Kepada kawan-kawan Jurnalis dan kawan-kawan yang tak bisa kami sebut namanya satu-persatu.
Setelah PT. Angkasa Pura I dan kontraktornya PT. Pembangunan Perumahan, dibantu relawan Pemerintah Daerah Kulon Progo menghancurkan rumah-rumah kami, tepatnya pada 28-29 Juli 2018, sebagian dari kami tinggal di Masjid Al-Hidayah. Beberapa warga lainnya membangun tenda diatas reruntuhan rumah, beberapa lagi tinggal di pekarangan rumah warga yang ada disisi luar pagar pembatas proyek NYIA (New Yogyakarta International Airport). Kami melanjutkan hidup, membuat dapur umum, sembari mengelola lahan sewaan yang terletak diluar pagar.
Namun kondisi darurat kami tetap mendapat gangguan. Berbagai pihak berupaya masuk untuk memecah belah warga, terutama dengan menawarkan proyek sosial yang didanai Angkasa Pura I. Pihak-pihak ini mengiming-imingi warga dengan janji hunian sementara sambil menunggu persetujuan kami atas nilai ganti rugi dari mekanisme konsinyasi. Beberapa orang yang kami kenal dalam proses membujuk warga tersebut pernah menjadi kawan yang mengaku menolak proyek NYIA. Selain itu, secara sembunyi-sembunyi masuk pula tawaran mediasi untuk membujuk warga menjual tanahnya, melalui perangkat desa dan satgas Angkasa Pura I. Awalnya mediasi hanya menawarkan ‘solusi’ karena kebutuhan pembangunan yang akan menggusur makam. Alangkah liciknya mereka ketika pembicaraan yang buntu tersebut rupanya mengarah pada bahasan untuk menentukan nilai ganti rugi secara keseluruhan. Hasil mediasi yang buntu tersebut tidak menyurutkan ambisi Angkasa Pura I. Upaya terakhir yang kami ketahui adalah mereka mengancam warga tidak akan mendapatkan apapun, meski mereka menyaksikan langsung bagaimana terhimpitnya keadaan warga setelah tidak punya rumah, tidak ada penghasilan, dan makan dari bantuan kemanusiaan.
Himpitan hidup membuat warga makin putus asa membiayai sekolah anak dan tambahan biaya pengobatan karena kesehatan yang menurun akibat stres dan paparan cuaca buruk. Kesulitan ini memaksa sebagian warga untuk pasrah pada tawaran yang diajukan oleh Angkasa Pura I melalui satgas dan perangkat desa. Saat ini warga yang konsisten menolak bandara tanpa syarat berjumlah sembilan kepala keluarga (28 jiwa), dengan tetap membawa nama organisasi PWPP-KP.
Sikap kami bukan tanpa alasan. Sejak awal rencana pembangunan NYIA, kami tidak pernah bersedia untuk menjual tanah pertanian dan rumah kami. Pertanian adalah jalan hidup kami yang nilai fungsinya tak diragukan lagi. Lagipula, sejarah kami hidup dan bertani adalah warisan budaya dan menjadi jaminan masa depan anak-cucu kami. Kami tidak mungkin menyerahkannya kepada siapapun, termasuk pada Angkasa Pura I. Saat ini kami masih menyimpan bukti sah sertifikat hak milik (SHM). Berbagai cara dilakukan oleh Angkasa Pura I untuk menggugurkan status kepemilikan ini, termasuk dengan konsinyasi. Kami tahu ambisi tersebut dan alasan bertahan jelas bukan karena nilai ganti yang terlalu rendah. Kami juga tidak bertahan untuk menaikkan nilai ganti rugi.
Berdasarkan hukum yang berlaku, proses konsinyasi hanya bisa dilakukan ketika ada kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu warga dan Angkasa Pura I. Sedangkan kami tidak pernah melakukan musyawarah ataupun menyepakati proses konsinyasi tersebut. Kami tak akan mundur dan menyerahkan SHM. Saat ini kami tinggal dirumah-rumah kontrakan sambil memulihkan kembali ekonomi dengan cara mengolah lahan sewaan, beternak, dan berdagang.
Penolakan kami diperkuat oleh temuan para ahli bahwa lokasi pembangunan proyek bandara NYIA berada diwilayah rawan bencana gempa dan tsunami. Bahaya gempa dan tsunami ini pun telah dituturkan oleh leluhur kami secara turun temurun. Ini bertolak belakang dengan cerita leluhur mengenai keberadaan sarang Kinjeng Wesidi Kulon Progo yang disampaikan oleh Jokowi dalam pidatonya ketika peletakan batu pertama pada tanggal 27 Januari 2017.
Tak kalah pentingnya, selama proses pembangunan bandara NYIA, kami mengalami banyak kekerasan untuk membuat kami menyerah. Kekerasan fisik maupun psikis seperti pemukulan dan intimidasi warga oleh anggota polisi, tentara, dan aparatur negara telah menjadi upaya yang wajar bagi mereka. Kami sudah melaporkan berbagai tindak kekerasan dan intimidasi ke Polsek dan Polres Kulon Progo, juga Polda DIY, tetapi tidak ada tindak lanjut. Proses pengaduan hukum mandeg ditingkat Kepolisian, yang menunjukkan posisi mereka sebagai pengawal pembangunan bandara NYIA. Himbauan Ombudsman Republik Indonesia Yogyakarta juga tidak memperoleh tanggapan dari pihak-pihak pembangunan. Tak sedikit masyarakat yang bersimpati dan menghujat perlakuan Angkasa Pura I, PT. Pembangunan Perumahan dan aparat Kepolisian, karena menyaksikan proses pembangunan infrastruktur negara berlangsung tidak manusiawi, karenanya melanggar HAM. Perlakuan tersebut bukan hanya kepada kami yang masih hidup, tetapi kepada kuburan orang tua kami yang digusur dan dihilangkan tanpa informasi yang pasti mengenai letaknya sampai hari ini.
Sikap kami tegas. Kami tak akan menerima pembangunan bandara NYIA. Proyek tersebut tidak tepat tujuan maupun prosesnya. Seandainya memang benar untuk kepentingan umum seperti yang selama ini dikampanyekan oleh pemerintah, semestinya tidak ada pihak-pihak yang bernasib seperti kami, tidak membutuhkan bandara namun dipaksa menerima dan disingkirkan demi pembangunan bandara sebagai Proyek Strategis Nasional. Apakah bertani, berdagang, beternak, yang terbukti bermanfaat menghidupi banyak orang tidak termasuk dalam “kepentingan umum”? Apakah membahayakan warga negara dengan potensi bencana menjadikan suatu proyek tetap penting berlangsung? Apakah menyakiti dan merampas harga diri warga negara akan selalu menjadi nafas pembangunan infrastruktur di Indonesia?
______________________________________________________________________________
*Sumber gambar utama: antiaero.org