Perempuan : Senjata & Bidikan Kapitalisme Sekaligus

Oleh :
Maryam Jameela
(Mahasiswi Psikologi UIN Malang, Reporter Tv9 Nusantara)

 

Perempuan, sebuah kata yang takkan pernah habis dibahas oleh waktu. Dari sisi manapun, topik diskusi tentang perempuan tidak pernah membosankan untuk dikupas. Sayangnya, pembahasan tentang posisi dan peran perempuan dalam masyarakat justru mengarah pada hal-hal yang negatif dan marjinal. Pembahasan dipenuhi oleh keluhan akan opresi dalam masyarakat patriarkis terhadap perempuan.

Bentuk-bentuk opresi terhadap perempuan ini selalu berkembang mengikuti konteks sosial dan zaman. Namun tidak demikian halnya dengan gerakan perempuan itu sendiri. Gerakan perempuan cenderung jumud dan tidak berkembang mengikuti relevansi zaman. Aliran-aliran feminis yang muncul cenderung berpecah dan memisahkan diri satu sama lain menyesuaikan musuh yang dihadapi. Hal ini menjadikan feminisme terkesan bukan lagi gerakan ideologis, melainkan sekedar gerakan gerakan pragmatis kaum perempuan.

Lebih parah lagi, feminisme hari ini dianggap sebagai suatu gerakan yang membawa ilusi-ilusi sentimentil gender yang dianggap tidak pernah ada, karena perempuan sudah dibebaskan untuk mengenyam pendidikan tinggi, dan bekerja sesuai keinginan hatinya. Hari ini bahkan lebih mudah bagi perempuan untuk mendapatkan uang dibandingkan laki laki, asalkan cantik dan berkemampuan, perusahaan tidak akan rugi membayarnya dengan gaji besar. Kondisi perempuan hari ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi perempuan yang diperjuangkan oleh Kartini pada abad ke 18 ataupun kondisi perempuan di era gerakan Emmeline Pankhurts[1] pasca revolusi Industri. Perempuan hari ini adalah perempuan yang bebas berekspresi, mengembangkan diri dan mampu menjadi apapun yang ia inginkan

Namun, hal terburuk dari penindasan adalah tidaksadaran atas penindasan itu sendiri. Hal ini selalu terjadi pada perempuan dari masa ke masa. Bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan selalu dilanggengkan oleh ketidaksadaran individu-individu yang teropresi.

Secara psikologis, individu yang merdeka adalah individu yang mampu merefleksikan dirinya. Hal ini juga berlaku dalam tataran kolosal masyarakat. Masyarakat dapat dinyatakan merdeka secara psikologis ketika mampu merefleksikan kondisi sosialnya sendiri, mampu menganalisa kelemahan dan kekuatan hingga mampu menyadari segala bentuk ketimpangan dan opresi yang dimunculkan oleh sistem.

Hari ini, sistem telah mengkontruksi perempuan untuk menjadi bagian krusial pada masyarakat kapitalis yang diyakini kaum feminis sebagai produk patriarkis. Perempuan sudah bukan lagi menjadi subjek yang dihabiskan tenaganya secara paksa untuk mendukung produksi seperti di era Emelinne Pankhurts. Jauh dari itu, perempuan hari ini telah dikondisikan sedemikian rupa hingga mereka mau secara sukarela menjadi senjata kapitalisme yang paling seksi. Dan tentu saja, perempuan tidak pernah menyadari kondisi ini. Mereka tidak mampu merefleksikan dirinya dalam kenyataan sebenarnya, bahwa mereka ditindas, diperbudak dan dimanfaatkan untuk kepentingan pasar.

Perempuan dan Pasar

Perempuan tidak pernah menyadari kondisi dimana hari ini mereka dibuai dengan kenikmatan hasil produksi. Penilaian terhadap perempuan disetir oleh tren pasar. Alihalih menyadari dirinya teropresi, perempuan justru terobsesi dengan tren produk-produk terbaru. Pensil yang dulunya digunakan untuk menulis sajak-sajak pembebasan, kini hanya sekedar menjadi pengukir alis. Konstruk kecantikan pun kini dihegemoni dengan berbagai kontes kecantikan yang awalnya adalah media promo perusahaan bikini. Kecerdasan perempuan diukur dari seberapa banyak ia mampu mengumpulkan uang. Bahkan bentuk bibir, alis hingga bulu mata yang baik pun di tentukan oleh pasar. Tidak heran jika promosi akan bisnis kecantikan menjadi tren dan akan kita temui hampir di setiap halaman media sosial.

