Referendum adalah Solusi Demokratis bagi West Papua!

Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) Se-Jawa dan Bali mengeluarkan Pernyataan Sikap:

“Menolak Kunjungan Pemerintah Indonesia dan Segera Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua”

 

Persoalan pembungkaman dan diskriminasi rasial terhadap Pelajar dan Mahasiswa/I Papua di Kota Malang dan Surabaya berupa sikap represif yang dilakukan instansi Aparat TNI/POLRI & ORMAS REAKSIONER. Dalam aksi demonstrasi damai di depan Bank BCA, Jl. Kahuripan pada Kamis, 15 Agustus 2019 di Kota Malang dan pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019 hingga 17 Agustus 2019 yang berlangsung selama kurang lebih 24 jam. Dengan adanya peristiwa di atas, maka Mahasiswa Papua di Malang yang tergabung dalam masa aksi demostrasi damai mengalami korban luka ringan sebanyak 19 orang dan 4 orang luka berat hingga harus dirawat di rumah sakit. Di waktu yang bersamaan juga wali kota Malang angkat suara mengeluarkan wacana untuk pemulangan Mahasiswa Papua di Malang khusus yang tergabung dalam aksi demonstrasi damai sesuai yang lansir oleh media lokal Malang Times. Sementara pada hari Jumat, 16 Agustus 2019 pukul 15.30 WIB Ormas reaksioner, TNI/Porli dan Pol. PP mengepung Asrama Mahasiswa Papua (Kamasan III) Jl. Kalasan No.10 Surabaya yang berujung pada penangkapan 42 Pelajar dan Mahasiswa Papua secara brutal oleh aparat gabungan dan Ormas reaksioner pada Sabtu, 17 Agustus 2019. Akibatnya, 4 orang luka-luka dan 42 Orang ditahan secara paksa di POLRESTABES -Surabaya.

Perlakuan di atas bukan hal yang baru dialami, tetapi sudah terjadi sejak tahun 2017 dan ekskalasi represifnya semakin meningkat dalam tahun 2018 dan 2019. Ruang demokrasi diberanguskan, gerakan Mahasiswa Papua dibenturkan dengan Ormas reaksioner dengan tujuan untuk menciptakan konflik horizontal agar Papuaphobia terbentuk dan diskriminasi rasial bisa terus menjadi senjata ampuh untuk memukul mundur Mahasiswa Papua. Sayangnya, semua ini terjadi di dalam wilayah administrasi pemerintah Jawa Timur Indonesia, tetapi selalu dibungkam untuk mengecam tindakan-tindakan kekerasan, pembungkaman ruang demokrasi berbasis diskriminasi rasial kolonialistik terhadap Mahasiswa Papua, sehingga secara hierarki Negara Indonesia dalam hal ini Pemerintah Jawa Timur, Indonesia telah merestui dan terlibat dalam kekerasan struktural dengan menggerakkan aparat keamanan (POL PP, TNI/Porli dan DENSUS 88) serta Ormas binaan reaksioner untuk melakukan pembungkaman ruang demokrasi Mahasiswa Papua dan pengepungan Asrama Mahasiswa Papua. Selain itu, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Papua Barat juga turut mengikuti pembungkaman dengan sikapnya yang apatis terhadap persoalan yang dihadapi Mahasiswa Papua di Jawa Timur dan baru menanggapi setelah rakyat Papua dan masyarakat Pro-demokrasi melakukan protes besar-besaran di Papua dan Indonesia. Respon dari pemerintah bukanlah lahir dari kesadaran kemanusiaan, namun lebih karena desakkan people power yang muncul pasca 2 kasus di atas, maka secara substansi patut dianggap hanya karena keterpaksaan dan bukan untuk mengakhiri penindasan terhadap mahasiswa dan rakyat Papua saat ini.

Menyikapi rasialisme Kolonial Indonesia tersebut, rakyat Papua secara spontan bergerak, mengorganisir dirinya dan menyikapi dalam berbagai macam bentuk aksi dan menetapkan “Monyet” sebagai lambang perlawanan terhadap rasialisme Kolonial Indonesia, terhadap rakyat Papua. Senin 19 Agustus 2019, rakyat Papua diberbagai kota, Jayapura, Manokwari, Sorong, Fak-fak, dan Kaimana melakukan demonstrasi “Mengecam Rasisme Negara Kolonial Indonesia dan Menuntut Diberikannya Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua”. Aksi-aksi spontanitas dengan tuntutan yang sama, terus berlanjut. Selasa, 20 Agustus 2019, terjadi demonstrasi di Manokwari, Fak-Fak, Sorong Selatan, Nabire, Biak, Raja Ampat, Yapen Waropen, Kaimana, Sorong, dan Merauke. Rabu, 21 Agustus 19, demonstrasi dilakukan di Fak-Fak, Timika, Bandung dan Yogyakarta. Kamis, 22 Agustus 2019, demonstrasi terjadi di Yahukimo, Nabire, Jakarta, Bandung, Salatiga dan Bali. Rezim Kolonial Jokowi-JK melalui Menkopolhukam, pada Senin 19 Agustus 2019 menerbitkan Press-Release tentang Ancaman Keamanan Nasional, pokok arahan, tetap menjaga aneksasi atas West Papua dengan politik birokrasi-militerisme dan Institusi Militer Kolonial (Polri) mengeluarkan surat instruksi (bersifat rahasia), intinya untuk pengarahan Aparat Militer 3200 Personil Brimob ke tanah Papua dari berbagai Pos Militer yang ada di luar tanah Papua. Selain itu, Rabu, 21 Agustus 2019 KOMINFO memutuskan jaringan Internet (data seluler) di wilayah Papua dengan dalih mempercepat pemulihan situasi keamanan di Papua, namun yang terjadi justru semakin mengisolasi Papua dengan dunia Pers dan masyarakat internasional agar aparat keamanan Kolonial Indonesia secara leluas melakukan tindak kekerasan kepada rakyat Papua yang melakukan demonstrasi damai.

