Tambang Emas Tumpang Pitu dan Perlawanan Perempuan

Wahyu Eka Setyawan

Aktivis FNKSDA dan Walhi Jatim

 

Senin, 6 Januari 2020, Polda Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat perintah pengamanan tambang emas. Isi surat tersebut, Brimob Polda Jatim diperintahkan terjun dan mengawal pengamanan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT BSI dan Universitas Tri Sakti di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.

Di dalam surat tersebut, Brimob Polda Jatim akan melakukan pengamanan selama satu setengah bulan sejak 7 Januari 2020. Sesaat mereka tiba di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, para personil Brimob Polda Jatim mendirikan tenda di Desa Sumberagung. Situasi ini mengakibatkan kepanikan di warga sekitar.

Tahu kedatangan mereka untuk pengamanan tambang, warga Desa Sumberagung melakukan aksi-aksi penolakan dengan membuat tenda perjuangan tak jauh dari tenda Brimob Polda tersebut. Bagi warga sekitar pertambangan, PT BSI (yang merupakan perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk) telah menyebabkan berbagai problem lingkungan dan sosial atau jamak dikenal dengan problem ekologis.

Secara kualitatif, adanya pertambangan telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup desa Sumberagung, dan menjadi contoh nyata tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sudah ada sekitar 13 orang warga menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat keamanan karena menolak kegiatan pertambangan.

Pelecehan Terhadap Perempuan

Kamis, 9 Januari 2020, kaum perempuan dan warga Sumberagung lainnya tetap bertahan di tenda perjuangan mereka. Namun, kaum perempuan tersebut malah mendapatkan pelecehan dari pihak pekerja tambang. Atas pelecehan tersebut, warga membuat laporan ke Polsek Pesanggaran pada tanggal 9 Januari 2020

Seorang warga bernama Bu SH dilecehkan oleh pihak keamanan tambang emas (Merdeka Cooper Gold) bernama Mus. Dia mengatakan pada Bu SH, “daripada demo tambang mending dodolan (jaulan)”–maaf mengarah ke alat vital perempuan. Kata-kata tersebut dilontarkan dengan keras pada Bu SH dan secara tidak langsung secara umum menyangkut seluruh perempuan yang melawan tambang.

Situasi ini pun berlanjut pada pagi tanggal 11 Januari 2020, sekitar pukul 08.00 WIB, pekerja dan peneliti tambang berencana memasuki wilayah Gunung Salakan. Posisinya tidak jauh dari Gunung Tumpang Pitu. Mereka dikawal ketat kepolisian. Warga, khususnya para perempuan yang mayoritas ibu-ibu dari Desa Sumberagung, lalu menghadang. Setelah lama adu argumen, situasi mencekam pun muncul. Terjadi pemukulan terhadap perempuan. Hingga detik ini, terdapat dua korban perempuan. Dua orang perempuan yang menjadi korban tersebut berinisial (F) dan (S). Saat kejadian, Ibu ‘F’ dipukul di dadanya. Berakibat fatal, ia dilarikan ke RS Sumberagung. Sementara itu, Ibu ‘S’ didorong dengan kencang oleh aparat Polisi hingga jatuh. Sampai- sampai kepalanya terbentur batu lalu pingsan.

Potret ini menunjukkan bahwa kekerasan aparatur keamanan negara khususnya polisi semakin membuktikan watak institusi ini yang anti hak asasi manusia dan patriarkis. Mereka melanggengkan penindasan, khususnya dalam upaya perampasan ruang hidup rakyat. Ini potret buram persoalan HAM dan keadilan di Indonesia yang semakin tidak jelas arahnya.

Perjuangan Perempuan Melawan Tambang

Maria Miles dan Shiva dalam Ecofeminism (2014: 14) mengungkapkan jika, “kita melihat kehancuran bumi dan makhluk-makhluknya oleh para pejuang perusahaan, sebagai keprihatinan kaum feminis. Ini adalah mentalitas maskulin yang sama, yang akan menyangkal hak kita untuk tubuh kita sendiri dan seksualitas kita sendiri, dan yang tergantung pada berbagai sistem dominasi dan kekuatan negara untuk mendapatkan tujuannya.”

