Petaka Rezim Sawit Global: Ilusi Kesejahteraan, Konflik Sosial dan Perampasan Ruang Hidup

Oleh:
Sinergy Aditya Airlangga*

 

Kontroversi terkait minyak Sawit (Palm Oil) menyeruak, melihat banyak permintaan dunia yang kemudian membuat Indonesia berbangga diri bahwa produk minyak sawit merupakan salah satu penopang ekonomi negara. Minyak sawit atau yang juga sering disebut sebagai minyak nabati, berguna untuk salah satu cairan kebutuhan barang yang digunakan sehari-hari. Dalam rilisan World Wild Life (WWF) produk sehari-hari yang merupakan turunan dari minyak kelapa sawit meliputi biodiesel, detergen, margarine, coklat, sabun, mie instan, shampo, adonan pizza, es krim, lipstik, roti kemasan dan lainnya. Indonesia merupakan negara pengekspor sawit terbesar di dunia. India dan Uni Eropa merupakan salah satu wilayah tujuan ekspor utama minyak sawit Indonesia. Ekspor ke Uni Eropa mencapai 26,4% dan 14,5% di tahun 2017 (Firdaus dan Nugroho, 2017). Dapat dilihat tabel di bawah ini bahwa semakin tahun sumbangan ekspor minyak sawit di Indonesia mengalami kenaikan sejak tahun 2015 sampai tahun 2017.

Gambar 1
Destinasi Ekspor Sawit Indonesia 10 Negara Utama Tahun 2018
(Sumber: International Trade Center)

 

Gambar 2
Persebaran Sawit Global
(Sumber: FAO ed Tirto.id)

Sementara itu, dalam data International Trade Center (ITC) di atas, Bangladesh merupakan importir paling sedikit minyak sawit dari Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara penghasil minyak sawit terbesar, dengan total masing-masing perkebunan seluas 3,6 juta dan 4,1 juta hektar pada tahun 2008. Dilansir Kata Data, tahun 2018 lalu Indonesia memiliki perkebunan sawit dengan luas mencapai 14,03 juta hektare, yang sebagian besar dimiliki pengusaha sekitar 59%. Sisanya dimiliki petani 40% dan perkebunan negara 1% (Kamaludin, 2018). Daerah Kalimantan dan Sumatera adalah dua pulau yang menyumbangkan 96% dari produksi minyak sawit Indonesia (Tirto.id, 2016). Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO-UN), mencatat bahwa lahan budidaya kelapa sawit di seluruh dunia mengalami perluasan besar-besaran, dari 3,6 juta hektar menjadi 13,2 juta hektar, dalam rentang 1961 hingga 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa, perluasan besar-besaran atas produksi minyak sawit sedang masif terjadi beberapa dekade belakangan, termasuk Indonesia.

Gambar 3
Perkembangan, Alih Fungsi, dan Pesebaran Lahan Sawit Nasional
(Sumber: Ditjenbun Kementrian Pertanian)

 

Status lahan perkebunan sawit yang tersebar di seluruh Indonesia terbagi menjadi empat; Perkebunan Rakyat, Besar Negara, Besar Swasta Nasional dan Besar Swasta Asing. Secara total status perkebunan gabungan terus meningkat. Pada 2013 luasnya mencapai 10.465.020 hektar, pada 2014 seluas 10.956.231 hektar dan 2015 mencapai luas 11.444.808 hektar (Firman, 2016). Namun, perlu dilihat sisi lain dari keberadaan kebun kelapa sawit. Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia harus membayar mahal dengan berkurangnya luas hutan dan pula dampaknya pada habitat satwa liar.

Tak hanya itu, tren konflik pada sektor perkebunan sawit juga meningkat. Berdasarkan data Sawit Watch, tren konflik di sektor perkebunan sawit terus melonjak sejak 2007, dimana terjadi 514 konflik. Berlanjut seterusnya pada 2008 (576 konflik), 2009 (604 konflik), 2010 (608 konflik), 2011 (668 konflik), 2012 (679 konflik), 2013 (680 konflik), dan 2014 (591 konflik). Konflik yang dicatat oleh Sawit Watch ini meliputi konflik lahan, kemitraan dan lingkungan. Sedangkan pada 2015, KPA mencatat terdapat 127 konflik perkebunan yang didominasi oleh konflik perkebunan kelapa sawit (Kertas Posisi WALHI, 2018). Salah satu contoh dampak negatif pembukaan lahan sawit adalah fenomena perebutan lahan di beberapa hutan daerah Papua, diantaranya Nabire, Sorong, hingga Merauke. Sebelumnya hutan tersebut memiliki peran penting bagi masyarakat setempat, guna kepemilikan komunal adat hingga penghasil sagu sebagai makanan pokok (Firmansyah, 2016).

