Oleh:
In’amul Mushoffa & Haris Samsuddin
(Peneliti Intrans Institute)
“Berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara
berarti mengkhianat kepada dasar kemanusiaan, yang seharusnya
menjadi pedoman hidup bagi kaum intelegensia umumnya.”
(Mohammad Hata: 1984)
Baru-baru ini (24/2), Infid dan Oxfam Indonesia merilis sebuah hasil riset yang mencengangkan. Empat orang terkaya di Indonesia disebut memiliki kekayaan yang setara dengan 100 juta penduduk. Total kekayaan empat miliarder paling kaya di Indonesia tersebut mencapai 25 miliar dolar AS atau setara Rp 332,5 triliun (kurs Rp 13.300). Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin jika digabungkan hanya mencapai 24 miliar dolar AS.
Pendiri Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono di laman facebooknya menghitung: dengan kekayaan itu, butuh 22 tahun bagi orang terkaya di Indonesia untuk menghabiskan hartanya jika digunakan berfoya-foya menghamburkan 1 juta dollar (Rp. 13 milliar) per hari. Dalam laporan itu pula, disebutkan bahwa pendapatan bunga per hari orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun.
Dari data itu, tampaknya cita-cita keadilan sosial di negeri ini masih jauh panggang dari api. Semakin lama, kue pembangunan bukannya semakin merata, tapi semakin terkonsentrasi pada segelintir orang. Maka, konsep pembangunan yang sudah lama digaungkan untuk fantasi keadilan dan kemakmuran patut digugat-hentikan.
Artikel ini ditulis untuk: pertama, merespon konsep pembangunan ala kapitalis (developmentalisme) yang diterapkan di Indonesia yang justru menjauhkan cita-cita keadilan sosial; kedua, kenapa sikap perguruan tinggi dalam merespon gagalnya pembangunan seolah ambivalen dengan tugas yang diembannya; ketiga, apa yang harus dilakukan kalangan perguruan tinggi untuk menyikapi dua problem di atas.
Mitos Pembangunan
Pembangunan mula-mula dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara setiap tahunnya. Dalam bahasa ekonomi, hal ini diukur melalui Gross National Product (GNP/PNB) dan Gross Domestic Bruto (GDB/PDB). Melalui indikator tersebut, negara lalu membanding-bandingkan jumlah akumulasi kekayaannya dengan negara lain. Dengan itu dapat dilihat berapa produksi rata-rata setiap orang dari negara yang bersangkutan. Ukuran kesejahteraan lalu dipahami sebagai seberapa besar jumlah PNB/kapita setiap tahunnya tanpa melihat proporsionalitas distribusi kekayaan yang ada. Semakin tinggi PNB/kapita sebuah bangsa atau negara, maka semakin sejahtera negara atau bangsa tersebut.
Tolok ukur ini sebetulnya mengabaikan kondisi riil di dalam masyarakat, di mana terdapat konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Sedangkan, mayoritas warga yang miskin melarat tidak dijadikan parameter untuk melihat sejauh mana kondisi kesejahteraan sebuah negara benar-benar merata dan adil.
Konsep pembangunanisme bermula pada saat berakhirnya Perang Dunia II, ditandai dengan munculnya lembaga internasional (IMF, WB, GATT/WTO).[2] Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari teori modernisasi yang pada paruh terakhir Abad ke-19 kemudian memperlancar proyek neo-imperialisme dan neo-kolonialisme terhadap negara bekas jajahan melalui dalih kemajuan atau pembangunan (developmentalism), yang dirancang untuk negara-negara underdeveloped dalam citra (stereotipe) Barat. Asumsi dasar teori modernisasi[3] ialah perubahan sosial harus direkayasa sedemikian rupa agar masyarakat bermetamorfosis mengikuti tahapan-tahapan tertentu, dari tahap primitif, tradisional dan akhirnya menjadi modern.
Pembangunan merupakan usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.[4] Kosakata “menuju modernitas” dan “pembinaan bangsa” adalah diksi yang sarat ideologis. Menuju modernitas memiliki makna pengafirmasian terhadap pendiktean Barat melalui perangkat ideologis dan turunan teori-teori sosial dan modernisasi lainnya. Sedangkan, kosakata pembinaan bangsa lebih pada sosialisasi ideologi politik rejim Orde Baru melalui tafsir tunggal Pancasila dan penguatan stabilitas politik rejim saat itu.
