Sebagai sebuah sistem, kapitalisme mengidap penyakit kronis yang akut dalam dirinya. Akibat keharusan akumulasi berkelanjutan, ia begitu rentan krisis. Sejak lahir, tak hanya sekali penyakit tersebut mendera. Coba dipulihkan melalui berbagai macam resep ekonom borjuis lewat pendekatan mekanis ala teknokrat, alih-alih membuatnya sembuh total, apa yang mereka berikan tak lebih dari sekedar pereda nyeri. Kapitalisme tetap berlanjut, dan dampaknya semakin menggila di kemudian hari. Krisis finansial 2008 sebagai krisis terparah dari pada krisis sebelum-sebelumnya adalah buktinya.
Jauh-jauh hari, berbagai macam kritik telah dilontarkan. Tak terkecuali oleh Rosa Luxemburg, penganjur sosialisme dan persatuan kelas pekerja yang konsisten. Ia lahir pada 15 Maret 1871 di Zamosc, Polandia. Dalam karya-karyanya, ia mengafirmasi bahwa kapitalisme tidak akan sanggup menyelesaikan berbagai macam krisis yang inheren dalam tubuhnya. Karena itu, hanya satu solusinya: menggantikan sistem usang tersebut dengan sistem produksi baru yang rasional.
Rosa adalah pejuang revolusioner yang tangguh, berani dan brilian. Lenin menyebutnya “Sang Elang”. Ketika usianya baru menginjak 13 tahun, saat Kaisar Wilhelm I dari Prusia berkunjung ke Warsawa dan anak-anak seumurannya diperintahkan berbaris menyambutnya, Rosa justru melambungkan sepucuk surat protes kepadanya atas kebijakan perang dan gaya hidup bangsawan yang membuat mayoritas rakyat menderita. Rosa konsistenan menantang kecenderungan reformisme dan oportunisme yang menjangkiti Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD), dimana segelintir elite partai ini justru beranggapan bahwa kapitalisme dapat dimodifikasi menjadi sistem yang ramah melalui pembenahan perlahan. Argumen ini diwakili Eduard Bernstein, dan dikritik habis-habisan oleh Rosa melalui tulisannya yang terkenal, “Reformasi atau Revolusi?”.
Di Indonesia, gagasan-gagasan Rosa tak begitu familiar, sekalipun namanya mungkin tak asing didengar. Melalui buku ini, Dede Mulyanto memaparkan kompleksitas pemikiran Rosa Luxemburg yang gaungnya telah melampaui zaman. Pemikiran Rosa, meski tak semuanya, tentu masih relevan dan kontekstual bagi perkembangan gerakan melawan kapitalisme di Indonesia saat ini. Dalam kesempatan ini, Intrans Institute menyelenggarakan Kuliah Umum dan Bedah Buku, yang dipantik langsung oleh Penulisnya, Dede Mulyanto, pengajar di Departemen Antropologi FISIP Universitas Padjajaran dan editor Indoprogress.