Namanya Pak Ronto. Sudah tiga kali diusir dari tempat tinggalnya. Di tempat kelahirannya, ia diusir TNI AL lantaran area itu ditetapkan sebagai area markas dan latihan. Ia pun pindah ke Kalibakar untuk membangun tempat tinggal baru dan kehidupan baru dengan bekal sisa-sisa kehidupan di tempat tinggal sebelumnya. Sepuluh tahun berselang, lagi-lagi negara mengusirnya. Ia dilemparkan PTPN XII keluar dari area yang sebelum kemerdekaan dirampas oleh penjajah Belanda ini.
Pak Ronto pun lalu pindah menjauh dari peradaban. Membangun kehidupan baru di wilayah pesisir Pantai Selatan. Di sana, ia membuka lahan untuk membangun rumah bersama keluarganya dan lahan pertanian untuk menyambung hidup dari nol. Petaka. Tak perlu waktu lama ia berhadapan dengan penjajah barunya, Perhutani. Perusahaan BUMN ini diberikan negara area seluas 2,4 juta hektar di Pulau Jawa, termasuk sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Seperti kisah enclosure dan alienasi sebelum-sebelumnya, ia ditekan untuk pindah tanpa ganti rugi. Sekali lagi, tanpa ganti rugi. Pak Ronto tidak sendiri. Ada ribuan, bahkan mungkin jutaan petani sepertinya di sepanjang Pantai Selatan yang sebelumnya terusir, hidup terlunta-lunta, dan kini berhadapan dengan Perhutani.
Semula saya pikir, Pak Ronto dan teman-temannya adalah orang yang paling tertindas di antara orang-orang yang saya temui. Sebab, ia paling sering terusir dan sampai sekarang negara belum mengakui hak-haknya atas tanah. Saya lantas menceritakan ini ke Cak Lasminto, Sekjen Persatuan Petani Jawa Timur (Papanjati). Ndilalah, Cak Las, panggilan akrabnya, ternyata sudah diusir empat kali sebelum ia dan kawan-kawannya melakukan aksi reclaiming pada tahun 1998. Sama seperti Pak Ronto, di tanah yang ditempati warga secara turun temurun lalu dirampas oleh perkebunan Belanda itu, Cak Las berpindah-pindah karena diusir tanpa ganti rugi sejak 13 kawasan Desa yang meliputi tiga kecamatan ditetapkan sebagai kawasan latihan TNI AL tahun 1963.
30 Mei 2007, di kawasan Cak Las tinggal itu, warga mengingatkan agar tanah yang sudah ditanami ketela pohon tidak dirombak oleh pekerja PT Rajawali, sebuah perusahaan hortikultura yang menjadi mitra TNI AL. Warga mendorong agar PT Rajawali dan TNI AL taat hukum, karena proses hukum terhadap penyelesaian sengketa tanah belum selesai. Tapi, tanpa ampun aparat menjawabnya dengan berondongan peluru senjata laras panjang. Beberapa ibu-ibu yang sedang memasak dan memotong ketela pohon di luar rumah ikut terkena peluru nyasar. Bu Mistin (25) yang sedang menggendong anaknya ikut terkena peluru dan langsung meninggal, sedangkan anaknya, Khoirul, bocah yang saat itu berusia 4 tahun juga terkena peluru di dada kanan. Empat warga tewas dan 8 warga mengalami luka tembak. Bu Mistin (25), Sutam (40), Khotijah (25) yang tengah hamil 4 bulan, dan Rohman (21) meninggal. Selain Khoirul, Rohman (23), dan Erwanto (18) ikut tertembak. Lima lainnya juga luka-luka, Tosan (30), Nasum (34), Rohman (29), Kampung Misdi (40), dan Satikun (47).
