maluku, keberadaan kapitalisme di wilayah tersebut sudah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu. Bisa kita telusuri jejaknya pada masa penjajahan bangsa Eropa di Nusantara. Dalam sejarah, Maluku dikenal sebagai wilayah dengan potensi alam berupa rempah-rempah, ia merupakan “magnit” bagi bangsa Eropa. Pulau Run adalah saksi sejarah[1], bagaimana posisi tawar Maluku di mata dunia kala itu. Maluku diperebutkan Portugis, Inggris, dan Belanda lantaran kekayaan alam yang melimpah.
Kehidupan masyarakat Run sebelum masuknya bangsa Eropa pada awal abad ke-16 digambarkan Des Alwi (2005): “mereka sudah bisa mengelola potensi pertaniannya sendiri, mereka merupakan distributor minyak kelapa sampai ke pulau-pulau lain di kepulauan Banda. Mereka yang memegang kendali atas perdagangan di wilayah tersebut”[2]. Namun semua itu kemudian berubah. Sejak masuknya bangsa Eropa di penghujung abad ke-16, Inggris dan Belanda merubah tatanan ekonomi masyarakat. Melalui perjanjian tentang perdagangan yang dibuat oleh Laksamana Verhoeven dengan sebagian orang kaya di Banda pada tahun 1908. Isi perjanjian tersebut menyatakan kalau Pala dan Fuli hanya boleh dijual pada Belanda termasuk dengan hasil rempah-rempah di Run[3].
Potensi alam yang begitu melimpah telah membius para penjajah. Keserakahan mereka telah mendorong penguasa kala itu untuk menukar Pulau Run dengan Manhattan (saat ini dikenal dengan New York)[4]. Bisa kita bayangkan bagaimana potensi alam di Run kala itu yang ditopang oleh kedudukan rempah-rempah sebagai komoditas paling mahal harganya pada masanya. Penjajahan yang begitu lama di Nusantara telah membentuk struktur ekonomi-politik di Indonesia dengan begitu kuat. Saat kemerdekaan berhasil diperjuangkan, bangsa Eropa berhasil mewariskan ekonomi kolonial pada bangsa Indonesia. Kondisi inilah yang membuat aasyarakat Maluku tetap berada dalam penjajahan. Benar apa yang dikatakan Soekarno bahwa “kelak perjuangan kalian lebih berat, karena melawan saudara sendiri”.
Richard Robison dalam bukunya –The Rise Of Capital[5]– memberikan kita gambaran yang jelas dalam memahami kapitalisme di Indonesia. Dalam upaya membangun hegemoni, para pedagang Belanda membentuk Vereenigde Ostindische Compagnie (VOC) dengan memperluas kontrol perdagangan atas penguasa lokal melalui penaklukan militer, aliansi politik, memaksa penguasa lokal untuk menyerahkan hasil produksi, memberikan monopoli perdagangan domestik dan menyerahkan hak politik tradisional atas tanah, tenaga kerja, dan produksi.[6]
Di bawah sistem kolonial, sesungguhnya Masyarakat Maluku berada dalam kondisi yang tidak sepenuhnya berdaulat. Kedaulatan hanya dirasakan oleh orang-orang tertentu, yang secara ekonomi masuk dalam strata menengah keatas. Dalam perjanjian perdagangan 1908, sudah jelas bahwa pihak pribumi yang ikut dalam membuat perjanjian tersebut hanyalah (sebagian besar) orang kaya, sedangkan mereka yang tergolong miskin tidak dilibatkan.
Penjajahan kapitalisme terhadap masyarakat Maluku berlangsung kembali pasca kemerdekaan 1945. Tepatnya pada masa Orde Baru dengan menggunakan sistem tata niaga cengkeh[7]. Para oligark Tionghoa yang tergabung dalam gabungan perusahaan pabrik rokok Indonesia (Gappri) memonopoli perdagangan rokok. Monopoli yang berlangsung sejak tahun 1980-an ini telah merangsang Tomy Soeharto –putra Presiden Soeharto– untuk mendirikan Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC)[8]. Tidak ada yang membedakan antara Gappri dan BPPC karena keduanya jelas memiliki tujuan yang sama: akumulasi.