Sejalan dengan itu Vandana Shiva juga mengatakan, pembebasan perempuan pada dasarnya tidak dapat dicapai tanpa perjuangan stimultan untuk pelestarian dan pembebasan, terutama terkait semua aspek kehidupan di planet ini dari kangkangan pandangan dunia patriarkis atau kapitalis yang dominan (2014: 16). Kondisi tersebut memunculkan sebuah problem, di mana manusia dipandang terpisah dari alam, teknologi dipandang lebih unggul dari pengetahuan asli, laki-laki lebih unggul dari perempuan, dan manusia lebih unggul dan terpisah dari binatang. Konteks ini relasional yang mana sekarang ini proses alienasi merupakan wujud dari budaya dominan partiarki dalam muka kapitalisme. (27 November 2003, An Hour With Vandana Shiva, Indian Scientist and Leading Critic of Corporate Globalization)

Pada konteks perjuangan perempuan menolak tambang emas di Tumpang Pitu, kita dapat melihat sebuah paradoks kesejahteraan. Tambang datang dengan dominasi, seolah-olah akan membawa pada kesejahteraan yang hakiki, tetapi dalam proses-prosesnya sangat tampak bagaimana dalih kesejahteraan sangat kontraproduktif. Hanya sebatas presumsi determinatif disertai manipulasi-manipulasi kesejahteraan yang semu.

Para perempuan memiliki beban berat dalam hidupnya, terlebih mereka di sekitar areal pertambangan. Selain merasakan beratnya beban kehidupan di tengah budaya bapakisme dalam kerja-kerja domestik. Mereka juga menanggung beban akibat pertambangan, karena kerja mereka bertambah dua kali lipat. Seperti istri nelayan yang harus membantu suaminya mencari tambahan, kala laut di sekitar Tumpang Pitu sudah mulai menurun jumlah ikannya. Selain kerja domestik, mereka harus turut bekerja ekstra untuk keluarga. Dan tambang adalah wujud dari patriarki itu sendiri, mereka mengalienasi manusia dari alam, merampas ruang hidup rakyat dengan mengsubordinasi manusia, bagian dari domestifikasi. Dan ditambah dalam kekangan budaya bapakisme ini, mereka semakin menderita.

Contoh nyata ialah kala para perempuan aksi melawan tambang ingin mempertahankan alamnya. Pihak-pihak pro tambang mengatai mereka dengan kata-kata yang melecehkan, dan sangat misoginis. Menganggap perempuan tidak boleh protes atau terlibat dalam penolakan tambang. Kondisi itu menunjukkan bahwa perempuan menjadi kelompok liyan yang secara kultural teralienasi, menegaskan garis hirarkis yang cukup dominan. Belum selesai problem kelas sosial di mana banyak kemiskinan yang sifatnya struktural seperti ketimpangan, seperti di sekitar pertambangan mayoritas lahan adalah wilayah kelola Perhutani, belum ada kepastian soal land asset dan land access. Problem dominasi ini pada dasarnya tidak menyasar laki-laki saja, tetapi juga perempuan sebagai satu kesatuan entitas. Tetapi beban yang paling berat dirasakan perempuan, selain ada problem ketimpangan yang mengarah ke kelas sosial berdasarkan lahan, kita juga mendapati subordinasi kultural yang sifatnya hirarkis, seperti posisi perempuan yang masih dianggap tidak ada.

Terakhir, pelecehan dan kekerasan yang menyasar ke warga Tumpang Pitu, khususnya perempuan, membuktikan jika tambang, selain mengalienasi warga dari ruang hidupnya, juga berdampak pada perempuan. Hal ini semakin mengukuhkan penindasan itu sendiri. Bu SH, F dan H adalah contoh pejuang lingkungan yang mendapatkan represi secara verbal, dengan ucapan yang melecehkan dan merendahkan perempuan, bentuk dari wujud misoginis itu sendiri.


Referensi:

Shiva, V., & Mies, M. (2014). Ecofeminism. Zed Books Ltd.

Shiva, V. (27 November 2003). An Hour With Vandana Shiva, Indian Scientist and Leading Critic of Corporate Globalization. https://www.democracynow.org/2003/11/27/an_hour_with_vandana_shiva_indian

Gambar: breakingandtrending.com


Baca juga:

Bersama-sama Perempuan Proletar, Sosialisme akan Berjaya

Penindasan Berlapis terhadap Gerakan Perempuan

Tinggalkan Balasan