Pengertian pembangunan yang sarat ideologi dan kepentingan Barat dengan jelas diungkapkan oleh Piotr Sztompka (2010), bahwa, “konsep kemajuan dalam rumusan aslinya dimasukkan ke dalam model transformasi yang direncanakan, ke dalam suatu versi paham pembangunan (developmentalisme)”.[5] Sztompka melihat konsepsi pembangunan memiliki hubungan erat dengan filsafat modernitas yang menitikberatkan pada konsep “kemajuan”, di mana terma tersebut menjadi wacana mainstream di dunia Barat setelah memasuki abad renaissance dan mengalami titik kulminasi pada era Aufklarung di Eropa. Kacamata filsafat modernitas yang menjadi dasar pijakan tatanan sosial masyarakat Barat di abad modern tersebut, dalam lebih separoh abad terakhir hendak diinjeksikan kepada negara-negara bekas jajahan sambil lalu menjaga relasi dominasi melalui kontrol pengetahuan dan ideologi. Format pembangunan yang didesain lemabaga-lembaga internasional—IMF & Bank Dunia—untuk mendikte negara-negara Dunia Ketiga, karenanya mengambil pijakan dan semangatnya dari sana.
Kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.[6] Akibat dari sempitnya pemahaman mengenai pembangunan itu sendiri berimplikasi terhadap gagalnya mendorong dimensi pembangunan yang menyeluruh. Anggapan bahwa sumber penyebab ketidakberdayaan masyarakat terletak pada keterbatasan sarana pembangunan fisik, membuat pemerintah abai dalam memenuhi dimensi pembangunan lainnya.
Di Indonesia, sesat pikir dan praktik pembangunan yang—sesungguhnya—kapitalistik itu diterapkan sejak Orde Baru. Bertolak belakang dengan konsep berdikari Soekarno, Pemerintahan Soeharto atas nama “pembangunan” sejak awal telah membuka diri lebar-lebar terhadap modal dan bantuan asing. Sekitar 500 perusahaan yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh Pemerintahan Soekarno sebagian besar dikembalikan ke penguasanya semula. Semakin lama, kran liberalisasi justru dibuka lebih lebar. Pada tahun 1974, peristiwa Malari pecah saat Soeharto menerima PM Jepang Tanaka di Jakarta sebagai penanda dimulainya investasi Jepang di Indonesia. Padahal, jenis investasi Jepang pada saat itu masih belum perlu, mengingat Indonesia masih sanggup memproduksi sendiri, seperti Tekstil. Namun, berbagai kebijakan itu merupakan dikte kebijakan dari Bank Dunia. Dampaknya, Indonesia semakin tergantung pada modal Asing.
Ketika krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997-1998, bukannya menghentikan, pemerintah justru mengintegrasikan diri pada rezim pembangunan kapitalisme global secara lebih masif. Kita masih ingat bagaimana ketika Indonesia dipaksa menandatangi resep IMF untuk mengatasi krisis ekonomi dengan cara deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Konsep-konsep ini pula yang menjadi bagian dari skema resep reformasi hukum Bank Dunia untuk menggapai fantasi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Ancaman ini semakin kentara pada tahun 2002. Ketika terjadi semacam upaya “kudeta konstitusional” terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang hendak dicabut oleh kelompok ekonom neoliberal. Meski tidak jadi, momen ini penanda begitu kuatnya cengkraman pembangunan kapitalisme di Indonesia. Terbukti pasca itu, konsep pembangunan selalu berusaha dipercepat dan diperluas dari rezim ke rezim.
