Oleh:
Ahmad Kevin Alfirdaus Arief
Jagad perkampusan dan dunia akademik gempar, setelah baru-baru ini diterbitkannya siaran pers balairungpress.com –BPPM Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 5/11/2018– yang membeberkan fakta kekerasan seksual terhadap salah satu mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM.
Di Indonesia, kasus yang menciderai martabat perempuan “sering” dianggap hal yang remeh dan dipandang sebelah mata di hadapan hukum. Sementara bagi para penyintas, bersuara dikira tindakan yang tidak sesuai dengan konstruk budaya. Kondisi tersebut ada dalam narasi patriarki. Hal itu terjadi dan didukung oleh konstruksi hukum di Indonesia yang masih berwatak patriarki.
Dalam masyarakat patriarki pada umumnya, jika perempuan penyintas bersuara tentang kondisi objektifnya, maka kemungkinan respon balik publik patriarkis adalah fitnahan, ujaran “tidak tau diri” (blaming the victim).
Patriarki mengajarkan bahwa perempuan adalah makhluk yang senantiasa layak dialienasi, subordinasi, diskriminasi dan patut ditindas. Betapa memilukan menjadi perempuan dalam atmosfir patriarkal.
Agni (bukan nama sesungguhnya) sendiri (korban), mengalami peristiwa pada satu tahun lalu 30 Juni 2017 dan pelakunya lelaki terdekat di lingkungannya kala itu. Kelak, kasus ini mendapatkan respon pelik oleh kampus, sebab ditakutkan akan menjelekkan nama baik kampus. Bahkan, Agni sendiri sempat diberi nilai C dari kampus agar menjadi simpul penekan tambahan bagi Agni. Tekanan tersebut, membuat penyintas seolah mendapatkan beban tak berujung.
Lantas, salahkah jika bersuara? Dr. Jiemi Ardian sebagai Medical Doctor dan Psychiatric Resident sempat mengeluarkan cuitannya dalam daring twitter yang mengkritik keras budaya patriarki yang terjadi Indonesia. Katanya, “ketika rasa takut itu begitu memuncak, amygdala (salah satu bagian otak) membajak otak kita yang lain sehingga kita tidak bisa bergerak, namun tetap sadar penuh! Bisa bayangkan betapa mengerikannya? Kamu ingat detil kejadian pemerkosaan itu tapi ga bisa bergerak”. Dr. Jiemi menjelaskan butuh waktu untuk membuka suara, di tengah budaya yang tidak pernah memerhatikan persoalan seperti itu. Lanjutnya,“ini budaya kita, memaklumi pelecehan seksual. Lalu ketika ada pelecehan, kita beramai-ramai menyalahkan korban”.
Histori Perlawanan Perempuan Lokal
Agni dan para perempuan petani pejuang kemanusiaan di Kulon Progo memiliki garis simetris dalam hal ikhwal mengungkap kondisi ketertindasannya. Agni dengan segala keberaniannya lantang membuka suaranya, meneriakkan pada public bahwa predator patriarkal ada, banyak dan berlipat ganda. Sementara, perempuan petani pejuang kemanusiaan Temon juga berani melawan tirani negara yang memaksa memilihkan mereka pilihan hengkang dari tanah kelahirannya atas nama pembangunan.
Keduanya adalah entitas yang sama-sama hidup dalam kondisi kapitalis-patriarkal yang didukung oleh sistem kehidupan dan tata kebijakan yang mengusung kepentingan status quo, efisiensi dan keuntungan an sich. Sementara, persoalan kemanusiaan harus mengekor setelahnya.
Projek pembangunan penguasa pada New Yogyakarta International Airport (NYIA) merupakan kebijakan infrastruktur Pemerintahan Jokowi-JK. Dalam APBN 2016, pemerintah merencanakan pembangunan 15 bandara baru di Indonesia, Kulon Progo adalah salah satunya. Dalilnya untuk menjawab solusi atas kesenjangan ekonomi dan sosial atau malah sebaliknya, sebagai solusi alternatif dari defisit pendapatan Negara.Lalu, dampaknya lagi-lagi rakyat yang harus menerima.
