Sisi Lain Budaya dalam Masyarakat Industrial*

Oleh:
Ahmad Gatra Nusantara

Perkembangan industri yang sangat cepat dan masif telah memengaruhi banyak aspek, termasuk budaya. Di bawah arus industrialisasi, budaya –yang merupakan wujud dari ekspresi atau pemikiran masyarakat– telah kehilangan maknanya dan diperlakukan layaknya sebuah produk dalam logika kapitalisme. Hal ini kemudian melahirkan istilah industri budaya (culture industry) yang diperkenalkan oleh dua anggota Mazhab Frankfurt, Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam salah satu bab berjudul Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception dalam buku Dialectic of Enlightenment (1947). Adorno dan Horkheimer mengkritisi kehadiran budaya yang masif dalam masyarakat kapitalis sebagai budaya yang berasal dari produk industri semata dan tidak berasal dari ekspresi kultural masyarakat. Hal inilah, menurut pernyataan Adorno (1991:98) dalam tulisannya Culture Industry Reconsidered, yang menyebabkan sebutan culture industry lebih dipilih untuk menggambarkan fenomena ini ketimbang budaya massa (mass culture). Tetapi sebenarnya kedua hal ini identik satu sama lain –pemilihan istilah yang satu daripada yang lain bersifat subjektif– karena sama-sama merujuk pada pemaknaan budaya sebagai produk yang berhasil dikomersialisasikan dan pada umumnya sejalan dengan pemikiran dominan.

Industri budaya, yang membawa hasil kerja seni sebagai pembungkus produknya, ternyata lebih mengutamakan aspek ekonomi dalam rasionalitas kapitalis ketimbang untuk membawa pencerahan ke dalam masyarakat. Karya seni seharusnya menjadi sebuah pencerahan bagi kemanusiaan, namun industri budaya, dalam pandangan Adorno dan Horkheimer, malah menyebabkan kemunduran terhadap otonomi individu atau regresi terhadap makna sebenarnya dari pencerahan. Industri budaya juga bertumpu pada hadirnya teknologi –yang juga merupakan sebuah alat pencerahan– namun, ‘kedua alat pencerahan’ ini justru digunakan sebagai alat kontrol, dominasi dan penindasan. Adorno & Horkheimer (2002:95) berpendapat bahwa rasionalitas dari teknologi merupakan rasionalitas dari dominasi itu sendiri. Lebih lanjut, mereka menganggap bahwa hadirnya industri budaya dalam masyarakat telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh, dimana manusia hanya dinilai sebagai objek untuk memperoleh keuntungan –baik itu sebagai pembeli ataupun pekerja. (Adorno & Horkheimer, 2002:118).

Kontrol dan dominasi terhadap massa memang merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh para pencipta industri budaya. Dalam proses penciptaannya, budaya diproduksi atau direproduksi secara mekanis agar dominasi terhadap massa dapat terus dipertahankan (Subijanto, 2013). Massa yang telah didominasi merupakan aspek penting untuk mencapai tujuan utama industri budaya, yaitu untuk memperoleh laba. Penciptaan yang semata-mata untuk kepentingan laba, menggerus esensi dari budaya itu sendiri. Budaya, di dalam relasi budaya kapitalis, telah diubah menjadi komoditi (komodifikasi budaya). Masyarakat sebagai konsumen sendiri hanya dilihat sebagai “angka-angka statistik pada grafik lembaga penelitian, dan dikelompokkan berdasarkan pendapatan ekonomi ke dalam warna merah, hijau, dan biru; sebuah teknik yang diterapkan ke dalam segala jenis propaganda.” (Adorno & Horkheimer, 2002:97).

 

Teknologi dan Inovasi

Teknologi memiliki peran penting dalam produksi dan distribusi produk budaya kepada khalayak luas. Penemuan-penemuan dalam teknologi –media elektronik misalnya– berkontribusi besar terhadap masifnya komersialisasi produk industri budaya. Power dan Scott (2004:4) dalam Technology, Organization and Work in the Cultural Economy mengatakan “di sepanjang era produksi massal, sektor dominan berkembang melalui perubahan bentuk teknologi dan mengganti semua fokus pengorganisasian pada proses rutinisasi dan penelitian pada skala ekonomi internal.” Tetapi, hadirnya teknologi juga menghilangkan nilai seni dari budaya itu sendiri. Teknologi, yang dipandang sebagai sesuatu yang netral, ternyata ikut melanggengkan berjalannya sistem dalam era industrialisasi.

