Oleh:
(Peneliti Intrans Institute)
Potret Wajah Politik Lokal Masa Kini
Pasca jatuhnya sang penjagal yang berkuasa selama 32 tahun, dan setelah disahkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, daerah diberi kewenangan sebesar-besarnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dengan tujuan semua sumber daya yang ada di daerah dikelola untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Bermula setelah rezim diktator Soeharto itu tumbang, lahirlah orde reformasi. Memasuki reformasi ini, kran demokrasi terbuka lebar dan konsep desentralisasi digalakkan sebagai otokritik terhadap rezim sentralistik Soeharto dan euforianya masih mendengung hingga saat ini. Dari rezim Soeharto yang sentralistik, pada akhirnya daerah diberi kepercayaan penuh melalui desentralisasi sebagai upaya membangun demokratisasi di aras lokal. Pada kenyataannya, lahirnya desentralisasi tidak menyaratkan berjalannya demokratisasi di aras lokal, sebab dengan desentralisasi pula soeharto “kecil” bermunculan dan merebak ibarat jamur di musim hujan yang menunggu musimnya. Maka secara otomatis dinamika politik lokal penting untuk dikaji untuk mengungkap pemeran di balik carut-marutnya.
Secara konsepsi, politik lokal menurut Abd. Halim (2014) adalah aspek-aspek politik di tingkat mikro baik secara teritorial, sosial, maupun administratif, yang mendasari seluruh entitas bangunan politik di tingkat makro. Politik lokal adalah unsur utama politik nasional. Sedangkan daerah menurut Abd. Halim adalah elemen dasar sebuah negara. Tanpa daerah, negara tidak mungkin ada. Tanpa politik lokal, politik nasional tidak mungkin lahir. Mengikuti konstruksi teoretis Abd. Halim di atas, dapat dikatakan bahwa politik lokal adalah penyangga dari politik nasional.
Berbicara politik lokal juga tidak terlepas dari tema demokrasi lokal, walaupun dua instrumen tersebut tidak sama. Hal yang membedakannnya menurut Budi Lazarusli yang dikutip oleh Abd. Halim adalah bahwa dalam demokrasi lokal terdapat unsur otonomi lokal yang menyangkut kebebasan dari intervensi pusat, dan kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai dan juga norma-norma di aras lokal. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki daerah harus dikelola bersama dan dinikmati bersama. Dalam tahap implementasinya desentralisasi melahirkan berbagai macam paradoks yang bertentangan dengan cita-cita idealnya. Diantara paradoks desentralisasi itu adalah menguatnya kembali predatoris orde baru menurut Vedi Hadiz, atau dalam pandangan Sidel lahirnya bos lokal, maraknya politik transaksional, perilaku koruptif pejabat daerah, dan merebaknya dinasti politik di daerah adalah akibat dari struktur pemerintahan yang oligarkis.
Politik transaksional bisa kita cermati ketika menjelang pemilukada atau saat diselenggarakan pemilukada. Para calon pemimpin yang maju dalam gelanggang itu tentunya melewati aspek-aspek prosedural sebelum bertarung dalam arena perebutan kekuasaan. Politik transaksional bisa kita cermati jika keinginan itu juga datang dari partai politik, dan dalam internal partai politikpun ada persaingan yang begitu ketat untuk mendapatkan rekomendasi dari petinggi partai tersebut. Dalam konteks ini, potensi terjadinya politik transaksional sangat besar, mengingat mahar politik yang biayanya tak sedikit. Pendekatan transaksional antar calon yang ingin maju dengan petinggi partai sudah hal yang lumrah di negeri ini. Siapa yang memiliki basis kapital, dialah pemenang. Pada akhirnya, calon pemimpin daerah tidak lagi ditinjau dari aspek kualitas melainkan finansialnya. Inilah produk partai politik saat ini yang mengaku dirinya sebagai pilar demokrasi[1]. Pun demikian dengan merebaknya dinasti politik di daerah. Menurut Muliansyah Abdurrahman Ways (2016), dalam prosesi perpolitikan, keterlibatan masyarakat Indonesia masih kental dengan budaya politik dinasti.
