Rudi Hartono
Anggota di Forum Intelektual Nuhu Evav Malang & angkatan Sekolah Ideologi dan Gerakan Sosial Ke-III Intrans Institute
Ancaman resesi ekonomi akibat dari pelbagai macam faktor ketidakpastian rupanya bukan sekadar asumsi para ekonom belaka. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global selama satu dekade terakhir, turut membuat resah dan khawatir para pemangku kepentingan. Baru-baru ini, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) kembali merevisi ramalan pertumbuhan ekonomi global 2020, dari sebelumnya ditaksir 3,0 persen menjadi 2,9 persen. Bagi Indonesia, kondisi ini bukan sesuatu yang mudah.
Jokowi di pelbagai kesempatan turut menegaskan akan tantangan berat yang sedang dan akan dihadapi ekonomi nasional – kendati ia tak lupa menekankan agar selalu optimis. Tentu saja tidak enteng menghadapinya. Apalagi kenyataan di periode pertama kekuasannya, (2014-2019) pertumbuhan ekonomi nasional stagnan di angka 5 persen. Ini membuktikan kalau paket kebijakan deregulasi yang diorbitkan semasa 2015-2019 nyaris tak memenuhi ekspektasi pertumbuhan 7 persen (seperti dijanjikan dalam kampanye pemilu 2014).
Menurut catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang 2014-2018, misal, realisasi investasi—baik itu penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA)—secara umum, mengalami peningkatan. Kendati ada peningkatan, tapi realisasinya cenderung lambat. Padahal loyalitas dan komitmen presiden Jokowi pada ekonomi pasar bebas begitu besar dengan memberikan sejumlah insentif bagi pemodal, tetapi tidak berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh.
Kenyataan ini tak begitu mencengangkan. Sejauh pejabat birokrasi masih berkiblat pada sistem kapitalisme-neoliberal, wajar bila keputusan yang dibuat membuahkan hasil buruk. Pandangan ini secara eksplisit hendak menegaskan akan absennya sistem alternatif sejak masa Orde Baru sampai Orde Reformasi. Keimanan buta akan dogma pertumbuhan, dengan mantra suci investasi, masih terus diorkestrasi oleh penguasa beserta para pemuja paham tersebut.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi global, stagnasi ekonomi nasional, serta realisasi investasi yang belum maksimal mendorong pemerintah mengambil keputusan penting untuk menjawab—bukan untuk interes rakyat—tapi interes pasar dengan segala persoalan yang ada. Pada titik ini, proyek besar pemerintah termanifestasi dalam rencana pembuatan payung hukum sapu jagat atau Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka.
Karpet Merah Bagi Pemodal (Kapitalis)
Omnibus Law dibuat dan dibahas tergesa-gesa, draft-draftnya “dirahasiakan”, dan dipaksa dimasukkan dalam program prioritas legislasi nasional (prolegnas) dan rapat paripurna DPR. Ini mengingatkan kita pada pembunuhan KPK melalui Revisi UU KPK. Di sini, apologi penguasa sepertinya tak mampu menyumbat bau busuk interes modal yang difasilitasi Omnibus Law. Dalih penyederhanaan, perampingan, serta menghapus (obesitas) regulasi yang tumpang-tindih dan menjawab kendala investasi adalah cermin dari kepatuhan pemerintah terhadap kuasa pasar bebas atau neoliberalisme.
Semenjak kebijakan Keynesian tak berdaya mengatasi kebuntuan ekonomi. Neoliberalisme diintrodusir sebagai alternatif, menjawab tantangan resesi dekade 1980an, dan sampai sekarang menjadi ide dan gerakan ekonomi politik paling dominan. Terdapat beberapa usulan hendak diajukan seperti memasung intervensi negara atas pasar, melindungi serta menjamin hak milik pribadi, keamanan dan pertahanan nasional, penegakkan hukum berbasis kontrak agar memungkinkan pasar dapat mengambil keuntungan bagi akumulasi.[1]
Pandangan tersebut jelas mengekspos suatu paradoks. Di satu sisi, janji akan kesejahteraan, berbanding terbalik dengan kebijakan neoliberal yang memfasilitasi kerangka kelembagaan demi kepentingan akumulasi. Realita menjulang lebarnya ketimpangan antara ‘miskin’ dengan ‘kaya’ adalah implikasi logis dari buasnya akumulasi yang memungkinkan terjadinya kosentrasi kapital di tangan segelintir orang. Betapapun pasar sebagai entitas paling efektif dan efisien, tetapi pasar tak miliki komitmen terhadap persoalan sosial-ekologis.