Herbert Marcuse menilai bahwa teknologi bukanlah sesuatu yang bebas nilai (netral). Memang benar hadirnya teknologi dapat membantu pemenuhan keinginan manusia, namun keinginan yang terpenuhi di sini berasal dari apa yang didiktekan oleh sistem. Di dalam sistem kapitalisme, perusahaan-perusahaan produsen industri budaya lebih mengedepankan, apa yang disebut Adorno (1991:100) sebagai standardisasi dan teknik distribusi. Standardisasi oleh para produsen membantu terbentuknya selera dalam masyarakat. Budaya-budaya massa yang ada dalam masyarakat merupakan hasil propaganda dari para pencipta produk industri budaya. “Konsumen muncul sebagai puppet (boneka yang dikendalikan) dari kapital” (Raunig, 2007). Tujuan dari propaganda ini tidak lain untuk menyeragamkan dan mem-pasifkan massa agar kontrol dan dominasi terus terjaga serta untuk memperkecil potensi resistansi. “Di bawah monopoli, semua budaya massa menjadi identik, dan kontur dari kerangkanya, bingkai pembentuk konseptual yang dibuat dari monopoli, mulai tampak” (Adorno & Horkheimer, 2002:95).

Hal ini pun menjadi penghalang terhadap kreatifitas produksi individual yang mau tidak mau harus mengikuti standar yang telah ditetapkan. Orang-orang kreatif yang memiliki ide-ide baru dan lebih mengutamakan mutu, dibatasi kerjanya dan dituntut untuk lebih mengutamakan kepada penciptaan karya-karya yang dapat dikomersilkan. “Hal ini dapat menciptakan konflik berkelanjutan antara seniman yang aktif dalam industri budaya dan pihak yang memiliki kekuasaan dalam industri tersebut” (Adorno, 1991:101). Pada kenyataannya, perilaku kreatif sebenarnya juga dibutuhkan dalam sistem industrial. Tetapi, kreatif yang dimaksud bukan pada penciptaan sesuatu yang benar-benar orisinil, tetapi lebih kepada inovasi yang kreatif. Agar tetap bertahan dan bisa menghasilkan laba, inovasi sangat perlu dalam proses produksinya. Menurut pandangan ekonom Joseph Schumpeter (2014, dalam Mulyanto, 2018:254) kunci pertumbuhan ialah inovasi dan keberadaan orang-orang inovatif yang berani mengambil resiko dengan ‘pengrusakan yang kreatif’ melalui penggantian (teknologi) yang lama dengan yang baru.” Pandangan Joseph Schumpeter ini dikenal dengan istilah destruksi kreatif (creative destruction). Yakni proses mutasi industrial yang secara terus-menerus merombak struktur ekonomi dari dalam, menghancurkan yang lama dan menciptakan yang baru tanpa henti.

Perilaku semacam ini cenderung lebih ditekankan dalam praktik industrial. Dibanding menciptakan sesuatu yang baru –tanpa jaminan dapat mendatangkan keuntungan dan bahkan dapat berujung kepada kerugian– lebih baik mengadopsi sesuatu yang sudah familiar dalam masyarakat. “Industri budaya menggabungkan ‘yang lama’ dan ‘familiar’ ke dalam suatu kualitas baru” (Adorno, 1991:98).