Logika pembangunan untuk kesejahteraan sosial-ekonomi sulit diterima oleh warga sekitar. “Sebanyak 23,7 juta petani Indonesia hanya memiliki lahan 21,5 Juta hektar. Sementara 2000 Perusahaan perkebunan menguasai 16 juta hektare. Sebanyak 304 perusahaan menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Sedangkan 13, 57 juta petani tidak memiliki lahan alias nol hektare.”(Indoprogress/10.01.2018/Dadang Pamungkas).
Pertanian di Indonesia merupakan sektor yang paling penting untuk menyejahterakan kehidupan rakyat, para perempuan dan petani Kulon Progo tidak (akan) pernah setuju akan pembangunan bandara —menolak NYIA. Dalilnya adalah, penderitaan tidak akan pernah teratasi jika kapitalisme pembangunan terus menghisap kehidupan mereka. Singkatnya, mereka akan terus bergerak melawan. Mereka –para perempuan petani Temon– akan bergerak diatas sejarah yang sudah terbentuk (sejarah petarungan kelas).
Setidaknya, para pejuang ini memiliki beberapa keunggulan untuk melawan kapitalis-patriarkal. Sejak kebijakan otonomi daerah dimulai tahun 2000, pemerintah daerah lebih tertarik lebih tertarik memburu rentetan yang dapat diperolehnya, baik dari pembagian keuangan dari pemerintah pusat, maupun pemberian izin-izin. Alih-alih mengurus masalah porak-porandanya tanah air, kampung halaman rakyat, Negara malah memfasilitasi pemenuhan kepentingan akumulasi kekayaan segelintir orang. (Noer Fauzi Rachman: 21)
Keunggulan perempuan dan kelas proletar Yogyakarta tercatat dalam sejarah. Menurut Anton Haryono (241-242) Pada tahun 1830-1930 an, intensitas dan ektensitas kegiatan rakyat (industri rumah dan industri kecil) sebagai cerminan dari semangat kerja dan semangat hidup yang tinggi, dan terus ditingkatkan pula oleh intensitas kerja yang tinggi di tengah kesultanan Yogja untuk bertahan hidup.
Dari sensus data pada tahun 1930, menunjukkan bahwa dari 1.538.868 jiwa penduduk Yogyakarta, 163.397 jiwa (10,6%) bekerja pada sektor industri kecil rakyat (mekuni). Persentase ini hanya terpaut 7,1% lebih kecil dari persentase penekan sektor pertanian yang pada waktu itu tercatat 273.060 jiwa (17,7%) (Sitsen: 1937 dalam buku Sejarah Sosial-Ekonomi).
Pertambahan jumlah penduduk yang tiada henti dan juga pesona pariwisata Yogyakarta yang sangat kental akan tradisi dan kebudayaannya, mengakibatkan warga pribumi semakin mengalami kondisi transisi. Sedikitnya lahan pekerjaan dan lahan pertanian perlahan menyempit, sementara jumlah pendatang terus meningkat setiap tahunnya. Apalagi Yogyakarta dari awal 1930 hingga menjelang krisis ekonomi sampai saat ini, terus terkonsentrasi pada usaha kapitalistik perindustrian.
Menurut Nakamura (1983) dalam buku Anton Haryono yang berjudul Sejarah Sosial Ekonomi. Sebelum sistem tanah lungguh dihapuskan pada 1918, rakyat tidak diberi hak milik atas tanah yang ditempatinya. Tanah, kemudian langsung disewakan oleh para pejabatnya atau para bangsawan. Dalam kondisi tersebut penduduk yang hidup dan mendiami tanah tersebut harus mengerjakan seluruh luas tanah dan hanya berhak atas 2/5 bagian saja untuk kebutuhan keluarga (O’Malley, 1997 & Suhartono, 1993 dalam Sejarah Sosial Ekonomi).
Dari uraian tentang pertentangan kelas sosial antara kaum marginal dan bangsawan di Yogyakarta yang terus masif, lagi-lagi penduduk sekitar kala itu harus bekerja lebih ekstra, tidak terkecuali menggarap luasan tanah pertanian yang lebih besar ketimbang besaran tenaganya.
