Mayday atau hari buruh International lahir dari berbagai rentetan perjuangan kaum pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politik hak-hak mereka. Perkembangan Industri pada abad 19 di Eropa menandakan perkembangan sistem ekonomi yang lebih maju terutama di negara-negara Eropa dengan majunya sitem produksi yang ada pengintensifan jam kerja, minimnya upah dan buruknya tempat kerja di pabrik mempengaruhi perjuangan dari kaum buruh untuk memperjuangkan hak kaum buruh. Merka menuntuk penurunan kerja yang awalnya 20 jam kerja perhari menjadi 10 jam kerja dan akhirnya 8 jam kerja yang sampai saat ini kita nikmati.
Problematika buruh
Masyarakat Indonesia dengan komposisi buruh sebanyak 20%[1], kaum tani sebanyak 65%, dan rakyat pekerja di luar buruh dan kaum tani sebanyak 10%. Jumlah Pemodal Sedang sekitar 4% dan Pemodal Besar dan Tuan Tanah Besar hanya 1%. Jumlah rakyat pekerja ini menunjukkan bahwa jumlah cadangan tenaga produktif sangat besar untuk membangun negeri ini menjadi lebih maju dan sejahtera. Namun kehidupan kelas-kelas pekerja yang menjadi tenaga produktif utama teresebut pada kenyataannya menderita dalam kemiskinan dan keterbelakangan yang mendalam. Sementara segelintir kelas penguasa, borjuasi besar dan tuan tanah besar hidup dalam gelimang kemewahan dengan menindas dan menghisap kelas pekerja
Hak-hak pekerja sudah selayaknya menjadi hak yang di berikan oleh pengusaha terhadap pekerjanya. Hak-hak tersebut sejatinya telah di atur dan dilindungi oleh Undang-Undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, namun jika kita lihat hari ini hak yang seharusnya di dapatkan oleh buruh tidak sepenuhnya diberikan oleh pengusaha. Beberapa pelanggaran yang dimaksud adalah masih maraknya sistem kerja kontrak, lembur paksa tanpa dibayar perusahaan, tidak diberlakukannya cuti haid, juga masih terjadi pelecehan seksual di tempat kerja termasuk pelanggaran jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Sebagai contoh bersumber dari data LBH Jakarta pada tahun 2015, terdapat 126 pengaduan, 72 pengaduan hak normatif, 7 pelanggaran hak berserkat oleh 1847 pencari keadilan yang dilatarbelakangi oleh ditetapkannya PP Pengupahan No.78 tahun 2015 yang didalamnya diatur mengenai kenaikan upah buruh yang ditentukan oleh KHL (Ketentuan Hidup Layak) yang ditinjau 5 tahun sekali yang berpengaruh pada penetapan upah minimum. Buruh memiliki peran yang besar dalam penentuan skala upah karena tinggi-rendahnya upah itu sangat mempengaruhi kehidupan buruh secara langsung. Didalam PP 78 Tahun 2015 ketelibatan buruh dalam menentukan besarnya upah semakin dipersempit, oleh sebab itu perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap PP 78 tahun 2015 ini karena sangat merugikan para buruh. Disamping itu, pemenuhan hak-hak normatif buruh perempuan tidak sepenuhnya diberikan perusahaan kepada para buruh. Perusahaan seringkali membatasi hak cuti Haid, hamil yang secara normatif harus diberikan kepada buruh perempuan, selain itu banyaknya perusahaan yang tidak memberikan ruang pojok (ruang menyusui) kepada buruh perempuan yang memiliki bayi. Selain itu keterlibatan aktif institusi kepolisian dan TNI dalam memberangus kemerdekaan berserikat yang dilegitimasi oleh Instruksi Presiden No.9 tahun 2013 tentang kebijakan penetapan upah buruh dan peningkatan kesejahteraan pekerja (selanjutnya disebut sebagai inpres upah murah) seperti bertindak represif (merusak mobil komando, menyemprotkan gas air mata, memukuli buruh, menangkap 22 buruh, 1 mahasiswa dan 2 pengabdi bantuan hukum). Kasus yang lain terkait hak normatif buruh juga diterjadi di Malang sendiri, seperti yang disampaikan oleh Ketua SBSI Malang Raya pelanggaran hak normatif buruh yang terjadi adalah tidak memberikan santunan pada karyawan yang sakit, tidak membayarkan hak cuti, membayar gaji dibawah standart dan tidak memberikan cuti tahunan. Kasus lain yang terjadi adalah kasus PHK massal sepihak oleh Koran SINDO Biro Jatim (bagian dari MNC Group). PHK sepihak yang dilakukan perusahaan tidak sesuai dengan tahapan yang telah diatur di Undang-undang Ketenagakerjaan serta bertindak sewenang wenang atas adanya mutasi reporter, fotografer dan karyawan ke Jakarta dengan unsur subjektif, intimidatif dan terkesan penghakiman dan hukuman oleh atasan redaksi.