oleh
Haris Samsuddin[1]
Dalam sebuah negara demokratis, civil society merupakan penyangga utama tegaknya demokrasi. Kehadirannya (civil society) ibarat oksigen, yang tanpanya demokrasi tak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Demokrasi dan civil society bak dua sisi dari mata uang, di mana keduanya saling melengkapi. Pentingnya peran civil society dalam konteks demokrasi membuat keduanya tak bisa dipisahkan. Hal ini dikarenakan demokrasi tanpa kehadiran civil society yang kuat hanya akan mengarah pada otoritarianisme negara. Berkaca pada pengalaman Indonesia di era Suharto yang bertindak dengan menggunakan “tangan besi” membuat demokrasi menjadi mandul dan tampak paradoks.
Di era kepemimpinan Suharto, praktik demokrasi–bahkan untuk menyebutnya sebagai demokrasi prosedural–sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ditunaikannya nilai-nilai, norma dan prinsip dasar demokrasi. Hal itu disebabkan di zaman Suharto kehadiran civil society sangat minim, bahkan sangat lemah untuk dikatakan mengambil posisi kontrol terhadap tindak kesewenang-wenangan negara. Barangkali yang tampak demokratis di era Orde Baru hanyalah pengaturan sirkulasi kepemimpinan (pemilu) yang dilaksanakan secara berkala. Sayangnya, hal itu pun tidak berlangsung fair, sebab, politik monoloyalitas yang diparktikkan Suharto memungkinkan institusi-institusi demokrasi mengalami disfungsi. Terbukti, enam kali diadakan pemilu semenjak Sukarno dikudeta, hingga berhembus angin reformasi, selalu dimenangkan oleh Suharto. Hal itu dikarenakan institusi demokrasi kala itu, termasuk civil society sepenuhnya dikendalikan oleh Suharto lewat parktik hegemoni maupun aksi represifnya.
Lemahnya peran masyarakat sipil (civil society) di zaman Orde Baru berdampak terhadap menurunnya kualitas demokrasi. Civil society mengalami pengebirian dan pengawasan yang ketat oleh rezim, mulai dari ideologi gerakan, visi, platform hingga program aksi mendapat kontrol yang sangat ketat. Beberapa elemen masyarakat sipil (intelektual, aktivis, mahasiswa, pelaku media) kala itu yang tidak ingin didikte oleh rezim Suharto selalu melayangkan kritik bertubi-tubi terhadap rezim. Sayangnya, kelompok ini jumlahnya tidak seberapa, belum lagi kehadirannya selalu diawasi bahkan ada yang yang dihabisi tanpa diadili.
Pasca tumbangnya rezim Suharto, kemunculan civil society bak jamur di musim hujan. Tercatat, di era Presiden Habibi, Gusdur, Megawati, SBY hingga Jokowi, civil society tumbuh dan berkembang dengan pesat. Namun, hal itu tidak serta-merta berdampak pada peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Reformasi yang kini telah menginjak usia dewasa mestinya sudah mengalami fase kematangan demokrasi. Sayangnya, agenda reformasi ternyata tidak berimplikasi terhadap proses konslodisasi demokrasi. Bahkan, akhir-akhir ini menunjukkan preferensi ke arah diktatorialisme baru. Banyak faktor yang menyebabkan konsolidasi demokrasi di era reformasi mengalami kemacetan, di mana salah satunya adalah absennya aksi kolektif di kalangan masyarakat sipil itu sendiri yang membiarkan ruang reformasi dicaplok oleh mereka yang anti-demokrasi. Bahkan, reformasi terkesan ditumpangi oleh para oligarki, di mana mereka termasuk orang-orang yang pernah dibesarkan dan hidup bersenggama dengan rezim Orba.