Gerakan Reformasi 1998 yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru tidak lantas ikut meruntuhkan penindasan di Maluku. Orde Baru mewariskan kapitalisme pada masa Reformasi. Itu artinya, penindasan terhadap masyarakat Maluku akan terus berlanjut. Meskipun pada abad 21, rempah-rempah sudah tidak menjadi komoditas utama, bukan berarti Maluku tidak menjadi rebutan para kaum kapitalis.
Sebagai mana yang kita ketahui potensi alam di Maluku tidak hanya rempah-rempah. Maluku juga memiliki potensi Minyak dan Gas yang begitu besar[9]. Sehingga dalam konteks ini, Maluku masih berpotensi untuk diperebutkan. Maka, tidak berlebihan jika saya menyebut Maluku sebagai “Tanah Surga” yang harus diperjuangkan kesuciannya dari kapitalisme. Lantas apakah dengan potensi alam di Maluku yang begitu besar membuat masyarakat sejahtera? Sama sekali tidak! kekayaan alam di Maluku hanya dirasakan oleh segelintir orang sedangkan sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan.
Pada tahun 2017, Maluku ditempatkan pada urutan ketiga sebagai daerah dengan penduduk miskin di Indonesia.[10] Dengan Gini Rasio tercatat sebesar 0,321 per Januari 2018. BPS mengkategorikan kondisi tersebut masuk dalam ketimpangan yang rendah. Kategori tersebut dilakukan hanya bertujuan untuk meredam amarah publik. Dari sini kita dapat melihat bagaimana pemegang otoritas publik hendak melakukan penyederhanaan masalah yang dihadapi masyarakat. Seolah ketimpangan disebabkan oleh hal yang sederhana. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Dalam kapitalisme, ketimpangan tetaplah ketimpangan. Tidak ada yang baik dalam kondisi ketimpangan dalam sistem kapitalisme. Karena di situ masyarakat benar-benar dihisap dan dipaksa untuk tunduk pada kekuatan kapital. Sebab kapitalisme adalah aktor dibalik lahirnya kemiskinan di muka bumi. Ia telah mencerabut moralitas dalam ekonomi. Mungkin yang dikatakan dalam drama Filem India, Raees, benar bahwa “tidak ada agama yang lebih besar dari pada bisnis”.
Kehadiran Jokowi-JK dengan paradigma pembangunan Indonesia sentris seolah-olah memahami bagaimana mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia (khususnya Maluku). Dengan solusi teknokratis yang bersandar pada kapitalisme, pembangunan yang merata diyakini sebagai solusi. Sebab menurut mereka, selama ini pembangunan hanya berfokus di Pulau Jawa (lebih tepatnya Indonesia bagian barat) sehingga berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi, jadi tidak maksimal danberdampak pada persoalan kesejahtraan. Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa dalam logika rezim Jokowi-Jk
“Pembangunan Indonesia Sentris” tidak lain adalah upaya menciptakan proletarianisasi secara merata. Mengapa demikian? Sebab solusi yang ditawarkan rezim adalah untuk mempermudah proses ekspansi kapitalisme dan akumulasi. Dalam tahap ini, ia mensyaratkan adanya infrastruktur yang memadai guna memperlancar jalannya kapital lintas ruang. Hal ini tentunya akan berdampak langsung pada pelepasan ruang-ruang hidup masyarakat. Maka yang perlu untuk ditelisik lebih jauh adalah modus operandi dalam kebijakan pembangunan Jokowi-JK.
Modus Operandi Kapitalisme Kontemporer
Kapitalisme adalah suatu tipe ekonomi yang merupakan hasil dari Revolusi Industri abad ke-18. Karl Marx mendefinisikannya sebagai masyarakat yang memproduksi komoditas, dimana alat-alat produksi utama dimiliki kaum borjuis dan tenaga kerja manusia dijadikan sebagai komoditas. Esensi paling medasar dari kapitalisme adalah kapital yang dilengkapi oleh alat-alat produksi dan pasar[11]. Iya memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya melalui akumulasi (ekspansi dan konsentrasi kapital) dan revolusionisasi metode produksinya[12].