Atas peristiwa ini, Gus Dur mengangis saat mengunjungi kelurga korban penembakan dan membaca doa tahlil untuk para korban meninggal. “Ini kasus besar yang harus kita menangkan … Peluru yang dibeli dari uang rakyat kok digunakan untuk menembaki rakyat.” Tapi, memang dasar hukum di negeri ini: hukum tak pernah netral. Di situ ada kekuasaan, di situ ada hukum. Sekitar 4 bulan setelah Gus Dur wafat, Mahkamah Agung memenangkan TNI AL. Warga, yang menggugat, diharuskan membayar biaya perkara Rp 500 ribu.
Hingga kini, Cak Las juga belum mendapatkan hak atas tanah. Membangun apa-apa selalu dicegah oleh yang mengklaim si empunya, TNI AL. Dari Presiden ke Presiden, dari Gubernur ke Gubernur, dari Bupati ke Bupati, situasinya tak berubah lantaran tak ada iktikad sedikitpun bagi penguasa untuk melakukan demiliterisasi dan memutus kapitalisme swasta dan negara. Jadi, bagi Pak Ronto dan Cak Lasminto, kemerdekaan dirasa tak berdampak apapun, kecuali pergantian peran penjajah. Momen Pileg, Pilpres, dan Pilkada, dalam pandangan mereka, mungkin tak ubahnya seperti apa yang ada dalam pamflet-pamflet kaum anarkis di Catalonia, “siapapun yang kau pilih, yang menang tetap pemerintah! Sebab, belum ada penanda berarti bahwa kisah perampasan dan ketimpangan penguasaan tanah akan berhenti.
Tahun 2017, Konsorsium Pembaruan Agraria dalam Laporan Akhir Tahunnya yang dirilis beberapa hari lalu mencatat sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayah. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan tahun 2016 sebanyak 450 konflik dan tahun 2015 yang berjumlah 252 konflik. Selama tiga tahun (2015-2017), di bawah kuasa Presiden dan Wakil Presiden yang katanya merakyat dengan program Nawacita-nya ini, telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria. Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa tanpa perubahan ekonomi politik kapitalisme, perampasan agraria akan terus bermunculan.
Adalah absurd mencadangkan kebijakan yang diklaim sebagai reforma agraria tanpa memutus mata rantai ketimpangan penguasaan tanah di tangan perusahaan negara dan swasta skala besar. Laporan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) tahun 2017 menyebutkan PT. Salim Group menguasai tanah sekitar 1.155.745 Ha. Wilmar International Group, sekitar 210.000 Ha. Sinar Mas Group menguasai tanah 2.309.511 hektar, Riau Pulp Group 1.192.387 hektar, Kayu Lapis Indonesia Group 1.445.300 Hektar, Alas Kusuma Group 1.157.700 Hektar, Barito Pasifik Group 1.036.032, Korindo Group 951.120 hektar, Jati Group 965.410 dan Suma Lindo Lestari Jaya Group 515.000 Hektar. Realitas oligopoli penguasaan tanah seperti menjadi kenyataan yang tak perlu dibaca.
Padahal, persoalan agraria adalah persoalan paling mendasar dari seluruh dimensi kehidupan. Dari tanah, manusia bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dari tanah, manusia mengambil bahan-bahan tertentu untuk kebutuhan sandang (kapas/benang) dan papan (kayu, semen, bata, lantai, asbes dll). Di atas tanah, manusia menyelenggarakan berbagai aktivitas kehidupan. Tidak ada pendidikan tanpa tanah, tidak ada kesehatan tanpa tanah, tidak ada ekonomi tanpa tanah, tidak ada politik tanpa tanah, dan tidak ada kebudayaan tanpa tanah. Baik teks-teks suci agama maupun bukti sains menyatakan bahwa manusia tercipta dari tanah. Seluruh bagian tubuh kita terdiri dari unsur-unsur yang ada di dalam tanah, tumbuhan, air, dll. Tanah adalah seluruh dimensi kehidupan. Lebih-lebih, agraria bukan hanya persoalan tanah. Karena itu, nenek moyang kita mengajarkan bahwa bumi adalah ibu.