Di awal 2000an, Joseph Stiglitz—mantan penasehat Bank Dunia dan Kementerian Luar Negeri AS—menggugat penjajahan gaya baru lembaga-lembaga donor internasional berikut diktum pembangunannya:
“Anda dapat menaikkan PDB dengan merusak lingkungan hidup, menguras habis sumber daya alam, atau meminjam dari negara asing, namun pertumbuhan ekonomi yang dilakukan seperti ini tidak akan berkelanjutan. Juga, lembaga-lembaga internasional (IMF, Bank Dunia & WTO), yang telah dipercaya untuk membuat aturan permainan dan mengelola ekonomi global, ternyata hanya merefleksikan kepentingan-kepentingan negara industri maju.”[7]
Namun, peringatan itu ternyata belum juga cukup untuk menyadarkan para pembuat dan pengambil kebijakan kita. Di masa SBY, konsep pembangunan dipatenkan dalam program MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan) yang berpacu pada tiga elemen utama yaitu: (1) mengembangkan potensi ekonomi wilayah di enam Koridor Ekonomi Indonesia (2) memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected); (3) memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.[8] Pengembangan MP3EI dilakukan dengan semangat “Not Business As Usual”, dengan menempatkan pihak swasta untuk memainkan peran utama pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Dalam konsep ini, pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari sisi regulasi, pemerintah akan melakukan deregulasi (debottlenecking) terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan katalisasi akan diberikan oleh pemerintah melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal dan non fiskal.[9] Konsep MP3EI ini dengan terang menjadikan investasi sebagai tumpuan ekonomi Indonesia.
Pembangunan infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, jalan tol akhirnya tidak dinikmati oleh masyarakat di wilayah yang kesulitan akses infrastruktur, melainkan direngkuh oleh pemodal besar. Tidak heran, meski berhasil menciptakan lapangan kerja, ruang kemandirian ekonomi rakyat kecil semakin tergerus oleh industri besar dan konsekuensinya terlihat dengan maraknya urbanisasi dari desa ke kota.
Di era Jokowi, kondisi tidak banyak berubah. Terpilih sebagai presiden dengan manifesto nawacita yang juga ‘membajak’ Trisakti Bung Karno, produksi kebijakan Jokowi semakin menambah ketergantungan ekonomi pada investasi. Kebijakan MP3EI zaman ZBY dilanjutkan dalam skala yang lebih masif. Pembangunan infrastruktur digenjot demi kelancaran perputaran modal insdustri besar. Berbagai aturan yang dianggap menghambat investasi kemudian dicabut. Daftar investasi tertutup direvisi, dan semakin banyak yang dimasukkan dalam daftar investasi terbuka. Artinya, semakin banyak public goods menjadi private goods.
Pemerintah seolah tak pernah menyadari, bahwa pembangunan selama ini telah menghasilkan dampak negatif berupa ketidakadilan dan krisis sosial, kerusakan ekologis, dan tergerusnya kearifan budaya. Masifnya pembangunan itu justru berbanding lurus dengan meningkatnya ketimpangan antara orang-orang yang tergolong kaya raya dan orang-orang miskin selama 20 tahun terakhir. Posisi Indonesia kini menduduki peringkat keenam negara dengan ketimpangan ekonomi ekstrim adalah salah satu buktinya—sebagaimana hasil laporan Infid dan Oxfam. Bahkan, ketimpangan di Indonesia ini tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain Asia Tenggara.
Ukuran pertumbuhan—yang menjadi salah satu indikator kesuksesan developmentalisme—masih mainstream dalam kampanye pembangunan ekonomi pemerintah. Padahal, sudah bukan rahasia bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berkorelasi dengan pemerataan pendapatan.
Dampak pembangunan yang menekankan pada investasi dan liberalisasi sesungguhnya juga dapat dilihat dalam Catatan Akhir Tahun 2016 Konsorsium Pembaruan Agraria. Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, sejak 2004 hingga 2015, telah terjadi 1772 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik seluas 6.942.381 hektar, yang melibatkan 1.085.817. Di sepanjang tahun 2016 saja, sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah ini hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai jumlah 252 konflik agraria. Jika di rata-rata, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik. Dengan kata lain, masyarakat harus kehilangan sekitar sembilan belas kali luas provinsi DKI Jakarta. Perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680 hektar. Disusul berturut-turut sektor kehutanan seluas 450.215 hektar, sektor properti seluas 104.379 hektar, sektor migas seluas 43.882 hektar, sektor infrastruktur seluas 35.824 hektar, sektor pertambangan 27.393 hektar, sektor pesisir 1.706 hektar, dan terakhir sektor pertanian dengan luasan 5 hektar.