Dalam inovasi teknologi, hal ini dapat ditemui di mana-mana. Seperti telepon kabel menjadi telepon seluler, buku cetak ke buku elektronik, dari menonton film di bioskop ke menyewa kaset DVD hingga mengunduh langsung dari internet, dan sebagainya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan skema pada industri budaya. Kita dapat melihat bagaimana pola regenerasi pop star dalam industri musik (Justin Timberlake-Justin Bieber atau Mariah Carey-Ariana Grande). Kemudian pada aspek musikalisasi dalam genre musik pop, menurut Matthews (2015 dalam Buchler, 2016) banyak lagu pop yang mengikuti chord progression (perubahan nada secara horizontal dan vertikal) yang sama, dikarenakan hal tersebut dapat menciptakan suara yang menarik dan menghibur telinga manusia. Contoh lain juga dapat diperhatikan dalam industri film, dimana film-film, khususnya yang bertema drama romantis atau komedi romantis, memiliki alur cerita yang tidaklah terlalu sulit untuk ditebak dan lebih mudah untuk dicerna. “Perbedaan mencolok antara film A dan B, atau antara cerpen-cerpen yang dimuat di majalah dalam pangsa harga yang berbeda, tidaklah terlalu signifikan satu sama lain” (Adorno & Horkheimer, 2002:97). Kekuatan inovasilah yang membuat produk-produk industri atau industri budaya kebanyakan selalu mendapat tempat di dalam masyarakat, sehingga tidak menjadi barang terbengkalai. Fenomena ini, di satu sisi dapat mempermudah dan memberi kesenangan untuk hidup manusia, dan di sisi lain juga dapat merusak esensi kehidupan, membawa pada perilaku pasif, dan semakin terkikisnya kesadaran dikarenakan logika instrumental telah mengikis logika objektif dalam diri manusia.

Dalam perkembangannya, industri budaya dengan sifatnya yang dinamis berhasil melebur antara budaya massa (ciptaan industri) dan budaya yang muncul secara spontan sehingga melahirkan budaya populer (pop culture). Dalam perspektif Anthony Bennet (dalam Setiawan, 2016) budaya populer disebut sebagai sebuah medan kekuatan dari relasi-relasi yang dibentuk oleh tekanan-tekanan dan tendensi-tendensi yang saling berkontradiksi. Proses peleburan tersebut kembali mencerminkan sebuah proses kerja yang inovatif. Dari awal terciptanya hingga sekarang, industri budaya tidak pernah benar-benar melakukan kerja-kerja kreatif dalam proses produksinya. John Fiske (1995:325-326 dalam Setiawan, 2016) menyatakan bahwa budaya populer secara khusus terikat pada produk dan teknologi budaya massa, tetapi kreativitasnya berada dalam cara-cara menggunakan produk dan teknologi tersebut, bukan dalam proses produksinya.

Peran Media

Tidak dapat dipungkiri jika media merupakan salah satu motor penggerak utama dalam penyebaran atau distribusi secara masif produk industri budaya. Pop culture hadir dan berkembang dalam masyarakat modern karena peran signifikan media, terlebih jika melihat perkembangan teknologi dalam media itu sendiri –televisi, radio, majalah, internet dan lain-lain.

Salah satu elemen terpenting dalam “komersialisasi” produk industri budaya ialah melalui iklan. Iklan menjembatani hubungan antara produsen dan konsumen. Berkatnya, budaya yang diproduksi oleh pabrik ini berhasil melakukan invasi dalam skala global. “Iklan merupakan pesan yang menawarkan sebuah produk yang ditujukan kepada khalayak lewat suatu media yang bertujuan untuk mempersuasi masyarakat untuk mencoba dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan” (Jamjam, 2013 dalam Arviani, 2013:132). Dari penggunaan jargon persuasif, hingga menampilkan bintang iklan yang menarik secara fisik atau popularitas merupakan beberapa contoh cara-cara yang dinilai efisien untuk mendapatkan perhatian kosumen. Seiring berjalannya waktu, promosi-promosi yang dilakukan oleh industri semakin masif.

Produsen selalu hadir ‘sebagai pelayan’ yang sangat menjunjung tinggi kepuasan dan kenyamanan konsumen. Menurut Adorno (1991:99) para konsumen tetap produk industri budaya bukanlah raja –para produsen mencoba untuk menanamkan keyakinan tersebut (pelanggan adalah raja) pada konsumennya– tetapi hanya dipandang sebagai objek untuk kepentingan komersil. Masifnya iklan ternyata juga membuat industri-industri pun harus bersaing dalam upaya untuk mengkomersilkan produknya. Contohnya seperti pada televisi, mereka bersaing untuk mendapatkan tempat pada jam-jam di mana banyak konsumen yang menyaksikan siaran TV (prime time). Kemudian di negeri Paman Sam, tiap produsen harus membayar sebesar $5 juta lalu kemudian bersaing untuk menampilkan produk mereka semenarik dan sekreatif mungkin –dengan porsi waktu ±30 detik– di hadapan lebih dari 100 juta pemirsa yang menyaksikan event olahraga tahunan terbesar di Amerika Serikat Super Bowl. Pada Super Bowl 2018 ada sekitar 45 iklan yang ditayangkan (Rodriguez, 2018). Dalam hal ini, tentu saja, hanya industri-industri terkuat –seperti Amazon, Coca-Cola, Paramount, Toyota, Verizon dan lain-lain– yang akan berjaya.