Dalam ramalan Marx, kapitalisme akan mengalami kehancuran lantaran kontradiksi internal yang tidak bisah dihindari. Watak akumulasi dari kapitalisme, menurut Marx, akan mempercepat kejatuhan tingkat laba. Suatu laba yang jatuh menyatakan suatu kejatuhan tingkat nilai-lebih hanya jika rasio antara nilai kapital konstan dan jumlah tenaga kerja yang digerakan tetap tidak berubah[13]. Kondisi ini akan melahirkan kelebihan produksi, spekulasi, krisis-krisis, surplus kapital dan surplus penduduk[14]. Meskipun keruntuhan kapitalisme hanya sebuah ramalan Marx yang begitu optimis, namun untuk mewujudkan ramalan tersebut, ia mensyaratkan adanya perjuangan kelas.
Gempuran krisis besar yang pernah terjadi dalam pekembangan kapitalisme, nyatanya tidak lantas membuat kapialisme hancur seketika. Persoalan ini menurut Levebre, tidak lain karena kapitalisme telah menciptakan dan memperluas ruang produksi (production of space). Ruang dengan demikian dapat dikatakan sebagai prasyarat awal untuk kapitalisme dapat melakukan proses akumulasi. Production of space tidak hanya sekedar untuk melakukan penyebaran kapital yang tidak terpakai untuk dimanfaatkan kembali, melainkan hal yang sangat fundamental. Ia mengandaikan adanya penyatuan antara penguasa di suatu wilayah dan pemilik kapital.
Arrighi menyebutnya sebagai logika kekuasaan, dimana terdapat dua logika turunan yang saling menopang antara satu dengan lainnya: logika kapitalistik dan logika teritorial. Namun, dua logika kekuasaan tersebut tidak dapat disamakan,[15] karena keduanya memiliki kepentingan yang berbeda. Dalam sudut pandang ini kita dapat mengatakan bahwa masuknya kapitalisme di Maluku mengandaikan adanya konsensus antara sang pemilik kapital dengan para penguasa (nasional dan daerah) yang memiliki otoritas atas teritorial di Maluku.
Akan tetapi, kapitalisme tidak akan bisa beroperasi di Maluku jika tidak ditopang oleh infrastruktur yang memadai. Atas dasar inilah penguasa harus memfasilitasi segala macam hal yang dibutuhkan sang kapitalis guna menunjang proses akumulasi dapat berjalan secara efektif dan efisien. Di sini, kita dapat menggunakan rumus umum kapital yang dikemukakan oleh Marx: M-C-M[16].
Sirkuit kapital terbagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama (Pembelian) M-C, uang dirubah menjadi komoditi. Dalam tahap kedua (Penjualan) C-M, komoditi dirubah kembali menjadi uang[17]. Upaya sang kapitalis mencari nilai-lebih mensyaratkan adanya pembelian dan penjualan. Tahap pertama merupakan suatu upaya untuk membeli alat-alat produksi dan tenaga kerja sebagai modal awal untuk menciptakan nilai-lebih. Jika abstraksi ini dikontekskan pada Maluku saat ini, maka yang dimaksud sebagai alat produksi adalah ruang-ruang hidup yang memiliki potensi minyak dan gas untuk dieksploitasi melalui kerja-kerja manusia yang telah dibayar oleh sang kapitalis (gaji). Hasil eksploitasi –tahap kedua– berupa minyak dan gas mengandaikan adanya alienasi pekerja dengan komoditas yang mereka produksi. Dalam tahap kedua sang kapitalis yang paling memiliki hak atas komoditas (minyak dan gas) yang bukan hasil kerjanya untuk dijual agar mendapatkan nilai lebih.
Lantas dalam hal ini dimanakan peran pemerintah? Peran pemerintah dalam membantu sang kapitalis melakukan akumulasi adalah dengan mendirikan infrastruktur fisik dan sosial yang bertahan lama[18]. Langkah ini merupakan salah satu dampak dari ekspansi kapitalisme, yang menurut Harvey, seringkali menghasilkan investasi. Jika kita lihat dalam kebijakan RPJMN 2015-2019 Jokowi-Jk, sangat jelas bagaimana pembangunan Nasional sangat bergantung pada investasi (asing dan domestik)[19]. Ketergantungan ini pada dasarnya sangat bertentangan dengan semangat trisakti.
