Ali Fikri Hamdhani
Menjelang pemilu 2024, isu demi isu bergulir tak ada ujungnya. Salah satunya yang terus awet adalah penundaan pemilu. Kamis, 2 Maret 2023[1], Jaksa hakim PN Jakarta Pusat secara resmi memvonis KPU untuk menunda pemilu hingga 2025. Sontak, putusan ini membuat wacana publik kembali ramai setelah sekian lama hilang. Banyak pakar (khususnya pakar hukum) lantang menolak betul putusan ini karena alasan konstitusionalitas, mulai dari kejanggalan substansi putusan hingga kejanggalan formil terkait wewenang pengadilan.
Isu penundaan pemilu memang bukan hal baru. Tahun lalu, isu ini pertama kali muncul berbarengan dengan wacana penambahan masa jabatan Presiden. Alasannya untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi. Saat itu, elit-elit parpol bahkan berusaha menampilkan data bahwa penundaan pemilu dan penambahan jabatan presiden adalah “permintaan netizen”, seolah-olah hal ini merupakan aspirasi publik[2].
Meski terlihat terlalu gegabah, tampaknya agenda ini semakin serius diwujudkan. Menurut laporan tempo[3], skenario ini sudah lama digulirkan istana. Untuk meloloskan penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan Presiden, para ahli bahkan diminta untuk mencari celah hukum dan dukungan sipil.
Bagi penulis, wacana ini penting dan menarik untuk dibahas, bukan hanya karena dilarang secara konstitusional, tapi juga menggambarkan karakter politik rezim Jokowi itu sendiri. Pertanyaan dasarnya, mengapa akhirnya rezim Jokowi seolah menjadi satu-satunya pilihan politik di (beberapa) kalangan elit? Siapa yang akan diuntungkan dari strategi politik ini?
Pada dasarnya politik tidak pernah kosong dari kepentingan, makna kepentingan dalam hal ini bukan suatu gagasan yang bersifat abstrak, seperti yang biasa menjadi slogan atau kampanye elit politik oportunis (demi kesejahteraan rakyat, demi bangsa dan negara, dan demi demi lainnya). Jika demikian, politik hanya sekadar omong kosong tak bermakna. Lebih dari itu, politik tak lebih seperti mediator atau sarana kontestasi kepentingan kelas sosial yang dibangun berdasarkan kekuatan tertentu.
Dalam konteks ini, kita perlu meninjau bagaimana kelas sosial dan kekuatan yang dibangun melalui relasi politik di masa rezim Jokowi.
Politik Populisme ala Jokowi
Karier Jokowi tumbuh cemerlang sebagai figur yang populis, posisi politik pengusaha kayu ini lebih diuntungkan karena dianggap tidak ada kaitannya dengan Orde Baru, lebih inklusif, dan tokoh pembaharuan yang pro-reformis. Dibandingkan pesaingnya (Prabowo) yang memiliki rekam jejak anti-demokrasi, salah satunya atas keterlibatannya dalam dugaan pelanggaran HAM masa lalu, Jokowi terpilih dengan keyakinan mayoritas pemilih rindu dengan sosok yang pro-demokrasi, inklusif, sederhana, dan pekerja keras.
Melalui programnya yang populis pula, Jokowi bangkit sebagai tokoh populis alternatif, hal ini yang membuatnya semakin populer di kalangan masyarakat. Untuk memperoleh kepercayaan dari parpol pengusungnya, Jokowi harus menggunakan kesempatan sebaik mungkin dengan menunjukkan rasa hormatnya kepada Megawati, dan se-kompromis mungkin dengan kalangan elit lainnya. Hal ini yang sedikit banyak citranya sebagai tokoh populis mulai tergerus. Namun demikian, kemenangannya di Pilpres 2014 menunjukkan Jokowi masih banyak diminati para pemilih, hal ini karena citra populisnya masih kuat, terbukti dengan besarnya relawan Jokowi di kelas menengah dan masyarakat miskin pedesaan (Marcus Mietzner: 2015)[4]. Kisah Jokowi sebagai tokoh yang “diminati” banyak orang ini berlangsung lama. Ia akhirnya lagi-lagi terpilih di periode keduanya dengan musuh dan strategi yang tak jauh berbeda.