Konflik dengan masyarakat adat pun terjadi. Kerapkali pembukaan lahan secara sepihak dan top down, tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat adat yang berada di sekitarnya. Kejahatan kehutanan dan pembukaan lahan perkebunan sawit yang tidak prosedural sudah pasti menimbulkan kerusakan ekologi dan konflik masyarakat. Selain itu, ia pula menyebabkan kerugian negara yang jumlahnya sangat fantastis (Wasef, 2016; Annisa, 2016). Hal tersebut merupakan sisi lain dari fenomena perkebunan kelapa sawit, yang lebih lengkapnya akan di kupas di pembahasan selanjutnya.

Pertumbuhan Ekonomi Negara dan Ilusi Kesejahteraan

Ekspor minyak kelapa sawit yang massif di dunia internasional, telah menjadi salah satu pendapatan negara yang besar. Masifnya perkebunan kelapa sawit hingga menghalalkan segala cara, tidak lain karena nilai keuntungannya yang sangat tinggi. Kelapa sawit menjadi produk utama yang diekspor ke berbagai negara dan tentunya menghasilkan devisa besar bagi negara (Firman, 2016). Oleh karena itu, prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar dalam negeri maupun di pasar dunia. Sektor ini akan semakin strategis karena berpeluang besar untuk lebih berperan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional dan penyerap tenaga kerja (Anugrah, 2016).

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian melaporkan, sejak 2013 hingga 2015 produksi minyak kelapa sawit terus bertambah. Mulai dari 2013 sebanyak 27.782.004 ton, 2014 sebanyak 29.344.479 ton, dan di 2015 menyentuh 30.948.931 ton. Sementara untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional pada tahun 2013 seluas 10,465 juta hektar, 2014 bertambah menjadi 10,956 juta hektar, dan pada 2015 telah menembus angka 11,444 juta hektar. Sedangkan di tahun 2015 hingga 2017 juga menunjukkan adanya perluasan areal tanah mencapai ±1.000.000 hektar. Perluasan tersebut memang meningkatkan produksi 0,138% dan menyentuh angka 35.359.384 ton. Sayangnya, angka tersebut hanya terfokus pada keuntungan ekonomis belaka dan mengabaikan dampak buruk lingkungan, sosial, budaya, dan hak asasi manusia (Alam, 2017). Selain itu, kesejahteraan ekonomi yang akan dicapai melalui industri kelapa sawit tersebut justru tidak secara langsung dinikmati oleh rakyat. Sebaliknya, ia justru dinikmati oleh gurita besar elit korporasi pemilik perusahaan dan perkebunan sawit.

George Junus Aditjondro, Guru Besar Ilmu Budaya dan Antropologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menyebutkan beberapa elit korporasi besar industry sawit. Diantaranya Salim Group yang dipimpin Anthony Salim, Sinar Mas Group yang dipimpin Franky Widjaja, kelompok Wilmar International yang dipimpin Martua Sitorus, kelompok Raja Garuda Mas (RGM) yang dipimpin Sukanto Tanoto, kelompok Bakrie milik Aburizal Bakrie, kelompok Sampoerna Agro yang dipimpin Michael Sampurna, kelompok Astra Agro Lestari, Kelompok Medco milik keluarga Arifin Panigoro, kelompok Eterindo, kelompok Makin-PT Matahari Kahuripan Indonesia, Kelompok Tolan Tiga Indonesia, PT Socfin Indonesia (Socfindo), Pabrik rokok Djarum melalui PT Hartono Plantations, Kelompok Marison Nusantara, Kelompok Tirtamas Majutama, Kelompok CCM (Cipta Cakra Murdaya), Gozco Plantations. Adapun keterlibatan elit militer yang memanfaatkan daerah pesisir sebagai perkebunan sawit. Praktik bisnis militer salah satu contohnya yakni Aceh Plantation Development Authority (APDA) (Aditjondro, 2011).

