Profesor Sosiologi Universitas York, di Toronto – Kanada, direktur pendiri Laboratorium Teori Alternatif. Teoritikus global pemikiran sosialis, sejarah gerakan buruh, dan sistem sosial-ekonomi alternatif.
Berada di sisi kiri berarti menentang perang
Berakhirnya Perang Dingin tidak mengurangi jumlah campur tangan dalam urusan negara lain, juga tidak meningkatkan kebebasan setiap orang untuk memilih rezim politiknya. Banyaknya perang – bahkan tanpa mandat PBB dan didefinisikan, secara tidak masuk akal, sebagai “kemanusiaan” – yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam dua puluh lima tahun terakhir, harus ditambahkan dengan bentuk-bentuk konflik baru, sanksi-sanksi ilegal, dan intervensi politik, ekonomi, dan media, menunjukkan bahwa pembagian dunia secara bipolar antara dua negara adikuasa tidak memberikan jalan bagi era kebebasan dan kemajuan yang dijanjikan oleh mantra neoliberal “Tatanan Dunia Baru”. Dalam konteks ini, banyak kekuatan politik yang pernah mengklaim nilai-nilai Kiri telah bergabung dalam sejumlah perang. Dari Kosovo hingga Irak dan Afghanistan – belum lagi sejumlah perang yang dilancarkan oleh NATO sejak runtuhnya Tembok Berlin – kekuatan-kekuatan ini telah memberikan dukungan pada intervensi bersenjata melalui perang sehingga mereka semakin sulit dibedakan dengan kelompok sayap Kanan.
Perang Rusia-Ukraina kembali menghadapkan kaum Kiri pada dilema tentang bagaimana bereaksi ketika kedaulatan sebuah negara diserang. Kegagalan untuk mengutuk invasi Rusia ke Ukraina adalah sebuah kesalahan politik di pihak pemerintah Venezuela, ini membuat kecaman atas kemungkinan tindakan agresi di masa depan yang dilakukan oleh Amerika Serikat menjadi kurang kredibel. Memang benar bahwa, seperti yang ditulis Marx kepada Ferdinand Lassalle pada tahun 1860 (Marx, 1985: 154; Musto, 2018: 132), “dalam kebijakan luar negeri, tidak banyak yang bisa diperoleh dengan menggunakan kata kunci seperti ‘reaksioner’ dan ‘revolusioner'” – bahwa apa yang secara subjektif reaksioner (mungkin terbukti) revolusioner secara objektif untuk kebijakan luar negeri. Tetapi kekuatan-kekuatan sayap kiri seharusnya belajar dari abad ke-20 bahwa aliansi “dengan musuh musuhku” sering kali mengarah pada kesepakatan yang kontraproduktif, terutama seperti di masa sekarang, front progresif secara politis lemah dan membingungkan secara teoritis serta tidak memiliki dukungan mobilisasi massa.
Mengingat perkataan Lenin (1964b: 148) dalam The Socialist Revolution and thr Right of Nations to Self Determination (Revolusi Sosialis dan Hak Bangsa-Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri):
“Fakta bahwa perjuangan untuk pembebasan nasional melawan kekuatan imperialis dapat, dalam situasi tertentu, dapat dimanfaatkan oleh Kekuatan ‘Besar’ lainnya untuk kepentingan imperialis, seharusnya tidak lagi menjadi alasan untuk mendorong Demokrasi Sosialis meninggalkan pengakuannya terhadap hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri”.