Lalu, seorang istri/ibu yang mengasuh anak, harus rela membagi waktu untuk bekerja dan mengasuh anaknya demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Hikayat Perempuan Yogyakarta
Perempuan bermukena yang bersujud dan mencoba mempertahankan tanahnya menjadi viral di media sosial. Wagirah, nama perempuan itu, menjadi atmosfer tersendiri di dalam perjuangan aktivis ekologi, kemanusiaan, dan mahasiswa. Betapa kuatnya pendirian seorang perempuan untuk mempertahankan tanahnya dari rezim pembangunan ini. Ganti rugi “dalam pandangan dunia mereka” tidak akan pernah sebanding dengan nilai yang direnggut, penggusuran hanya meratakan kemiskinan di desa, di kota bahkan kemiskinan memiskinkan akal sehat nalar penguasanya.
Situasi membangun arus balik untuk memperjuangkan hak rakyat atas tanah yang tidak dimilikinya, kini para petani menemukan permasalahan yang lebih pelik lagi, di mana mereka harus berurusan dengan proyek pembangunan, terutama proyek Rencana pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJP dan RPJMN adalah visi, misi termasuk NAWACITA sebagai progam kerja pemerintah.
Peluang hidup yang sangat minim bagi rakyat, menjadi aktualisasi semangat baja untuk menemukan solusi persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat, dan perempuan mau tidak mau harus memecahkan solusi itu. Itulah alasan Wagirah bersujud untuk mempertahankan ruang hidupnya.
Agni dan Wagirah, adalah kekuatan dan gejolak dalam narasi sejarah yang sekarang perlahan meredup. Merekalah yang menguatkan pejuang-pejuang di pelosok negeri, dan mahasiswa untuk terus memperjuangkan keadilan dan menghapus penindasan. Yogyakarta punya kekuatan yang luar biasa, punya budaya intelektual kampus yang baik, dan jejaring media yang kuat. Satu suara dari Agni, dapat mengukur bahwa rezim pemerintahan bermain-main dalam menjalankan prosedur hukum. Sosok Wagirah, menguatkan pandangan kita bahwa pembangunan yang dilakukan Negara lebih memprioritaskan kapitalis-patriarkal, ketimbang kemanusiaan.
Mereka tidak kalah dan tidak lebih rendah dari laki-laki, kendati secara kultural patriarkal sering dan “pasti” direndahkan. Mereka tidak peduli dengan label kanca wingking, teman belakang, karena kehidupan harus diperjuangkan dalam perjuangan nyata.
Realitas historiografi dan budaya demikian harus diubah, bukan hanya demi penghormatan kepada kaum perempuan itu sendiri, tetapi lebih dalam dari pada itu. Mereka bukanlah orang yang bergantung terhadap kerja kaum laki-laki (suami), tetapi bagian integral dari manusia kerja (homo faber) yang dalam perjuangan hidup keluarga untuk mengidupi kehidupan mereka. Wagirah dan Agni, dapat merepresntasikan perjuangan melawan tirani demi terpenuhi nya kesejahteraan umat manusia untuk peradaban yang lebih baik.
“Perempuan, seperti halnya laki-laki, juga pelaku sejarah.”
______________________________________________________________________________
Referensi:
http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan. akses tanggal 6 November 2018
https://medium.com/@redaksilebah/kekerasan-seksual-mahasiswi-dan-kamu-juga-menikmati-kan-mbak-626b7fa54265. akses tanggal 6 November 2018
Anton Haryono . Sejarah Sosial Ekonomi : Teori Metodologi Penelitian dan Narasi kehidupan. (Yogyakarta: Penerbit USD, 2011). Hlm, 241, 242, 244, 248, 249
Noer Fauzi Rachman. Panggilan Tanah Air. (Yogyakarta: INSISTPress, Oktober 2017). Hlm, 21
https://twitter.com/jiemiardian. akses tanggal 10 November 2018
https://bisnis.tempo.co/read/1126236/pembebasan-lahan-bandara-kulon-progo-kembali-dipersoalkan/full&view=ok. akses tanggal 10 November 2018
https://indoprogress.com/2018/01/kulon-progo-dan-keblingernya-kebijakan-pemerintah-nasional/. akses tanggal 13 November 2018
____________________________________________________________________________
*Penulis merupakan mahasiswa Manajemen Universitas Negeri Malang 2016, Peserta Sekolah Ideologi & Gerakan Sosial IV Intrans Institute
*Sumber gambar utama: sivilsayfalar.org
Terkait Balairung, itu bukan siaran pers, melainkan laporan investigasi. Siaran pers itu adalah bahan berita yang disiapkan pihak luar untuk pers.