Pendidikan yang Membebaskan untuk Papua

Hardy Basabelolon

Pemerhati isu Papua. Mahasiswa Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

 

30 Desember 2015 silam, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia menerbitkan berita bertajuk “Membangun Papua Melalui Pendidikan”. Berita itu mengabarkan, melalui program Guru Garis Depan (GGD), pemerintah Indonesia mengalokasikan 3.500 guru untuk ditempatkan di wilayah terpencil, khususnya Papua dan Papua Barat. Program ini merupakan tindak lanjut Nawa Cita pemerintahan Jokowi-JK. Mereka berkomitmen untuk ‘membangun dari pinggiran’ serta ‘meningkatkan pembangunan berbagai fasilitas produksi, pendidikan, kesehatan, pasar tradisional, dan lain-lain pada daerah terpencil dan tertinggal’.

Presiden Jokowi memberikan sambutan dalam acara Pelepasan Guru Garis Depan di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 24 Mei 2015. Ia menghimbau peserta untuk memberikan pendidikan karakter mental yang baik bagi anak-anak di daerah terpencil atau daerah perbatasan, agar mempunyai kebanggaan terhadap Indonesia. Selain program GGD, pemerintah juga melanjutkan program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) bagi pemuda-pemudi Papua dan Papua Barat untuk melajutkan pendidikan di sejumlah daerah di luar Papua[1]. Dalam rentang waktu tiga tahun (2013-2015), program ini telah mengirim 1.304 anak Papua tingkat SMA atau SMK menimba ilmu di Jawa dan Bali.[2] Atas nama demokrasi, pemerintahan Jokowi-JK hendak menunjukkan bahwa kebijakan tersebut lahir dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Menanggapi kebijakan itu, berikut ini saya paparkan beberapa rekaman fakta berdasarkan hasil pengamatan saya di Papua, khususnya Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua (wilayah perbatasan Indonesia-Papua New Guini).

Per Agustus 2015-Mei 2018, saya pernah menjadi tenaga sukarelawan pendidikan di tiga sekolah distrik (baca: kecamatan) Mandobo dan Iniyandit, Kabupaten Boven Digoel. Sekolah-sekolah itu antara lain Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) Sta. Maria, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap Tanah Merah, serta Sekolah Dasar Inpres Langgoan. Dalam pengamatan saya selama mengabdi, saya menemukan tiga persoalan pokok terkait Program Afirmasi (GGD dan SM3T) yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK.

Pertama, peserta SM3T yang dikirim ke Kabupaten Boven Digoel hanya ditempatkan di sekolah-sekolah pusat kabupaten dengan ketersediaan jumlah pengajar yang sudah cukup memadai. Sedangkan sekolah di kampung-kampung yang masih kekurangan, atau bahkan tidak ada sama sekali tenaga pengajarnya, justru diabaikan. Alasan klise yang sering dipakai sebagai bentuk pembenaran adalah sulitnya akses transportasi ke kampung-kampung dan tidak tersedianya rumah guru di luar pusat kabupaten.

Kedua, peserta SM3T yang menjalankan tugasnya sebagai garda terdepan membangun paradaban bangsa Indonesia di wilayah perbatasan NKRI-PNG masih menerapkan paradigma dan pola pendidikan yang sentralistik dan tidak kontekstual. Berbekal pemberdayaan yang telah dicekoki selama masa studi, ditambah sejumlah arahan yang ditelan mentah-mentah selama masa orientasi, peserta GGD secara gamblang menerapkan kurikulum nasional di tiap sekolah yang ditempatinya. Murid dipaksa memahami materi pelajaran yang telah ditetapkan sebagai standar kurikulum nasional sambil mengikuti mekanisme kegiatan belajar-mengajar yang diterapkan gurunya. Tanpa mengedepankan hal-hal substansial berbasis kearifan lokal yang sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Guru yang menjalankan tugasnya tidak lebih dari sekedar menjadi perangkat interpelasi, dan para murid hanya menjadi objek sasaran penerapan ideologi rezim pemerintahan Jokowi-JK.