Sketsa Historis Perkembangan Konsep Civil Society
Sejauh ini tidak ada satupun definisi civil society yang baku. Istilah civil society kadang digunakan secara serampangan. Masing-masing menggunakan pemahamannya sendiri-sendiri ketika berbicara tentang topik tersebut. Ada yang mengartikan civil society sebagai masyarakat sipil yang dalam sebagian besar literatur Indonesia menyamakannya dengan masyarakat non-militer. Sebagian mengartikannya sebagai masyarakat warga yang dalam praktiknya mengambil peran yang berbeda dengan negara. Selain itu, ada juga yang mendefinisikannya sebagai masyarakat madani. Terlepas dari silang pendapat seputar definisi mengenai civil society, berikut akan coba dipaparkan gambaran singkat tentang asal-usul kemunculan istilah tersebut.[2]
Keith Faulks[3] mencatat, terdapat sejumlah definisi mengenai masyarakat sipil (civil society) sepanjang sejarah. Pada abad ke-17, Hobbes dan Lock membedakan antara masyarakat sipil yang dibentuk melalui sebuah kontrak antara para individu yang menyetujui pembentukan negara protektif, dengan sebuah negara alamiah yang tak bernegara dan tak aman. Pada abad ke-18, Adam Ferguson menggunakan istilah tersebut untuk membedakan antara masyarakat Eropa yang ‘beradab’ dengan rezim-rezim non-Eropa yang lalim. Pada abad ke-19, Hegel dan Marx menggunakan konsep tersebut dengan lebih tepat lagi untuk merujuk pada pemisahan negara dari institusi-institusi swasta (termasuk kelompok ekonomi dan kelompok nirlaba), yang menurut mereka tergolong unik pada negara modern.
Luthfi J. Kurniawan & Hesti Puspitosari menandaskan bahwa secara historis, perkembangan konsep civil society terbagi dalam lima fase. Pertama, konsep civil society dapat ditemukan melalui pemikiran Aristoteles tentang konsep politike koinonia, di mana merujuk pada suatu komunitas politik yang memungkinkan warga terlibat langsung dalam percaturan ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. Konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh Markus Tullius Cicero ke dalam konsep societas civilis, di mana masyarakat sipil diartikannya sebagai masyarakat politik. Embrio pemikiran civil society tersebut kemudian terus berkembang hingga abad ke-17 melalui beberapa filsuf politik modern seperti Hobbes dan Locke. Kedua, perkembangan konsep civil society dimulai pada 1767. Tokoh yang paling menonjol pada fase ini adalah Adam Ferguson. Ferguson mengartikan masyarakat sipil sebagai tipe masyarakat beradab. Menurutnya, masyarakat yang kuat akan mampu mengimbangi peran negara agar tidak didominasi oleh negara.
Memasuki fase ketiga, tampil tokoh Thomas Paine yang sebagian besar mendukung ide Ferguson. Pada tahun 1792, Paine memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara. Bahkan menurutnya, civil society merupakan antitesis negara sehingga peran negara perlu dibatasi. Negara dibentuk oleh masyarakat, sehingga posisi negara tidak boleh lebih kuat dari masyarakat. Keempat, pada fase ini, diskursus civil society mengalami perkembangan pesat di tangan Hegel, Marx dan Gramsci. Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinat dari negara. Berbeda dengan Hegel, Marx cenderung melihat civil society sebagai bagian dari entitas kelas menengah yang kepentingannya selalu mendukung kelas borjuasi. Marx juga berpendapat bahwa kelas borjuislah yang melahirkan masyarakar sipil. Sementara menurut Gramsci, civil society merupakan sebuah arena, tempat berbagai ideologi bekerja dan menggunakan hegemoni mereka untuk mencapai konsensus. Gramsci memandang masyarakat sipil sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara.
Terakhir, fase kelima, konsep civil society dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville sebagai reaksi atas mazhab Hegelian. Menurut Tocqueville, civil society tidak berada pada posisi subordinat dari negara, sebagaimana yang dipahami Hegel. Tandasnya, civil society mempunyai posisi yang otonom dari negara. Civil society menurutnya, bersifat mandiri dan memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi, sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga negara. Berangkat dari pengamatannya atas kondisi masyarakat sipil yang berkembang di Amerika Serikat kala itu, membuatnya berkesimpulan bahwa demokrasi mampu tumbuh subur dan bertahan lama di AS disebabkan peran masyarakat sipil sangat besar dalam mengimbangi kekuatan negara. Singkatnya, civil society merupakan kelompok penyeimbang kekuatan negara.