Ancaman Kerusakan Lingkungan dan Perampasan Ruang Hidup

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dibelakang klaim kesejahteraan ekonomi industri sawit, ancaman kerusakan lingkungan dan perampasan mengintai ruang hidup masyarakat. Ekspansi perkebunan sawit secara agresif telah mengakibatkan berbagai kerusakan ekologis dan sosial, seperti deforestasi, degradasi tanah dan perampasan lahan (Hussein, 2017). Pada agustus 2018, kebakaran hutan terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan, bahkan Kalimantan Barat, hingga meliburkan semua anak sekolah karena dampak asap yang semakin tinggi (WALHI, 2018). Terkait konflik lingkungan, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama tahun 2015, terjadi 252 konflik agraria struktural dengan luas wilayah konflik 400.430 hektar. Sektor yang paling banyak konfliknya dan paling luas wilayah konfliknya di tahun itu adalah sektor perkebunan dengan 127 konflik (50%) dan luas wilayah konflik 302.526 hektar (76%) (KPA 4, 7). Pada tahun 2016 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat telah mencapai 6.772.633 hektar perkebunan dengan komposisi 702 Perusahaan Perkebunan didominasi oleh sawit (WALHI, 2018).

Riset yang dilakukan Sawit Watch menjelaskan bahwa ada sekitar 776 komunitas masyarakat berkonflik dengan perusahaan perkebunan. Banyak pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di lahan-lahan yang ternyata berada di kawasan hutan. HGU juga banyak dikeluarkan dan tumpang tindih dengan lahan masyarakat hingga menyebabkan konflik di mana-mana (Ronald, 2015; Annisa, 2015). Direktorat Jendral Perkebunan – Kementerian Pertanian mencatat selama 2016 telah terjadi 439 konflik penguasaan dan penggunaan lahan, belum semuanya terselesaikan dan terus meningkat di tahun 2017. Adapun resolusi konflik dan penyelesaian sengketa yang disediakan berbagai lembaga pemerintah dan badan inisiatif lainnya seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) belum menjamin terpenuhinya hak atas pemulihan yang efektif (Alam, 2017). Konflik lahan terjadi dikarenakan perampasan tanah-tanah petani untuk dijadikan perkebunan sawit oleh perusahaan nasional maupun perusahaan swasta (ELSAM, 2016).

Dari sisi flora dan keanekaragaman hayati, perusahaan perkebunan sawit secara ilegal membabat dan membakar hutan serta mencemari sungai. Akibatnya, masyarakat adat maupun masyarakat sekitar hutan-lah yang menerima dampak buruknya. Hal itu belum terhitung sepaket dengan hilangnya keanekaragaman hayati dengan berubahnya bentang alam (ELSAM, 2016). Diketahui bahwa 4.389.757 hektar ekosistem gambut secara langsung dirusak oleh sebanyak 291 perusahaan, yang terdiri dari 193 perusahaan sawit (WALHI, 2018). Kelapa sawit bukanlah tipe tumbuhan yang dapat disandingkan dengan tanaman-tanaman lainnya dalam sebuah ekosistem. Kelapa sawit merupakan tanaman homogeni yang berdiri sendiri (Firman, 2016).


Gambar 4
Investigasi dampak sawit terhadap satwa
(Sumber: World Wild Life ed Tirto.id)

 


Gambar 5
Pesebaran Burung dan Kupu-kupu dalam Jenis Hutan
(Sumber: FAO ed. Tirto.id)

Dari segi fauna, orang utan di Kalimantan menjadi korban atas kejahatan pembukaan lahan guna industri sawit. Bahkan di Sumatera, sekumpulan gajah bernasib sama ketika gajah-gajah mencari makan sampai ke perkebunan sawit karena habitatnya telah dialihfungsikan, para petani mengusirnya tidak sedikit pun juga melukai para binatang tersebut agar tidak kembali ke area perkebunan sawit (Firman, 2016). Burung Hutan dan Kupu-kupu Hutan juga akan terusir jika alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Dapat dilihat berapa persentase jumlah burung dan kupu-kupu hutan yang gemar hidup di perkebunan sawit. Secara tidak langsung alih fungsi perkebunan tersebut juga mengusir burung dan kupu-kupu hutan.