Intensitas iklan yang sangat tinggi juga berdampak kepada targetnya. Pappas (2000) dalam Arviani (2013:132) menyatakan, “diperkirakan rata-rata seorang konsumen terekspos lebih dari 5000 iklan setiap harinya.” Masifnya produksi produk budaya dan keberhasilan media dalam mempromosikan produk tersebut menciptakan perilaku konsumtif yang tinggi dalam masyarakat. Perilaku konsumtif cenderung lebih mengutamakan kegunaan nilai ketimbang kegunaan materiil. Menurut Conrad Lodziak (2002:1) “makna sifat dasar dari konsumsi ialah lebih melambangkan nilainya ketimbang kegunaan materiilnya, dan hal itu menekankan arti konsumsi sebagai pembentuk, pemelihara dan ekspresi jati diri dan gaya hidup.” Konsumerisme pada umumnya memang menjangkit masyarakat yang kuat secara ekonomi, seperti apa yang dikatakan Ernst Engel tentang hubungan antara perilaku konsumtif dengan tingkat pendapatan. Hukum Engel mengatakan bahwa peningkatan pada pemasukan –yang di luar untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup– akan berakibat pada meningkatnya konsumsi terhadap sesuatu yang sifatnya non-esensial atau barang-barang mewah secara tidak proporsional (Power & Scott, 2004:4).

Pola perilaku konsumen yang seperti ini memunculkan apa yang disebut sebagai fetisisme (pemberhalaan) komoditas. Fetisisme komoditas adalah kepercayaan bahwa suatu barang mempunyai nilai di dalam dan dari dirinya sendiri, terpisah dari kerja yang telah tercurah ke dalamnya (Cohen, 1978:119 dalam Mulyanto, 2018:89). Dalam produksi industri budaya seperti kesenian, perilaku fetis memang kerap ditemui. Segelintir orang rela menggelontorkan dana tinggi untuk suatu karya yang menurut mereka memiliki nilai seni tinggi. Menurut Adorno dan Horkheimer (2002:128) esensi nilai seni tersebut merupakan hasil dari penilaian sosial yang disalahartikan oleh konsumen sebagai kualitas baik dari suatu karya seni. Konsumsi masyarakat tidak lagi sesuai dengan apa yang benar-benar mereka butuhkan dan ini melahirkan istilah ‘kebutuhan palsu’ (false need).

Dalam buku One-Dimensional Man, Herbert Marcuse (2002:7) memberikan pandangan soal ‘kebutuhan palsu’ yaitu sesuatu yang berasal dari minat sosial tertentu yang dilapiskan ke atas individu yang sifatnya represif, atau kebutuhan yang melanggengkan kerja paksa, agresivitas, penderitaan, dan ketidakadilan. Marcuse menambahkan bahwa hal ini dapat berujung kepada perilaku masyarakat yang cenderung menikmati, bertindak dan mengkonsumsi mengikuti apa yang ditawarkan iklan, atau selera suatu individu sesuai dengan selera umum (Marcuse, 2002:7). Inilah yang menjadi fase dimana masyarakat menjadi pasif akibat terlalu bergantung kepada industri budaya. Pasif di sini bisa diartikan sebagai kepasifan masyarakat dalam menerima apa yang ditawarkan (tanpa memilah-milah). Selain itu bisa juga diartikan sebagai akibat dari perilaku konsumsi secara intensif yang membuat masyarakat menjadi pasif (menidurkan kesadaran rakyat). “Kenyataan bahwa mereka (industri budaya) bukanlah apa-apa kecuali hanya sekedar bisnis menjadi sebuah ideologi yang mereka gunakan untuk melegitimasi tindakan mereka dalam memproduksi barang rongsokan dengan sengaja.” (Adorno & Horkheimer, 2002:95).