[2] Tak hanya tentang pelanggaran hak normatif buruh, politik upah murah juga masih gencar dilakukan sebagai alat untuk menindas kaum buruh, seperti pada buruh Sawit Indonesia yang terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit. Buruh mendapat upah harian lebih rendah, bahkan tidak digaji berdasarkan perhitungan upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral perkebunan (UMSP). Contohnya yang terjadi di Kalimantan Tengah, upah harian buruh sawit berkisar Rp59.400,- atau lebih kecil dari UMK yakni Rp84.116,-. Hal serupa terjadi pula di Sumatera Utara, upah harian buruh sawit hanya Rp78.600,- sedangkan UMKnya Rp80.480,-. Selanjutnya di Papua, UMK harian buruh sawit, Rp96.672,- tapi hanya dibayar Rp61.295,-. Selain pemberlakuan upah murah, kerja yang dilakukan buruh perkebunan melebihi perhitungan jumlah kalori yang ditetapkan, yakni 3000kg kalori perhari. Perkebunan juga memberikan target yang tinggi sebanyak 1200 kg sampai 1500 kg perhari tanpa memberlakukan lembur, sehingga buruh bekerja melebihi batasan waktu kerja 12jam perhari agar tak mendapat sanksi. Untuk memenuhi target, buruh sawit rela membayar tukang berondol atau mengajak anak dan istrinya ke perkebunan padahal status kerja kernet atau tukang brondol tidak diakui karena direkrut dan diupah oleh buruh panen, belum lagi persoalan denda dan sanksi. Perwakilan LSM sawit Watch Zidane mengatakan 70% dari total 10juta buruh sawit merupakan pekerja harian lepas yang dibayar dengan upah tidak layak.[3] Melihat penderitaan yang dialami buruh Indonesia selama ini bahwa mereka mendapat perlakuan yang tidak sesuai secara normatif, hal ini berdampak kepada kehidupan keluarga buruh itu sendiri. Dengan upah rendah, buruh tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Upah rendah juga menjadi penyebab banyaknya anak-anak buruh tidak mampu menikmati pendidikan. Hari ini, pendidikan di Indonesia seakan menjadi barang mewah untuk anak-anak buruh. Berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada 2015 tercatat masih ada 5,3 Juta anak usia 7- 18 Tahun tidak sekolah.[4] Beradasarkan data Susenas membuktikan bahwa pendidikan hari ini menjadi barang mahal bagi masyarakat Indoensia khsusnya buruh. Hal ini sangat bertentangan dengan Aline ke-4 dan pasal 31 Undang- Undang Dasar Tahun 1945.[5] Kondisi dan permasalahan pendidikan dan kontenporer menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata baik. Jumlah anak putus sekolah masih sekitar 4,5 juta jiwa yang mem buat rasio pasrtisipasi pendidikan penduduk indonesia baru sebesar 68,4 % dan tingkat pendidikan Indonesia rata-rata hanya sampai SMP. Sekitar 75-80% ( 7-8 orang dari setiap 10 orang ) pelajar dari tingkat SD-SMA putus sekolah. Sekitar 60% (6 orang dari setiap 10 orang ) pelajar setingkat SMU tidak mampu melanjutkan kejenjang kuliah. Sekitar 20 ribu sekolah dari SD hingga SMA dalam kondisi rusak berat. Sekitar 535.825 ( 60%) dari 900.000 ruang kelas di sekolah seluruh pelosok terindikasi dalam kondisi rusak. Sekitar 14,6 juta (12,1 %0 penduduk Indonesia berusia 15 tahun keatas didapati buta huruf. Tingkat kesejahteraan hidup dan kualitas guru yang masih kurang. Sistem pendidikan dengan segala perangkatnya telah membentuk manusia yang meminimkan apresiasi dan kreatifitas manusia untuk berpikir menelaah dan menganalisa persoalan yang ada. Sekarang ini pendidikan seperti susu kaleng yang sangat instan dan cepat saji. Semuanya dijalankan dengan cepat,praktis, mudah dan sangat jelas orientasinya. Saat ini dunia pendidikan sudah dikuasai kapitalisme, kepentingan kapitalisme semkain nyata terlihat jika kita menilik pola pendidikan tinggi.
