Oleh:
In’amul Mushoffa
(Peneliti Intrans Institute,
Pegiat Front Nahdiyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam)
“Manusia dan bumi menjerit lantang. Tanah-tanah telah dirampas, dirampok dihisap, diracuni, digunduli, dirusak. Siapa yang harus menantangnya? Gerakan-gerakan rakyat sedang berjuang. Tetapi di mana gereja-gereja berada? Kita hanya mendengar kebungkaman sunyi. Ini seruan untuk membangunkan yang tidur.” Begitu bunyi sinopsis buku terjemahan Listen to The Land setebal 100 halaman itu.
Tak bisa dipungkiri, perampasan tanah telah terjadi di mana-mana. Fenomena ini semakin mendapat sorotan ketika GRAIN, sebuah NGO di Spanyol mempopulerkan istilah land grab dalam sebuah laporan riset mereka yang dirilis tahun 2009. Isu kelangkaan bahan pangan dijadikan alat oleh korporasi-korporasi pangan multinasional untuk melakukan ekspansi ke negara-negara berkembang dan mendorong pemerintah-pemerintah di negara-negara itu untuk membuka lahan pertanian dan energi skala super besar.
Di Indonesia, misi itulah yang menjadi salah satu pendorong lahirnya program Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015. Di saat perusahaan-perusahaan mencari lahan-lahan baru guna investasi pangan dan energi (biofuel) itu, global land grabbing menjamur di berbagai tempat. Salah satu kasusnya yakni Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Papua, dimana separuh lebih wilayah Merauke (1,6 juta hektar) diplot untuk proyek pengadaan pangan dan energi nasional (Dwi Wulan Pujiriyani dkk: 2014). Tanah-tanah masyarakat adat Marind-Anim pun terampas melalui surat-surat perjanjian pengalihan tanah adat secara manipulatif. Kerusakan lingkungan, kemiskinan, kelaparan, dan menurunnya kesehatan masyarakat juga menjadi dampak lain dari proyek itu.
Jika dilacak, sejarah proses penyingkiran petani atau rakyat dari tanahnya sudah terjadi sejak lama. Proyek kolonialisme (kapitalisme perkebunan Belanda) adalah contoh nyata dimana proses perampasan tanah besar-besaran terjadi. Rakyat dipaksa menjadi budak di negeri sendiri. Begitu cultuurstelsel berakhir, borjuasi Belanda berdatangan seiring disahkannya Agrarische Wet tahun 1870. Dalam proses—yang dalam tradisi Marxis disebut sebagai akumulasi primitif—ini, terjadi peng-hakmilikan tanah menurut konsepsi kepemilikan privat borjuasi Eropa, yang berdampak pada penciptaan golongan pekerja-upahan, dan akumulasi kekayaan ke tangan segelintir elit lewat pemagaran tanah-tanah komunal (enclosure).
Pasca kemerdekaan, proses perampasan berulang pada masa Orde Baru di berbagai tempat. Orde Baru mengeluarkan kebijakan investasi atau penanaman modal asing demi pertumbuhan ekonomi. Pasca reformasi, orientasi ekonomi yang bertumpu pada investasi skala besar semakin digencarkan. Akibatnya, proses perampasan di berbagai tempat juga semakin meluas. Lebih-lebih ketika diterapkannya otonomi daerah gila-gilaan yang membuat pemerintah daerah memberikan berbagai konsesi secara tak terkontrol.
Meski otonomi daerah yang liberal ini segera direvisi dengan diundangkannya UU No. 32 tahun 2004, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal semakin memudahkan investasi asing dengan berbagai fasilitas. Berkaitan dengan ini, Kantor Staff Presiden dalam rilisnya tentang Proyek Strategis Pelaksanaan Reforma Agraria tahun 2016 lalu juga mengakui bahwa konflik agraria dari tahun ke tahun semakin meningkat. Jika pada tahun 2008 konflik agraria berjumlah tidak lebih dari 200 konflik, tahun 2015 secara kumulatif terjumlah 1800 konflik.