Konflik Sosial: Potret Buruh, Masyarakat Adat dan Kemanusiaan

Perusahaan mainstream sudah sewajarnya menerapkan logika profit dan pencurian nilai lebih, sebagaimana dijelaskan Karl Marx. Hal tersebut digunakan oleh para elit perusahaan guna mengakumulasi kapital untuk kebutuhan hidupnya kedepan. Sudah tereksploitasi dan dicuri nilai lebih, masih saja terdapat beberapa perlakuan tidak adil yang diterima oleh pekerja perusahaan perkebunan sawit. Salah satunya yakni masalah kesehatan dan keselamatan kerja, upah rendah, kondisi hidup buruk, diskriminasi gender dan menyembunyikan buruh dari audit (Parsaroan, 2018; Nugraha, 2018). Selain itu, munculnya pekerja anak dan perempuan yang tak berstatus jelas. Hal tersebut terjadi karena buruh sawit yang rata-tata adalah laki-laki, dengan kondisi perkebunan yang jauh akhirnya melibatkan istri dan anaknya untuk ikut bekerja. Sayangnya, perusahaan memperbolehkan ini, tapi dengan syarat tak ada kontrak dan upah yang jauh lebih rendah (Sisca, 2016).

Terkait upah, di Sulawesi Tengah upah harian buruh sawit hanya Rp59.400. Padahal jika merujuk pada Upah Minimum Regional (UMR) mereka seharusnya mendapat Rp84.116. Di Sumatera Utara upah mereka rata-rata Rp79.600 per hari, sedangkan standar UMR Rp80.480. Di Papua upahnya Rp61.295, sedangkan idealnya Rp96.672 per hari. Rezim perusahaan upah murah ini memberikan potret ketidakadilan pada para pekerja, yang diperlakukan tidak adil dengan pembayaran tidak sesuai perhitungan upah harian berdasarkan UMR.

Gambar 6
Perhitungan Upah Buruh Perkebunan Sawit Tahun 2017
(Sumber: Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit)

Hubungan kemitraan antara petani dan perusahaan juga tidak kalah buruknya, dimana hubungan yang tidak adil seperti tidak adanya kontrak perjanjian, pembangunan kebun yang tidak baik, hingga utang yang dibebankan kepada petani (ELSAM, 2016). Perlakuan perusahaan terhadap pekerja dengan letak geografis perkebunan, terutama bagi buruh yang tinggal di dalamnya, secara efektif mengisolasi buruh dari jangkauan publik dan menciptakan kondisi perusahaan yang dapat mengatur segala aspek kehidupan buruh, tanpa akuntabilitas apapun. Buruh yang terisolasi, tanpa perlindungan hukum negara maupun pengawasan ketenagakerjaan teramat rentan menjadi korban kesewenang-wenangan pengusaha (Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit, 2017).

Ekspansi lahan sawit di wilayah hutan adat menimbulkan penderitaan dan permasalahan bagi masyarakat adat di Kalimantan hingga Papua (Hasan, 2018). Di Kalimantan Selatan, konflik masyarakat adat dengan perkebunan sawit besar mendominasi sebanyak 12 kasus (Mongabay.id, 2014). Masyarakat adat papua Mahuzes pun juga terjadi konflik serupa. Mereka bersengketa dengan perusahaan perkebunan sawit yang merebut hutan adat mereka dari leluhur turun temurun. Sengketa ini sempat dimuat dalam film dokumenter The Mahuzes” oleh Watch doc. Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa munculnya industri perkebunan sawit tidak hanya membawa permasalahan sosial kemanusiaan dan lingkungan, namun juga merusak kultural masyarakat adat di beberapa daerah dengan merebut ruang hidupnya.

Lemahnya Penegakkan Hukum dan Korporatokrasi

Rumitnya permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki keterkaitan penuh pada regulasi/aturan hukum yang ada. Situasi tata kelola perkebunan sawit yang carut marut ini diakibatkan penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak kepada rakyat, yang menjadi korban dari ekspansi perkebunan kelapa sawit (ELSAM, 2016). Sebaliknya, negara justru berperan dalam mengendalikan kepengaturan di masyarakat guna memuluskan kepentingan segelintir orang/perusahaan. Hal tersebut oleh Michael Foucault disebut sebagai fenomena Govermentality. Sederhananya, dapat diartikan sebagai kepengaturan melalui pembentukan aturan, statement, kebijakan dan regulasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk memuluskan kepentingan kapital (modal), dalam hal ini adalah perusahaan. Fenomena tersebut juga dipotret oleh John Perkins sebagai rezim Korporatokrasi, yakni birokrasi yang memiliki watak kepentingan dari korporasi. Terkait pembentukan aturan, terdapat celah dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang 18 Tahun 2013, yang pada intinya berfungsi untuk menancapkan laju pelepasan kawasan hutan dan penerbitan izin. Tercatat hingga saat ini 859 korporasi perusahaan sawit beroperasi dalam kawasan hutan.