Di luar kepentingan geopolitik dan intrik-intrik yang biasanya juga terjadi, kekuatan Kiri secara historis mendukung prinsip penentuan nasib sendiri nasional dan membela hak masing-masing negara untuk menetapkan batas-batas wilayahnya berdasarkan kehendak rakyat. Kaum Kiri telah berjuang melawan perang dan “aneksasi” karena mereka sadar bahwa hal ini mengarah pada konflik dramatis antara kaum buruh dari negara yang dominan dan negara yang tertindas, menciptakan kondisi bagi kaum buruh untuk bersatu dengan kaum borjuis dan menganggap negara yang tertindas sebagai milik kaum borjuis. Dalam Hasil Diskusi tentang Penentuan Nasib Sendiri (1916), Lenin (1964a: 329-330) menulis: “Bila revolusi sosialis menang di Petrograd, Berlin, dan Warsawa, pemerintah sosialis Polandia, seperti pemerintah sosialis Rusia dan Jerman, akan menolak ‘penahanan paksa’, katakanlah, orang-orang Ukraina di dalam perbatasan negara Polandia”. Lalu, mengapa menyarankan bahwa segala sesuatu yang berbeda harus diserahkan kepada pemerintah nasionalis yang dipimpin oleh Vladimir Putin?
Di sisi lain, banyak kelompok Kiri yang menyerah pada godaan – secara langsung atau tidak langsung – untuk terlibat dalam berperang, yang mendorong terjadinya union sacrée (sebuah ungkapan pada tahun 1914, untuk menyambut penyingkiran kekuatan-kekuatan Kiri Prancis pada saat meletusnya Perang Dunia I, yang memutuskan untuk mendukung pilihan perang). Posisi seperti itu untuk saat ini semakin mengaburkan perbedaan antara atlantik dan pasifisme. Sejarah menunjukkan bahwa, ketika mereka tidak menentang perang, kekuatan progresif kehilangan bagian penting dari alasan keberadaan mereka dan akhirnya menelan ideologi kubu lawan. Hal ini terjadi setiap kali partai-partai Kiri menjadikan kehadiran mereka di pemerintahan sebagai cara mendasar untuk mengukur tindakan politik mereka – seperti yang dilakukan oleh Komunis Italia yang mendukung intervensi NATO di Kosovo dan Afghanistan, atau seperti yang dilakukan oleh Unidas Podemos saat ini, yang menyatukan suaranya untuk seluruh spektrum parlementer Spanyol, yang mendukung pengiriman senjata ke tentara Ukraina. Perilaku subaltern semacam itu sering dihukum di masa lalu, termasuk pada saat pemungutan suara ketika ada kesempatan.
Bonaparte bukanlah demokrasi
Tahun 1850-an, Marx menulis serangkaian artikel brilian tentang Perang Krimea yang mengandung banyak kesamaan yang menarik dan berguna dengan masa kini. Dalam Revelations of the Diplomatic History of the 18th Century (1857), Marx mengulas tentang raja besar Moskow pada abad 15 – yang dianggap telah menyatukan Rusia dan meletakkan dasar bagi otokrasi – Marx (1986: 86) menyatakan “Kita hanya perlu mengganti satu rangkaian nama dan tanggal dengan yang lain dan menjadi jelas bahwa kebijakan-kebijakan Ivan III […], dan kebijakan-kebijakan Rusia saat ini, tidak hanya serupa, tetapi juga identik.” Namun, dalam sebuah artikel untuk New-York Daily Tribune, ia menentang kaum demokrat liberal yang mengagungkan koalisi anti-Rusia, ia menulis:
“Adalah suatu kesalahan untuk menggambarkan perang melawan Rusia sebagai perang antara kebebasan dan despotisme. Terlepas dari kenyataan bahwa jika memang itu yang terjadi, kebebasan akan menjadi sesuatu yang diwakili oleh seorang Bonaparte, dengan tujuan utamanya adalah mempertahankan […] perjanjian Wina – sebuah perjanjian yang membatalkan kebebasan dan kemerdekaan negara-bangsa Eropa” (1980: 228).
Jika kita mengganti Bonaparte dengan Amerika Serikat dan perjanjian Wina dengan NATO, pengamatan ini seolah-olah ditulis untuk masa kini.
