Press Release
Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WEST PAPUA)
Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi, Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!
Beberapa hari ini kita ditunjukan video viral penyiksaan oknum-oknum TNI terhadap seorang pemuda Papua di Ilaga, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Penyiksaan tersebut terjadi pada awal Februari 2024 kemarin. Satu bulan setengah kemudian baru video tersebut bertebaran di media sosial. Apa yang tidak diketahui oleh publik bahwa korban sesungguhnya ada tiga orang. Satu orang diantaranya mati pada hari itu. Dua orang lainnya disiksa. Informasi yang kami dapatkan salah seorang yang mati pada hari memilukan itu karena dia diseret menggunakan kendaraan sepanjang kurang lebih satu kilo meter. Sedangkan, Delfianus Kogoya, pemuda Papua yang viral di video penyiksaan tersebut pada akhirnya meninggal di Puskesmas Ilaga.
Ketiga orang pemuda tersebut dituduh anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Tak cukup bukti, setelah menyiksa mereka, pihak aparat kemudian melepaskan dua orang diantaranya untuk kembali kepada keluarganya. Meski begitu dalam pernyataan medianya pihak TNI melalui Kapuspen TNI tetap menyatakan bahwa mereka adalah anggota dari TPN-PB. Aksi bengis tersebut bukan lah cerita baru terjadi di Papua. Dua puluh tahun yang lalu, Yustinus Murib, ditangkap, disiksa dan akhirnya mati terbunuh oleh pasukan TNI. Sebelum mati dibunuh, perutnya disobek hingga ususnya terburai. Yustinus Murib lari sambil memegang ususnya yang sudah terburai itu. Sebelum mati dia jadi bahan mainan aparat TNI selama beberapa waktu.
Apa yang kita lihat bersama dari video viral di media sosial tersebut adalah bentuk kekejian militer yang sudah berlangsung lebih dari 60 tahun sejak aneksasi Papua ke tangan Indonesia. Keberulangan ini terjadi, akan terus terjadi dan sangat mungkin mengalami peningkatan sebab tiap tahunnya mobilisasi TNI/Polri organik dan non organik bertambah banyak. Apalagi, Presiden pemenang pemilu 2024 adalah Prabowo, yang mana cara dia menyelesaikan masalah Papua bukan dengan cara-cara demokratik melainkan melalui kekerasan dan penyerahan diri.
Tanah Papua adalah tanah yang kaya dengan segala macam potensi sumber daya alam. Mobilisasi militer ke Tanah Papua pada dasarnya bukan sekedar untuk menjaga kedaulatan NKRI, selain itu juga menjaga, mengamankan dan dalam banyak hal turut serta dalam aktivitas bisnis di Papua. Perang di Papua tak jarang kita temui juga menjadi bagian dari bisnis militer. Tak sedikit kita akan jumpai berita perihal oknum-oknum TNI/Polri yang menjual peluru dan senjata ke TPNPB, atau bahkan menciptakan “TPN-PB Buatan” agar eskalasi konflik tetap terjaga. Di Tanah Papua, kita akan melihat fakta bahwa eskalasi konflik meningkat berarti uang pengamanan dari negara dan perusahaan juga meningkat, Cuan!
Tentu saja yang menjadi korban adalah masyarakat sipil, yang memang pada umumnya tak menyukai kehadiran militer Indonesia. Ingatan penderitaan (memoria passionis) selama puluhan tahun ini membuat mereka tak merasa hidup dalam “surga dunia”, apalagi merasa dirinya adalah bagian dari komunitas masyarakat Indonesia.
Rakyat Papua menjadi korban daripada sistem kolonial dan praktek militerisme yang sudah menahun. Apa yang kita lihat dalam video viral beberapa hari lalu adalah bukti militerisme masih nyata dan merupakan bahaya laten bagi demokrasi. Dan itu juga berarti bahwa reformasi TNI belum rampung. Di Papua aksi keji mereka adalah cerminan daripada praktek kolonialisme dan rasisme. Tiga belas orang pelaku itu mungkin saja akan berpikir ulang apabila melakukan tindakan semacam itu di Jawa. Tapi terhadap orang Papua ada pembenarannya yang berwatak kolonial dan rasis.
Pemerintah Indonesia menolak untuk menyatakan bahwa TPN-PB adalah freedom fighter. Padahal lahirnya TPN-PB karena adanya invasi dan aneksasi Papua ke tangan Indonesia. Tak mungkin ada perang kalau keadaan mereka damai dan bebas dari penjajahan. Selain itu, Pemerintah Indonesia tak mau memberlakukan hukum humaniter (hukum perang). Akibatnya pihak sipil yang paling banyak menjadi korban. Penolakan ini tentu saja karena pemerintah tak mau ada pengawasan dari lembaga internasional atas “perang terselubung” yang mereka lakukan selama ini di Tanah Papua.
Salah satu korban sipil yang terbukti di pengadilan dia tak bersalah setelah dituduh sebagai anggota TPN-PB adalah almarhum Mispo. Dia disiksa sedemikian rupa. Dan pengadilan di Jakarta membuktikan bahwa dia bukan anggota TPN-PB. Dia akhirnya meninggal sakit setelah beberapa tahun setelah bebas. Dia meninggal karena menolak berobat ke rumah sakit sebab trauma dengan semua lembaga dan fasilitas pemerintah Indonesia.
Tapi masalah kekerasan militer di Papua tak bisa diselesaikan hanya dengan melakukan mutasi, rotasi dan mencopot pejabat militer terkait. Siapa pun di antara prajurit TNI tersebut sangat potensial melakukan kekerasan serupa dan keberulangan akan terpampang kembali di media sosial. Sebab, pada umumnya mereka bangga telah melakukan kekerasan tersebut dalam sudut pandang mereka yang chauvinistic. Akar masalah Papua adalah masalah politik. Jalan politik lahyang harus dikedepankan.
Atas kejadian ini Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan:
- Tangkap dan adili para pelaku termasuk pejabat-pejabat militer yang terkait dalam garis komando tersebut.
- Tarik TNI/Polri Organik dan Non Organik dari Tanah Papua
- Stop melakukan teror terhadap masyarakat sipil Papua.
- Berlakukan dan patuhi Hukum Humaniter di Tanah Papua. Agar kedua belah pihak dapat diawasi sesuai dengan prinsip-prinsip serta aturan Hukum Humaniter
- Akui TPN-PB sebagai freedom fighter alih-alih menyebut mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB)
- Masalah Papua adalah masalah Politik karena itu berikan kebebasan bagi rakyat Papua untuk menyatakan pendapat politiknya secara lugas dan tanpa ancaman
- Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagai solusi demokratis mengatasi masalah Papua
Akan ada banyak nama pemuda Papua yang menjadi korban selain Delfianus Kogoya dan Mispo kedepannya apabila akar masalah Papua tidak ditangani melalui cara-cara demokratik. Mama-Mama Papua melahirkan anak-anak mereka untuk hidup bahagia di atas tanah papua bukan
untuk menjadi korban kekejian aparat. Hormat diberi!
*) Press release ini ditulis oleh Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP). Ditulis ulang di sini sebagai bagian dari solidaritas