Menggugat Peran Agama
Namun di tengah-tengah jutaan rakyat yang terampas tanahnya dengan legitimasi negara itu, lagi-lagi, kita tak melihat organisasi atau institusi keagamaan yang otoritatif (MUI, NU, Muhammadiyah, GKI, dll) mengeluarkan sikap untuk menggugat kedzaliman atas nama kemaslahatan itu (demi kesejahteraan, pembangunan instastruktur, pertumbuhan ekonomi, dll)? Kalaupun ada, itupun dilakukan oleh sebagian kecil organisasi progresif berbasis keagamaan. Singkatnya, organisasi keagamaan yang otoritatif masih gagap mengamati hegemoni dan koersi kapitalisme itu.
Di titik inilah, buku Dengarkan Jeritan Bumi yang diterjemahkan dari buku Listen to the Land, (2013) oleh Jaringan Pemuda Kristen Hijaum menjadi penting. Buku ini disusun oleh Gerakan Oikotree, sebuah gerakan global untuk keadilan, perdamaian, dan kesempurnaan hidup, yang disponsori Dewan Gereja Dunia, Persekutuan Gereja-gereja Reformed sedunia, dan Dewan Misi Dunia. Buku ini disusun untuk mendukung perjuangan rakyat untuk mendapatkan hak atas tanah di berbagai belahan dunia.
Pola struktural perampasan tanah secara paksa yang paling mencolok sesungguhnya adalah apa yang disebut buku ini sebagai proyek kolonial genosida Eropa terhadap penduduk asli yang sudah hidup selama ribuan tahun di berbagai belahan dunia, Afrika, Amerika, dan Asia. Dengan kedok kehendak memperadabkan dunia lain, rakyat di berbagai belahan dunia secara sistematis dipaksa memisahkan diri dari tanah mereka sejak abad ke 16 Masehi.
Di jaman neoliberal sekarang, buku ini tegas menyebutkan bahwa, praktik pengusiran dilakukan oleh korporasi-korporasi, pemerintah, militer dan para militer, untuk mendukung kerakusan kapitalis yang mengeksploitasi dan menghancurkan tanah-tanah itu (hlm. 4). Perampasan tanah dalam berbagai rezim dalam setengah abad terakhir di berbagai belahan dunia, mulai dari Papua, Palestina, Kolombia, India, Mali, Kanada, Meksiko, sampai suku Indian di Amerika Serikat dijadikan contoh nyata (Bab I).
Lantas, apa akar-akar kekerasan yang menopang perampasan ruang hidup dan destruksi atas karunia dan tanda-tanda kekuasaan Tuhan ini? Buku ini, dalam Bab III, menyebut kekerasan langsung, kekerasan struktural, kekerasan budaya, dan kekerasan agama, plus apa yang disebut sebagai injil keserakahan. Kesemuanya menjadi perhatian serius karena menjadi penyebab kenapa bumi hari ini menjerit lantang.
Uang dan Komodifikasi Tanah
Buku ini berpendapat bahwa akar pokok persoalan dari pilar-pilar yang berkuasa saat ini adalah uang dan milik (kepemilikan properti) yang bertaut dengan individualisme egosentris yang akhirnya mengarah kepada kekerasan imperial dan patriarkal (hlm. ii). Uang dan milik, tentu saja merupakan hal mendasar yang barangkali dimaklumi oleh semua orang sebagai alat tukar. Namun siapa sangka, jika alat tukar ini kemudian menjadi penimbun nilai tak berkesudahan.
Uang tidak diberlakukan sejak jaman azali. Ia muncul dalam fase tertentu dalam sejarah. Buku ini menyebut penggunaan uang dimulai ketika kelompok profesional menemukan kepingan logam sebagai alat tukar dan alat untuk menilai segala sesuatu pada abad 8 sebelum Masehi di wilayah Laut Tengah (hlm. 37). Untuk mendapatkannya, para peminjamnya dikenai bunga utang yang membuat praktik ketergantungan dan rente tak berkesudahan. Dari sinilah, akar penindasan struktural terjadi.
Karl Marx jauh-jauh hari sebetulnya telah mengingatkan kita ketika dalam magnum opus-nya, Capital, ia mengutip syair Sophocles, seorang penulis drama Yunani Kuno yang terekam dalam dramanya, Antigone: “Karena tiada yang demikian jahat seperti uang yang pernah berlaku di antara manusia yang meratakan kota-kota dengan tanah, yang mengusir orang-orang dari rumah mereka, yang mengajar dan membalikkan hati mulia orang-orang saleh hingga mereka melakukan hal-hal yang memalukan; yang mengajarkan orang-orang melakukan kekejian-kekejian, dan membuatnya melakukan setiap pekerjaan yang dikutuk Tuhan.”