Kemunculan politik dinasti sejatinya telah membrangus nilai-nilai demokrasi, sebab birokrasi negara dihuni dan dikuasai oleh mereka yang memilki relasi kekeluargaan maupun kekerabatan. Berdampak pada tersumbatnya hak dan kebebasan setiap kelompok maupun individu dalam mengakses kekuasan. Dampak negatif yang paling nyata adalah menguatnya pemerintahan yang oligarkis, penyalahgunaan kekuasaan, yang akan berdampak pada perilaku koruptif di berbagai daerah, tertutupnya akses bagi kader potensial bangsa yang semestinya disambut melalui ruang publik yang sehat serta mempunyai kemampuan untuk melahirkan perubahan sosial yang kita impikan bersama.
Berangkat dari fenomena demikian, tentunya menjadi kehawatiran bersama, karena sangat mengancam cita-cita ideal dari semangat awal lahirnya desentralisasi dan otonomi daerah. Dan pada akhirnya politik lokal hanyalah panggung kontestasi elit-elit lokal dan juga oligark, bukan untuk rakyat. Merekalah yang sesungguhnya membajak demokrasi di aras lokal. Rakyat hanya dijadikan pemuas hasrat dalam meraih kekuasaan. Kompetisi yang fair menuju kebaikan bersama yang digembar-gemborkan oleh Schumpeter sejatinya tidak akan pernah lahir ketika masih ada pertentangan kelas, yakni kelas yang menindas dan kelas yang ditindas.
Menyoal Politik Lokal dalam Kerangka Teori Kubus Kekuasaan
Dalam membaca percaturan politik di aras lokal, penulis menggunakan teori kubus kekuasan (power cube), kubus kekuasaan adalah teori yang digagas oleh John Gaventa melalui buku Politik Lokal yang ditulis oleh Abd. Halim. Teori power cube muncul sebagai analisis baru untuk memahami kekuasan khususnya di aras lokal yang menjadi fokus tulisan ini. Teori power cube berangkat dari persoalan kekuasaan yang begitu kompleks yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia [2]. Berdasarkan teori power cube, secara umum, kekuasaan dipahami sebagai kontrol seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain. John Gaventa mendefinisikannya sebagai sebuah kerangka berpikir untuk menganalisis tiga dimensi kekuasaan: level, ruang dan bentuk kekuasaan.
Dalam pandangannya, Gaventa menilai ada beberapa bentuk kekuasaan yang menjadi pokok pembahasan dalam konteks dialektika kekuasaan di daerah. Pertama, kekuasaan yang terlihat, kekuasaan yang tersembunyi, dan kekuasaan yang tidak terlihat.
Kekuasaan di aras lokal
Pertama, kekuasaan yang terlihat. Bentuk kekuasaan yang terlihat adalah wujud kontestasi kepentingan yang terlihat secara kasat mata di depan publik. Lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, dan organisasi massa adalah contoh dari bentuk kekuasan yang terlihat. Sebagai bentuk kekuasaan yang terlihat, lembaga tersebut juga tempat untuk memproduksi berbagai macam kebijakan, secara otomatis terdapat pula aktor-aktor yang bermain di dalamnya serta beragam kepentingan yang berseteru. Kekuasaan yang terlihat bisa kita amati melalui lembaga-lembaga formal ditingkat pusat maupun di daerah, di level pusat misalkan, berbagai macam kebijakan dihamparkan di publik. Sepintas publik bisa melihat darimana kebijakan itu muncul, namun satu hal yang bisa dipastikan publik tidak mengetahuinya secara jelas, dalam proses kebijakan itu kepentingan siapa yang diakomodir oleh penguasa.