Resistansi Budaya

Adorno dan Horkheimer mengamati bahwa barang dagangan yang dihasilkan oleh industri budaya kebanyakan diterima oleh masyarakat dengan respon baik tanpa banyak perlawanan atau penolakan. Namun, mengapa standardisasi yang berasal dari industri tersebut cenderung lebih mudah menyebar dan diterima, dengan tingkat resistansi yang rendah dari masyarakat?

Adorno dan Horkheimer (2002:95) mencoba menjawab pertanyaan ini dengan memberikan argumen-argumen yang berasal dari para pelaku industri budaya dalam konteks teknologi. Menurut mereka, dikarenakan banyaknya jumlah konsumen, proses reproduksi menjadi sebuah tuntutan, yang mau tidak mau mendorong pada penerapan produk standar untuk memenuhi kebutuhan yang sama dari lokasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pertentangan teknis antara kecilnya jumlah pusat produksi dan luasnya penyebaran produk mengharuskan adanya pengorganisasian dan perencanaan dari pihak manajemen. Lebih lanjut, pelaku industri budaya mengklaim bahwa standardisasi industri berasal dari kebutuhan azali konsumennya, dan produk yang diproduksi merupakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga menjadi lebih mudah untuk diterima.

Tetapi, ada hal yang tidak disebutkan dari argumen tersebut, yaitu bahwa sesuatu yang mendasari dominasi teknologi atas massa adalah kekuatan dominan dari mereka yang paling kuat secara ekonomi (yang menguasai kapital) dalam masyarakat (Adorno & Horkheimer, 2002:95).

Melihat perkembangan pada industri budaya dan sistem penopangnya, kemungkinan untuk lepas dari genggamannya yang sangat kuat bisa dikatakan sangatlah sulit. “Keinginan untuk lepas dari pusat kontrol (industri budaya) telah direpresi melalui kendali atas kesadaran individu” (Adorno & Horkheimer, 2002:95). Sementara itu, menurut Marcuse (2002:261) “besarnya kapabilitas secara ekonomi dan teknologi pada masyarakat mapan memungkinkan terjadinya pengaturan dan konsesi bagi yang tertindas.” Cara pendistribusian yang demokratis –bisa diakses semua orang– ternyata bertujuan untuk menjebak konsumen ke dalam mode otoritarian. Adorno dan Horkheimer melihat industri budaya sebagai sebuah alat untuk memanipulasi massa (menghilangkan perilaku dan berpikir kritis serta mudah untuk dikontrol dan disubordinasi).

Pihak atau kelompok yang menciptakan budaya atau malah menggunakan produk budaya untuk perlawanan, kebanyakan tergusur oleh kekuatan dominasi industri budaya. Contohnya, bisa dilihat pada hilangnya makna perlawanan dari aliran musik punk atau rap setelah diadopsi oleh industri dan dikomersilkan ke khalayak luas. Hal yang sama juga terjadi pada fashion jeans, yang menjadi simbol perlawanan anak muda di era 1950an terhadap fashion yang umum dikenakan oleh kelas borjuis (jas, dasi, kemeja, celana kain). Contoh di atas juga merupakan salah satu praktik inovasi kreatif dalam industri budaya.

Konsumen produk industri budaya dalam era kapitalisme global sebenarnya tidak selamanya pasif dalam menerima sesuatu yang ditawarkan. Masih ada individu yang tetap kritis pada apa yang ditawarkan dan tetap memberi apresiasi pada proses penciptaannya ketimbang hanya melihat kepopuleran suatu produk. Namun, menurut Adorno dan Horkheimer ada semacam konsekuensi sosial terhadap mereka yang menolak menjadi budak industri budaya. Mereka berpendapat jika individu memilih untuk bersikap tidak mau tunduk atau menolak pembaruan di dalam sistem yang diterapkan industri budaya, individu tersebut akan dicap sebagai ‘orang aneh’ di dalam masyarakat (Tknoell, 2012 dalam Buchler, 2016). Tidak dapat dipungkiri, jika sistem dalam masa industrialisasi ini yang membentuk pola pikir dan perilaku produsen dan konsumen. Namun, hadirnya budaya massa di tengah-tengah masyarakat mungkin tidak selamanya buruk, melihat potensinya yang sebenarnya bisa bertindak sebagai sebuah counter-hegemony. Yang terpenting ialah tetap menjaga kesadaran dan melihat “relasi-relasi sosial dan relasi-relasi kuasa juga wacana apa yang ada di balik itu semua” (Setiawan, 2016). Menjaga agar kesenangan tersebut tidak menjauhkan kita dari permasalahan-permasalahan yang esensial dalam kehidupan dan tidak membuat kita menjadi seperti sekumpulan domba yang digiring demi kepentingan penguasa dalam sistem yang menindas.