Seperti diketahui, sektor kehutanan, properti, migas, infrastruktur, pertambangan, pesisir, dan pertanian yang menjadi spektrum konflik tersebut merupakan arena investasi. Maka, terang bahwa investasi secara umum menjadi akar ketidakadilan dan konflik agraria. Lantas, kenapa fantasi pembangunan yang bertumpu pada investasi demi pertumbuhan ekonomi ini selalu digelorakan dari rezim ke rezim. Kenapa sebagai sebuah konsep pembangunanisme yang memproduksi ketidakadilan sosial ini terus dijalankan dan seolah tanpa gugatan?
Ketimpangan & Pengkhianatan Intelektual
Kita sesungguhnnya berharap adanya respon serius dari kalangan perguruan tinggi—yang seharusnya menjadi ruang produksi kebenaran—untuk berperan aktif dalam menghentikan laju ketidakadilan pembangunan itu. Namun, ironi yang terjadi pada akademisi dan perguruan tinggi, yang sering mengidentikkan diri dengan intelektual, dalam beberapa tahun belakangan membuat harapan tersebut tampak sukar terwujud. Misalkan saja. Pada 20 Maret 2015, ratusan warga Kendeng, Pati, Jawa Tengah mendemo salah satu kampus ternama di Indonesia. Mereka protes karena Amdal pembangunan sebuah Pabrik Semen dikeluarkan atas kajian akademisi UGM. Kejadian serupa terjadi di Malang dua tahun sebelumnya, 2013. Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) mendemo sebuah kampus besar di Malang. Mereka mengumpulkan koin sebagai simbol keprihatinan atas penelitian yang dilakukan para akademisi di kampus itu yang melegitimasi izin pendirian hotel The Rayja di Kota Batu sehingga mengancam kelestarian sumber air Gemulo yang ada di bawahnya.
Di sini, terjadi perselingkuhan intelektual dengan penguasa.[10] Hal ini sebetulnya bukan barang baru. Di zaman Fir’aun, kita mendapati figur intelektual seperti Hamman yang memfasilitasi ambisi-ambisi Fir’aun. Apapun dampak buruknya.[11] Dalam sejarah perkembangan sains pada abad pertengahan, pernah populer istilah myth of the bad scientists. Kondisi di mana para ilmuwan bersatu padu memproduksi gagasan-gagasan yang memihak penguasa. Apa yang dilakukan oleh para ilmuwan adalah melegitimasi setiap tindakan penguasa, sehingga tindakan itu terkesan ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.[12] Di Indonesia, rezim pembangunan plus otoritarian Orde Baru sudah bukan rahasia lagi jika ia tegak disokong ahli ekonomi kelompok Mafia Berkeley yang mengkhianati cita-cita berdikari. Meski pada tahun 1927, Julian Benda melalui bukunya La trahision des clers—Pengkhianatan kaum intelektual—telah memberikan alarm bahwa “orang terpelajar yang disewa oleh yang berkuasa di dunia adalah pengkhianat kepada fungsinya”.
Peringatan Julian Benda itu patut didengungkan kembali. Apalagi, fakta-fakta yang lebih mengerikan dari sekedar “perselingkuhan intelektual dengaan penguasa” juga semakin terang. Pada 11 Desember 2014, KPK merilis sebuah data mengejutkan. Tidak tanggung-tanggung, terdapat 10 profesor dan 200 doktor terjebak kasus korupsi. Pada 28 Oktober 2016, KPK juga menemukan indikasi korupsi terkait pemilihan rektor di sejumlah perguruan tinggi negeri. Menurut ICW, dari tahun 2006 hingga Agustus 2016, tercatat sedikitnya 37 kasus korupsi yang terkait dengan perguruan tinggi dan nilainya mencapai Rp 218,804 miliar. Di Malang, ada juga universitas berbasiskan agama yang dibangun di atas tanah petani yang tak merasa menjual tanahnya. Pendeknya, perguruan tinggi kini sudah menjadi bagian dari spektrum korupsi. Di sini, pengkhianatan intelektual semakin terlihat secara lebih telanjang.