Credits to : Tribunnews.com
Credits to : Tribunnews.com

Pada diri perempuan lah melekat seluruh potensi pasar. Bukan hanya dalam aspek fisik saja, namun juga dalam aspek psikis. Dalam beberapa penelitian kausal komparatif perihal narsisme, dihasilkan temuan bahwa meskipun perempuan tidak memiliki potensi narsisme yang lebih besar dari laki-laki, namun perempuan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk memamerkan dirinya dibandingkan laki laki. (Ackerman, 2012). Fakta ini pun dimanfaatkan oleh industri sosial media seperti Facebook, Instagram, Path, Path Snapchat, dll. Di dalamnya, kita akan melihat perempuan yang memiliki banyak jejaring dan pengikut di sosial media akan dijadikan objek endorsement dimana setiap postingan mereka mempromosikan produk-produk keperempuanan dari tas, sepatu, oufit, hingga salon kecantikan. Bahkan dalam galeri foto yang sebenarnya adalah ranah privat yang mencoba dibagi oleh pengguna media sosial, para perempuan telah dijadikan sebagai senjata promosi yang paling ampuh. Hal ini menjadikan para perempuan gelisah, bukan gelisah karena problem sosial masyarakat hari ini, melainkan gelisah perihal pakaian dan warna lipstik apa yang harus mereka kenakan. Dari sini, kita dapat melihat sebuah fakta bahwa perempuan dikonstrusikan sebagai sebuah alat untuk kepentingan pasar sekaligus konsumen yang paling potensial.

Gerakan Perempuan Hari Ini

Coba kita membayangkan sosok Kartini, seorang perempuan bangsawan yang berupaya memberdayakan perempuan-perempuan di sekelilingnya. Ia berusaha mengentaskan buta aksara yang menjauhkan perempuan dari kemajuan kala itu. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah perjuangan Kartini masih relevan dengan kondisi hari ini? Jika Kartini mengupayakan persamaan hak atas perempuan dalam hal keilmuan dan hal-hal yang berbau emansipatoris, perempuan hari ini justru terbuai dan mabuk dengan hal-hal tersebut. Jika Kartini mengungkapkan “Habis gelap terbitlah terang”, hal itu benar-benar memproyeksikan keadaan sebenarnya. Perempuan hari ini sudah keluar dari kegelapan dan berjalan ke arah cahaya yang terang benderang. Alih-alih menjadikan para perempuan mampu melihat kenyataan dan ketimpangan di sekitarnya, mereka justru disilaukan oleh kebebasan mereka sendiri.

Jangan berharap gerakan emansipasi perempuan mendorong para perempuan rela berpanas-panas ria di depan pusat pemerintahan dan meneriakkan lantang ketidaksetujuanya atas sistem menindas yang memanfaatkan mereka sebagai senjata dan bidikan kapitalisme sekaligus. Aksi-aksi sosial seperti menyemen kaki di Kendeng tidak dilakukan oleh para perempuan yang haus emansipasi. Gerakan emansipasi perempuan kebanyakan tidak berminat dengan gerakan pemberdayaan yang mengarahkan sesama perempuan untuk lebih berdaya, cerdas, tidak mudah gentar dan tertipu oleh segala sistem yang ada.

 

Credits to : nasional.kompas.com
Credits to : nasional.kompas.com

Sebagian gerakan perempuan lebih berminat dengan gerakan-gerakan ‘religius’ yang mengarahkan perempuan pada kegiatan amal. Gerakan ini sebetulnya semakin menampakkan kesenjangan antara kelompok kaya yang melakukan amal dan kelompok miskin yang tidak berdaya semakin tampak. Karena charity ini tidak memiliki maksud menghapus kelas sosial, melainkan justru ‘memeliharanya’ agar proyek amal yang menjadi ‘lahan pahala’ bagi si kaya tetap ada. Padahal idealnya, gerakan menggaungkan kesetaraan dan persamaan, bukannya memperkukuh perbedaan kelas dalam masyarakat. Yang paling disayangkan, gerakan perempuan jenis ini yang disebut ‘kekinian’ dianggap menjawab kebutuhan masyarakat. Gerakan ini dianggap fleksibel, membantu perempuan bagaimana harus berpakaian, bagaimana harus membagi waktu antara karir dan keluarga, bagaimana menjadi ibu yang baik bagi anak anaknya, bagaimana memperlihatkan bahwa dirinya tidak tertinggal oleh zaman, dan kuat tidak tergusur oleh tuntutan waktu dan globalisasi. Hingga para perempuan tidak mampu dan tidak peduli dengan hal-hal di luar diri mereka. Mereka dibutakan oleh silaunya terang yang mereka cari sendiri.