Dari gambaran tersebut bisa diketahui wujud kekuasaan yang terlihat. Begitupun yang terjadi di daerah, pascajatuhnya rezim diktator Soeharto yang sentralistik, lahirlah yang kita sebut sebagai zaman “reformasi”. Bersamaan dengan itu, tepat pada tahun 2004 disahkan pula konsep otonomi daerah. Asumsi dasar konsep ini adanya desentralisasi kekuasan sebagai upaya untuk mendekatkan negara pada rakyat. Dalam kaitannya dengan kekuasaan yang terlihat di daerah publik disuguhi dengan ramuan-ramuan yang terkesan menyehatkan, bentuknya kita bisa menyaksikan ketika musim pilkada mendengung di telinga publik, para elit-elit politik juga elit partai beramai-ramai untuk turun di massa rakyat, memberikan arahan serta mengajak rakyat untuk terlibat dalam proses pilkada, adalah bukti bagaimana kekuasaan yang terlihat dijalankan dalam momentum pilkada.
credits to: gunheryanto.blogspot.com
Namun seiring berjalannya konsep desentralisasi, dinamika politik di aras lokal juga tidak luput dari berbagai macam praktik-praktik yang justru mengancam semangat awal lahirnya desentralisasi. Paradoksal desentralisasi semakin menunjukkan wujudnya ketika daerah dijadikan ajang kontestasi dan adu kepentingan sebagai upaya pelibatgandaan kekayaan untuk segelintir orang, merebaknya dinasti politik di daerah, dan maraknya korupsi di daerah, dan menguatnya struktur kekuasaan yang oligarkis menegasikan apa yang disebut Vedi Hadiz bahwa kebebasan daerah yang digawangi desentralisasi adalah pintu untuk kembali masuknya kekuatan-kekuatan elit-elit lama dan juga oligarki, oligarki di bawah patronase rezim orde baru kini kembali menguatkan diri melalui desentralisasi dan juga demokrasi lokal yang melahirkan struktur politik yang oligarkis.
Kedua, untuk menganalisis diaklektika kekuasaan di daerah yang secara kasat mata tidak terbaca oleh publik, John Gaventa merekomendasikan tema kekuasaan yang tidak terlihat. Wujud dari kekuasaan yang tidak terlihat ini lebih pada proses ideologisasi. Potret wajah politik Orde Baru, dimana otoritas tunggal berada di tangan Soeharto. Kekuatan militer yang menopang rezim Orde Baru membuat Soeharto berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Untuk memuluskan kepentingan rezim Orba, Pancasila menjadi salah satu alat politik penguasa. Siapapun yang mengritik negara sudah tentu dituduh menantang pancasila. Hal ini terbaca seolah-olah pancasila melegalkan tindakan amoral itu. Instrumen agama misalkan menjadi salah satu alat propaganda elit untuk memuluskan kepentingan mereka, dimana nilai-nilai spiritualitas disebarluaskan ke masyarakat. Salah satu contohnya adalah ketika Walikota Malang mengajak masyarakat Kota Malang untuk sholat subuh melalui banner-banner yang terpampang di setiap pinggir jalan kota Malang. Di balik anjuran mulia ini menyelinap kepentingan terselubung. Agama dijadikan alat propaganda politik untuk membius kesadaran masyarakat.
Terbukti ketika ketua DPRD kota Malang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK juga ternyata melibatkan walikota Malang pada tanggal 9 Agustus 2017. Himbauan yang berisikan pesan-pesan spiritualitas menghiasi setiap penghujung jalan kota Malang ternyata tidak berbanding lurus dengan moral para pejabat. Ironi ini yang sedang kita saksikan. Kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan yang korup pascahajatan demokrasi adalah bukti bahwa topeng religius dan ideologis telah terbuka di mata publik.
Ketiga, bagi Gaventa kekuasaan yang tersembunyi merupakan kekuatan yang dilakukan untuk kepentingan pribadi, dan untuk mempertahankan kepentingan maka ada upaya untuk membendung suara kritis rakyat. Model kekuasaan yang terakhir ini bisa kita lihat dalam internal Institusi partai politik, proses seleksi kader partai yang maju dalam ajang kontestasi begitu tersembunyi dari perhatian publik[3], contoh lainnya juga ketika ada kasus-kasus yang disidangkan secara tertutup yang semestinya itu terbuka, adalah bukti bahwa “kepentingan” begitu tertutup. Dalam kondisi tersebut Gaventa menyebutnya sebagai kekuasaan yang tersembunyi.