Langkah yang semacam ini merupakan bentuk kegilaan penguasa yang sangat ambisius akan doktrin kesejahteraan ala kapitalis. Pembangunan yang bersandar pada kapitalisme akan menghancurkan tatanan hidup masyarakat. Meskipun idealitas teoritis W.W.Rostow mengatakan bahwa jika suatu negara ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan hendaknya harus mampu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumber daya alam sehingga ia mampu mencapai tingkat investasi produktif[20], tapi pada kenyataannya ramuan teori pertumbuhan tersebut malah menimbulkan gejolak konflik dan kemiskinan.
Terbukanya ruang bagi sang kapitalis untuk berpartisipasi agar ikut andil menyukseskan pembangunan Nasional akan berimplikasi pada terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang ingin mengelolah kekayaan alam mereka. Jika logika yang digunakan oleh pemerintah adalah pembangunan yang juga bertujuan agar memberikan ruang terhadap masyarakat agar bisa menjual hasil produksi secara langsung ke dalam pasar, hal tersebut sangatlah konyol. Sebab prioritas utama bukanlah masyarakat kecil, melainkan para kapitalis besar yang telah berhasil memonopoli pasar.
Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa saat ini kita berada dalam sitem kapitalisme monopoli. Dimana kehidupan ekonomi didominasi oleh korporasi besar, kapital perbankan bergabung dengan kapital industri membentuk oligarki finansial dan negara kapitalis[21]. Kondisi pasar yang semacam ini sangat tidak mungkin agar rakyat miskin dapat berkompetisi dalam pasar. Karena kemenangan politik borjuis akan membuat negara (daerah) agar melayani kepentingan mereka.
Kalaupun mereka berpihak pada masyarakat miskin yang hendak ingin berkompetisi, maka ini harus dilihat sebagai suatu proses destruktif kreatif. Proses inilah yang merupakan fakta penting dalam kapitalisme[22]. Meskipun Scumpeters menekankan pada peran enterpreuner sebagai inovator yang akan menggerakan prekonomian ke arah baru di tengah gejolak proses perubahan dan ekspansi[23], namun di tengah kondisi persaingan, hal itu sama halnya dengan menyerahkan nyawa pada sang kapitalis.
Pembangunan yang bersandar pada kapitalisme tidak harus disambut dengan gembira. Sebab itu akan menjadi sumber penindasan di masa mendatang. Meskipun saat ini masyarakat baru mengetahui terdapat 25 blok migas di Maluku[24], tapi tidak menutup kemungkinan jumlahnya akan bertambah. Mengingat investasi dalam bentuk fisik dan sosial semakin dipacu, hal itu tentunya akan berdampak pada pembiayaan penelitian bagi intelektual borjuis untuk mencari ruang yang memiliki potensi Migas.
Walau dalam kebijakan Jokowi-Jk[25] infrastruktur di Maluku tidak begitu banyak, jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia timur lainnya. Bukan berarti kapitalisme tidak diberikan ruang gerak yang bebas, justru hadirnya infrastruktur tersebut telah memberikan ruang bagi kapitalisme agar nantinya dapat mengembangkan lebih lanjut. Meskipun prioritas pembangunan nasional masih kecil, bukan berarti kita harus menuntut agar ada keseimbangan pembangunan Maluku dengan wilayah lain. Karena pada dasarnya konsep pembanguna rezim Jokowi-JK adalah kapitalistik. Dari sejarah kita bisa belajar, bagaimana orientasi pembangunan pada masa kolonial. Menurut Des Alwi:
“Tak lama kemudian bangunan-bangunan yang diperlukan sebuah perkebunan
mulai dibangun di tempat-tempat strategis ………
Jalan-jalan darat dibangun untuk memperlancar arus transportasi dan eksploitasi perkebunan…..”[26]
Di sini kita dapat memahami apa sesungguhnya yang menjadi orientasi dari pembangunan infrastruktur adalah untuk menjamin agar kapital dapat berjalan dengan baik, aman dan lancar. Sebagaimana prinsip kapitalisme: efektif dan efisien. Jika teoritikus utilitarian mengatakan suatu benda (komoditas) dapat dikatakan memiliki nilai guna kalau ia memiliki manfaat, dimana yang menentukan adalah konsumen, maka dalam hal ini pembangunan infrastruktur hanya memiliki nilai guna pada kaum kapitalis. Tapi bagi mereka yang miskin, infrastruktur sama sekali tidak memiliki nilai guna. Asas kemanfaatan infrastruktur dapat kita lihat dengan jelas pada bandara dan jalan tol yang bermanfaat pada mereka yang memiliki uang dan kepentingan bisinis.