Mengapa gerakan inilah yang menjamur dan dianggap memenuhi kebutuhan masyarakat? Tentu saja karena tidak ada tekanan apapun dari pihak lain terhadap gerakan perempuan mainstream hari ini. Gerakan perempuan jenis ini tidak menyerukan perempuan untuk cerdas dan peka terhadap ketidakadilan sekitarnya, melainkan malah mendorong para perempuan agar egosentris dan memperhatikan dirinya sendiri. Gerakan ini menggiring perempuan untuk berperilaku ideal dan sesuai dengan indikator kesempurnaan yang sudah dikondisikan sedari kecil. Negara pun turut membantu menyuburkan banyaknya gerakan perempuan egosentris ini. Gerakan-gerakan jenis ini sangat mudah mendapatkan funding dan dukungan dari pemerintah karena dianggap berkontribusi besar pada budaya dan pariwisata. Gerakan ini malah memperkuat opresi terhadap perempuan.

Kita akan sangat sulit menemukan gerakan perempuan yang masif menyuarakan keadilan dan mengutuk penindasan. Karena perempuan sendiri sudah dijauhkan dari konsep-konsep keadilan sehingga krisis pemahaman tentang penindasan. Mereka terlalu lama digiring masyarakat patriarkis yang menjadikan mereka tentara-tentara laten kapitalisme. Gerakan perempuan yang ideal kini dilakukan oleh sedikit sekali sumber daya manusia. Gerakan ini lebih banyak di tataran akademis. Mereka dilindungi hak berpikir dan hak bicaranya.

Gerakan Sosial Melawan Kapitalisme

Sistem kapitalisme mampu menjadikan tubuh perempuan sebagai senjata ideologis. Oleh karena itu, seharusnya gerakan perempuan sudah seharusnya mengintegrasikan diri dalam gerakan sosial melawan kapitalisme. Sudah saatnya gerakan perempuan menyadari bahwa perempuan bukan sebuah pasar yang berjalan. Inilah ruang bagi laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan dan menolak sistem yang tidak manusiawi.

Keadilan dari perpektif gender bukan hanya pekerjaan rumah bagi para perempuan, namun juga suatu kewajiban yang harus dipahami laki-laki. Didasarkan pada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang berbeda, seharusnya laki laki dan perempuan tidak lagi duduk dalam forum yang terpisah. Melainkan duduk bersama memahami kebutuhan masing-masing dalam diskusi-diskusi yang berimbang. Sehingga, ide-ide yang dihasilkan akan betul-betul mendorong kesetaraan dan keadilan, bukan hanya dalam konteks antara laki-laki dan perempuan, tetapi bagi seluruh umat manusia. Maka, sudah saatnya kata “Feminis” berganti menjadi “Justice”.

 

 

Pustaka

Ackerman, R. A. (2012, January). Narcissism and first impressions in a speed-dating study. Poster presented at the Annual Meeting of the Society for Personality and Social Psychology, San Diego, CA.

Ackerman, R. A., Donnellan, M. B., & Robins, R. W. (2012). An item response theory analysis of the narcissistic personality inventory. Journal of Personality Assessment, 94, 141–155. doi: 10.1080/00223891.2011.645934

Fox, D., Prilleltensky. I. (1997) Critical Psychology; An Introduction. Sage Publication: London

Fromm, E (1997) Love, Sexuality, and Matriarchy about Gender. Fromm Internasional

Tong. R.P. (1998) Feminis Thought. Westview Press: Corolado

[1] Pendiri Women Social and Political Union (WSPU) pada 1903 di Inggris, pemimpin gerakan Suffragette Movement yang menuntut adanya pemberian hak suara yang setara bagi perempuan. (Lih. Purvis, June (2002). Emmeline Pankhurst: A Biography. London: Routledge. ISBN 978-0-415-23978-3). (Atau tonton film “Mothers, Daughters, and Rebels : Suffragette (2015)”

 

Sumber gambar utama: https://bersatoe.com/2017/03/16/wajah-baru-perempuan-dalam-jerat-kapitalisme/

Tinggalkan Balasan