Aksi-aksi rakyat Papua untuk membela harkat dan martabatnya yang direndahkan melalui rasisme kolonialistik tersebut oleh Kolonial melalui TNI/Polri disikapi dengan represif, provokatif dan brutal. Salah satu masyarakat Papua atas nama Manarson Ndrotndrot (25) terluka parah pada bagian perut hingga usus terburai dan bagian wajah hancur namun dapat tertolong, hingga saat ini masih dalam perawatan dengan kondisi kritis oleh serangan barisan Merah Putih (Milisi pro-Kolonial Indonesia) yang beranggota mayoritas TNI/Polri berpakaian preman di Fak- fak, pada Rabu, 21 Agustus 2019. Gas air mata ditembakkan ke arah massa aksi oleh Polisi Indonesia untuk memprovokasi masyarakat, namun situasi dapat diatasi dan melanjutkan aksi sampai selesai, Nabire pada hari Kamis, 22 Agustus 2019. Dua (2) orang mengalami luka tembak akibat timah panas Militer Kolonial dan empat puluh lima (45) orang ditahan di Polresta Timika, Rabu, 21 Agustus 2019.

Rasisme penyebutan “Monyet Papua” itu datang dari kelompok reaksioner berwatak kolonial. Kolonialisme di Papua sudah berlangsung sejak 1962, pasca negara Imperialis, Amerika Serikat, terlibat dalam perjanjian New York (New York Agreement) yang melahirkan penjajahan baru di bumi West Papua setelah Belanda.

Rasisme, sikap dan tindakan merendahkan martabat harga diri rakyat Papua telah lama dilakukan lewat operasi-operasi militer mengakibatkan lebih dari 500 ribu jiwa meninggal dalam pembantaian. Mereka menguasai sumber produksi hingga di pelosok, mengambil semua kekayaan alam Papua untuk tuannya Imperialis Amerika. Mereka mengisolir rakyat Papua seakan bangsa yang tak bisa berbuat apa-apa selain bergantung kepada kolonial Indonesia.

Dengan melihat historis dan realitas penindasan, diskriminasi rasialis dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap Mahasiswa dan Rakyat Papua, kami Mahasiswa Papua Se-Jawa Timur dengan tegas menyatakan sikap, sebagai berikut:

  1. Menolak kunjungan Pemerintah Jawa Timur beserta aparat militer (TNI, Porli dan Pol.PP) yang merupakan aktor di balik pembungkaman ruang demokrasi dan pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.
  2. Pemerintah Indonesia segera hentikan agenda-agenda pencitraan di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan menjebak Pelajar dan Mahasiswa Papua dalam menciptakan berita-berita hoax.
  3. Menolak sikap Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS) yang selama ini melegitimasi diri sebagai representasi Pelajar dan Mahasiswa Papua di Suraba ya dan Jawa Timur.
  4. Menolak semua bantuan yang berbau politis yang diberikan oleh siapa pun dan dari mana pun.
  5. Menolak kunjungan Gubernur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
  6. Hentikan aktivitas pemerintahan Kolonial Indonesia di atas tanah Papua.
  7. Mengecam keras tindakkan represif dan pengepungan yang dilakukan pihak kepolisian, TNI, dan Ormas reaksioner binaan terhadap Mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya.
  8. Hentikan rasisme, manusia Papua bukan Monyet.
  9. Mahasiswa Papua akan pulang dari tanah Kolonial Indonesia jika dan hanya, jika Papua diberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri.
  10. Untuk mengakhiri rasisme yang adalah anak kandung dari imperialisme yang mengkoloni West Papua, maka segera selenggarakan REFERENDUM di tanah Papua sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.
  11. Tarik Militer Organik dan Non-Organik dari seluruh Tanah Papua.
  12. Buka Akses Jurnalis lokal, Nasional, dan Internasional di seluruh Tanah Papua.
  13. Membuka pemblokiran dan pembatasan akses internet di seluruh Tanah Papua
  14. Tutup semua perusahaan Nasional dan Internasional milik Kapitalis di seluruh Tanah Papua.

Selain itu kami juga menyerukan:

  1. Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera jamin keselamatan, kenyamanan dan keamanan bagi pelajar dan mahasiswa Papua di seluruh wilayah Indonesia.
  2. Mendesak lembaga-lembaga Gereja nasional dan internasional untuk memantau situasi di tanah Papua.
  3. Organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia di seluruh dunia untuk memantau situasi di tanah Papua.
  4. Awak media nasional dan internasional untuk mendesak Indonesia, segera membuka akses media dan memantau situasi di tanah Papua.
  5. Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), segera meninjau pelanggaran HAM dan memberikan perlindungan kepada seluruh rakyat Papua di West Papua.

Demikian pernyataan sikap dan seruan ini. Atas perhatian dan dukungan seluruh pihak yang peduli terhadap Hak Asasi Manusia dan demokrasi bagi Rakyat dan Mahasiswa Papua Barat, kami ucapkan terimakasih.

Surabaya, 24 Agustus 2019.



Sumber gambar: www.abc.net.au

Tinggalkan Balasan