Problem lainnya, perguruan tinggi juga belum bisa melepaskan diri dari pola kerja ‘intelektual tradisional’. Suatu gambaran dimana kaum intelektual memiliki audiens terbatas dan menjalani rutinitas mengajar di ruang kelas. Memang, dalam beberapa tahun terakhir banyak insentif bagi perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dan pengabdian ‘formal’. Dan, bagaimanapun, riset hakikatnya adalah metode intelektual untuk mencari dan menemukan kebenaran. Masalahnya, pada level diskursif ini, kerapkali kebebasan intelektual tidak mendapatkan jaminan. Dana riset hanya terkucur sejauh untuk menguji kebenaran teoretis dan empiris, tapi tidak sedikitpun menyentuh kebenaran filosofis. Dalam struktur sosial yang kapitalistik, diskursus riset perguruan tinggi pun akhirnya hanya diproduksi sejauh ia memberikan legitimasi terhadap kebijakan pemerintah yang seringkali segaris dengan kepentingan akumulasi modal industri.
Pada level praktis, lebih ironis lagi karena proyek riset itu kerapkali direduksi sekedar menjadi alat untuk kepentingan pragmatis: mendongkrak kenaikan pangkat—yang di Indonesia belakangan ditentukan secara sangat kuantitatif-adminsitratif. Pragmatisme itu secara institusional juga semakin kentara dengan dikejarnya berbagai label ambisius: world class university, research university, dsb. Padahal, ambisi demikian akan memuluskan—mengutip tuduhan Revrisond Baswir—neo kolonialisme dan imperialisme (nekolim). Yang terjadi kemudian adalah kompetisi antarperguruan tinggi. Bukan dalam rangka memberikan dedikasi, tapi demi predikat dan prestise.
Tidak mengherankan jika kemudian perguruan tinggi sering absen dalam merespon kebijakan yang memuluskan kesenjangan. Sebab, alih-alih menjalankan fungsi sebagai pembela kebenaran, perguruan tinggi hanya menjadi pemasok tenaga kerja industri. Ia hanya diisi oleh akademisi dan ilmuan, bukan intelektual.
***
Oleh karena itu, jika perguruan tinggi menginsyafi kenaifan ini, mustinya perguruan tinggi mengembalikan mandat intelektual pada dirinya. Tugas intelektual, menurut Edward Said, adalah menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan.[13] Perguruan tinggi seharusnya diisi oleh figur-figur intelektual yang memiliki karakter berani berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, fasih, dan tanpa tedeng aling-aling. Di sinilah pentingnya perguruan tinggi mencipta manusia-manusia yang memiliki karakter memihak kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Dalam ungkapan Hatta:[14]
“Pangkal segala pendidikan karakter adalah cinta kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Pendidikan ilmiah pada perguruan tinggi dapat melaksanakan pementukan karakter itu, karena—seperti saya katakan tadi—ilmu ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran. … Selagi rakyat yang masih berselimut dengan kegelapan, kaum terpelajarlah yang membukakan matanya bahwa ia mempunyai hak atas hidup sebagai bangsa yang merdeka”.
Dimana pun dan dalam situasi apa pun, dalam suatu masyarakat pasti terdapat seorang pemimpin. Terlepas apakah ia baik atau buruk. Masalahnya, politik hari ini disokong oleh oligarki, dinasti, politik kartel dan sederet praktik buruk kekuasaan lain yang menegasikan kedaulatan rakyat. Rakyat terus menerus menjadi korban predasi kekuatan kekuasaan yang berselingkuh dengan kekuatan modal, baik dengan cara resmi maupun tidak resmi. Dengan cara tidak resmi (korupsi dan oligarki) kondisi ini telah melahirkan “demokrasi oligarki” sebagaimana istilah Francis Fukuoka, dengan cara resmi (kebijakan pembangunan kapitalisme) ia menyebabkan “the death of democracy” sebagaimana ungkapan Noreena Hertz.