Berkebalikan dengan realitas ini, pemegang kebijakan, aparatur ideologis (agama, lembaga pendidikan, partai politik, dll) dan aparatur represif (lembaga-lembaga negara, polisi, militer) mengarahkan kita untuk menggapai janji kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang ilusif. Tanah adalah alat dan objek eksploitasi yang menopang akumulasi kekayaan. Katanya, adanya infrastruktur seperti bandara, jalan tol, rel kereta api, dll akan menggerakkan roda perekonomian. Pertanyaannya, roda perekonomian seperti apa yang dimaksud? Siapa yang paling diuntungkan dari pembangunan itu? dan Siapa yang dirugikan?
Bagaimana mungkin pembangunan infrastruktur akan membawa mashlahat, sementara pada gilirannya yang menikmati adalah segelintir investor dan pengusaha properti skala besar dan memuluskan eksploitasi yang lebih besar lagi. Apa artinya ganti rugi, jika pada gilirannya yang menerima kesulitan memutar uangnya. Sebab, sebelumnya mereka melakukan aktivitas bertani sebagai bagian dari kehidupan (subsisten), bukan untuk mencari keuntungan. Bahkan tak sedikit yang bertani dengan niat sekaligus merawat ibunya (ibu bhumi). Pada akhirnya, tak ada pilihan lain bagi mereka selain memburuhkan diri.
Sisi lain, jual beli atau pasar tanah untuk kepentingan apapun pada akhirnya melahirkan lonjakan nilai tak berkesudahan. Di Kulon Progo, warga yang lahannya dibeli oleh PT. Angkasa Pura Rp. 300 ribu permeter tak akan mampu membeli tanah di area itu untuk kebutuhan usaha dan semacamnya yang kini naik menjadi Rp. 1-3 juta rupiah.
Mayoritas orang tak melihat, bahwa pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah Indonesia dengan menggunakan uang rakyat, mulai dari bandara baru Kertajati International Airport senilai Rp 23 triliun, proyek kereta api cepat (LRT) Jakarta-Bekasi-Cikarang-Bandung dengan investasi Rp 65 triliun, Patimban Deep Seaport senilai Rp 40 triliun, serta Tol Jakarta-Cikampek Elevated Highway senilai Rp 16 triliun mengarah pada fasilitasi pembangunan kota baru di Cikarang, Jawa Barat: Meikarta yang digawangi korporasi besar nasional, Lippo Group. Pembangunan ekonomi yang tidak berorientasi pada kehidupan, melainkan pada akumulasi nilai kekayaan semacam ini pada akhirnya menjerumuskan bumi dan manusia di dalamnya ke ambang kehancuran.
Banyak juga yang percaya bahwa penguatan militer adalah jaminan bagi perdamaian dan keamanan. Padahal, perdamaian dan keamanan justru tak mungkin dicapai dengan memperbanyak senjata. Tak mungkin dicapai dengan luasnya lahan yang dikuasai TNI sebagai tempat latihan atau yang lain. Belakangan (6/11), Kementerian Pertahanan RI mengklaim 724 Tanah milik TNI berpotensi munculkan konflik. Makin tertutup jalan memperjuangkan tanah milik rakyat yang diklaim TNI karena Menhan Ryamizard Ryacudu (25/9) menyatakan bahwa rakyat yang berkonflik tanah dengan TNI adalah provokator. Lagian, untuk siapa aparat kemananan itu? Ketika melawan korporasi, kenapa semakin banyak rakyat yang justru diperangi oleh aparat negara itu sendiri?