Sekarang, komodifikasi tanah seolah menjadi wajar. Perbankan dan sistem keuangan yang menjadi jantung kapitalisme menopang praktik ini tanpa gugatan selama puluhan bahkan ratusan tahun. Di kalangan petani, praktik perampasan secara struktural juga terjadi seiring dengan proyek revolusi hijau yang memaksakan kepada petani untuk menggunakan benih transgenik yang dipatenkan (GMO). Untuk mendapatkannya, petani harus membeli atau utang. Begitu juga untuk mendapatkan pupuk dan alat-alat pendukungnya. Jika tak mampu membayar, mereka terpaksa melepaskan tanahnya itu kepada peminjam atau orang lain.
Berkebalikan dengan pemosisian tanah dalam sistem kapitalisme imperial sekarang ini, Yesaya (5:8-9) memberikan peringatan keras: “Celakah mereka yang merebut rumah demi rumah dan mencekau ladang-demi ladang, sehingga tak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri! Di telingaku, terdengar firman Tuhan semesta alam: Sesungguhnya banyak rumah akan menjadi sunyi sepi; rumah-rumah yang besar dan yang baik tidak akan ada penghuninya”.
Dalam Perjanjian Lama, tanah merupakan media kehadiran Tuhan sehingga menuntut kekudusan. Anugerah tanah merupakan mandat, bukan milik. Tanah juga merupakan tempat Allah memerintah, dimana agenda-agenda wakilnya di bumi dijalankan. Dalam kaitan ini, kerap kali wakil-wakil Tuhan menemui jalan terjal untuk membumikan ajaran-ajaran Tuhan (keadilan, kesetaraan, perdamaian, persaudaraan). Jalan terjal itu berupa tekanan yang digencarkan elit politik dan ekonomi yang merasa terganggu dengan dakwah yang menda’ikan kesetaraan itu. Di sinilah, para nabi harus berdarah-darah, menderita, berkorban. Namun, Matius (5:5) memberikan janji: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.”
Alkitab sejak awal menegaskan bahwa karena merupakan asal-muasal dan tempat Tuhan mengirim agen-agennya ke bumi, maka tanah adalah untuk dibagikan tanpa memandang ras, bukan dimiliki. Praktik akumulasi tanah disebut sebagai pemilikan tanah model setan. Matius menyebut: “Tanah dapat dimiliki setan atau dapat berubah seribu kali lipat”. Kenyataan faktual teologi tanah ini menunjukkan bahwa seharusnya, Gereja harus menolak komofikasi tanah. Teologi tanah memberi arti bahwa tanah bukan isu sampingan bagi gereja.
Sebetulnya, komodifikasi tanah memang berbahaya. Gunawan Wiradi memberikan alasan bahwa tanah merupakan sesuatu yang unik dibandingkan benda lainnya, termasuk modal dan tenaga kerja. Pertama, jumlah tanah itu tetap. Jumlahnya tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Berbeda dengan modal, mesin, dan tanaga kerja. Kedua, umur orang dan umur mesin terbatas, tetapi umur tanah tidak terbatas (Wiradi: 2009). Belakangan, jumlah tanah bisa berkurang seiring dengan perubahan iklim atau makin naiknya permukaan dan peristiwa abrasi. Karena itu, akan menjadi petaka ketika sistem ekonomi liberal melegitimasi penguasaan berlebih atas tanah yang jumlahnya tetap dan umur yang tak terbatas itu. Lebih-lebih, hakikat komoditas sesungguhnya merupakan gubahan dari tangan manusia. Sementara, tanah ada sebagai sesuatu yang terberi tanpa campur tangan manusia.