Belum lagi jaminan akan kesehatan dan keselamatan kerja yang seharusnya di berikan kepada buruh tetapi pada prakteknya kesehatan dan keselamatan kerja bagi buruh seolah menjadi hal yang tidak penting bagi para pengusaha. Seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja bagi buruh sawit perempuan dan pekerja anak juga sangat minim, keberadaan buruh sawit sangat diabaikan, untuk membeli alat semprot diberikan kepada pekerja dan banyak perempuan terabaikan akan paparan zat kimia.
Berdasarkan data kasus yang sedang ditangani oleh Komite Solidaritas Perjuangan Buruh (KSPB), ada beberapa perusahan yang melakukan PHK sepihak terhadap buruhnya. Seperti yang terjadi di PT. Nanbu Plastics Indonesia yang melakukan PHK sepihak terhadap 4 buruhnya dengan alasan telah selesai masa kontrak. Padahal KSPB sudah mengajukan perselisihan hubungan industrial dan melakukan advokasi sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan nomor 116/pdt.Sus-PHI/2018/PN.Bdg menyatakan pengusaha harus mempekerjakan buruh PT. Nanbu Plastics Indonesia dengan status karyawan tetap (PKWTT). Namun sampai detik ini dari saat dibacakannya putusan tersebut, pada tanggal 02 januari 2019, PT. Nanbu Plastics Indonesia tidak melaksanakan putusan tersebut, malah melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Selain itu, PHK sepihak juga dilakukan oleh PT. Senopati Fujitrans Logistic Services terhadap 73 buruh setelah buruhnya mendirikan serikat pekerja, sehingga patut diduga bahwa PT. Senopati Fujitrans Logistic Services telah melakukan pemberangusan serikat. Itikad buruk juga dilakukan oleh PT. Senopati Fujitrans Logistic Services yang tidak pernah bersedia berunding bipartit meskipun pihak serikat telah mengajukan permohonan perundingan sebanyak 3 kali. PT. Senopati Fujitrans Logistic Services juga tidak menjalankan Nota Dinas Nomor: 560/B-7429/UPTD-WIL-II/XII/2018 tanggal 4 desember 2018 yang intinya bahwa PT. Senopati Fujitrans Logistic Services harus mempekerjakan kembali 73 buruhnya dengan status tetap. PT. Fajar Mitra Indah, perusahaan pergudangan milik ritel Familymart juga telah melakukan PHK sepihak terhadap 27 buruhnya yang saat itu sedang menuntut hak menjadi buruh tetap/PKWTT akibat pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Fajar Mitra Indah sendiri. Hak buruh telah dikuatkan oleh Nota Pengawasan Khusus Nomor 560/7009/UPTD-WIL.II/XI/2018 yang sudah mendapat pengesahan dari Ketua Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Klas IA Bandung dimana pada intinya ke-27 buruh yang di PHK harus dipekerjakan kembali dengan status tetap/PKWTT terhitung masa kerja dari pertama masuk. Namun sampai detik ini PT. Fajar Mitra Indah tidak mau menjalankan isi Nota Pengawasan Khusus tersebut dan malah tidak membayar upah dan menawarkan uang