Pemikiran mereka yang menentang nasionalisme Rusia dan Ukraina, serta perluasan NATO, tidak menunjukkan bukti keraguan politik atau ambiguitas teoretis. Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah ahli telah memberikan penjelasan tentang akar konflik (yang sama sekali tidak mengurangi kebiadaban invasi Rusia), dan posisi mereka yang mengusulkan kebijakan non-blok adalah cara yang paling efektif untuk mengakhiri perang dan memastikan jumlah korban sekecil mungkin. Ini bukan masalah berperilaku seperti “jiwa-jiwa indah” yang bermandikan idealisme abstrak, yang menurut Hegel tak mampu menghadapi realitas kontradiksi duniawi yang sebenarnya. Sebaliknya: intinya adalah untuk memberikan realitas sebagai satu-satunya obat penawar terhadap perluasan perang yang tidak terbatas. Tidak ada habisnya suara-suara yang menyerukan peningkatan belanja militer dan wajib militer lebih lanjut, atau seperti mereka di Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, yang berpikir bahwa adalah tugas Eropa adalah memasok “senjata yang diperlukan untuk perang” kepada Ukraina (Borrell, 2022). Namun, berbeda dengan posisi-posisi tersebut, aktivitas diplomatik tanpa henti perlu dilakukan berdasarkan dua hal yang tegas: de-eskalasi dan netralitas Ukraina yang merdeka.
Meskipun ada peningkatan dukungan untuk NATO setelah tindakan Rusia, kita perlu bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa opini publik tidak melihat mesin perang terbesar dan paling agresif di dunia – NATO – sebagai solusi untuk masalah keamanan global. Harus ditunjukkan bahwa NATO adalah organisasi yang berbahaya dan tidak efektif dalam upaya untuk melakukan ekspansi dan dominasi unipolar, justru akan memicu ketegangan yang mengarah pada perang di dunia.
Dalam Sosialisme dan Perang, Lenin berpendapat bahwa kaum Marxis berbeda dengan kaum pasifis dan anarkis yang “menganggap perlu secara historis (dari sudut pandang materialisme dialektis Marx [sic!]) untuk mempelajari setiap perang secara terpisah”. Melanjutkan, ia menegaskan bahwa: “Dalam sejarah ada banyak perang, terlepas dari semua kengerian, kekejaman, kesusahan dan penderitaan yang menyertainya, ada perang yang bersifat progresif, yaitu, bermanfaat bagi perkembangan umat manusia” (1971: 299). Jika hal itu benar terjadi di masa lalu, maka akan sangat picik jika kita mengulanginya di masyarakat kontemporer di mana senjata pemusnah massal terus menyebar. Jarang sekali perang – bedakan dengan revolusi – memiliki efek demokratisasi seperti yang diharapkan oleh para ahli teori sosialisme. Bahkan, perang sering kali terbukti sebagai cara terburuk untuk melaksanakan revolusi, baik karena korban jiwa maupun karena penghancuran kekuatan-kekuatan produktif sebagai akibatnya. Memang, perang menyebarkan ideologi kekerasan, yang sering dikombinasikan dengan sentimen nasionalis yang telah memecah belah gerakan buruh. Mereka Jarang mendukung praktek-praktek manajemen diri dan demokrasi langsung, justru mereka meningkatkan kekuatan lembaga otoriter. Ini adalah pelajaran yang tidak boleh dilupakan oleh kaum Kiri moderat.
Dalam salah satu bagian paling subur dari Reflections on War (1933), Simone Weil (2021: 101) bertanya-tanya apakah mungkin “revolusi dapat menghindari perang”. Dalam pandangannya, ini adalah satu-satunya “kemungkinan kecil” yang kita miliki jika kita tidak ingin “meninggalkan semua harapan”. Perang revolusioner sering kali berubah menjadi “kuburan revolusi”, karena “warga negara yang bersenjata tidak diberi sarana untuk berperang tanpa aparat pengawas, tanpa tekanan polisi, tanpa pengadilan khusus, tanpa hukuman bagi desersi”. Lebih dari fenomena sosial lainnya, perang membengkakkan aparat militer, birokrasi, dan polisi. “Hal ini mengarah pada pemusnahan total individu di hadapan birokrasi negara”. Oleh karena itu, “jika perang tidak segera berakhir dan secara permanen […] hasilnya hanya akan menjadi salah satu revolusi yang, dalam kata-kata Marx, menyempurnakan aparatus negara dan bukannya menghancurkannya” atau, lebih jelas lagi, “itu akan memperluas bentuk lain dari rezim yang ingin kita lawan”. Maka, jika terjadi perang, “kita harus memilih antara menghalangi fungsi mesin militer di mana kita sendiri menjadi roda penggeraknya, atau membantu mesin itu untuk menghancurkan kehidupan manusia secara membabi buta” (2021: 101-102).