Ketiga, sebagai perangkat interpelasi, peserta SM3T mendapat otoritas atas kuasa pengetahuan, yang dapat dipakai untuk melegitimasi proyek pembentukan formasi sosial ala rezim penguasa. Para guru yang masih terjebak pedagogi tradisional, memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang objektif, netral dan terberi. Lantas menempatkan murid sebagai objek tak berpengetahuan, yang sudah sepatutnya menerima apapun pengetahuan yang diberikannya. Di sini, institusi sekolah tak pelak berperan sebagai law of necessary; tempat mereproduksi ideologi berbentuk kurikulum berbasis nasional di tiap wilayah kekuasaan sang pemimpin. Melalui pendidikan, yang oleh kalangan Marxis kategorikan sebagai Ideological State Apparatus (selanjutnya disingkat ISA), negara berupaya merepresi rakyatnya secara halus demi mendapat pengakuan dan dukungan politik.

Dari fakta pembanding itu, kebijakan pendidikan rezim Jokowi untuk Papua secara praktis gagal dan terbantahkan. Alih-alih bermakna besar bagi rakyat Papua, kebijakan pendidikan ala rezim tak lebih sekedar momok hegemonik untuk mengkondisikan kesadaran rakyat Papua untuk tidak menyadari realitas penindasan sistemik yang telah dan akan tetap dilangsungkan negara. Pun, kebijakan itu juga dapat dimaknai sebagai peredam wacana ‘freedom for West Papua’ yang makin mencuat dan gaung diteriakkan rakyat Papua tahun ke tahun. Selanjutnya, hal-hal ini akan dibahas secara lebih konseptual.

Pedagogi Tradisional versus Pedagogi Kritis

Pada bagian ini, saya akan menguraikan beberapa problem pendidikan di Tanah Papua, ditinjau dari beberapa pemikir sayap kiri, seperti Louis Althusser (untuk melihat pedagogi sebagai bagian dari pembentukan formasi sosial), dan Henry Giroux yang menggunakan kerangka kerja Antonio Gramsci (untuk melihat pedagogi kritis sebagai hegemoni tandingan terhadap pendidikan yang otoriter).

Melalui karyanya berjudul “Lenin and Philosophy and Other Essay (1971), Althusser menunjukkan bahwa ISA pendidikan ditentukan oleh cara produksi kekuatan dominan (baca: pemerintah). Melalui ISA pendidikan, kelas berkuasa mengkonstruk pengetahuan agar sejalan dengan segala kepentingannya. Dalam konteks Papua, rakyat Papua yang diinterpelasi cara produksi dominan digiring kepada pengakuan dan persetujuan atas kebijakan pembangunan. Tanpa menyadari tindakan represif pemerintah terhadap rakyatnya, untuk melanggengkan relasi sosial yang timpang. Dengan kata lain, rakyat hanya menjadi robot yang patuh secara buta agar kebijakan yang timpang dapat dilanggengkan tanpa ada perlawanan.

Bertolak dari formasi pedagogi global yang cenderung tradisional, Giroux menunjukkan bahwa pedagogi yang sedang diterapkan secara global saat ini mengandung unsur otoritarianisme. Ia membunuh kebebasan dan kesempatan bertanya, serta menciptakan ketidakpedulian peserta didik terhadap segala permasalahan sosial di tengah masyarakat. Pedagogi model ini hanya menempatkan peserta didik sebagai robot-robot patuh yang siap diperintah dan digiring untuk mewujudkan kepentingan penguasa.

Menurutnya, pengetahuan yang diajarkan di setiap lembaga pendidikan tidaklah netral. Ia mengandung unsur kekuasaan dan berfungsi penting sebagai sarana hegemonik pelanggeng kokohnya kekuasaan tersebut. Giroux juga menunjukkan kritiknya terhadap cara kerja pedagogi tradisional yang melegitimasi praktik kapitalisme, khususnya dalam dunia pendidikan. Pun dalam konteks neoliberalisme, yang kelak menempatkan pendidikan sebagai komoditas mewah dan relatif mahal. Sehingga tidak semua kalangan masyarakat dapat menjangkau akses itu, lebih-lebih bagi mereka yang tergolong rentan.

Karena itu, dalam realita sosial dengan kekayaan dan kekuasaan yang timpang, dibutuhkan model pedagogi alternatif yang mendobrak kejumudan dan kebuntuan pedagogi ‘usang’ yang telah dikondisikan sebagai perangkat hegemonik kelas berkuasa itu. Ia hadir untuk menentang berbagai bentuk pendidikan yang menerapkan pedagogi semata-mata sebagai cara dan alat untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan kepada para murid.