Konfigurasi Elite dalam Dialektika Kekuasaan di Aras Lokal
Sistem sentralistik kini sudah terkuburkan seiring runtuhnya rezim orde baru, namun satu hal yang bisa kita pastikan bahwa elemen-elemen orde baru tidak ikut terkuburkan. Polemik politik lokal menurut Vedi Hadiz adalah tertatanya kembali jaringan oligarki di bawah patronase rezim orde baru melalui sistem desentralistik. Apa yang disampaikan oleh Vedi Hadiz adalah wujud perubahan tren politik saat ini yang banyak kita temukan pada tingkat pemerintahan daerah yang mulai tergerus oleh kuasa modal dalam berjalannya roda pemerintahan. Faktor persekongkolan sekelompok elit tersebut dalam keberhasilan meraih kekuasaan, memberikan sumbangsih pemahaman bahwa demokrasi aras lokal telah dibajak oleh elit-elit yang bekerja sama dengan oligark. Jika di zaman Orde Baru oligarki berada di tangan penguasa tunggal, maka pada era desentralisasi varian-varian baru mulai bermunculan. Ciri utama yang dapat dikenali ialah mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem politik dan tidak pernah terlibat langsung dalam arena kekuasaan. Mereka beroperasi di belakang layar. Oleh Winters, gejala tersebut dipahaminya sebagai oligarki sipil, yakni oligark yang menitipkan kekuasaannya melalui lembaga-lembaga hukum.
Gambaran carut-marut wajah politik lokal di atas tidak sendirinya muncul tanpa dalang sebagai penggeraknya. Ada aktor yang turut mengambil peran, jika merujuk pada teori kubus kekuasaan yang digagas Gaventa, diantaranya: elit partai politik, elit birokrasi, elit ekonomi, dan elit agama. Semua komponen elit tersebut memiliki keterikatan menuju satu kepentingan. Yang paling nampak adalah elit politik-birokrasi dan elit ekonomi, ketika elit politik ingin menancapkan kekuasaannya di aras lokal maka butuh sokongan modal besar untuk melancarkan semua agenda-agenda politik tersebut, elit ekonomi hadir untuk menyokong modal secara besar-besaran dengan kepentingan yang terselubung. Dalam konteks inilah kong-kalikong antara elit politik dan ekonomi begitu kuat, ketika elit politik berhasil maka elit ekonomi secara otomatis akan mendapatkan kemudahan dalam menjalankan bisnisnya sekaligus mempermulus agenda penjarahan dan pengamanan aset.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kekuatan oligark dan elit telah mengambil peran dominatif atas institusi-institusi demokrasi. Ketika demokrasi telah dibajak oleh aliansi oligark-elit politik, selamanya merekalah sebagai pelaku utama dalam kehidupan politik. Untuk menjawab problem tersebut, Gaventa merekomendasikan; kewajiban bagi kelompok intelektual maupun NGO di aras lokal ialah mendidik rakyat untuk berpikir kritis dan berlanjut pada mobilisasi massa rakyat untuk meruntuhkan skenario gelap antar elit-oligark yang kian masif. Galakkan gerakan lintas lembaga yang menyatu pada korban tirani. Mengingat keberadaan kelompok oposisi sejauh ini lebih berorentasi pada kepentingan isu masing-masing yang digagas. Inilah yang membuat gerakan-gerakan NGO di Indonesia pada umumnya dan di daerah pada khususnya tak membuahkan hasil untuk meruntuhkan struktur kekuasaan yang oligarkis. Selain fragmentasi gerakan, arah gerakan yang digagas juga harus menyentuh pada persoalan mendasar yang mengkaji di balik fenomena yang nampak di depan kita, tanpa memulainya dari aspek mendasar, mustahil untuk meruntuhkannya.
[1]Abd Halim, Politik Lokal; Pola, Aktor dan Alur Dramatikalnya, LP2B, Tahun 2014, hal. 48
[2]Muliansyah Abdurrahman Ways, Demokrasi; Serial Sosial-Politik Lokal di Indonesia, Intelegensia Media, Tahun 2016, hal. 22
[3]Vedi Hadiz, Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, Lp3es, Tahun 2005, Hal 239.
*Sumber gambar utama: yuliarahmiaccountingunand08.blogspot.com