Oleh:
Muhtar Habibi
Setiap tahun menjelang Idul Fitri, jutaan pekerja di Jakarta kembali ke kampung halaman (mudik) untuk merayakan salah satu hari terpenting dalam kalender Islam bersama keluarga mereka. Meskipun tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam Indonesia (negara-negara lain seperti Malaysia, Pakistan dan Bangladesh juga mengalaminya), namun fenomena mudik di negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini memperlihatkan beberapa masalah sosial yang sangat mendesak.
Dalam perjalanan mudik tersebut, mereka yang berasal dari kalangan mampu dapat terbang dengan pesawat atau mengemudi mobil mereka sendiri. Yang lain memilih transportasi umum yang nyaman seperti kereta api kelas eksekutif atau bus.
Namun, jutaan orang lainnya yang tidak mampu membayar untuk transportasi yang nyaman dan ingin menghemat uang harus mempertaruhkan nyawa dengan mengendarai sepeda motor bersama keluarga mereka. Setiap tahun, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor selama rentang dua minggu arus mudik adalah sesuatu yang umum terjadi. Pada 2017, dari 3168 jumlah kecelakaan lalu lintas, di mana 742 orang meninggal, 74 persennya melibatkan pengendara sepeda motor. Banyak pengendara membawa keluarga mereka menggunakan kendaraan dengan muatan berlebih sejauh ratusan kilometer di sepanjang jalan yang sibuk, sesak, dan tidak terawat.
Meskipun pemerintah memperingatkan tingginya risiko bepergian dengan sepeda motor, bagi pengendara seperti Sastro (31 tahun) yang harus menempuh perjalanan sejauh 300 kilometer dengan istri dan bayinya dari Jakarta ke Brebes di Jawa Tengah, tekanan finansial berarti tidak ada pilihan lain: “Memang ini adalah perjalanan yang berat. Tetapi apa yang bisa kami lakukan?”
Kelas pekerja harus menekan pengeluarannya untuk menikmati beberapa hari di kota asal mereka bersama keluarga dan kerabat. Setelah satu tahun kerja keras, harapan meninggalkan kerasnya kehidupan di kota besar dan menghabiskan waktu bersama orang-orang tercinta membawa kesenangan yang tak terukur, bahkan jika itu hanya beberapa hari saja. Selama Idul Fitri, para buruh dari kota juga mengambil kesempatan untuk berbagi hasil pekerjaan mereka dengan kerabat dan tetangga. Penelitian lembaga think tank Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) mengungkapkan bahwa dari total Rp 184 triliun (A $ 18,5 miliar) uang yang beredar selama mudik pada 2016, sekitar Rp 60 triliun diantaranya dihabiskan di daerah pedesaan.
Mereka mungkin hanya bekerja sebagai pedagang kaki lima, petugas parkir, pekerja rumah tangga, pekerja konstruksi, atau pekerjaan lepas lainnya di kota, tetapi mereka ingin memberikan yang terbaik di perayaan Idul Fitri yang hanya sekali dalam setahun. Memberi hadiah sebanyak-banyaknya kepada orang tua dan saudara, membawakan makanan terbaik dari kota, dan mengenakan pakaian terbaik mereka adalah bagian penting dalam ritual Idul Fitri. Inilah hari penebusan setelah satu tahun kerja keras.
Namun, setelah Idul Fitri, banyak pekerja gelisah karena membayangkan kembali kehidupan mereka di kota. Ada yang kecewa karena ekonomi pedesaan tidak menawarkan alternatif nyata. Karyadi berusia 46 tahun bersama istrinya berkendara motor setiap tahun ke Indramayu, Jawa Barat. “Tentu saja,” jelasnya, “Saya lebih suka bekerja di kampung halaman saya sendiri daripada berdesak-desakan di Jakarta. Tetapi, kesempatan kerja di Indramayu begitu sempit.”
Beberapa khawatir tentang biaya kembali ke Jakarta karena tabungan mereka telah habis untuk melaksanakan semua ritual Idul Fitri. Yang lain merasa berat meninggalkan anak-anaknya untuk diasuh kakek-nenek, sementara mereka juga tidak sanggup membawanya ke Jakarta. Bagi para pekerja, ini memang sekedar penebusan palsu.