Modus operandi dalam kebijakan pembangunan Indonesia sentris hanya diorientasikan untuk mempercepat dan pemerataan proletarianisasi. Sebab kapitalisme akan bertahan di suatu wilayah jika ditopang oleh infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan, dll), struktur institusi hukum, hak milik pribadi, kontrak, keterjaminan nilai uang, kekuatan represif.[27] Inilah yang menjadi prasyarat awal untuk menjamin kapitalisme dapat bertahan lama atau tidak di suatu wilayah yang menjadi tempat akumulasi.
Maluku: antara Sosialisme dan Kapitalisme
Kompleksitas persoalan kemanusiaan dan alam yang dihadapi masyarakat Indonesia (khususnya Maluku) disebabkan oleh kapitalisme. Tidak ada faktor lain selain kapitalisme. Pilihan kita saat ini hanya dua: membiarkan kapitalisme tetap ada, atau meruntuhkan dan menggantinya dengan sosialisme? Bukan berarti kita harus anti pada pembangunan. Tapi pembangunan yang mesti ditolak adalah yang bersandar pada kapitalisme.
Bisa kita lihat dari konstruk berfikir pemerintah dalam agenda pembangunan demi mewujudkan kesejahtraan. Lihat masyarakat yang hidup dekat dengan industri. Apakah merekah sejahtera, berdaulat atau justru malah sebaliknya. Sudah banyak laporan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengungkap fakta bahwa masyarakat yang hidup dekat dengan industri berada dalam ketertindasan. Pencemaran lingkungan, polusi dsb telah membuat mereka sengsara. Di sini kemudian kita perlu untuk memberikan penilaian bahwa kesejahteraan tidak hanya berbicara soal masa kini, tapi kesejahteraan harus berbicara soal berkelanjutan[28] kehidupan manusia di muka bumi. Tawaran atas kesejahtraan yang berkelanjutan adalah sosialisme.
Lantas bagaimana kita memperjuangkan sosialisme khususnya di Maluku? Memperjuangkan sosialisme mensyaratkan adanya kekuatan kaum tertindas. Kita tidak bisa menaruh harapan kepada para penguasa atau kelas kapitalis untuk mewujudkan sosialisme. Kaum tertindas harus menanamkan nilai-nilai kebebasan, persamaan dan persaudaraan[29]. Nilai inilah yang menjadi pegangan untuk meruntuhkan struktur kelas di internal kaum tertindas. Sebab karakter kelas merupakan ciri dari masyarakat kapitalis.
Perjuangan meruntuhkan struktur ekonomi-politik kapitalisme dengan menggantinya pada sosialisme bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Ia membutuhkan ketenangan, kesabaran, dalam mengatur strategi, membuat propaganda serta mengagitasi kemudian mengorganisir kaum-kaum tertindas. Perjuangan tidak hanya berdasarkan kepentingan identitas, tapi kepentingan kelas tertindas. Prosesnya memang lama, sebab perjuangan sosialisme bukanlah kerja instan. Tekad untuk mengubah tatanan masyarakat secara sadar akan membawa kita pada tahap kehidupan yang lebih tinggi dan melalui rintangan perjuangan yang dramatis.
Lebih baik kita merasakan kelaparan, penderitaan berbulan-bulan atau bertahun-tahun ketimbang hidup dalam cengkraman kapitalisme yang membuat kita ada dalam penderitaan seumur hidup dan bahkan itu akan berdampak pada generasi selanjutnya. Dibawah kapitalisme, harkat dan martabat manusia lenyap seketika, lantaran manusia harus tunduk pada mereka yang berkuasa, baik secara material maupun otoritas. Inilah waktu yang tepat merebut perubahan. Maka rapatkan barisan, satukan tekd dan tujuan, rebut perubahan dengan revolusi. Hanya dengan revolusi kapitalisme dapat ditumbangkan. Dengan demikian, tawaran perubahan yang mesti kita lakukan saat ini adalah bersifat eknomi-politik[30] yang tidak bersandar pada kapitalisme.