Model pedagogi demikian kelak kita kenal sebagai pedagogi kritis. Berdasarkan kerangka kerja Gramsci, Giroux menempatkan pedagogi kritis sebagai bagian dari counter-hegemony terhadap relasi kuasa dan pengetahuan yang otoriter dan represif. Fokus pedagogi kritis adalah melihat ideologi di balik pengetahuan yang diajarkan. Semisal, siapa saja yang terlibat (dari siapa untuk siapa) dan ada kepentingan apa di baliknya, serta siapa yang diuntungkan dan dirugikan. Pedagogi kritis hadir untuk memperjuangkan perubahan sosial dengan kritis terhadap situasi ketidakadilan sosial yang ada dalam masyarakat. Sekaligus membangun harapan akan adanya kebebasan, keadilan, kesetaraan dan perubahan formasi sosial ke arah yang lebih baik dan berdaya guna.

Umumnya terdapat dua agenda besar pedagogi kritis, yakni transformasi pengetahuan (kurikulum) dan transformasi pendidikan (guru dan dinamika pengajaran). Berdasarkan dua agenda tersebut, pedagogi kritis menelusuri hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Sebab, pengetahuan yang diberikan erat kaitannya dengan kekuasaan yang dimiliki segelintir penguasa yang sedang memerintah. Dalam hal ini, kritik ideologi dan wacana analitis sangat berpengaruh pada cara kerja pengetahuan dan kekuasaan tersebut, di mana pedagogi kritis menjadi alternatif perlawanan, atau dalam bahasa Gramsci, sebagai counter-hegemony atas pengetahuan dan kekuasaan (Choo: 2018).

Pada tataran ini, pendidikan tidak dilihat sebagai perangkat untuk menciptakan kepatuhan buta terhadap penguasa. Melainkan sebagai instrumen potensial yang berguna untuk pengembangan terwujudnya kehidupan demokratis. Menurutnya, demokrasi tidak akan terbentuk tanpa adanya model pedagogi yang mampu mendorong semua warga untuk berpikir kritis, reflektif, berwawasan luas, mampu membuat penilaian moral seimbang, serta memiliki tanggung jawab sosial. Pedagogi kritis harus mampu melakukan kritik terhadap pedagogi pola lama yang otoriter dan sentralistik. Sembari merumuskan pandangan baru tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan sosial, serta aktif dalam proses pembentukan masyarakat demokratis yang adil dan makmur (Wattimena, 2018).

Dengan realitas eksploitatif dan hegemonik demikian, sekolah sebagai institusi yang memfasilitasi praksis pedagogi, khususnya Papua, mesti dimanfaatkan sebagai wadah mereproduksi pengetahuan yang berguna sebagi basis perlawanan dan perjuangan rakyat Papua. Alih-alih mengkonsumsi pengetahuan, yang dalam beberapa hal, telah dikondisikan oleh kekuasaan dominan untuk menanamkan pengetahuan yang memfasilitasi langgengnya bentuk kekuasaan tersebut. Sehingga, model pedagogi alternatif (kritis) di luar model pedagogi tradisional ala kekuasaan dominan, dapat menjadi alat perlawanan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial. Ini sekaligus sebagai bentuk tanggungjawab sosialnya sebagai sarana perubahan sosial yang lebih baik (Wright: 2013).

Tanggung Jawab Sosial Kaum Cendekiawan

Dalam Prison Notebooks, Gramsci menulis, semua manusia adalah kaum intelektual, namun tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual; “All man are intellectual, one could therefore say, but not at all men have in society the function of intellectuals” (1971: 140).

Fungsi intelektual itu melekat pada aktivitas sosialnya. Artinya, para cendekiawan adalah mereka yang memiliki hubungan dengan kehidupan sosial. Dengan demikian, kaum cendekiawan adalah salah satu kelas sosial dalam masyarakat yang cenderung berpihak pada kelas tertindas. Bersama-sama, mereka melakukan perubahan atas realitas yang menindas, dengan aksi-aksi politik dan pendidikan penyadarannya.

Gramsci membagi fungsi cendekiawan menjadi dua jenis. Pertama, cendekiawan tradisional seperti guru, pendeta, administrator, filsuf dan artis, yang secara terus menerus melakukan hal yang sama generasi ke generasi. Cendekiawan jenis ini menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society (Patria, 1999:163).

