29 Maret, Day of the Landless: Lawan Monopoli dan Perampasan Tanah serta Reforma Agraria Palsu Jokowi-JK

29 Maret

Day of the Landless

“Tingkatkan Perjuangan Kaum Tani atas Tanah dan Kehidupan”

Lawan Monopoli dan Perampasan Tanah

Serta Reforma Agraria Palsu Jokowi-JK

 

Tradisi militan untuk memperingati “Hari Kaum Tidak Bertanah” yang dipimpin oleh Koalisi Petani Asia (Asian Peasant Coalition-APC) bersama dengan jaringannya terus berlanjut hingga 29 Maret tahun ini, dengan tema “Kaum Tani Sedunia, Intensifkan Perjuangan Kita untuk Tanah dan Kehidupan!”.

Tahun ini, Hari Petani Tidak Bertanah akan diselenggarakan bersama oleh APC, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (People Coalition on Food Sovereignty-PCFS), Jaringan Kampanye “No Land No Life” dari PAN Asia Pasifik (PAN AP) dan Pemuda untuk Kedaulatan Pangan (Youth for Food Sovereignty-YFS).

Satu dekade setelah krisis pangan dunia pada tahun 2008, perampasan tanah terus berlangsung mengusir rakyat miskin, terutama petani, nelayan dan suku bangsa minoritas/masyarakat adat. Ini adalah ancaman besar bagi penghidupan rakyat dan ketersediaan pangan seluruh bangsa. Sebagian besar lahan pertanian telah dan sedang dialih-fungsikan (dikonversi) untuk penggunaan agroindustri untuk produksi komoditas pertanian non-pangan yang sebagian besar untuk diekspor.

Kontrol monopoli tuan tanah dan perusahaan-perusahaan besar di atas tanah yang sangat luas semakin diperkuat melalui restrukturisasi neoliberal pertanian. Reforma agraria sejati masih merupakan mimpi bagi jutaan petani yang bekerja keras di bawah tekanan eksploitatif dan kondisi yang rentan, di tengah hilangnya kendali atas produksi pangan.

Secara global, produksi pangan yang bergantung pada kepemilikan tanah dan sumber daya dimanfaatkan dan dikendalikan oleh segelintir individu atau perusahaan untuk superprofit. Bagi masyarakat pedesaan, terlebih perempuan pedesaan, tanah dan sumber daya berarti kehidupan. Tanpa itu, mereka tidak memiliki kehidupan dan mata pencaharian, mereka tidak dapat memberi makan keluarga mereka, mereka tidak memiliki budaya dan identitas.

Ketiadaan tanah bagi petani dan kontrol monopoli atas tanah dan sumber daya semakin memburuk. Melalui perampasan tanah, modal asing membuka peluang yang semakin besar untuk meraup keuntungan dan mengokohkan cengkeramannya pada pertanian di Asia. China yang muncul sebagai pemain yang berpengaruh di pasar global adalah salah satu perkembangan utama yang menyokong tren ini sekarang.

Jalur perdagangan sutra atau Belt and Road Inisiative (BRI) untuk mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatan ekonomi di antara tujuan strategis lainnya, menargetkan tersedianya sejumlah lahan luas dan sumber daya lainnya untuk jaringan infrastruktur transportasi, kawasan industri atau kawasan pertanian, pusat logistik dengan mengorbankan Masyarakat pedesaan.

Kepentingan Cina di Pakistan tergambar dalam Koridor Ekonomi Cina-Pakistan (CPEC) senilai US $ 67 miliar, perjanjian yang ditandatangani antara pemerintah Cina dan Pakistan pada tahun 2015 dan yang merupakan proyek unggulan dari BRI. Di Sri Lanka, pada contoh yang lain, sebuah perusahaan milik negara Cina (BUMN) telah memulai pengembangan lebih lanjut atas pelabuhan Hambantota yang kontroversial termasuk pembangunan bandara, banyak jalan raya, pabrik-pabrik, kilang-kilang minyak, dan zona industri seluas 15.000 hektar. Proyek itu memicu protes keras karena kekhawatiran bahwa Beijing berusaha untuk secara efektif mendirikan koloni Cina (ekonomi dan militer) di Sri Lanka.

Di Kamboja, akuisisi lahan skala besar melalui konsesi lahan ekonomi (ELCs) secara efektif memonopoli kontrol lahan di tangan berbagai perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan Cina. Saat ini, lebih dari dua juta hektar lahan di negara ini berada di bawah ELC, yang sebagian besar telah diubah menjadi perkebunan tebu, karet, pisang, singkong, lada, pulp, kayu, dan buah naga. Sekitar 370.000 hektar di bawah 42 ELC telah diberikan kepada perusahaan Cina, seperti perkebunan tebu seluas 40.000 hektar yang dikelola oleh Heng Fu Sugar Co. di Provinsi Preah Vihear.