*Penulis adalah Mahasiswa MPI UIN Maliki Malang dan Kader Forum Intelektual Nuhu Evav (FINE) Malang.
_______________
[1] Pulau Run merupakan pulau yang terpenting diantara pulau-pulau di Banda. Selama 60 Tahun pulau Run di perebutkan oleh VOC dan Pihak Inggris. Des Alwi. Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon. (Jakarta: Dian Rakyat, 2005). Hlm 257
[2] Ibid. Hlm 258
[3] Menurut Des Alwi, perjanjian yang telah disepakati tidak disepakati oleh penduduk Banda. Penduduk setempat tetap menjual produksi rempah pada pihak Ingdris. Inilah yang menurutnya menimbulkan persaingan ketat antara Belanda dan Inggris. Ibid. Hlm, 258
[4] Buku yang ditulis Milton tentang Pulau Run juga mengakui bahwa pada masa itu (abad 17) Run menjadi pulau yang sangat dibicarakan di Dunia dengan potensi alam yang begitu melimpah. Lihat: Giles Milton. Pulau Run Magnet Rempah-rempah Nusantara yang di tukar dengan Manhattan. Trj, Ida Rosdalina. (Jakarat: Pt Pustaka Alvabet, 2015). Hlm, 3
[5] Robison dalam buku tersebut melakukan kajian historis akan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Maka menurut saya untuk memahami kapitalisme di Maluku hari ini, bisa kita telusuri lewat buku tersebut. sebab pada masa Orde Baru melalui sistem tata niaga cengkeh, masyarakat Maluku berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan pada masa penjajahan. Lihat: Richard Robison. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Terj, Harsutejo. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012)
[6] Menurut Robison, sistem pra kapitalis mencapai puncaknya dalam periode 1830-1870 di Jawa, dengan di perkenalkan-nya sistem Cultuurstelsel (sistem tanam paksa).
[7] Tata niaga cengkeh memiliki basis legitimasi hukum yang sah dengan dua versi, yakni versi Kepres Nomor 58 Tahun 1979 dan Kepres Nomor 8 Tahun 1980.
[8] Orde baru membentuk Badan Penyanggah Pemasaran Cengkeh (BPPC). Meskipun itu lembaga Negara, tapi di dalam-nya terdapat Tommy Soeharto. Sebelumnya putra Soeharto ini mendirikan PT Kembang Cengkeh Nasional (KCN) sekaligus menjadi lembaga yang ikut mendirikan BPPC. Terdapat tiga lembaga yang ikut mendirikan BPPC diantaranya adalah KCN, KUD dan BUMN. BPPC beroprasi sejak 1990 sampai pada 1998. Keberadaan BPPC tidak begitu lama, sebab runtuhnya Orde Baru 1998 juga menandakan kehancuran BPPC. https://news.detik.com/berita/784184/cengkeh-berbau-tommy-soeharto. Akses 27 Januari 2018
[9]Berdasarkan data Indonesian Gas Association (IGA) cadangan Gas Masela mencapai 15,22 TCF. https://finance.detik.com/energi/d-2934081/ini-2-daerah-perawan-di-ri-yang-kaya-gas. Akses 27 Januari 2018
[10] Penduduk Miskin di Maluku pada september 2017 sebanyak 320,42 ribu jiwa atau 18,29%. Menyikapi data tersebut. Gubernur Maluku, Said Assegaf, justru mengeluarkan stetment yang sangat menghina masyarakat Maluku dimana ia mengatakan “Biar Miskin asal bahagia bahagia”. https://indonesiatimur.co/2017/08/20/maluku-masih-tergolong-miskin-gubernur-biar-miskin-asal-bahagia/. Akses 21 Januari 2018
[11] Robert Lekachman dan Borin Van Loon. Kapitalisme: Teori dan Sejarah Perkembangan. Terj, Sita Hidayah. (Yogyakarta: Resist Book). Hlm, 3
[12] Tom Bottomore, dkk. Ensiklopedia Pemikiran Kiri Dari Marxisme Klasik Sampai Neo Marxis. (Yogyakarta: Penerbit Buku Kiri, 2016)
