Oleh:
Santri mBeling
Kedai kopi Mbak Mut yang berada di belakang pesantren masih terlihat lengang. Maklum, pagi masih berselimut dingin dan mentari masih bercadar embun. Hanya ada empat orang santri yang nongkrong di sana. Seolah mereka pelanggan setia yang ingin mendapat tuahnya seduhan kopi pertama dari tangan Mbak Mut yang legendaris itu. Betul, bagi santri di sana, nama Mbak Mut sama terkenalnya dengan Siti Robiah al-Adawiyah. Seorang sufi perempuan yang lebih memilih melajang sepanjang hayatnya. Bedanya, Mbak Mut tidak menikah lagi karena memilih menjanda. Sedang Robiah memilih tidak menikah karena ingin lebih mendekat pada Robb-nya. Pilihan hidup yang sulit. Terpikir menirunya? Serius kuat menjomblo seumur hidup?
Keempat santri itu terlihat serius mengobrolkan sesuatu. Ketika satu mulut bicara, ketiga lainnya menoleh memperhatikan. Segera setelah itu, yang lain menimpali atau bertanya lebih jauh. Mbak Mut yang masih menunggu air panas mendidih keheranan melihat mereka berempat. Biasanya kalau tidak saling gojlok, bergurau, mereka membahas ngaji mereka. Bisa dibayangkan, betapa idealnya punya pasangan santri? Di kedai pun membahas ngaji, apalagi di kelas? Paling-paling tidur sembari “melukis” Pulau Dewata di kitabnya.
Entah kesambet setan mana, tiba-tiba keempat santri yang tidak perlu disebutkan namanya itu membahas politik. Anda bisa lebih kaget kalau disebutkan nama mereka berempat. Terkenal? Tidak sih. Kalau pun terkenal, mereka lebih memilih seperti dawuhnya Uwais al-Qarni, seorang Sufi yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad, “tidak terkenal di bumi, tapi terkenal di langit.” Eddyaan.
Adalah KH. Setyo Novanto, sosok yang menjadi kayu bakar bagi tungku obrolan mereka berempat pagi itu. Kalau nama ini, tentu sudah tidak asing bukan? Namanya amat terkenal di bumi, utamanya Indonesia, tapi entah nanti di Negara langit. Bagi mereka berempat, Setyo Novanto, eh KH. Setyo Novanto membuat otak dan nurani mereka berkecamuk.
“Kamu kemarin ikut mencium tangan Setyo Novanto?” tanya santri A.
Dan dijawab dengan gelengan kepala oleh ketiga lainnya.
“Aku juga tidak. Malah salaman aja enggak” imbuh santri A.
“Bagaimana mau mencium tangannya, wong kamu milih ngopi di Mbak Mut waktu Setyo Novanto datang ke pondok” ujar Santri B sambil memutar-mutar kretek melewati sela-sela jarinya.
“Kenapa sih orang seperti Setyo Novanto malah dibikinkan acara di pondok segala? Kalau aku jadi kepala pondoknya, baru ada kabar Setyo Novanto mau berkunjung saja, langsung aku tolak. Itu kan bagian dari sanksi sosial. Dan menurutku sanksi sosial yang dilakukan pesantren, lebih sakti dibanding OTT yang dilakukan KPK” Santri D menambahi penuh kegeraman.
“Hush-hush, kalian ini jangan ngrasani pesantren. Kualat loh. Tidak dapat berkah baru tau rasa kalian nanti. Pasti Pak Yai dan Kepala Pondok sudah punya pertimbangan mendatangkan…. siapa tadi?” Sela Mbak Mut sambil menyodorkan kopi buat mereka berempat.
“Setyo Novanto” jawab mereka serempak.
“Iyaa itu maksudku. Setan, iblis, jin aja dipersilahkan kalau mau sowan ke pondok. Apalagi ini kan pejabat, orang penting di Negara kita. Siapa tau setelah datang ke pesantren, sakit jiwanya, eh sifat buruknya bisa sembuh” tambah Mbk Mut yang tertarik melibatkan diri dalam obrolan mereka berempat.
Mereka berempat saling pandang. Sama-sama menunggu ada yang menanggapi Mbk Mut.
“Mbak Mut tau siapa itu Setyo Novanto? Apa saja yang sudah ia lakukan untuk kita, untuk bangsa ini?” tantang Santri D yang sedari tadi masih belum angkat suara.