pesangon. Selain itu, hal serupa juga terjadi di PT. Ichiko Indonesia yang merupakan perusahaan manufaktur yang memproduksi hadlamp/lampu untuk mobil, juga patut diduga melakukan tindakan anti serikat buruh, yaitu melakukan PHK sepihak terhadap 10 buruhnya yang tergabung dalam Serikat buruh bermartabat Indonesia dengan alasan berakhirnya kontrak, padahal hal tersebut sedang dalam perselisihan. PT. Ichiko Indonesia tidak pernah menanggapi surat bipartit yang diajukan oleh serikat buruh sebanyak 3 kali, tidak mau berunding, padahal PT. Ichiko Indonesia telah menerima surat bipartit yang serikat kirimkan. Selain itu, diduga PT. Ichiko Indonesia melakukan pemalsuan tandatangan pada perjanjian kerja yang dijadikan bukti-bukti saat Pemeriksaan Khusus dugaan pelanggaran PKWT dilakukan di PT.Ichiko Indonesia yang telah dilaporkan oleh pihak buruh ke polisi sektor Cikarang barat pada hari rabu tanggal 27 februari 2019 dengan Nomor: STPL/319/II/2019/Sek Cik Bar.
Berdasarkan hasil penilitian oleh Akatiga-Pusat Analisis Sosial dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) , Praktek PKWT dan outsourcing merupakan wujud dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF (International Monetary Fund), World Bank dan ILO (International Labour Organisation) sebagai syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis ekonomi 1997. Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel ini merupakan kunci dari kebijakan perbaikan iklim investasi yang juga disyaratkan oleh IMF dan dicantumkan dalam Letter of Intent atau nota kesepakatan ke 21 antara Indonesia dan IMF butir 37 dan 42 .Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi acuan dasar bagi penyusunan rangkaian kebijakan dan peraturan perbaikan iklim investasi dan fleksibilitas tenaga kerja. Salah satu kasus yang terjadi pada buruh awak mobil tangki PT Pertamina patra niaga dan PT dan beberapa anak perusahaan di bawah BUMN PT pertamina.
Gerakan rakyat yang seharusnya mampu mengambil peran dalam masyarakat tetapi hari ini malah menjadi sasaran empuk bagi setiap pemangku kepentingan yaitu pemodal dan aparatur negara dilihat dari bentuk pembatasan ruang publik bagi rakyat dalam menyampaikan pendapatnya padahal hal tersebut sudah di atur dalam UU kterkait kebebasan berpendapat, berkumpul berserikat bagi rakyat sebagai perwujudan demokrasi rakyat. Banyak terjadi kasus pembubaran paksa forum forum diskusi, penangkapan dan represif terhadap gerakan rakyat dan tak jarang dalam pembatasan ruang demokrasi ini melibatkan aparatur negara sebagai contoh kasus yang terjadi di USU sumatera, LBHI Jakarta dan rakyat papua yang mencoba menyatakan pendapatnya malah di represif bahkan itupun di lakuakan oleh tenaga militer negara. Dan beberapa daerah lain sebagai bentuk ke kehawatiran rezim hari ini.