Lepas dari ketergelinciran pemaknaan atas konsep civil society di atas, menurut Cohen dan Arato (1992) civil society merupakan wilayah interaksi sosial yang di dalamnya mencakup semua kelompok sosial paling akrab (khususnya keluarga), asosiasi (terutama yang bersifat sukarela), gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya yang diciptakan melalui bentuk-bentuk pengaturan dan mobilisasi diri secara independen baik dalam hal kelembagaan maupun kegiatan. Sedangkan menurut Garmsci, civil society ialah kumpulan organisme ‘privat’ yang berbeda dengan negara yang disebutnya masyarakat politik (political society). Dengan kata lain, civil society merupakan suatu wilayah institusi privat mencakup gereja, serikat-serikat dagang/pekerja, dan lembaga pendidikan, sementara negara adalah institusi-institusi publik seperti pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara.[4]
Menurut Cohen dan Areto,masyarakat sipil dibedakan dari political society dan economic society. Political society berkaitan dengan semua persoalan kekuasaan, di dalamnya terdapat negara, birokrasi, partai politik dan sebagainya. Sedangkan, economic society berkaitan dengan hal-hal seputar produksi, semisal perusahaan atau korporasi bisnis. Sementara masyarakat sipil sangat berkaitan dengan swadaya masyarakat yang meliputi, misalnya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau Ornop (Organisasi Non-Pemerintah), maupun kelompok organisasi rakyat.[5] Selanjutnya, Cohen dan Arato menjelaskan bahwa peranan civil society tidak berkaitan secara langsung dengan perebutan kekuasaan seperti halnya dilakukan oleh organisasi politik, melainkan gerakannya lebih pada pembentukan opini ataupun memen garuhi kebijakan melalui diskusi, proses demokratis dan budaya.[6]
Chandra Dinata[7] menyebut masyarakat sipil atau lebih dikenal dengan civil society merupakan mitra negara dalam proses pembangunan. Perannya lebih pada mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta dapat menumbuhkan modal sosial (social capital) dalam struktur masyarakat agar menjadi kekuatan pembangunan. Masyarakat sipil berwujud dalam berbagai bentuk organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Organisasi Sosial, Organisasi Massa, Organisasi Profesi, Organisasi Keagamaan, Serikat Buruh, dan lain sebagainya, di mana lembaga-lembaga tersebut tumbuh berdasarkan atas dasar kebersamaan dan berlandaskan pada kesamaan tujuan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa civil society merupakan suatu space atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain. Afan Gaffar, sebagaimana mengutip pendapat Michael Walker (1995), mengemukakan bahwa dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut. Apakah asosiasi tersebut berdasarkan ikatan keluarga, keyakinan, kepentingan, dan ideologi? Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk bermacama-macam, ikatan pengajian, persekutuan gereja, koperasi, kalangan bisnis, rukun tetangga dan rukun warga, ikatan profesi, LSM, dan lain sebagainya, hubungan dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama lainnya.[8]
Jadi, civil society adalah sebuah masyarakat, secara individual maupun secara kelompok, dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independen. Atau, seperti yang dikemukakan Eisenstadt, jenis masyarakat tersebut (masyarakat sipil) sekurangnya-kurangnya memiliki empat syarat, yakni: pertama, otonomi; kedua, akses masyarakat terhadap lembaga negara; ketiga, arena publik yang bersifat otonom, dan; keempat, arena publik tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat.[9]
Gerakan Civil Society di Indonesia: Tantangan menuju Konsolidasi Demokrasi
Tidak mudah untuk mengidentifikasi civil society di Indonesia. Beberapa pakar politik maupun sosial bahkan, seringkali berselisih paham dalam mengkategorisasikan jenis masyarakat sipil yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, apakah partai politik termasuk salah satu elemen masyarakat sipil ataukah bukan, hingga kini masih debatable. Pro-kontra tampak masih mewarnai narasi civil society di Indonesia. Untuk kasus partai politik, sebagian kalangan menganggapnya sebagai bagian dari masyarakat sipil sepanjang ia memainkan peran pengimbang kekuasaan negara. Biasanya, partai yang dijadikan prototip bagi sebuah model civil society adalah kategori partai dengan tingkat perolehan suara yang rendah, sehingga leluasa dalam memainkan peran kontrol dan kritiknya terhadap negara. Sedangkan, mereka yang enggan memasukkan partai politik sebagai elemen masyarakat sipil memandang partai politik adalah bagian dari organisasi politik yang memiliki peluang dalam merebut kekuasaan formal negara. Terlepas dari perdebatan yang ada, mencermati dinamika dan perkembangan masyarakat sipil di Indonesia tetap menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji.
