Research Release: Kota Batu dalam Cengkeraman Oligarki

Pendahuluan

Pada tanggal 17 September 2017, KPK menggelar konferensi pers di Jakarta tentang penangkapan OTT Eddy Rumpoko bersama Edi Setiawan dan tiga yang lainnya di Kota Batu. Merebaknya perilaku koruptif di antara pejabat daerah akan sangat berpengaruh pada integritas sebuah lembaga negara. Negara yang sejatinya memberikan kesejahteraan, pada akhirnya harus tersandera perilaku koruptif oleh aparat penyelenggara negara. Tentu kasus yang dialami seperti mantan Walikota Batu bukan hal asing di republik ini. Kejadian serupa telah menyeret banyak kepala daerah dari waktu ke waktu, bahkan trend-nya pun terus meningkat.

Di balik maraknya fenomena korupsi di tubuh birokrasi pemerintahan belakangan ini, ternyata ada hal yang tidak terbaca dengan baik oleh publik, yakni mengguritanya struktur politik oligarki. Kuatnya cengkeraman oligarki terhadap institusi kekuasaan berdampak pada lumpuhnya pemenuhan visi kesejahteraan rakyat. Alih-alih menuntut negara bertanggungjawab atas kebutuhan masyarakat, justru yang terjadi adalah persekongkolan bisnis-politik yang melibatkan penyelenggara negara dengan para penguasa kapital. Alhasil, cita-cita sosial yang termuat dalam semangat konstitusi ikut terdistorsi. Kondisi anomali ini disebabkan kuatnya dominasi oligarki dalam membajak agenda demokratisasi dan desentralisasi.

Merujuk pada definisi Vedi R Hadiz dan Richard Robison, oligarki adalah suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadap keduanya.[1] Oligarki adalah sebuah sistem pemerintahan tempat hampir semua kekuasaan politik dipegang segelintir orang kaya yang menyusun dan membentuk kebijakan publik terutama demi keuntungan diri sendiri secara finansial melalui subsidi langsung untuk lahan pertanian atau perusahaan mereka, kontrak-kontrak pemerintah yang menguntungkan, dan langkah-langkah proteksionis yang bertujuan merugikan para pesaing ekonomi mereka, sembari sedikit memperlihatkan atau sama sekali tidak memedulikan kepentingan rakyat banyak.[2]

Jeffrey Winters membagi definisi antara oligark dan oligarki secara berbeda. Oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya.[3] Oligark (oligarch) berbeda dari semua minoritas lainnya karena dasar kekuasaan mereka–kekayaan material–sukar sekali dipecah dan diseimbangkan.[4] Oligark karenanya didefinisikan menurut tipe dan ukuran sumber daya kekuasaan (material) yang dikendalikannya.[5] Sementara oligarchy merujuk pada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material.[6]

Seperti diketahui, Indonesia pasca reformasi menampilkan konfigurasi politik yang nyaris tak memberi harapan apa-apa bagi kemajuan sosial-ekonomi rakyat. Kesenjangan ekonomi kian melebar dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan terkonsentrasinya kekayaan di tangan segelintir elite politik dan ekonomi. Kondisi yang timpang ini dapat terlihat dengan jelas di tiap-tiap daerah, dimana tampil segelintir pemodal yang kekayaannya hampir tak bisa dihitung jumlahnya. Munculnya para konglomerat kaya di berbagai daerah ini memang tidak bisa dibaca terpisah dari serangkaian agenda desentralisasi yang memberi peluang cukup besar bagi para pengusaha baik nasional maupun lokal. Fakta tersebut kini dapat disaksikan secara langsung di Kota Batu.

Desentralisasi, selain memberi peluang bagi warga lokal untuk terlibat langsung dalam agenda demokrasi (lokal), juga di sisi lain mempermudah para pejabat daerah melakukan praktik kalap rente (rent-seeking). Banyaknya pejabat daerah yang tersandung korupsi adalah buah dari pemendekan rentang kendali kekuasaan dari yang semula sentralistik. Demikian, desentralisasi kekuasaan di satu sisi mampu mendorong besarnya partisipasi warga lokal memengaruhi berbagai produk kebijakan daerah, namun di sisi tertentu, ia justru melapangkan peluang bagi para pebisnis dan raja-raja lokal mengeruk sumber daya yang ada lewat persekutuan bisnis-politik.