Freeport di tanah Papua telah lama menjadi malapetaka bagi bangsa west-Papua, kehadiran Freeport di Tanah Papua hingga saat ini merupakan ILEGAL karena Freepot melakukan kontrakan karya pertama pada Tahun 1967 sebelum proses penentuan pendapat rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 ,dengan kata lain sebelum PAPUA sah menjadi bagian dari Indonesia PT.Freeport sudah melalkukan kontrak karya dan juga PEPERA itu sendiri tidak sah karena tidak melibatkan rakyat papua sebagai Tuan Tanah dalam proses pelaksanaanya. Kehadiran PT.Freeport tidak bisa dipisahkan dengan kehadiran pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan di tanah West-Papua. Pemerintah Indonesia juga ikut andil dalam malapetaka yang diderita bangsa West-Papua. PT. Freeport yang beroperasi sejak 1967 merupakan wujud nyata dari imperialisme untuk melipat gandakan kentungan kapitalis Internasional dengan mengeksploitasi sumber daya alam di West-Papua. Demi pengamanan proses penanaman modal, operasi-operasi militer Indonesia di gelar di tanah West-Papua. Kehadiran militer di Tanah West-Papua sangat meresahkan bangsa papua dan juga banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua. Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang kekerasan aparat keamanan yang terjadi di wilayah West-Papua. Di Paniai tercatat 614 orang meninggal, 13 Orang hilang, 94 orang diperkosa. Di Biak 102 Orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 Orang ditahan. Di Wamena 475 Orang meninggal, Sorong 65 orang meninggal, 5 orang hilang, 7 orang korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10 orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, alat-alat adat-istiadat, itupun belum termasuk wilayah lainnya yang belum terdata dengan baik. Hingga hari ini di Nduga Papua Menjadi wilayah operasi militer dengan dalil Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) sebagai Kelompok kriminal bersenjata (KKB) akibat dari operasi tersebut terjadi pelanggaran HAM yang menyebabkan korban termasuk masyarakat Sipil .
Dengan situasi ekonomi politik yang semakin tidak memihak terhadap rakyat, tentu sudah menjadi tugas mendesak bagi kita semua untuk turun bersama di tengah masyarakat untuk memihak dan membebaskan rakyat yang di tindas, dari segala bentuk penindasan dan penghisapan. Kami yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Malang Bersatu mengutuk segala bentuk ketidakadilan dan mendesak seluruh elemen masyarakat untuk menghimpun dan menggalang kekuatan gerakan perlawanan rakyat.
Dengan demikian kami Aliansi Mahasiwa Malang Bersatu memperingati momentum hari buruh international dengan melakukan aksi mimbar bebas dengan tujuan mempropaganda dan menyuarakan kepada massa luas ketimpangan yang ada serta menghimpun kekuatan massa luas untuk mengajak menuntut :
“Wujudkan kesejahteraan kaum buruh dan berikan akses ruang demokrasi bagi rakyat sepenuhnya”
Dalam perwujudan :
- Tolak politik upah murah, hapus sistem kerja kontrak, outsourcing, magang, dan PHK sepihak
- Percepat pengkajian PP 78 Tahun 2015
- Berikan hak normatif buruh perempuan
- Tolak pemberangusan serikat dan berikan jaminan perlindungan hukum kepada aktivis serikat buruh
- Wujudkan kebebasan berserikat, berkumpul, berorganisasi, dan kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat bagi rakyat
- Berikan sanksi tegas kepada perusahaan yang tidak membayar BPJS
- Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, serta bervisi kerakyatan
- Nasionalisasi aset asing dibawah kontrol rakyat
- Tolak keterlibatan militer di wilayah sipil
Isu Khusus untuk Papua:
- Tutup Freeport dan perusahaan multinasional lainnya di tanah Papua
- Tarik militer organik maupun non-organik dari Nduga dan seluruh wilayah West-Papua
- Berikan kebebasan pers lokal, nasional, maupun internasional di wilayah Papua
Salam perjuangan!!! Abadi perjuangan!!!
Hidup Buruh, Hidup Tani, Hidup Rakyat Tertindas Sedunia!
Narahubug :
Saut Turnip : 082143492270
Feri : 081238640180
Aliansi Mahasiswa Malang Bersatu
- GMKI CABANG MALANG,
- PEMBEBASAN,
- AMP,
- HMI FH UB,
- IMM MALANG RAYA,
- HMI FEB UB,
- HMI FMIPA UB,
- HMI FP UB,
- HMI FPIK,
- HME UMM,
- LYMI,
- SMART,
- BEM FMIPA UB,
- BEM FH UB,
- BEM FEB UB,
- BEM FILKOM UB,
- BEM FKH UB,
- BEM FP UB,
- KAMMI,
- GMNI UMM,
- KOMITE GERAKAN,
- BEM FAPET UB,
- BEM FT UMM
[1] Suryamalang.com
[2] Viva.co.id
[3] M.metrotvnews.com
[4] IDNtimes.com
[5] Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Foto: Malangvoice.com