Di awal telah disinggung bahwa peran civil society dalam aras demokrasi adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Terlebih, Indonesia pasca Orde Baru yang memberikan peluang besar bagi tumbuh dan berkembangnya elemen masyarakat sipil patut diapresiasi. Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak membuat kita bertepuk dada. Era reformasi hanyalah sebuah fase transisi menuju konsolidasi demokrasi. Fase tersebut mestinya tercipta suatu kondisi di mana nilai-nilai demokrasi mengalami pemolaan dalam setiap perilaku warga negaranya. Ironisnya, hampir 18 tahun reformasi bergulir, namun nilai-nilai dan norma demokrasi belum juga menemukan proses pembatinan di dalam pola laku warga negaranya. Diakui atau tidak, sejauh ini demokrasi masih terbatas pada tataran wacana yang terkadang habis meluap di dalam warung-warung kopi, kalau bukan menjadi barang konsumsi elit. Disadari bahwa demokrasi memang belum mengakar kuat pada masyarakat di tingkat grass root. Masyarakat sebagian besar masih memandang demokrasi hanya sebatas urusan prosedural-elektoral. Tentu saja, pemahaman tersebut tidak mencerminkan substansi dari demokrasi itu sendiri.
Transisi menuju demokrasi (proses konsolidasi demokrasi) masih terus mendapat tantangan dan ujian yang cukup berat, terlebih di era pemerintahan Jokowi saat ini. Karenanya, rezim Jokowi mesti disambut penuh waspada dan curiga, tidak sekadar bergegap gempita. Musuh-musuh demokrasi baik dari dalam maupun dari luar masih terus mengintai–bahkan, tak segan mengandasi–perjalanan menuju demokrasi yang dicita-citakan. Tanpa menyembunyikan pihak mana saja yang kini masih terus menggerogoti demokrasi dari dalam yakni mereka yang belakangan ini sering menggunakan jubah agama sebagai tamengnya. Fundamentalisme agama tampak masih menjadi tantangan besar bagi republik ini menuju pembiasaan norma-norma dan nilai demokrasi (konsolidasi demokrasi). Berikutnya adalah “si baret hijau” yang kini terus mengonsolidasikan kekuatannya untuk merebut ruang sipil. Ajang perebutan ruang publik yang kini dipentaskan oleh agen represif negara masih menjadi hantu yang patut diwaspadai tindak-tanduknya. Parahnya “si baret cokelat” yang mestinya tidak ikut-ikutan–mengingat statusnya sebagai warga sipil–justru ikut ambil bagian dalam aksi represivitas yang tensinya terus meningkat akhir-akhir ini.
Tantangan yang ketiga adalah kuasa “pemodal-predatoris” yang kini bertengger di jajaran rezim pemerintahan Jokowi. Khusus yang disebut terakhir ini pengaruhnya dalam beberapa dekade terakhir ini cukup besar. Negara bahkan dibuat tak berkutik–kalau tidak disebut mati kutuk dibuatnya. Tesis oligarki yang jauh-jauh hari telah disentil oleh Richard Robinson dan Vedi R. Hadiz ketika menganalisis kekuatan kapital di Indonesia mulai dari naiknya Suharto hingga memasuki masa peralihan reformasi, sama sekali tidak mengubah konfigurasi relasi kapital yang terbangun di tingkat elit. Bahkan, tesis tersebut menemukan korelasinya dengan sikon yang berlangsung saat ini. Percaya atau tidak, rezim Jokowi saat ini adalah representasi dari kuasa oligarki. Pembajakan demokrasi oleh para oligarki yang saat ini bersarang di dalam rezim Jokowi nyaris demokrasi direduksi hanya sekadar instrumen legitimasi kepentingan kelas pemodal.
Banyak kalangan menilai bahwa reformasi sama sekali belum mampu membawa dampak signifikan–untuk tidak dikatakan gagal total–dalam mendorong demokratisasi. Masih banyak terdapat praktik-praktik dari aparatus represif yang justru mengarah pada kondisi kanibalistik. Pembantaian masih terjadi di mana-mana tanpa suatu alasan yang jelas. Ruang diskursus publik masih dihantui oleh pelarangan dan pembubaran paksa. Fenomena pembubaran diskusi publik serta penyisiran buku-buku beraliran kiri yang terjadi beberapa tahun terkahir ini turut memperkuat kenyataan tersebut. Aksi sepihak dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparatus negara represif tersebut nyata-nyata sangat mencederai nilai-nilai demokrasi yang selama ini digelorakan. Kondisi demikian menunjukkan situasi paradoks. Artinya, di satu sisi kita meneriakkan tegaknya demokrasi, namun di sisi tertentu kita sendiri yang membunuh nilai-nilai demokrasi itu.