Siklus Migrasi Tenaga Kerja
Dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari Jakarta (1957), Ibukota digambarkan sebagai saksi bisu kegagalan revolusi kemerdekaan untuk membawa perubahan sosial mendasarpada 1950-an. Hari ini, Jakarta tampaknya sedang menyaksikan tidak terpenuhinya janji-janji modernisasi dan model pembangunan yang diperkenalkan Suharto. Migrasi bolak-balik yang melibatkan Jakarta, dimana mudik merupakan salah satu bentuknya, menandai usaha untuk bertahan hidup diantara perdesaan dan perkotaan yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.
Dinamika migrasi bolak-balik telah dibentuk oleh intervensi pemerintah di daerah pedesaan dan perkotaan dari waktu ke waktu. Pada awal periode Orde Baru, intervensi pemerintah dalam pembangunan pedesaan memprioritaskan modernisasi pertanian untuk memacu produktivitas yang menyebabkan meningkatnya ketimpangan kepemilikan tanah dan menghambat aksessejumlah besar keluarga pedesaan dari lahan pertanian. Suharto tertarik pada ide bahwa kota akan menyerap pekerja yang dipindahkan dari pedesaan atau daerah pertanian. Namun ternyata, pertumbuhan kota seperti Jakarta gagal menyediakan pekerjaan layak yang memadai di wilayah perkotaan. Sebagian besar pekerja di Jakarta masih dipekerjakan dalam perekonomian informal dan dalam kondisi rentan. Pekerjaan formal seperti kerja kantoran dan pabrik, juga menjadi semakin rentan semenjak pengenalan pasar tenaga kerja fleksibel di awal 2000-an.
Janji palsu kota ini bertumpu pada mitos bahwa pembangunan kota yang digerakkan oleh pasar secara otomatis menyediakan pekerjaan yang cukup layak untuk menyerap kelebihan tenaga kerja dari pedesaan. Pada periode pasca Perang Dunia II sampai tahun 1970-an, industrialisasi yang dikendalikan negara (state-led industrialisation) dijalankan di beberapa negara Asia Timur dan memenuhi harapan untuk menyerap pekerja dari pedesaan. Namun, pada pertengahan 1980-an, model ini digantikan oleh industrialisasi yang dikendalikan pasar (market-led industrialisation) yang dipromosikan lembaga-lembaga pro-pasar seperti Bank Dunia. Sejak krisis ekonomi pada tahun 1998, hal ini ternyata terbukti hanya menjadi sebuah malapetaka bagi Indonesia karena telah membawa kepada de-industrialisasi prematur.
Pergeseran lebih lanjut dalam pendekatan Bank Dunia adalah mereka menganjurkan pengembangan kredit mikro dan kegiatan swadaya, sebagian besar di ekonomi informal perkotaan. Ini mengasumsikan bahwa individu dapat makmur selama mereka diberikan “bantuan yang tepat”dalam persaingan di pasar. Asumsi ini tidak hanya mengabaikan akses yang tidak setara terhadap program, tetapi, yang lebih penting, hal itu melanggengkan kelemahan pekerja informal yang umumnya kurang produktif secara ekonomi daripada pekerja formal. Mereka juga hanya menerima perlindungan sosial yang sangat terbatas dan tidak memiliki jaminan terhadap hak-hak dasar pekerja. Pada 2015, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyimpulkan bahwa sekitar 58 persen tenaga kerja Indonesia dikategorikan sebagai pekerja rentan, kebanyakan dalam pekerjaan informal.
Karena kegagalan untuk menyediakan pekerjaan yang memadai di perkotaan, pemerintah menunjukkan minatnya (lagi) di perdesaan. Sejak 2015, di bawah Dana Desa, atau Program Dana Desa, puluhan triliun rupiah telah ditransfer ke lebih dari tujuh puluh ribu desa di seluruh negeri. Setiap desa menerima dari Rp.100 juta hingga lebih dari Rp.1 miliar per tahun. Harapannya, uang itu akan dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan desa. Beberapa ditujukan untuk pemberdayaan sosial dan program lainnya, tetapi prioritas utama adalah infrastruktur fisik.