“Yo ngerti lah, Setyo Novanto itu pada tahun 1999, sebagai dirut PT. Era Giat Prima telah ditetapkan sebagai tersangka, kasus skandal Bank Bali. Dia pada 2004 tersangkut kasus impor limbah beracun dari Singapura. Tahun 2005 dia terlibat penyelundupan 60 ribu ton Beras Vietnam. Muncul rekaman dia minta saham ke PT. Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden dan Wapres. Belum juga kapok, 18 Juli 2017 dia ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi E-KTP. Setyo pura-pura sakit, komplikasi penyakit-penyakit yang mematikan. Dia tidak juga meninggal, malah sembuh, sehat bugar waktu hakim memenangkan gugatan praperadilannya. Hayo, tanya apalagi? Kalian kira tukang ngudek kopi tidak melek informasi?” jawab Mbak Mut sambil ngudek kopi. Sedang keempat santri itu terbengong-bengong. Tidak percaya kalau informasi Mbak Mut ternyata lebih utuh dibanding mereka.
“Wihhh, mantap. Pasti sampean suka baca transisi.org atau terakota.id ya?” tanya Santri D mengejar.
“Gak, saya cuman denger radio dan nonton tipi” jawab Mbk Mut sambil berjalan masuk kembali ke dalam kedai.
“Justru itu Mbak, orang yang seperti itu perlu dikasih pelajaran. Tidak malah dibiarkan seenaknya keluar masuk ke pesantren. Paling-paling dia minta dukungan. Minta pembenar. Mentang-mentang punya duit, pegang jabatan, ketua umum, lantas bisa seenaknya” ujar Santri D yang masih belum puas dengan sanggahan Mbak Mut sebelumnya.
“Yaa kalau pun datang yaa silahkan. Tapi tidak perlu pura-pura mengganti penampilan. Berkopyah, bersurban, berbaju koko. Lagian kenapa juga sih ada yang menyebut dia kiai segala. Itu kan sama saja mencoreng dunia persilatan, eh dunia per-kiai-an di Nusantara. Kiai itu dihormati, ada keagungan nilai yang melekat padanya. Dan gelar itu masyarakat yang menyematkan dan menilai” tambah Santri A menguatkan temannya.
Mereka berempat lebih gayeng lagi ngobrolnya. Kopi dan gorengan sudah tersaji di meja. Hanya saja, kedai yang mulai ramai dengan kehadiran santri lainnya membuat mereka mengecilkan suara. Takut didengar santri lainnya lantas dilaporkan ke keamanan. Tahu lah bagaimana galaknya keamanan pondok. Bagi mereka, dipanggil ke ruang keamanan, sama menakutkannya dengan masuk ke kandang macan betina yang lagi bunting. Tapi percaya lah, keamanan pondok itu baik kok sebenarnya.
“Soeharto itu kiai ya? Kok Tommy dipanggil Gus. Atau Tommy sudah mencapai maqom pemikir dan layak dipanggil Gus?” tiba-tiba Santri C lompat dari bahasan.
“Itu kan kerjaan sekelompok Kiai yang menamai diri mereka Ulama Berkarya. Mereka yang memberi sebutan ke Mas Tommy. Perasaan namanya ulama ya berkarya, tidak perlu ada embel-embel nama berkarya lagi. Aneh-aneh emang ulama jaman now” jawab santri A sekenanya.
“Hush…. hati-hati kalau ngomong” Santri B mengingatkan. Lama kelamaan dia merasa takut kebablasan membicarakan ulama.
“Udah-udah ganti topik yang lain. Kalian ingat kan seloroh Gus Dur waktu ditanya soal Nabi palsu. Yaa, yang namanya palsu tidak perlu dirisaukan, nanti hilang sendiri, namanya juga palsu, tidak tahan lama” kata Mbak Mut dari dalam kedai menirukan kata-kata Gus Dur.
“Maksudnya yang palsu itu ulamanya atau KH. Setyo Novanto?” tanya Santri D yang masih juga belum ingin menyudahi.
Ketiga Santri lainnya langsung berdiri dan mengajak Santri D segera kembali ke pondok. Tidak lupa mereka serempak marapal kalimat yang sakti mandraguna. “Mbak, nyatet disek yaa.”
Nb; Cerita ini hanya fiktif belaka. Kalau ada kesamaan tempat dan tokoh, itu hanya kebetulan.
Sumber gambar utama: suaranasional.com