Kedua, cendekiawan organik, yang memiliki kesadaran kelas untuk selalu aktif dalam masyarakat. Mereka eksis sebagai perumus dan artikulator ideologi-ideologi dan kepentingan kelas yang sedang tumbuh dalam masyarakat (Patria: 131). Cendekiawan model ini berasal dari kelas tertentu. Bisa jadi kelas borjuis dan memihak mereka, bisa juga dari kelas buruh dan berpihak pada perjuangan buruh tersebut. Semisal, seorang teknisi industri yang memberikan pelayanan kepada satu atau lebih kapitalis dalam proses produksi. Namun diharapkan tetap memiliki kesadaran akan fungsinya sendiri yang bukan cuma pada urusan ekonomi tetapi juga pada lapangan sosial politik.

Berdasar kategorisasi cendekiawan versi Gramsci itu, dapat dimengerti bagaimana seharusnya menilai posisi kaum cendekiawan dalam format keterlibatan mereka dalam masyarakat. Sejatinya, mereka membawa daya emansipatoris dan transformatif, serta mengubah cara pandang taken for granted masyarakat mengenai segala sesuatu yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran tunggal. Dalam rangka mewujudkan proses emansipasi dan transformasi, kaum cendekiawan mesti memiliki ‘panggilan’ moral, keyakinan, komitmen dan pengabdian yang kuat dalam merepresentasikan dan mengartikulasikan hak-hak hidup masyarakat lokal.

Dalam konteks pendidikan, ketika berhadapan dengan sistem pendidikan yang menjadikan peserta didik sekadar produk untuk pasar tenaga kerja, kaum cendekiawan perlu menunjukkan taringnya dalam menghadapi dan menanggung berbagai risiko yang dihadapi sebagai konsekuensi logis dari sebuah usaha melawan berbagai bentuk hegemoni dan dominasi.

Pada akhirnya, kaum cendekiawan berusaha menciptakan keadilan secara partisipatoris melalui proses pedagogi yang dialogis dan kritis. Mereka mendobrak legitimasi atas otoritas pengetahuan paling benar, memandang segala bentuk kebenaran yang dibeberkan adalah problematis, dan sentralisasi pendidikan yang kini sedang berlangsung adalah tragedi yang harus diakhiri. Sehingga, tidak ada lagi ketidakadilan secara teritorial maupun kultural dalam membangun Papua lewat pendidikan.

Di titik inilah kaum cendekiawan Papua memainkan peran historisnya, sebagai artikulator kepentingan perjuangan rakyat Papua yang telah terhegemonik secara sistematis oleh kekuasaan dominan, dalam hal ini negara Indonesia. Dan karena itu, bersama-sama perjuangan rakyat mengakhiri realitas penindasan dan ketidakadilan yang telah berdekade panjang lamanya berlangsung. Secara politis, posisi kaum cendekiawan Papua tak boleh sedikitpun oportunis dan pragmatis, layaknya seringkali direpresentasikan oleh elite politik kekuasaan dominan. Posisinya mesti organik, tumbuh dan mengakar dalam gerak laju perjuangan rakyat Papua dalam menghadapi kompleksitas perjuangannya ke depan.

 

Pustaka

Cho, S. 2010. “Politics of Critical Pedagogy and New Social Movement” (Educational Philosophy and Theory).

Giroux, H. 2011. On Critical Pedagogy (London: The Continuum International Publishing Group).

Gramsci, Antonio. 1971. Prison Notebooks (London: ElecBook).

Louis, Althusser. 1971. Lenin and Philosophy and Other Essay (New York and London: Monthly Review Press).

Patria, Nezar. 1999. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Wright, A. 2013. “The School as an Arena of Political Contestation: Educational Policy from a Post-Marxis Perspective” (Praktyka Teoretyczna).

Wattimena, Reza A.A. 2018. “Rumah Filsafat”, https://rumahfilsafat.com/2018/03/10/harian-kompas-10-maret-2018-tekno-demokrasi/

http://presidenri.go.id/berita-aktual/membangun-papua-melalui-pendidikan.html

Catatan kaki

[1] Penggunaan kata ‘Papua’ di sini merujuk pada dua wilayah provinsi paling timur Indonesia, yakni Provinsi Papua dan Papua Barat.

[2] Disadur dari http://presidenri.go.id/berita-aktual/membangun-papua-melalui-pendidikan.html

 

Gambar: westpapuaactualmedia.wordpress.com

2 thoughts on “Pendidikan yang Membebaskan untuk Papua

Tinggalkan Balasan