Pembangunan Desa
Sayangnya, intervensi ini lagi-lagi bersandar pada mitos lain. Para pembuat kebijakan dan beberapa aktivis masyarakat sipil yang mempromosikan program masih percaya adanya “komunitas harmonis” di perdesaan yang saling membantu untuk mencapai kesejahteraan bersama bagi semua. Namun, bagi kita yang melakukan penelitian di tingkat desa, jelas bahwa dalam kenyataannya terdapat sekelompok elit kecil yang mengakumulasi kekuatan ekonomi, sosial dan politik mendominasi ekonomi desa (kepemilikan tanah dan bisnis non-pertanian) dan menduduki posisi kepemimpinan. Misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa ratusan juta, dan kadang-kadang miliaran rupiah dihabiskan untuk kampanye pemilihan kepala desa.
Di sisi lain, kelas buruh tak bertanah telah diusir dari desa karena tidak ada peluang tersisa bagi mereka. Di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, langkah-langkah sertifikasi tanah pemerintah hanya berfokus pada pemberian sertifikat tanah yang sekedar memberi keamanan bukti kepemilikan bagi pemilik tanah, dan tidak berurusan dengan masalah ketimpangan kepemilikan tanah.
Dengan hubungan kekuasaan yang sangat tidak setara di desa ini, siapakah yang benar-benar mendapat manfaat dari arus besar uang yang masuk ke perdesaan? Musyawarah Desa tidak lebih dari sekedar proses formalitas agar proposal pembangunan kepala desa disetujui. Kewenangan Badan Permusyawaratan Desa (Badan Konsultasi Desa, BPD), badan pengawas potensial di desa, pada dasarnya terbatas pada meminta informasi dari dan berbagi pendapat dengan kepala desa. Apalagi, karena kepala desa menunjuk komite yang memilih kandidat calon BPD, mereka pada dasarnya dapat memilih calon BPD.
Para elit desa ini, tentu saja, tidak mengalami penderitaan sebagaimana yang dialami kelas pekerja perkotaan yang harus melalui perjuangan kerassaat mengunjungi kampung halaman atau desa mereka setahun sekali. Mereka juga tidak merasakan kegelisahan sebagaimana yang dialami para pekerja ketika mereka harus kembali ke kota begitu Idul Fitri berakhir.
Semua yang tersisa dari kerja keras buruh adalah penebusan palsu tahunan yang dicapai dengan mempertaruhkan hidup mereka selama mudik ke rumah-rumah mereka di desa dan ketika balik ke kota. Para pekerja ini berjuang untuk bertahan hidup dalam pekerjaan tidak tetap di dalam sistem yang dibuat dan direproduksi oleh model pembangunan yang memperlakukan mekanisme pasar sebagai peluru perak (silver bullet) untuk semua masalah pembangunan; sebuah model yang enggan untuk melihat ketimpangan relasi kekuasaan sebagai titik awal intervensi sosial.
Resep obat yang salah untuk suatu penyakit hanya dapat memperburuk penyakit itu. Demikian halnya, alih-alih memberikan penebusan sejati bagi pekerja, tetap berlanjutnya resep pembangunan sekarang ini justru meningkatkan jumlah pekerja rentan yang sudah membludak. Model pembangunan sekarang ini juga hanya akan melanggengkan penebusan palsu bagi para pekerja. Yang dibutuhkan pekerja adalah pekerjaan yang layak, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Tidak akan ada penebusan sejati bagi pekerja sampai kegagalan pendekatan dan model pembangunan sekarang ini diakui dan dikubur.
Muhtar Habibi (habibi.muhtar@gmail.com) adalah penulis buku Surplus Pekerja di Kapitalisme Penggiran (Marjin Kiri, 2016). Mahasiswa PhD dalam Studi Pembangunan di School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas London. Peneliti di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitiannya berfokus pada perubahan agraria dan tenaga kerja di Indonesia.
*) Artikel ini sebelumnya ditulis dalam versi bahasa Inggris di Inside Indonesia (2/6). Diterjemahkan dan dimuat di sini untuk tujuan pendidikan.
Sumber gambar: http://liputanislam.com/opini/kami-mudik-maka-kami-ada/
Disclaimer: Artikel ini telah kami ubah judulnya dari “Penebusan Palsu” menjadi “Idul Fitri, Kelas Pekerja, dan Penebusan Palsu” pada 7 November 2019 karena kami nilai lebih merepresentasikan isi tulisan.