Aliansi bisnis-politik yang melibatkan para penguasa lokal dan pebisnis ini sangat nampak di Kota Batu. Tidak mudah untuk mengidentifikasi siapa saja aktor-aktor yang tergolong dalam relasi kepentingan politico-business di kota Batu. Hampir seluruh masyarakat Batu kenal siapa itu ER (penguasa kota Batu) bersama bandar politiknya, PS (penguasa modal). Belakangan muncul sosok DR yang masih memiliki relasi kepentingan –serta keluarga- dengan ER dan juga didukung kuat oleh PS. Aktor-aktor yang telah disebutkan memiliki hubungan spesial dalam membangun kerajaan bisnis di kota Batu.

Pola relasi tersebut dapat ditelusuri lewat hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan satu sama lain melalui penggunaan kapital dan sumber daya institusi publik (birokrasi pemerintahan daerah). Relasi kepentingan tersebut lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema berikut:

Skema Oligarki

 

Profil Oligark di Kota Batu

Untuk mengidentifikasi setiap aktor tergolong oligark atau bukan, ia harus dimulai dari penelusuran terhadap sumber daya material (kekayaan) yang dimiliki. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat membedakan antara oligark dengan elite biasa. Berdasarkan hasil penelitian kami selama hampir setahun (Februari-Desember 2017), terdapat beberapa oligark di Kota Batu sebagaimana tersajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Sumber Daya Material (ER)

kEKAYAAN er

Tabel 2. Sumber Daya Material (DR)kEKAYAAN DR

Tabel 3. Sumber Daya Material (PS)

SM PSSumber: Data diolah oleh Intrans Institute

Paparan jumlah kekayaan yang dimiliki oleh para oligark di atas akan memberikan sebuah kerangka analisis terkait cara kerja oligark dalam mempertahankan aset bisnis dan kekayaan lewat pemanfaatan institusi publik di Kota Batu. Upaya tersebut dapat diamati melalui sokongan dana PS terhadap ER dalam memenangkan kontestasi Pilkada selama dua periode berturut-turut (2007-2012/2012-2017). Pola yang sama terus dilakukan tanpa mengubah konfigurasi kepentingannya. Hal itu dapat dilihat dari hasil kemenangan yang diraih oleh DR dalam perhelatan Pilkada 2017 kemarin, dimana ada indikasi kuat dukungan dana dari PS untuk biaya kampanye DR.Sebagaimana pribahasa yang menyatakan “ada ubi ada talas”,ada budi, maka ada balasnya. Hal serupa juga terjadi di antara kelompok oligark yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama. Sebagai balasannya, pemenang kontestasi harus memenuhi berbagai deal-deal politik sebagai imbalan dalam perjanjian awal. Pemberian kemudahan izin dalam membangun bisnis, pemenangan tender proyek, peringanan pajak, dan sederet intervensi kebijakan lainnya yang memudahkan si pialang politik tidak bisa dihindarkan. Tujuannya jelas, yakni pertahanan dan pelipatan kekayaan di antara oligark. Grafik berikut ini barangkali memberi gambaran yang jelas mengenai hal ini. Bahwa peningkatan kekayaan ER dan DR meningkat signifikan dalam waktu singkat.

Kekayaan ERSumber: Diolah Intrans Institute dari LHKPN

Kekayaan DRSumber: Diolah Intrans Institute dari LHKPN

Tercatat kekayaan ER semenjak menjabat kepala daerah pada tahun 2007-2012 mengalami peningkatan kekayaan sebesar 35%, dimana kekayaannya meningkat dari Rp 6.980.426.022 menjadi 9.416.895.815. Kekayaan tersebut terus meningkat secara drastis, yakni 99,6% pada tahun 2012 hingga 2017. Hanya dalam waktu 5 tahun menjabat sebagai kepala daerah, kekayaannya meroket dari 9.416.895.815 berubah menjadi 16.438.612.628 plus USD: 181.437. Sehingga, total keseluruhan menjadi Rp 18.797.293.628. Jelas sebuah peningkatan yang cukup drastis.