Menurut Albo dan Fanelli, dikutip dari (Birch dan Mykhnenko, 2010), visi sosial yang diterjemahkan dalam kebijakan neoliberal cenderung terpaku pada pengendalian inflasi dan insentif penawaran; privatisasi dan komersialisasi aset dan jasa sektor publik; liberalisasi perdagangan komoditas dan modal; restrukturisasi regulasi ketenagakerjaan (dan bisnis) agar mengurangi ‘ganjalan’ pasar; dan, komodifikasi sosial barang dan jasa.[2] Kebijakan ini alih-alih menolong kapitalisme dari krisis kronis, justru malah sebaliknya: melanggengkan krisis.
Rejim neoliberal yang taat terhadap kuasa pasar cenderung akan melepas tanggungjawab mengatasi persoalan sosial-ekologi, seperti tercermin dari dipaksakannya Omnibus Law Cilaka. Namun, beberapa kalangan menaruh harapan besar atas kebijakan tersebut lantaran diyakini bisa mengatasi problem obstruksi investasi yang memungkinkan terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah besar—di tengah tantangan dan peluang bonus demografi. Salah satunya adalah Mirza Adityaswara. Melalui opininya, ia menyatakan bahwa optimisme di tahun 2020 bergantung pada suksesi pembuatan Omnibus Law (Kompas, 12/12/2019).
Pandangan Mirza kenyataannya sama dengan pandangan penguasa yang turut menjustifikasi dan mengafirmasi secara legitimate kepentingan modal, dalam melaksanakan agenda eksploitasi dan akumulasi, dengan dalih kebutuhan rakyat dan bangsa. Sudah jadi hal lumrah jika setiap hajat kelas dominan kerap mengatasanamakan interes umum. Padahal dalam Omnibus Law, terdapat beberapa problem penting nan krusial perihal privilege bagi investor, tak boleh dinafikan atas nama apapun, sebab terkait erat dengan ketidakadilan.
Rencana pengaturan upah perjam dan upah minimum sedikitnya menyisakan dua persoalan. Pertama, pekerja berpotensi menerima pengurangan upah manakala bekerja tak sesuai waktu yang ditentukan perusahaan. Tuntutan memproduksi komoditas dalam jumlah semasa rentang waktu tertentu, terimpit dengan lenyapnya beberapa ijin cuti yang berpotensi menurunnya produktivitas buruh. Kedua, upah minimum dalam regulasi sapu jagat tak menjangkau pekerja disektor informal. Persoalan ini merefleksikan cara penguasa menegasi interes kelas buruh.
RUU Omnibus secara sistematis melemahkan kelas buruh. Tak ada ruang bagi pekerja untuk menaikkan posisi tawarnya. Hal ini semakin diperparah oleh adanya tenaga kerja cadangan, yang belum diserap industri, tengah mengantre bekerja tatkala industri membutuhkannya. Kondisi memprihatinkan ini diabaikan pemerintah dengan mengorbankan kepentingan kelas buruh lewat upah murah dan waktu kerja yang panjang—semata-mata untuk memenuhi nafsu investor dan oligark.
Dengan kekejaman yang terpampang nyata, anehnya masih ada orang yang mendorong agar korporasi diberi insentif seperti Turro S Wongkaren. Ia mengatakan bila (tuntutan) upah minimum yang terus meningkat hendaknya perusahaan diberi insentif pajak dan penurunan biaya-biaya, seperti biaya memulai bisnis, biaya perizinan dan konstruksi, serta biaya registrasi properti (Kompas, 07/12/2019). Insentif bagi korporasi dapat berimplikasi pada pemangkasan kebutuhan publik, jaminan sosial, dan sebagainya.
Pendapat Turro jelas keliru lantaran menghendaki tukar-tambah kepentingan antara pemodal-pekerja-negara. Sudah jadi konsekuensi kapitalisme, di mana industri memerlukan pekerja yang terampil dan produktif. Dan, Indonesia masih bimbang menjawab interes industri akan tenaga kerja – terlepas dari fakta adanya surplus tenaga kerja.
Dalam Omnibus Law, investor begitu menikmati keuntungan. Kelonggaran syarat lingkungan yang ditawarkan negara menafikan fakta kontribusi korporasi terhadap kerusakan lingkungan. Lebih-lebih, syarat tersebut turut ditopang oleh penghilangan sanksi pidana bagi korporasi pelanggar hak. Dapat dibayangkan bagaimana perusakan lingkungan ke depannya nanti.