Di saat kebangkitan Cina sebagai kekuatan global telah memperburuk kondisi perampasan tanah, di saat yang sama, pemain lama seperti bank internasional, investor asing, dan oligarki lokal serta tuan tanah terus menerus berada di balik penggusuran keluarga masyarakat pedesaan yang tak terhitung jumlahnya.

Di India misalnya, pemerintah Jepang bersama dengan lembaga keuangan internasional (IFI) seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia (WB), terus menjadi sumber utama pendanaan untuk proyek “pembangunan” negara tersebut yang mengancam kehidupan dan penghidupan penduduk pedesaan India. Hal ini termasuk pengembangan Kawasan Industri dan Investasi Nasional (NIMZ), Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) untuk Pengembangan Kawasan Usaha Terpadu (PRIDE), SEZ, dan 2.700 km persegi Koridor Pesisir.

Di Filipina, pemerintah Duterte telah memperkenalkan program pembangunan infrastruktur dengan jargon “Build, Build, Build” atau “Membangun, Membangun, Membangun” senilai 180 miliar dolar AS, sebagian besar didanai oleh pinjaman dari Cina, Jepang, dan pinjaman luar negeri lainnya dan termasuk pembangunan pelabuhan, jalan, kereta api, dan fasilitas irigasi di antara program pembangunan lainnya. Saat ini sudah berlangsung proyek kereta api cepat Php71 miliar MRT-7 yang akan menghubungkan Kota Quezon di wilayah ibukota nasional ke provinsi yang berdekatan Bulacan yang akan membabat lebih dari 300 hektar lahan pertanian dan menggusur sekitar seribu petani dan keluarga mereka. Yang lainnya adalah proyek Clark Green City di Provinsi Tarlac dan Pampanga, yang bertujuan untuk mengembangkan berhektar–hektar lahan pertanian produktif di dalamnya, antara lain, distrik bisnis dan ekowisata pusat yang akan memindahkan sekitar 20.000 suku bangsa minoritas dan keluarga petani di lima kota.

Di Indonesia, pemerintahan Jokowi memiliki 225 mega proyek infrastruktur yang dibiayai oleh Bank Dunia, ADB, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang didukung oleh Cina, serta oleh investor dari Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Jerman. Proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan bendungan, jalan raya dan toll, bandara, pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus, proyek konservasi dan cagar alam adalah skema kepentingan imperialis di Indonesia yang sangat besar dan membutuhkan tanah yang sangat luas yang akan mengusir jutaan rakyat.

Sebagian besar lainnya, lahan-lahan juga terus dikonversi menjadi perkebunan untuk kelapa sawit, karet, bubur kertas, dan menjadi proyek PIS-Agro (terutama oleh Bank Dunia dan berbagai perusahaan multinasional/transnasional) dan Food Estate.

PISAgro bertujuan untuk mempromosikan kemitraan swasta dan Negara (PPP) untuk membawa apa yang disebut Visi Baru Pertanian dari Forum Ekonomi Dunia (WEF). Proyek-proyek pertambangan, proyek-proyek energi, dan pengembangan pariwisata (di mana kepentingan-kepentingan Cina berada) juga menonjol di antara proyek-proyek investasi asing di Indonesia yang berpotensi menguak dampak-dampak negatif pada masyarakat pedesaan.

Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial pemerintah Jokowi, merupakan program populis dan mengilusi rakyat. Namun Implementasi program tersebut telah menyadarkan kaum tani bahwa program ini hanyalah skema dari pemerintahan Jokowi untuk percepatan perampasan tanah, mempertahankan monopoli tanah dan menjerumuskan lebih dalam kaum tani dalam praktek peribaan dan sewa tanah yang semakin dalam serta telah menyebabkan konflik antar rakyat.

Perampasan Tanah dan Militerisasi

Perampasan tanah sering disertai dengan militerisasi dan pelanggaran HAM berat di pedesaan. Dari Januari 2017 hingga Februari 2018, Land and Rights Watch, inisiatif PAN Asia Pasifik (PANAP), telah memantau 155 korban pembunuhan terkait dengan perjuangan atau konflik atas tanah dimana terjadi hampir 12 pembunuhan per bulan dan 13.484 korban pengungsian.

Di Filipina, dimana pulau Mindanao Selatan telah ditempatkan di bawah kebijakan Darurat Militer (Martial Law) sebagai bagian dari program counter insurgency (COIN) yang disebut “Oplan Kapayapaan”. Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) yang digunakan untuk melindungi instalasi dan infrastruktur pengusaha-pengusaha besar dan tuan tanah besar, dan untuk membersihkan area untuk memberi jalan bagi apa yang disebut proyek pembangunan, termasuk perkebunan dan operasi pertambangan.

Di Indonesia, di bawah pemerintahan Jokowi, pelanggaran hak asasi manusia terhadap para petani yang menentang perampasan tanah terus meningkat. Setidaknya 138 peristiwa kekerasan telah dilaporkan, dimana 648 orang ditangkap, 235 orang ditembak dan 10 orang tewas karena perampasan tanah. Bahkan termasuk berbagai bentuk kekerasan dan pengusiran paksa lainnya terus berlansung masif di Pedesaan.