Hal yang sama dialami DR, yang kini baru dilantik sebagai walikota Batu periode 2017-2022. Terhitung kekayaan DR melonjak dari 17.438.676.628 plus USD: 181.437 pada tahun 2015 menjadi 21.174.893.666 plus USD: 181.437. Jika dipersentasikan, kekayaan DR selama 2015-2016, hanya berselang setahun, meningkat 21,4%. Yang membuat aneh bukan hanya peningkatan itu saja, melainkan kenapa ada kenaikan yang cukup drastis. Padahal, DR sebelum mencalonkan dirinya sebagai kandidat pilkada Batu 2017 pernah ikut bertarung di Pilbup kabupaten Malang 2016, meskipun kalah. Logikanya, kekayaan DR mestinya menurun mengingat besarnya political-cost yang dikeluarkan selama ikut Pilkada Kabupaten Malang. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.

Perlu dicatat bahwa jumlah kekayaan oligark yang disebutkan di atas adalah yang terlaporkan secara resmi. Besar kemungkinan harta kekayaan yang tidak terlaporkan bisa lebih dari itu. Kami dari pihak Intrans Institute pun masih akan tetap melakukan penelusuran lebih lanjut guna melacak total kekayaan yang dimiliki baik yang sudah terhitung maupun yang belum terlacak saat ini.

Jika rata-rata kekayaan para oligark di atas dijumlahkan dan dibuat perbandingan pendapatan dan kekayaan mayoritas masyarakat Batu jelas membuat miris. Bagaimana tidak, Kota Batu yang menurut catatan BPS Jawa Timur memiliki tingkat ketimpangan yang lumayan tinggi di antara beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur justru harus menanggung penderitaan akibat terkonsentrasinya sumber daya material di antara segelintir oligark. Adapun data terkait koefisien gini di kota Batu dapat dilihat dalam grafik di bawah.

Rasio GiniSumber: Data diolah dari BPS Jatim

Dari data koefisien gini Kota Batu di atas terbaca bahwa sejak tahun 2008, tren ketimpangan pendapatan tidak mengalami penurunan, malah meningkat. Hanya mengalami sedikit stabilitas pada tahun 2010 hingga 2013, lalu menurun pada tahun 2014 dan akhirnya meningkat tajam di akhir perhitungan pada tahun 2015. Meningkatnya rasio gini Kota Batu pada 2015 ini menunjukkan kondisi kesenjangan sosial di kota Batu beberapa tahun terakhir semakin memburuk. Hal ini tentu sangat jauh dari apa yang dikhotbahkan oleh para pemuja kemolekan pembangunan wisata di Kota Batu di bawah kepemimpinan ER. Investasi dan pembangunan tidak membuat masyarakat Batu semakin sejahtera, melainkan semakin terpuruk karena kehilangan tanah (alat produksi pertanian), akibat konversi lahan besar-besaran untuk pembangunan area bisnis pariwisata dan perhotelan. Modus tersebut belakangan kembali tampil lewat isu perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu.

Rincian data berikut ini akan menunjukkan betapa kesenjangan pendapatan di Kota Batu tidak bisa dipahami secara terpisah dari struktur kekuasaan oligarki di kota Batu. Berikut adalah analisis perbandingan harta kekayaan oligark dengan mayoritas warga kota Batu kelas menengah ke bawah. Terlihat bahwa sangat tidak masuk akal tingkat ketidakmerataan sumber daya material di antara para oligark dengan warga Batu.

Tabel Perbandingan Sumber Daya Material Oligark dengan Mayoritas Warga Batu

Perbandingan kekayaan oigarkSumber: Data diolah Intrans Institute

 

Pilkada Batu dan Politik Pertahanan Kekuasaan Oligarki

Melihat betapa rapi dan sistematisnya strategi oligark di kota Batu membuat kami yakin bahwa politik elektoral yang berlangsung di Kota Batu tak lebih sekadar ajang kontestasi kepentingan oligark. Perhelatan pesta demokrasi yang berlangsung di kota Batu 15 Februari lalu sama sekali tidak menampilkan performa demokrasi dalam tafsir yang selama ini dipahami. Ia bukan lagi momentum dimana masyarakat secara selektif dan rasional menentukan calon pemimpin yang akan datang. Sebelumnya, tim riset dari Divisi Riset Sosial Politik dan Ekonomi Intrans Institute telah melakukan riset terkait partisipasi politik masyarakat kota Batu. Hasilnya, 71% dari 300 informan yang diwawancarai tergolong pemilih irasional. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkatan kesadaran politik masyarakat Batu termasuk dalam kategori rendah. Kondisi demikian tentu sangat berpotensi untuk dimanipulasi oleh kekuatan oligark lewat politik uang dan mobilisasi dukungan.