*Tulisan ini pernah diterbitkan di majalah LPM Siar Edisi 21 2018. Dipublikasikan di sini untuk tujuan pendidikan.

______________________________________________________________________________

Referensi

Adorno, T. 2001. The Culture Industry (Selected Essay on Mass Culture). London & New York: Routledge Classics.

Adorno, T. W. & Horkheimer, M. 2002. Dialectic of Enlightenment (Philosophical Fragment). California: Stanford University Press.

Arviani, H. 2013. Budaya Global dalam Industri Budaya: Tinjauan Madzhab Frankfurt Terhadap Iklan, Pop Culture, dan Industri Hiburan, 1(2), 130-141. (online) http://eprints.upnjatim.ac.id/4852/1/7._130-141_Heidy_Arviani_-_Budaya_Global_dalam_Industri_Budaya.pdf (diakses 5 November 2018)

Blunden, A. 1998. Theodor Adorno and Max Horkheimer (1944) The Culture Industry: Enlightenment As Mass Deception. (online) https://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm (diakses 20 Oktober 2018)

Buchler, B. 2016. The Culture Industry. (online) https://medium.com/@bryanbuchler/the-culture-industry-dd26b96ce21d (diakses pada 8 November 2018)

Cole, N. L. 2018. The Frankfurt School of Critical Theory (online) https://www.thoughtco.com/frankfurt-school-3026079 (diakses 30 Oktober 2018)

Lodziak, C. 2002. The Myth of Consumerism. London: Pluto Press (online) https://is.muni.cz/el/1421/podzim2007/ESB031/um/4205071/LODZIAK_-_The_Myth_of_Consumerism.pdf (diakses pada 3 November 2018)

Marcuse, H. 1991. One-Dimensional Man. London & New York: Routledge Classics.

Mulyanto, D. 2018. Geneologi Kapitalisme (Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book

Power, D. & Scott, A. J. 2004. Cultural Industries and the Production of Culture. New York & Oxon: Routledge.

Raunig, G. 2007. Creative Industries As Mass Deception (online) http://eipcp.net/transversal/0207/raunig/en (diakses pada 3 November 2018)

Rodriguez, A. 2018. Here Are All the Super Bowl Commercials in this Years’s Game – From Big Tech to the Big Names. (online) https://qz.com/1192943/super-bowl-commercials-2018-all-the-ads-playing-during-the-game/ (diakses 8 November 2018)

Setiawan, I. 2016. Sekali Lagi, Industri Budaya: Sebuah Review (online) http://matatimoer.or.id/2016/08/18/sekali-lagi-industri-budaya/ (diakses pada 28 Oktober 2018)

Setiawan, I. 2016. Politik Budaya Populer: Antara Populisme, Resistensi, dan Hegemoni (online) http://matatimoer.or.id/2016/03/24/politik-budaya-populer-antara-populisme-resistensi-dan-hegemoni/ (diakses 10 November 2018)

Subijanto, R. 2013. Rangkaian kritik terhadap tiga pendekatan ‘kritis’ kajian budaya (Bag. 3, habis) (online) https://indoprogress.com/2013/05/rangkaian-kritik-terhadap-tiga-pendekatan-kritis-kajian budaya-bag-3-habis/ (diakses 7 November 2018)

______________________________________________________________________________
*Penulis merupakan mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Malang 2014, Peserta Sekolah Ideologi & Gerakan Sosial IV Intrans Institute
*Sumber gambar utama: medium.com

Tinggalkan Balasan