Di Indonesia, teramat banyak kebijakan yang menyediakan ruang bagi korporasi, belum termasuk berbagai keistimewaan yang sedang disusun dalam RUU Perkelapasawitan (WALHI, 2018). Selain itu juga marak terjadi praktik korupsi untuk memperoleh HGU di sektor perkebunan sawit. Rendahnya pengawasan oleh pemerintah juga dinilai sebagai salah satu alasan tingginya transaksi ilegal yang berputar di kalangan pelaku industri sawit dengan berbagai stakeholder (Muttaqin, 2015; Aziliya, 2015). Pada tahun 2015, tercatat tingkat kepatuhan perusahaan hanya 46,34%. Negara kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar 18 triliun rupiah setiap tahunnya dari ketidakpatuhan tersebut (Laporan KPK-2016 dalamWALHI, 2018).

Oleh karena itu, penerapan transparansi tarif untuk mendapatkan izin lokasi usaha perkebunan sawit dari pemerintah melalui kementerian terkait diperlukan untuk mendorong akuntabilitas pemerintah terpercaya (Muttaqin, 2016; Annisa, 2015). Keterbukaan proses dan informasi khususnya terkait dengan evaluasi perizinan, serta membuka partisipasi publik yang aktif dan representatif (WALHI, 2018).

Perspektif HAM dan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Dari sekian penjabaran permasalahan, keberadaan industri perkebunan sawit juga tumpang-tindih dengan permasalahan kemanusiaan. Terutama pada keadilan para buruh dan pekerja sawit dan juga masyarakat sekitar perkebunan, khususnya masyarakat adat. Berdasarkan data pengaduan Komnas HAM, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan konflik perkebunan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Korporasi/Perusahaan masih menempati urutan kedua tertinggi sebagai aktor yang diadukan terkait pelanggaran HAM, yakni sebanyak 5.398 pengaduan dalam kurun waktu 2010-2014. Jumlah pengaduan itu terdapat pada korporasi/perusahaan yang bergerak di subsektor perkebunan dengan jumlah 258 berkas pengaduan. Kemudian diikuti oleh subsektor industri (manufaktur atau pabrik) dengan 177 berkas pengaduan (Muttaqin dkk, 2017). Laporan yang dipublikasi Amnesty Internasional juga memperlihatkan bahwa; penerapan sistem kerja, upah dan hukuman mengakibatkan serangkaian pelanggaran hak-hak buruh di beberapa perusahaan ternama. Manifestasi pelanggaran hak-hak buruh yang teridentifikasi terjadi di industri perkebunan kelapa sawit (Ahsinin dan Aji, 2017).

Dalam konteks kemanusiaan, menurut ELSAM industri perkebunan sawit belum menyentuh nilai-nilai dan prinsip yang sangat fundamental, yaitu berkelanjutan dalam perspektif hak asasi manusia (HAM). Pendekatan melalui HAM akan menghadirkan konteks tersendiri disamping penegakan hukum dan peraturan sektoral. Prinsip universal HAM dapat diterapkan antar sektor, korporasi, bahkan negara. Hal ini akan sangat membantu dalam menembus batas-batas yang dapat menghambat keberlanjutan seruan berkelanjutannya industri ini (ELSAM, 2017).

Adapun 3 Pilar yang digagas ELSAM melalui Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FOKSBI), yakni: a) Pemerintah berkewajiban untuk melindungi melindungi hak asasi manusia, dimana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk aktor bisnis, b) Perusahaan bertanggung jawab untuk menghormati HAM: Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi, c) Korban mendapatkan akses pemulihan: kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non yudisial (ELSAM, 2017). Dengan begitu, pengelolaan sawit secara manusiawi dengan mempertimbangkan aspek keanekaragaman hayati lingkungan dan kemanusiaan dapat terwujud.

*) Penulis merupakan Pegiat di Intrans Institute & MAP Corner Magister Manajemen Kebijakan Publik FISIPOL – UGM

 

Rujukan

Aditjondro, Goerge Junus. 2011. Bisnis Pahit Kelapa Sawit (1). Jakarta: HarianIndoPROGRESS.