Pilkada kota Batu 2017 yang semula diharapkan mampu mengubah desain politik oligarki selama ini ternyata tak sanggup meruntuhkan tentakel oligarki. Bahkan rivalitas paslon yang ikut kontestasi saat itu memperlihatkan suatu konfigurasi kepentingan yang sulit untuk bisa dikatakan terhindar dari kooptasi oligark (ER, PS). Intrans Institute mencoba memetakan relasi kepentingan di antara ketiga paslon rivalitas kekuatan oligark, namun ternyata ketiganya berada di bawah kooptasi kepentingan oligark. Berikut adalah hasil pemetaan relasi kepentingan ketiga paslon terhadap oligark di kota Batu.

kepentingan

Penutup

Berangkat dari analisis terhadap beberapa temuan yang ada, kami berkesimpulan bahwa desain politik di Kota Batu pasca Pilkada tahun 2007 hingga 2017 meneguhkan posisi oligarki di Kota Batu. Terbentuknya oligarki di Kota Batu dapat dilacak dari naiknya ER di tampuk kekuasaan yang pada akhirnya membuka sejarah baru Kota Batu dalam melapangkan jalan bagi mengakarnya kekuatan oligarki. Relasi persekutuan bisnis politik mulai terbentuk di antara ER dan konglomerat PS. Aliansi politico-business ini tercipta sebagai hasil dari saling menyokong kepentingan satu sama lain. PS, lewat kepemilikan basis sumber daya materialnya mampu memberi dukungan finansial bagi kepentingan politik (kekuasaan) ER. Sebagai imbalannya, ER harus membalas itu dengan cara melonggarkan beberapa izin pendirian bisnis PS, pemberian fasilitas dan kemudahan bagi kelancaran bisnis PS di kota Batu serta peringanan atas pajak wisata yang dimiliki PS.

Untuk menjaga relasi kepentingan bisnis-politik ini tetap terjaga, ER yang sudah habis masa jabatan untuk memimpin kota Batu, mengupayakan agar estafet kepemimpinan itu harus diteruskan oleh DR, yang notabene memiliki garis kepentingan yang sama. Strategi tersebut dibuat dalam rangka terus mengawetkan kerajaan bisnis dan kepentingan politik di antara ER, DR dan PS beserta para barisan pendukungnya. Dengan demikian, kemenangan DR dalam pilkada kota Batu 2017 harus dibaca sebagai suatu rangkaian dari agenda kepentingan oligark kota Batu dalam merawat kepentingan dominasi dan pertahanan sekaligus pelipatgandaan kekayaan mereka. Kenyataan ini sekaligus memberi sebuah gambaran tentang nasib buruk demokrasi Kota Batu di masa datang.

Tentu tidak mudah untuk menghancurkan struktur oligarki di Kota Batu, apalagi dalam waktu singkat. Perlu komitmen kuat dari berbagai elemen gerakan sosial di Kota Batu untuk memutus rantai kekuasaan oligark itu sendiri. Pertama, menumbuhkan kekuatan sosial oposisi di tataran grassroot terhadap struktur politik oligarki saat ini; kedua, mempertegas sekaligus memperjelas visi gerakan politik organisasi masyarakat sipil kota Batu dalam rangka membendung dominasi kekuatan oligark. ***

Divisi Riset Politik In-Trans Institute

Haris Samsuddin
Novrianus Bunga

 

[1] Vedi R Hadiz dan Richard Robison, “The Political Economy of Oligarchy and The Reorganization of Power in Indonesia”, dalam jurnal Indonesia, edisi khusus, “Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics”, Cornell Southeast Asia Program Publications, No. 96, Oktober 2013, 35-57; Lihat juga, Vedi R Hadiz dan Richard Robison, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonasia”, Jurnal Prisma, Volume 33, No. 1, 2013, 37.
[2] Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising Power of Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London: RoutledgeCruzon, 2004).
[3] Ibid., 8.
[4] Jeffrey A. Winters, Oligarchy, (Cambridge University Press, 2011), dialihabahasakan oleh Zia Anshor dalam judul Oligarki, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), 5.
[5] Jeffrey Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia”, Jurnal Indonesia, edisi khusus, “Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics”, Cornell Southeast Asia Program Publications, No. 96, Oktober 2013, 35-57; Lihat juga, Jeffrey Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonasia”, Jurnal Prisma, Volume 33, No. 1, 2013.
[6] Jeffrey Winters, op.cit., 10.

0 Shares

Tinggalkan Balasan