Namun demikian, melihat Jokowi sebagai tokoh personal yang populis, pro-reformasi, dan pekerja keras, tidak akan membawa perbincangan politik kita ke mana-mana dan tidak akan menghasilkan jawaban yang memuaskan. Kita juga tidak akan menemukan secara konkret bagaimana politik rezim Jokowi bekerja. serta tidak menemukan pula “siapa yang diuntungkan dan kekuatan apa yang digunakan dalam politik Jokowi”. Hal ini disebabkan karena kita tidak menggunakan penjelasan secara materil bagaimana rezim Jokowi dan kalangan elit di sekitarnya beroperasi.
Kita harus melihat bahwa populisme Jokowi tidak lebih hanya sebagai strategi mendongkrak popularitas dalam politik electoral yang dibangun untuk kesuksesan karir politiknya. Untuk melihatnya, maka disini perlu dan penting dilihat melalui relasi antara elit ekonomi dan politik. Kelit kelindan keduanya akan menghasilkan penjelasan kritis atas logika berjalannya kekuasaan yang dikenal dengan tesis oligarki.
Menguatnya Kapitalisme Oligarki
Oligarki adalah sebagai sebuah sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya (Vedi R. Hadiz dan Robinson: 2004)[5]. Dalam teori oligarki, politik atau kekuasaan negara dibentuk berdasarkan proses yang memungkinkan terjadinya akumulasi kapital dan melibatkan aktor politik negara. Dengan kata lain, teori ini menegaskan bahwa tidak ada keterpisahan antara kekuasaan politik dengan kepentingan ekonomi pemilik modal.
Oligarki adalah perkembangan kapitalisme. Artinya, struktur oligarki terbentuk karena persinggungan kepentingan elit politisi-birokrat yang memiliki sumber daya materiil terbatas dengan borjuasi yang membutuhkan akses politik yang sama-sama bertujuan mengakumulasi kapital dan mempertahankan kekuasaan (Abdul Mughis dan Coen Pontoh: 2020)[6].
Situasi ini lumrah ditemukan dalam banyak praktek politik di Indonesia, misalnya, politisi membutuhkan sokongan dana atau ongkos politik untuk kontestasi elektoral, sementara borjuasi membutuhkan kelancaran izin usahanya untuk akumulasi kapital. Akibat relasi ini pula, korupsi politik[7] menjamur di Indonesia.
Relasi oligarki tumbuh dalam sejarah politik di Indonesia, terutama sejak era rezim Orde Baru. Di rezim Jokowi[8], kuasa oligarki ini semakin kuat. Sejak awal, konsolidasi elit ekonomi-politik ini menjadi sumbu kemenangan awal Jokowi. Topangan kekuasaannya semakin meningkat ketika kalangan militer berhasil dirangkul, sebut saja nama-nama seperti Luhut Binsar, Moeldoko, Wiranto, Fachrul Razi, Ryamizard dan Terawan. Hampir semua kelompok serdadu ini juga memiliki bisnis terutama di sektor tambang dan energi.
Sebagai buah hasil persekutuan itu, izin-izin untuk usaha korporasi swasta menjadi dipermudah sejak Jokowi menjabat sebagai Presiden. Dari tahun 2014 hingga 2022[9], tercatat ia telah memberikan konsesi penguasaan lahan sebesar 11,7 juta hektar, paling banyak berada di izin sektor industri tambang dengan luas 5,3 juta hektar. Khusus di sektor tambang, Jokowi bahkan menjadi presiden yang memberikan izin penguasaan lahan paling luas untuk sektor ini. Di tahun 2022[10], investasi modal pada sektor ini menjadi kedua terbesar yang dibiayai baik dari modal luar negeri maupun modal dalam negeri. Nama-nama penguasa modal dalam negeri, khususnya sektor tambang batubara, secara gamblang dapat kita lihat semasa kepemimpinan rezim Jokowi [11].
Penguasaan lahan oleh segelintir elit ini secara otomatis akan menyebabkan ketimpangan kepemilikan. Dalam hal ini, rezim Jokowi mencatatkan sejarah. Data KPA[12] menyebut indeks ketimpangan penguasaan lahan berada di posisi terburuk sejak UUPA 1960 disahkan, dimana sekitar 68% tanah di seluruh daratan Indonesia dikuasai oleh 1% elit korporasi, sedangkan sisa tanah yang ada diperebutkan oleh 99% warga.