Ahsinin, Adzkar dan Andi Muttaqien, dkk. 2017. Kertas Kebijakan Elsam & Komnas Ham Urgensitas Penyusunan Dan Pengembangan Rencana Aksi Nasional Bisnis Dan Ham Di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM dan ELSAM, hlm: 55-56.

Ahsinin, Adzkar dan Sekar Banjaran Aji. 2017. RUU Perkelapasawitan Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia: Perspektif Relasi Bisnis dan HAM. Jakarta: ELSAM

Ahsinin, Adzkar dan Wahyu Wagiman. 2018. Kelapa Sawit Berkelanjutan: Rencana Aksi Nasional (RAN) Minus Penghormatan Hak Asasi Manusia, Analisis terhadap Rancangan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan Periode 2018 – 2023 dalam Perspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Kertas Posisi ELSAM.

Alam, Azhar Nur. 2017. Menelusuri Hambatan dan Tantangan Akses Pemulihan yang Efektif dalam Industri Perkebunan Sawit. Jakarta: ELSAM.

Annisa, Putri. 2015. Penyimpangan Perizinan pada Sektor Perkebunan Sawit. Jakarta: ELSAM.

Anugrah, Dea. 2016. Perkebunan Sawit yang Makin Mengancam Keragaman Hayati. (Online). https://tirto.id/perkebunan-sawit-yang-makin-mengancam-keragaman-hayati-bJ5R. Diakses Maret 2019.

Aziliya, Dara. 2015. Desakan Membangun Skema Pengawasan Perusahaan Sawit. Jakarta: ELSAM.

ELSAM. 2016. Reforma Agraria, Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: ELSAM.

ELSAM. 2017. Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelapa Sawit Berkelanjutan 2018-2023 Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FoKSBI). Jakarta: Catatan atas Draft 6.0 ELSAM.

Firdaus, Ahmad Heri dan Andry Satrio Nugroho. 2017. Dampak Pelarangan Penggunaan Biofuel Berbasis Minyak Kelapa Sawit di Uni Eropa Terhadap Industri di Indonesia. INDEF Monthly Policy Brief Volume I, Issue I Juli 2018 Edisi Riset Industri dan Sektoral.

Firman, Tony. 2016. Cengkraman Kuat Kelapa Sawit di Indonesia. (Online). https://tirto.id/cengkeraman-kuat-kelapa-sawit-indonesia-bDSn. Diakses Maret 2019.

Hasan, Ahmad Awal. 2018. Hutan Masyarakat Adat Semakin Terhimpit Sawit. (Online). https://tirto.id/hutan-masyarakat-adat-makin-terimpit-lahan-sawit-clk2. Diakses Maret 2019.

Hussein, Mohamad Zaki. 2017. Bisnis Biofuel, Perkebunan Sawit dan Perampasan Tanah. Jakarta: Harian IndoPROGRESS.

Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit, 2017.

Kumaludin, Arief. 2018. WALHI Minta Moratorium Lahan Sawit Diperpanjang Hingga 25 Tahun. (Online). https://katadata.co.id/berita/2018/09/21/walhi-minta-moratorium-lahan-sawit-diperpanjang-hingga-25-tahun. Diakses Maret 2019.

Mongabay.id. 2014. Masyarakat Adat Vs. Perusahaan Sawit dominasi konflik SDA di Kalimantan Selatan. (Online). https://www.mongabay.co.id/2014/11/14/masyarakat-adat-vs-perusahaan-sawit-dominasi-konflik-sda-di-kalsel/. Diakses Maret 2019

Nugraha, Indra. 2018. Potret Perburuhan Sawit Sinar Mas. Jakarta: Mongabay.id

Sisca, Shintaloka Pradita. 2016. Nelangsa Buruh di Perkebunan Sawit. (Online). https://tirto.id/nelangsa-buruh-di-kebun-sawit-cJAR. Diakses Maret 2019.

WALHI, 2018. Rencana Kotor Dibalik RUU Perkelapasawitan. Jakarta: Kertas Posisi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia.

WALHI. 2018. Sawit dan Mitos Ekonominya Pernyataan dan Pandangan atas Kampanye Partai Solidaritas Indonesia yang Mendukung Sawit. Jakarta: Kertas Posisi WALHI.

WALHI. 2018. Tanggapan WALHI atas diterbitkannya Inpres No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: Press Release WALHI.

 

Sumber Gambar Utama: disk.mediaindonesia.com

Tinggalkan Balasan