Kasus terbaru terjadi terhadap Ayub, salah satu petani Desa Olak-olak Kecamatan Kubu Kabupaten Kuburaya Kalimantan Barat saat ini ditahan kepolisian karena dikriminalisasi oleh tuan tanah, penembakan 3 orang warga di Jeneponto, penangkapan 3 orang petani Sopeng atau penggusuran yang terjadi di Luwuk Sulawesi tengah, serta penggusuran dan pengusiran paksa lainnya terhadap suku bangsa minoritas, masyarakat pesisir bahkan masyarakat miskin perkotaan yang mana tempat mereka akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur komersial milik tuan tanah dan penguaha-pengusaha besar.

 

Hari KaumTidak Bertanah 2018

29 Maret adalah peristiwa bersejarah dalam perjuangan rakyat untuk mendapatkan tanah dan sumber daya di Asia. Pada tanggal yang sama 14 tahun yang lalu, Koalisi Petani Asia (APC) didirikan, dan sejak saat itu secara konsisten ambil bagian dalam menentang penindasan dan penghisapan oleh imperialis dan tuan tanah. Tahun lalu, APC dengan PAN Asia Pasific (PANAP) dalam kampanye “No Land No Life”, mengkoordinasikan aksi yang diselenggarakan oleh anggota APC dan mitra PANAP yang terdiri dari 33 organisasi di 8 negara seperti di Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Sri Lanka dan Filipina secara paralel mulai tanggal 25 sampai 29 Maret menentang perampsan dan monopoli tanah dan mengusung perjuangan untuk Refrorma Agraria Sejati dan kedaulatan pangan.

Hari Kaum Tidak Bertanah tahun ini akan diselenggarakan bersama oleh Koalisi Petani Asia (APC), PAN Asia Pasifik (PANAP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (PCFS), dan Pemuda untuk Kedaulatan Pangan (YFS). Kini, anggota dan jaringan APC akan mengorganisasikan aksi terkoordinasi seperti rapat umum, pameran, seminar, dialog, pertemuan publik, diskusi-diskusi kelompok, dan pendudukan tanah untuk memperingati Hari Kaum Tidak Bertanah.

Setekah peringatan Hari Kaum Tidak Bertanah, YFS akan menyelenggarakan kongres pertamanya pada 31 Maret 2018. YFS dideklarasikan di Philipina pada 2016, organisasi jaringan pemuda baru yang mempromosikan peran kaum muda di bidang pertanian.

Peringatan Hari Kaum Tidak Bertanah di Indonesia.

Di Indonesia Peringatan Hari kaum tidak bertanah diperingati oleh Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan jaringanya di Indonesia. Situasi saat ini dimana semakin meningkatnya penggusuran, perampasan tanah telah menyebabkan jumlah yang besar rakyat Indonesia yang tidak bertanah.

Monopoli dan perampasan tanah terus masif di bawah pemerintahan Jokowi-JK guna kepentingan pembangunan infrastruktur, perluasan perkebunan skala besar dan pertambangan besar, yang keseluruhan proyek ini dilakukan untuk memfasilitasi kepentingan imperialisme, tuan tanah besar dan borjuasi besar komperador.

Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial adalah program populis dan mengilusi rakyat. Presiden Jokowi sangat cerdik melalui kekuasaannya berusaha keras untuk meraih hati rakyat agar tetap dipilih dan memanangkan konstelasi Pemilihan Presiden tahun 2019. Namun kaum tani dan rakyat Indonesia semakin menyadari bahwa program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial adalah program untuk melayani kepentingan investor asing di Indonesia. Program Reforma Agraria pemerintah Jokowi hanyalah program sertifikasi lahan untuk kepentingan anggunan bank sekaligus usaha untuk menyakinkan para investor asing atas keterjaminan lahan dan keamanan.

Program Reforma Agraria pemerintah Jokowi, bukan sama sekali ditujukan untuk mengurangi monopoli tanah di tangan segelintir orang. Program ini dijalankan untuk memperkokoh monopoli tanah dan sekaligus sebagai jalan mempercepat perampasan tanah milik kaum tani, nelayan dan suku bangsa minoritas.

Reforma agraria mustahil dapat berjalan bersama dengan terus dipertahankan sistem monopoli tanah, pemberian ijin-ijin Hak Guna Usaha dan konsesi lainnya di satu sisi, serta kriminalisasi, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap para petani tak bertanah untuk memperjuangkan hak atas tanah.

 

 

Sekretariat APC:
Kantor Filipina:
217-B Alley 1, Road 7, Project 6, Quezon City, Philippines 1100
Tele / Fax: + 632-4565727
Kantor Indonesia: Jl. Ketang-Ketang No.9 Rt.003 / 007 Kelurahan Jati, KecamatanPulogadung-Jakarta Timur, Indonesia 13220 I Telp / Fax: (Jakarta)

Tinggalkan Balasan