[13] Karl Marx. Kapital. Jilid 3. Terj, Oey Hay Djoen. (Bandung: Hastra Mitra-Ultimus & Institute For Global Justice). Hlm, 249
[14] Anthony Brewer. Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx. Trj, Joebaar Ajoeb. (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea). Hlm, 228
[15] Agen dari Logika Kapital memiliki motivasi dan kepentingan untuk mencari laba sebanyak-banyaknya. Sehingga sang kapitalis beroprasi dalam ruang dan waktu secara kontinyu. Sedangkan logika teritorial adalah agen yang memiliki motivasi dan kepentingan untuk memperkuat atau membangun hegemoni Negara. Namun mereka hanya beroprasi dalam teritorial kekuasaan mereka semata. David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 32
[16] Dalam masa Prakapitalis opreasinya dalam bentuk: menujal untuk membeli (C-M-C). Sedangkan dalam masa kapitalis oprasinya dalam bentuk: membeli untuk menjual (M-C-M). Lihat: Ernest Mandel. Pengantar Teori Ekonomi Marxis (Bintang Nusantara, 2013). Hlm, 35-36
[17] Lihat: Predaran uang sebagai kapital dimulai dengan pembelian dan berakhir dengan suatu penjualan. Karl Marx. Kapital. Jilid 1. Trj,. (Bandung: Hastra Mitra, 2004). Hlm, 130.
[18] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 99
[19] Target Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) oleh pemerintah pada 2015 adalah Rp 519,5 Triliun (33,8%): 2016 adalah Rp 594,8 Triliun (35,0 %): 2017 adalah Rp 678,8 Triliun (36,3%): 2018 adalah Rp 792,5 Triliun (37,6%): 2019 adalah 933,0 Triliun (38,9%). Lihat: Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional 2015-2019. Buku 1 Agenda Pembangunan Nasional.
[20] Suwarsono dan Alvin Y So. Perubahan Sosial dan Pembangunan Di Indonesia: Teori-Teori Modernisasi Depedensi dan Sistwm Dunia. (Jakarta: LP3ES,1991). Hlm, 17
[21] Tom Bottomore, dkk. Ensiklopedia Pemikiran Kiri Dari Marxisme Kalsik sampai Neo Marxis. (Yogyakarta: Penerbit Buku Kiri, 2016). Hlm, 48
[22] Josep A. Scumpeters. Capitalism, Socialism & Democracy. Terj, Teguh Wahyu Utomo. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Hlm, 135
[23] Tom Bottomore, dkk. Ensiklopedia Pemikiran Kiri Dari Marxisme Kalsik sampai Neo Marxis. (Yogyakarta: Penerbit Buku Kiri, 2016).
[24] https://ekbis.sindonews.com/read/1029375/34/maluku-miliki-25-blok-migas-1438684540. Akses 27 Januari 2018
[25] Perpres No 58 Tahun 2017. Dalam kebijakan tersebut hanya ada tiga Proyek strategis nasional, yakn: Jalan Trans Maluku; Pengembangan lapangan abadi wilayah kerja Masela: Bendungan Way Apu.
[26] Des Alwi. Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon. (Jakarta: Dian Rakyat, 2005). Hlm, 265
[27] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Trj, Eko PD. (Yogyakarta: Resist Book, 2010). Hlm, 100
[28] Josep E. Stiglitz, Dkk. Mengukur Kesejahtraan Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur Yang Tepat Untuk Menilai Kemanjuan ?. Terj, Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur. (Marjin Kiri, 2011). Hlm, 11
[29] Bernard Crick. Sosialisme. Terj, Ribut Wahyudi. (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2016)
[30] Solusi Ekonomi-Politik adalah solusi yang melampaui keberadaan sistem itu sendiri. Lihat: Indprogres. https://indoprogress.com/2017/11/solusi-kiri/. Akses 27 Januari 2018
Infografis oleh: Sinergy Aditya