Arah perekonomian dan orientasi kebijakan negara yang seperti ini tak ada kaitannya dengan gaya merakyat dan sarung presiden; tak ada kaitannya dengan moralitas dan kesederhanaan presiden; tak ada korelasi dengan pertanyaan apakah presiden kita itu rakus, apakah menteri-menteri kita itu jahat. Tak ada kaitan. Benar bahwa seperti Fidel Castro bilang, “… kapitalisme itu menjijikkan. Kapitalisme itu kotor, jorok, sebuah ideologi yang membuat segalanya terasing. Ia adalah sumber perang, kemunafikan, dan kompetisi.” Tetapi masalahnya, ideologi (kapitalisme)—seperti kata Marx—adalah seperangkat kesadaran palsu. Adanya seperti tidak adanya. Keburukannya dianggap sebagai kebaikannya. Istilahnya telah diganti dengan “ekonomi” saja. Ini tak hanya merasuk pada pikiran pejabat negaranya, tetapi juga agamawan, akademisi, teknokrat, lembaga swadaya masyarakat, dan mayoritas pikiran masyarakat. Kooptasinya dianggap sebagai kooperasinnya. Contohnya, LSM papan atas dunia, Greace Peace, WWF, Amnesty melakukan kolaborasi yang baik dengan korporasi raksasa macam Nike, McDonald, Walmart.
Investasi—eufiminisme dari kapitalisme–diterima tanpa reserve, bahkan didamba-dambakan bak pertolongan Tuhan karena akan berkontribusi pada pertumbuhan. Sementara orang luput memikiran, apa itu pertumbuhan. Orang tak pernah berfikir jika teori pertumbuhan ekonomi Rostow yang diadopsi di Indonesia dan negara-negara lain mengandaikan tahap konsumsi tinggi. Implikasinya, tentu makin banyak sumber daya yang dieksploitasi, baik untuk kebutuhan bahan baku maupun energi untuk menggerakkan mesin-mesin di pabrik. Sejak kapitalisme industrial dimulai, dunia sebetulnya sudah mengucapkan: “selamat datang krisis ekokogi!” Yang memperjuangkan lingkungan dengan membendung kapitalisme, siap-siap menghadapi SLAPP (Strategic lawsuit against public participation): intimidasi dan kriminalisasi dengan berbagai cara. Mau pakai fitnah lambang palu-arit, bendera terbalik, atau cara lain yang hanya dilakukan orang dungu.
Lalu sampai kapan pola yang seperti ini dihentikan? Di Indonesia, perlawanan terhadap kapitalisme jauh lebih berat karena kekuatan massa yang paling getol melawan kapitalisme diluluhlantakkan dan pemikirannya dilarang sejak genosida tahun 1965. Pasca perang dingin, orang-orang dengan buru-buru lalu mengidap “fukuyamaian”, pikiran yang percaya bahwa kapitalisme tak relevan lagi dipersoalkan. Ia adalah keniscayaan akhir sejarah, The End of History and The Last Man. Kalau ada kekurangan, cukup diperhalus, diperbaiki, dan diperindah. Kenyataan pahit macam inilah yang membuat Slavoj Zizek bilang: “lebih mudah membayangkan berakhirnya dunia dari pada berakhirnya kapitalisme”.
Zizek benar, karena para penulis The Limits of Growth tahun 1972 sudah memprediksi kehancuran dunia 100 tahun lagi sejak buku itu ditulis jika pembangunan global yang berorientasi pada pertumbuhan terus digencarkan. Zizek juga benar karena Stephan Hawking yang dulu memprediksi bahwa hancurnya kehidupan manusia akan terjadi 10.000 tahun lagi, lalu ia revisi menjadi 1000 tahun lagi, dan belakangan (2016) ia merevisi menjadi 100 tahun lagi. Jadi, sekarang opsinya dua: kita hentikan atau kita sambut kiamat dengan selfie-selfie, seperti dicontohkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman) dan Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan Budi Karya Sumadi (Menteri Perhubungan) bersama perwakilan 12 bank sindikasi setelah penandatanganan kontrak pinjaman dana untuk proyek LRT (kereta api ringan)—yang nyambung dengan kereta api cepat Jakarta-Bandung (Meikarta)—sebesar Rp 19,25 triliun di Grand Ballroom Hotel Kempinski 29 Desember lalu. Bisa dibayangkan, menadah utang pada perbankan hasil overakumulasi dari praktik rente mereka untuk memfasilitasi tuan tanah besar–dan tentu saja dilunasi dengan uang rakyat–lalu kita rayakan dengan gembira. Na’udzubillah! ***
In’amul Mushoffa
Pimpinan Redaksi