Persoalan lain yang cukup mencengangkan dalam Omnibus Law adalah perubahan skema IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) menjadi skema PBKP (Perjanjian Berusaha Pertambangan Khusus). Skema PBKP, dengan semangat penguasaan atas sumber daya alam tanpa batas, tampak mencerminkan upaya rejim Jokowi membiarkan interes kapital untuk mengeksploitasi habis-habisan sumber-sumber kehidupan yang dalam UUD 1945 Pasal 33 yang konon dikuasi negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kepentingan rakyat.
Bila IUPK (dengan segala problemnya) masih membatasi luas area operasi produksi sebanyak 25 hektare, skema PBKP sama sekali tak membatasinya. Hasil ekstensi yang diwajibkan pada IUPK agar menjadi wilayah pencadangan negara (WPN) dan izinnya mesti melalui proses lelang via BUMN sebelum diperebutkan pihak swasta dihapus dalam skema PBKP. Pemerintah tengah menyediakan karpet merah bagi oligarki ekstraktif.[3]
Sebenarnya, peraturan yang tidak memihak kepentingan rakyat tidak terlepas dari kuasa modal dalam politik. Ini merupakan konsekuensi dari sengitnya persaingan dalam dunia bisnis sehingga merembet dalam ranah politik. Sehingga, dana korporasi dalam jumlah besar digelontorkan untuk membiayai kebutuhan politisi dan pejabat negara. Tidak heran bila kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan pebisnis. Beberapa bulan lalu, laporan majalah Tempo menyebut 45,5 persen atau 262 anggota DPR terafiliasi dengan ribuan korporasi.[4]
Praktik kapitalisme kroni yang dijalankan melalui hanky-panky antara pemodal dengan pemegang kuasa politik di sektor sumberdaya alam serta proyek berbasis APBN dan APBD membuat dominasi politisi-cum pebisnis menguat dan secara membabi buta membabat hak-hak rakyat.
Sangat miris melihat ambisi kebablasan rejim Jokowi terhadap investasi. Sulit untuk tidak mengatakan Omnibus Law rejim Jokowi turut memfasilitasi dan melanggengkan ketimpangan hukum. Di satu sisi, investor menikmati privilege, tetapi pada sisi lainnya buruh diperlakukan sewenang-wenang: mulai dari masalah jam kerja, upah, pesangon, hingga meniadakan izin cuti. Bila kezaliman ini dirawat dan dibiarkan, bukan tidak mungkin bila kelak terjadi pembangkangan.
Ancaman Solidaritas Kolektif
Cara pemerintah memecahkan dan mengatasi persoalan melalui RUU Omnibus Law Cilaka belum beranjak dari cara lama yang bersandar pada pemahaman usang yang terbukti gagal. Janji kesejahteraan yang digaungkan neoliberalisme nyaris tak pernah terealisasi. Yang terjadi malah sebaliknya: makin memburuknya ketimpangan antara ‘kaya’ dan ‘miskin’. Sejak eksperimen neoliberalisme pertama kali dilakukan oleh rejim Orde Baru dan berlanjut pada Orde Reformasi, kesejahteraan hanya utopia neoliberal.
Utopia itu telah mendorong para politisi dan pejabat negara merubah semua bentuk kebijakan politik dengan tujuan meruntuhkan semua struktur kolektif yang bisa menjadi batu ganjalan bagi logika pasar.[5] Melalui Omnibus Law, hubungan kerja dipakai untuk menampilkan para pekerja sebagai kekuatan pasar. Kebijakan ini didesain untuk “melemahkan peraturan perlindungan, membatasi lembaga kolektif, dan memperkuat aturan pro-individualistik”.[6]
Berbagai solusi telah dicoba, meski dalam kerangka kapitalisme. Tapi perbaikan justru hanya pada data statistik yang tak terjadi dalam realitas riil. Seluruh jenis proyek efisiensi dan debirokratisasi yang memfasilitasi kenyamanan bisnis semakin memperburuk nasib kelas pekerja. Keterpakuan pada logika ekonomi dengan cara pandang reduksionis mendorong pemangku kepentingan menghendaki efektivitas lewat jalur kompetisi yang sehat, sebuah hal tak mungkin dalam logika kapitalisme, yang terjadi justru adalah rente.