Maka, sudah saatnya perguruan tinggi tidak lagi terbelenggu dalam rutinitas aktivitas yang apolitis. Konsolidasi intelektual dalam melawan kapitalisme dan memperjuangkan keadilan sosial, untuk itu, sangat diperlukan. Rakyat menagih janji pengabdian perguruan tinggi yang sesungguhnya, bukan dalam rangka memenuhi formalitas. Kami yakin bahwa masih ada figur-figur intelektual tercerahkan di perguruan tinggi, yang anti status quo, yang anti kemapanan, dan memiliki keperpihakan yang jelas pada kebenaran dan kaum tertindas. Melalui konsolidasi intelektual perguruan tinggi ini, perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial semakin menemukan jalannya.
*) Disempurnakan dan dipublikasi di sini untuk tujuan pendidikan. Naskah awalnya ditulis untuk dipresentasikan dalam diskusi Forum Masyarakat Sipil: “Pembangunan, Ketimpangan, dan Tanggung Jawab Intelektual” yang diikuti oleh kalangan NGO dan akademisi di Malang, 28 Februari 2017 di Wisma Kalimetro, Malang. Berita acara ini dapat dibaca di sini dan di sini.
Daftar Pustaka
Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995)
Edward Said, Representation of Intellectual (terj) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014)
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, (Bandung: Mizan, 2007).
Kementerian Koordinator Perekonomian, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (2011)
Kevin Danaher, 10 Alasan Bubarkan IMF & Bank Dunia, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2005)
Michael P, Todaro, Economic Development in the Third World, (New York: Longman Inc, 1987).
Mohammad Hatta, Tanggung Jawab Kaum Intelegensia dalam Cendekiawan dan Politik Cet II (Jakarta: LP3ES, 1984)
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2010)
Pradana Boy ZTF, Myth of the Bad Scientists, Dilema Peran Kaum Intelektual. Republika Senin, 28 Maret 2005
Rilis riset Infid dan Oxfam Indonesia (14/2)
S.P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi Dan Strateginya. (Jakarta: Gunung Agung, 1983),
Zakiyuddin Baidlawi, Teologi Neo Al Maun; Manifesto Islam Menghadapi Kemiskinan Abad 21 (Jakarta: Civil Islamic Institute 2009)
[2] Kevin Danaher, 10 Alasan Bubarkan IMF & Bank Dunia, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2005).
[3] Kuatnya korelasi antara konsep pembangunan dengan konsep modernisasi membuat kedua istilah kerap saling dipertukarkan. Dalam konteks Indonesia, istilah pembangunan memiliki banyak makna. Selain diasosiasikan sebagai modernisasi, istilah pembangunan juga dikonotasikan sebagai industrialisasi.
[4] S.P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi Dan Strateginya. (Jakarta: Gunung Agung, 1983), h. 3, dalam Agus Suryono, Pengantar Teori Pembangunan, (Malang: UM Press, 2004), Edisi I, Cet. I, h. 21.
[5] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2010), cet. V, h. 27.
[6] Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), 1.
[7] Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, (Bandung: Mizan, 2007).
[8] Kementerian Koordinator Perekonomian, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (2011). Hal 10
[9] Ibid
[10] Kami tentu tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa setiap pandangan intelektual yang membenarkan langkah perusahaan dan yang ditentang oleh masyarakat adalah salah—sebab barometer untuk menilai benar salah memang tidak ditentukan oleh itu. Tetapi, dua kasus di atas adalah contoh dari sekian banyak produksi kebenaran kalangan intelektual yang sesungguhnya adalah “kebenaran politik”: kebenaran yang berpihak pada otoritas politik resmi, dalam hal ini negara, pemerintah, atau penguasa.
[11] Lihat: Zakiyuddin Baidlawi, Teologi Neo Al Maun; Manifesto Islam Menghadapi Kemiskinan Abad 21 (Jakarta: Civil Islamic Institute 2009)
[12] Pradana Boy ZTF, Myth of the Bad Scientists, Dilema Peran Kaum Intelektual. Republika Senin, 28 Maret 2005
[13] Edward Said, Representation of The Intellectual (terj) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014)
[14] Lihat: Mohammad Hatta, Tanggung Jawab Kaum Intelegensia dalam Cendekiawan dan Politik Cet II (Jakarta: LP3ES, 1984). Hal 1-24