Bagi kaum Kiri, perang tidak bisa menjadi “kelanjutan dari politik dengan cara lain”, mengutip diktum terkenal Clausewitz. Pada kenyataannya, perang hanya membuktikan kegagalan politik. Jika kelompok Kiri ingin menjadi hegemonik dan menunjukkan bahwa mereka mampu menggunakan sejarahnya untuk tugas masa kini, mereka harus lantang menulis dengan jelas kata-kata “anti-militerisme” dan “Tidak untuk perang!”.
Daftar Pustaka
Adams MS (2019) Anarchism and the First World War. In: Levy C and Adams M (eds) The Palgrave Handbook of Anarchism. Cham: Palgrave Macmillan, pp. 389–407.
Borrell J (2022) It is a matter of life and death. So the EU will provide weapons for Ukraine’s armed forces. The Guardian, 27 February, available at https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/feb/27/eu-will-provide-weapons-for-ukraine-josep-borrell (accessed 9 april 2022).
Carr EH (1964) Principles of Foreign Policy. In: Carr EH, Socialism in One Country. London: Palgrave Macmillan, vol. 3, part I, pp. 3-20.
Claudin F (1975) The Communist Movement: From Comintern to Cominform. New York, NJ: Monthly Review Press, 2 voll.
De Paepe C (2014a) Strike Against War. In: Musto M (ed.) Workers Unite! The International 150 Years Later. New York, NJ: Bloomsbury, p. 229.
De Paepe C (2014b) On the True causes of War. In: Musto M (ed.) Workers Unite! The International 150 Years Later. New York, NJ: Bloomsbury, pp. 230-31.
Dominick RH (1982) Wilhelm Liebknecht and the founding of the German Social Democratic party. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Engels F (1987) Anti-Dühring, In: Marx Engels Collected Works. New York, NJ: International Publishers, vol. 25, pp. 5-311.
Engels F (1990) Can Europe Disarm In: Marx Engels Collected Works. New York, NJ: International Publishers, vol. 27, pp. 367-393.
Freymond J (ed.) (1962) La première Internationale. Geneva: Droz, 1962, vol. I.
Hafner (2014) The Real Causes of the War. In: Musto M (ed.) Workers Unite! The International 150 Years Later. New York, NJ: Bloomsbury, pp. 233-234.
Jaurès J (1982) L’Armée nouvelle. Paris: Imprimerie nationale.
Kautsky K (1903) The Social Revolution. Chicago, IL: Charles Kerr & Co.
Kropotkin P (1914) A Letter on the Present War. Freedom, October, pp. 76–77.
Kropotkin P et al. (1916) The Manifesto of the Sixteen. Available athttps://www.marxists.org/reference/archive/kropotkin-peter/1916/sixteen.htm (accessed 9 april 2022).
Lenin VI (1964a) Results of the Discussion on Self-Determination. In: Lenin V, Collected Works. Moscow: Progress Publishers, vol. 22, pp. 320-360.
Lenin VI (1964b) The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-Determination. In Lenin, Collected Works. Moscow: Progress Publishers, vol. 22, pp. 143-156.
Lenin VI (1971) Socialism and War. In: Lenin, Collected Works. Moscow: Progress Publishers, vol. 21, pp. 295-338.