Menerabas keadilan merupakan cara mempercepat akumulasi. Bisnis kapitalis membesar via “akumulasi kapital” dan “sentralisasi kapital. Dalam akumulasi kapital, kekayaan tumbuh dari hasil investasi dan reinvestasi keuntungan dalam rentang waktu panjang. Sedangkan dalam sentralisasi kapital, kekayaan tumbuh lewat proses yang lebih pendek dengan cara marger atau akuisisi.[7]
Menurut Anto Sangadji (2017) terdapat dua hal fundamental yang penting dipahami berkenaan dengan pemodal. Pertama, mereka bukan sekedar orang kaya. Sebutan tepat buat mereka dalam kapitalisme adalah kelas kapitalis. Kaya saja, tanpa memiliki usaha dengan buruh upahan bukan kelas kapitalis. Kedua, mereka sukses menggerakkan aneka usaha modern di tengah pertumbuhan cepat kapitalisme global. Arus masuk dan keluar investasi, komoditas, tenaga kerja lintas batas negara memudahkan pertumbuhan bisnis mereka.[8] Tumbuh-berkembangnya mereka didasari atas kecurangan terhadap kelompok rentan (buruh, petani, nelayan).
Problem kecurangan yang berkulminasi menjadi ketidakadilan inilah yang hendak dipersoalkan kelas buruh dalam merespon kebijakan Omnibus Law. Alih-alih Jokowi memberi respon substansial terhadap kelas pekerja, justru malah sebaliknya. Sikap penguasa merubah akronim Cilaka dari kalangan buruh menjadi Cika merupakan upaya meng-counter agar memberi pesan positif kepada publik—khususnya kelompok yang tidak terdampak langsung atau kurang berkepentingan—agar kebijakan tersebut tak dipersepsikan buruk.
Langkah tersebut bukan sekadar ambisi besar penguasa akan investasi, tetapi keberpihakan terhadap kapital hingga nekat pasang badan untuk merespon akronim pelesetan. Kalau mencermati kebijakan RPJMN, pemangkasan subsidi BBM dan Listrik, serta merahasiakan data HGU korporasi, serta memberi subsidi kepada konglomerat, dan terbaru adalah Omnibus Law, sangat jelas menunjukkan Pemerintah patuh pada siapa.
Yang patut digaris bawahi, Omnibus Law juga sedang menghancurkan solidaritas kolektif kelas buruh. Sebagaimana tercermin dalam sikap kelas buruh merespon kebijakan tersebut, ada pihak yang tegas menolak dan ada pula yang masih membuka diri untuk kompromi. Kendati fragmentasi kelas buruh bukan sesuatu yang baru, adanya Omnibus Law makin memperburuknya.
Ambisi pemerintah memuluskan investasi mengorbankan manusia dan lingkungan. Penindasan berlapis yang dialami kelas buruh, diperparah pembiaran korporasi mengeksploitasi alam sedemikian rupa hanya untuk laba dengan harapan statistik pertumbuhan ekonomi nasional dapat membaik. Utopia pasar bebas yang diimani oleh mereka-mereka yang diuntungkan secara material serta mereka yang keberadaannya dilegitimasi oleh paham tersebut, telah memaksa mereka menjadi budak yang selalu menghamba pada kekuasaan pasar bebas yang menjanjikan keuntungan.
Politisi maupun pejabat negara yang menyembah kekuasaan pasar, sebagaimana di tandaskan Pierre Bourdieu, cenderung menuntut ditiadakannya obstruksi admisntrasi atau politik yang mengganggu pemilik modal dalam upaya mereka mencari keuntungan individual sebesar-besarnya yang dilembagakan dalam model rasional. Dengan kata lain, Omnibus Law merupakan sebuah irasionalitas keadilan modal yang coba tuk dirasionalisasi sedemikian rupa oleh politisi dan pejabat negara agar situasi abnormal (penindasan) yang dialami pekerja akibat kebijakan tersebut ternetralisir menjadi sesuatu yang normal.
[1] Greg Albo dan Carlo Fanelli. Penghemat Melawan Demokrasi: Fase Otoriter Neoliberalisme?. Terj,. IndoPROGRESS, 2015. Hal, 14
[2] Ibid. Hal, 14
[3] CNBC Indonesia. Psst.. Ada Karpet Merah Buat Taipan Batu Bara di Omnibus Law!. https://www.cnbcindonesia.com/market/20200116033632-17-130345/psst-ada-karpet-merah-buat-taipan-batu-bara-di-omnibus-law/2, akses 17/02/2020
[4] Tempo. Pengusaha Kuasai Parlemen. Lihat, https://majalah.tempo.co/read/nasional/158519/pengusaha-kuasai-parlemen. Akses 17/02/2020
[5] Pierre Bourdieu. Kritik Terhadap Neoliberalisme. Basis, No. 11-12, 2003. Hal, 26
[6] Greg Albo, Op.Cit. Hal, 16
[7] Anto Sangadji, et.all. Bela Islam atau Bela Oligarki? Pertalian Agama, Politik, dan Kapitalisme. (Pustaka IndoPROGRESS & Islam Bergerak, 2017). Hal, 10-12
[8] Ibid. Hal, 7
Gambar: en.wikipedia.org