Dari ulasan singkat ini, kita bisa melihat bagaimana rezim Jokowi beroperasi. Sejak awal, ia memang membuka pintu bagi akumulasi kapital untuk menjalankan politiknya. Hubungan saling menguntungkan ini menjadi awet hingga menjelang di akhir masa jabatannya.
Pertarungan “Mencari Keuntungan”
Salah satu kata kunci untuk mendalami agenda akumulasi kapital ini adalah investasi, yang sangat menonjol di era Jokowi. Ia menggunakan berbagai macam cara untuk meningkatkan investasi secara besar-besaran, termasuk dengan mengotak-atik hukum atau peraturan yang menghambat rencana investasi dengan memberlakukan UU Cipta Kerja.
Hasilnya, pada periode pertama pemerintahan Jokowi (antara tahun 2014-2019)[13], capaian investasi pada sektor manufaktur tembus hingga 1.280 triliun, dengan nilai rata-rata per tahun sebesar 250 triliun. Total angka investasi ini bahkan lebih besar dari investasi selama akumulasi 10 tahun pada periode sebelumnya (2005-2014). Sementara itu, pada sektor yang sama di periode kedua, khususnya tahun 2020 angka investasi mencapai 270 triliun. Angka ini lebih tinggi dari nilai rata-rata pertahun di periode pertama. Alasan utama yang selalu didengungkan Jokowi dan para pendukungnya di balik agenda investasi adalah demi menyerap tenaga kerja. Faktanya, semakin banyak investasi justru tingkat penyerapan tenaga kerja semakin menyusut[14].
Di akhir masa jabatannya, dua agenda proyek investasi skala besar selama masa pemerintahan Jokowi berlangsung semakin digenjot, yakni Proyek Strategi Nasional (PSN) dan Pemindahan Ibu Kota. PSN merupakan proyek yang ia luncurkan sejak masa tahun 2016, yang meliputi sekitar 201 daftar proyek pembangunan infrastruktur, bendungan, PLTU, perkebunan, food estate, dll. Proyek ini membutuhkan anggaran lebih dari 2.000 triliun[15] yang hampir separuhnya dibiayai investor swasta. Proyek ini tidak melibatkan masyarakat terdampak dan justru memperparah kerusakan lingkungan, khususnya pada kawasan masyarakat adat[16].
Proyek IKN sama-sama merusak lingkungan dan membutuhkan anggaran yang gemuk. Dalam skema pendanaannya, negara bahkan hanya mampu 20%[17] dari total Rp466 triliun anggaran yang kira-kira dibutuhkan. Sisanya, tentu saja akan diperebutkan oleh investor-investor swasta.
Kedua proyek ini sama-sama membutuhkan para pemodal. Mereka diharapkan berbondong-bondong membiayai proyek tersebut.
Masalahnya, proyek ini menghadapi tantangan akibat konfigurasi politik untuk 2024. Banyak investor baik dalam maupun luar negeri menjadi ragu, apakah proyek ini tetap berjalan atau tidak pasca Jokowi lengser[18]. Untuk meyakinkan investor, banyak upaya politik dilakukan Jokowi[19].
Dengan melihat tren elektabilitas[20] pemilu 2024 yang sama-sama berasal dari kalangan oligark, IKN dan agenda proyek besar lain yang dijalankan selama rezim Jokowi kemungkinan besar akan tetap dilanjutkan. Pemilu dan pergantian kekuasaan hanya akan menata ulang siapa yang akan mendapatkan keuntungan (akumulasi kapital) dari proyek ini.
Penutup
Selama masa pemerintahan rezim Jokowi berlangsung, ia berhasil memelihara hubungan kapitalisme oligarki melalui segala macam agenda proyek yang dibangun sejak awal. Kemapanan hubungan ini akhirnya menjadi agenda politik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dan tak pernah terjadi sepanjang era reformasi, yakni menunda pemilu dan menambah masa jabatan Presiden.