Harapan tegaknya nilai-nilai demokrasi itu tiada henti diteriakkan di setiap sudut republik, sementara aksi pembungkaman dan pengebirian hak-hak politik warga mendapat perlawanan yang serius oleh mereka yang anti-demokrasi. Tidak hanya mereka yang berjubah agama, melainkan mereka yang getol mengumandangkan demokrasi–borjuis lokal, nasional, asing, juga elit penyelenggara negara dan aparatusnya. Iklim demokrasi Indonesia di era reformasi seolah menampilkan wajah anomalinya yang tampak mengerikan, di mana panggung demokrasi benar-benar diisi oleh manusia-manusia tak waras. Mereka seolah mengidap penyakit ketidakwarasan atau kepribadian ganda (split of personality) yang ujung-ujungnya mengarah pada perilaku inkonsistensi. Di satu sisi mereka meneriakkan demokrasi adalah harga mati, namun pada saat yang sama mereka justru membunuh nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Melihat kondisi yang ada, kita selayaknya bertanya, kira-kira sejauh mana komitmen civil society ke depan dalam mendorong konsolidasi demokrasi. Tentu, tugas tersebut bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Mengingat, konfigurasi gerakan civil society akhir-akhir ini yang kurang solid ditambah kentalnya watak pragmatisme di kalangan masyarakat sipil. Sehingga, kenyataan ini justru semakin memperkuat asumsi Vedi R. Hadiz[10], bahwa tantangan besar yang kini dialami oleh civil society ialah tidak hanya gerakan tersebut tidak padu, tetapi juga penuh kontradiksi di dalam dirinya. Hal itu dikarenakan, elemen-elemen civil society terutama kelompok kelas menengah, sejauh ini masih terus terisolasi dari lapisan sosial paling bawah.
[1] Penulis adalah peneliti di Intrans Institut (Institute for Transformation of Poltical-Economy of Society) Malang.
[2] Dalam bagian deskripsi historis kemunculan konsep civil society yang diulas di sini tidak bermaksud menjelaskan secara komprehensif tentang perkembangan konsep civil society itu sendiri. Di bagian ini hanya disinggung sekilas terkait sejarah kelahiran dan perkembangan dari konsep tersebut. Sejarah yang lebih utuh mengenai kemunculan istilah tersebut dapat ditelusuri langsung melalui beberapa buku yang mengulas khusus tentang tema tersebut yang ditulis baik oleh penulis asing maupun penulis lokal yang mengambil fokus pada isu terkait. Adapun, beberapa karya yang dinilai cukup rekomendatif membahas tema tersebut yakni: J.L Cohen & A. Arato, Civil Society and Political Theory, (Massachusets: MIT, 1992); Adi Culla Surya, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006); Rustam Ibrahim, Jalan Masih Panjang Menuju Masyarakat Sipil, (Jakarta: Yappika, 2007); Hedro Prasetyo, Islam danCivil Society, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004); Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, (Yogyakarta: Insist Press, 2010), dan; Luthfi J. Kurniawan & Hesti Puspitosari, Negara, Civil Society & Demokratisasi, (Malang: Intrans Publishing, 2012).
[3] Keith Faulks, Political Sociology: Acritical Introduction, Diterj. oleh Helmi Mahadi dan Shohifullah dalam Judul Sosiologi Politik: Pengantar Kritis, (Bandung : Nusa Media, 2014), cet. III, h. 49.
[4] Otho H. Hadi, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi”, dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 2, Desember 2010, pp. 117-129.
[5] Abdul Gaffar dam Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, (Yogyakarta: Resist Book, 2005), h. 17; Lihat juga, Luthfi J. Kurniawan & Hesti Puspitosari, Negara, Civil Society & Demokratisasi: Membangun Gerakan Sosial dan Solidaritas Sosial dalam Merebut Perubahan, (Malang: Intrans Publishing, 2012), h. 27.
[6] Mansour Fakih, “Masyarakat Sipil dan Perubahan Sosial di Indonesia: Sebuah Agenda”, dalam Muhammad Hidayat Rahz (ed.)., Menuju Masyarakat Terbuka, (Yogyakarta: Asoka Indonesia dan Insist, 1999), h. 16.
[7] Abdul Aziz SR, et al., Menggugat Negara: Dialektika Ekonomi Politik, Hukum, dan Civil Society, (Malang: Intrans Publishing, 2016), h. 35.
[8] Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. IV, h. 179-180.
[9] Loc.Cit.
[10] Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. xvii.
materi yang anda sampaikan benar-benar memmbantu saya untuk memahami situasai saaat ini juga dalam menambah pengetahuan saya. saya sangat menantikan postingan anda selanjutnya.