Luxemburg R (1915) Theses on the Tasks of International Social-Democracy. Available at https://www.marxists.org/archive/luxemburg/1915/xx/theses.htm (accessed 9 april 2022).
Malatesta, E (1993) Anarchists have forgotten their principles, 1914. In: Richards V (ed.) Malatesta: Life & Ideas. London: Freedom Press, pp. 227-231.
Malatesta, E et al (1998) Anti-War Manifesto, published as ‘Malatesta, the Anarchist International and War’. In: Guérin D (ed.) No Gods, No Masters: An Anthology of Anarchism. Oakland: Ak Press, pp. 387–389.
Mao Tse-Tung (1965) Problems of War and Strategy. In: Mao Tse-Tung, Selected Works of Mao-Tse-Tung. Peking: Foreign Languages Press, vol. 2, pp. 219-235.
Mao Tse-Tung (1966) On Protracted War. Peking: Foreign Languages Press.
Marcobelli E (2021) Internationalism Toward Diplomatic Crisis: The Second International and French, German and Italian Socialists. London: Palgrave MacMillan.
Marx K (1980) Reorganization of the British War Administration. In: Marx Engels Collected Works. New York, NJ: International Publishers, vol. 13, pp. 227-233.
Marx K (1985) Karl Marx to Ferdinand Lassalle 2 June 1860. In: Marx Engels Collected Works. New York, NJ: International Publishers, vol. 41.
Marx K (1986) Revelations of the Diplomatic History of the 18th Century. In: Marx Engels Collected Works. New York, NJ: International Publishers, vol. 15, pp. 25-96.
Marx K (1996) Capital, Volume I. In: Marx Engels Collected Works. New York, NJ: International Publishers, vol. 35.
Marx K (2014) Resolutions of the Brussels Congress (1868). In: Musto M (ed.) Workers Unite! The International 150 Years Later. New York, NJ: Bloomsbury, pp 89-93.
Medvedev R (1989) Let History Judge: The Origins and Consequences of Stalinism. New York, NJ: Columbia University Press.
Musto M (2014) Introduction. In: Musto M (ed.) Workers Unite! The International 150 Years Later. New York, NJ: Bloomsbury, pp 1-68.
Musto M (2018), Another Marx: Early Manuscripts to the International, London: Bloomsbury.
Pelz WE. (ed.) (2016) Wilhelm Liebknecht and German Social Democracy: A Documentary History. Chicago, IL: Haymarket Books.
Robespierre M (1956) Textes choisis. Paris: Éditions Sociales, vol. I.
Rosa L (1911) L’Armée nouvelle de Jean Jaurès. Available at https://www.marxists.org/francais/luxembur/works/1911/06/armee.htm (accessed 9 april 2022).
Trotsky L (1971) The Struggle against Fascism in Germany. New York, NJ: Pathfinder Press.
Trotsky L (1971) The Third International after Lenin. New York, NJ: Pioneer Publishers.
Vittoria A (2015) Togliatti e gli intellettuali. La politica culturale dei comunisti italiani (1944-1964). Roma: Carocci.
Vv. Aa. (1915) The Zimmerwald Manifesto. In: Trotsky L, The War and the International. Available at https://www.marxists.org/archive/trotsky/1914/war/part3.htm#zimman- (accessed 9 april 2022).
Vv. Aa. (1972) International Socialist Congress at Stuttgart. In: Lenin VI, Collected Works. Moscow: Progress Publishers, vol. 13, pp. 75-81.
Vv. Aa. (1977) The Second International Socialist Conference at Kienthal. In: Lenin VI, Collected Work. Moscow: Progress Publishers, vol. 41, pp. 369-380.
Weil S (2021) Reflections on War. Journal of Continental Philosophy 2(1): 93-103.
Wright Mills C (1956) The Power Elite. Oxford: Oxford University Press.
*)Artikel ini diterjemahkan dari marcellomusto.org, kemudian dipisah menjadi tiga bagian. Diterbitkan disini untuk tujuan pendidikan.
Gambar: opendemocracy.net