Pada dasarnya, agenda menunda pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden bukan prasyarat pokok untuk memperlancar akumulasi kapital. Akumulasi kapital akan tetap berjalan mulus selama pertarungan electoral dan kemenangan masih diisi oleh kalangan oligark. Agenda penundaan pemilu akan hanya menjadi pertarungan antar elit untuk perebutan ruang untuk akumulasi, dan kemungkinan akan berakhir kompromi sesama oligark untuk berbagi, persis seperti yang terjadi di era periode kedua Jokowi. Karenanya, baik pemilu dilaksanakan tepat waktu atau ditunda, hal ini tidak menjadi ancaman politik berarti bagi kalangan oligark.
Maka, jika kembali pada pertanyaan awal, siapa yang akan diuntungkan dari strategi politik ini? Yang diuntungkan jelas bukan massa rakyat yang menjadi target populisme politik ala Jokowi.
Catatan Kaki
[1] https://nasional.kompas.com/read/2023/03/08/19540991/jejak-isu-penundaan-pemilu-andil-menteri-dan-ketum-parpol-hingga-gugatan
[2] https://nasional.kompas.com/read/2023/03/08/19540991/jejak-isu-penundaan-pemilu-andil-menteri-dan-ketum-parpol-hingga-gugatan
[3] https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/168139/gerilya-jokowi-3-periode
[4] Marcus Mietzner, Reinventing Asian Populism, Jokowi’s Rise, Democracy and Political Contestation in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2015
[5] Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia, The Politics of Oligarchy in an age of Markets, London: Routledge Curzon, 2004
[6] Coen Pontoh dkk, Oligarki: Teori dan Kritik, Jakarta; Marjin Kiri, 2020
[7] Korupsi Politik dalam Tinjauan Ekonomi Politik : Sebuah Keharusan Kapitalisme dalam Mempertahankan Akumulasi Kapital | Malang Corruption Watch (mcw-malang https://mcw-malang.org/korupsi-politik-dalam-tinjauan-ekonomi-politik-sebuah-keharusan-kapitalisme-dalam-mempertahankan-akumulasi-kapital/.org)
[8] https://tirto.id/di-bawah-jokowi-oligarki-kian-mencengkeram-demokrasi-makin-semu-f7XT
[9] https://www.walhi.or.id/indonesia-tanah-air-siapa-pidato-jokowi-tidak-mencerminkan-kemerdekaan-indonesia-100
[10] Laporan Kementerian Investasi/BPKM 2023, Realisasi Investasi Triwulan IV Januari-Desember 2022. 1675742830.pdf (bkpm.go.id)
[11] https://projectmultatuli.org/profil-peta-koneksi-bisnis-dan-politik-10-oligark-batubara-terbesar-di-indonesia-di-bawah-pemerintahan-jokowi/
[12] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210913163421-20-693661/kpa-sebut-puncak-ketimpangan-68-tanah-dikuasai-1-korporasi
[13] https://kemenperin.go.id/artikel/22895/7-Tahun-Pemerintahan-Jokowi,-Investasi-dan-Ekspor-Industri-Kian-Bergeliat
[14] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210120192115-92-596333/investasi-masuk-tapi-penyerapan-tenaga-kerja-turun-tajam
[15] Daftar Proyek Strategis Nasional Jokowi, Nilainya Lebih dari Rp 2.000 Triliun – https://bisnis.tempo.co/read/1478071/daftar-proyek-strategis-nasional-jokowi-nilainya-lebih-dari-rp-2-000-triliun Bisnis Tempo.co
[16] https://theconversation.com/kala-hutan-dipaksa-mengalah-demi-proyek-strategis-nasional-167071?fbclid=PAAaYb9SLGsFxhoGIjm1FI8RAFwiS35pJKvurhbjfIprbyYDEiL0K3zy1GZ4U
[17] https://nasional.kompas.com/read/2022/03/15/08563911/jokowi-pembangunan-ikn-butuh-rp-466-triliun-20-persen-diambil-dari-apbn
[18] https://www.idxchannel.com/economics/banyak-investor-ragukan-nasib-proyek-ikn-pasca-pilpres-2024
[19] https://theconversation.com/2024-ganti-presiden-pakar-ungkap-strategi-jokowi-untuk-tetap-mengamankan-ikn-187803
[20] https://www.liputan6.com/pemilu/read/5196559/hasil-survei-elektabilitas-capres-pilpres-2024-ganjar-pranowo-anies-baswedan-prabowo-subianto-erick-thohir-terupdate-hari-ini
Gambar: Kompas