Hal ini bukan berarti bahwa jual beli tanah tidak diperbolehkan. Membeli dibolehkan sebatas untuk kebutuhan dan biaya diberikan sebagai ganti kepada orang yang telah membuka atau merawat tanah sebelumnya. Namun sebagai komoditas yang menghasilkan nilai lebih, hal itu akan menjadi petaka. Sebagaimana dikutip Gunawan Wiradi, Horrison menambahkan:
“… monopoli tanah menggerogoti proses kreatif. Sebab, si pemonopoli, modalnya hanya berupa usaha memperoleh jaminan hukum legal atas hak penguasaan tanah, tetapi kemudian dapat mengklaim bagian kekayaan (hasil) yang diciptakan orang lain, sebagai imbalan dari sesuatu yang tidak lain adalah sekedar “izin” untuk menggunakan tanah itu. This is the economics of the bandit sanctified by law (inilah sistem ekonomi bandit yang dijamin oleh hukum)” (Harrison 1983: 19).
Tatanan Pasca Kapitalis
Dengarkan Jeritan Bumi bukan berisi tumpukan kutukan dan kecaman, yang tak memberi alternatif sebagai usulan. Maka, bagi siapapun yang selalu menagih solusi, buku ini layak menjadi bacaan. Di Bab V, buku ini memberikan Perspektif Global terhadap Transfromasi Struktural dan Kelembagaan. Di antara poin-poin penting ke arah tatanan baru pasca-kapitalis yang ditawarkan adalah: Pertama, dalam soal finansial, uang harus diubah dari komoditi untuk akumulasi menjadi barang milik umum yang dikelola secara demokratis. Uang harus tetap menjadi instrumen pertukaran atau kredit, tetapi tidak boleh ditimbun untuk kekuasaan dan pemuasan kepentingan privat.
Kedua, dalam soal penerbitan uang, bank-bank swasta perlu dilarang mengandakan uang melalui kredit berbunga (uang utang), dan hanya bank-bank sentral yang diizinkan mencetak uang. Ini berbeda dengan sistem keuangan global sekarang dimana dolar, misalkan, yang digunakan sebagai mata uang dunia dicetak oleh bank swasta, The Federal Reserve. Ketiga, dalam soal peran bank, bank-bank hanya mempunyai peran mengelola uang masyarakat untuk digunakan memproduksi barang-barang dan jasa yang diperlukan, bukan berperan menumpuk kekayaan melalui bunga bank dan berspekulasi tanpa bekerja.
Keempat, dalam soal tatanan kepemilikan, tatanan kepemilikan perlu dibangun di atas kepemilikan bersama dengan alasan bahwa dunia ini merupakan karunia untuk dimanaatkan bagi kehidupan, bukan komoditas privat. Tanah, air, udara, biji-biji benih, termasuk barang-barang budaya umum (common cultural goods) seperti internet. Begitu juga barang-barang yang menjadi kebutuhan dasar umum, seperti transportasi, pendidikan, kesehatan, dll. harus terjangkau, kalau perlu disediakan untuk umum. Hal ini bukan berarti semua itu harus menjadi milik negara.
Kecuali kepemilikan dan komodifikasi tanah, beberapa tawaran Oikotree di atas sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan peran baitul-maal dan jenis kepemilikan yang digariskan dalam khazanah ekopol Islam yang mengenal kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan privat. Untuk itu, diperlukan pembaharuan teologis secara lebih jauh agar jalan untuk mendelegitimasi sistem kapitalisme neoliberal yang melegitimasi komodifikasi dan privatisasi atas segala hal semakin lapang.
Penutup
Pertanyaannya, bisakah tatanan pasca kapitalis kita ciptakan? Buku ini menjawab: ada harapan jika berbagai kelompok masyarakat sipil bangkit mendelegitimasi sistem yang berlaku sekarang, berjuang untuk melakukan perubahan situasi hukum dan mulai mencari alternatif hidup lebih baik dari bawah. Dalam kaitan itulah, buku ini kemudian memotret berbagai inisiatif menuju budaya kehidupan di bumi, mulai dari seruan Paus Franciskus pada Populer Movements 2014 di Roma; gerakan La Via Campesina (gerakan internasional yang berisi jutaan petani, petani tak bertanah, buruh tani, penduduk asli, kaum migran, di seluruh dunia); gerakan Pangan dan Benih bagi Kehidupan di Amerika Utara; gerakan Idle No More (Tidak Lagi Diam) yang diperjuangkan penduduk asli Kanada; Perjanjian Ibu Bumi oleh Bangsa Indian di Amerika Serikat; sampai kebijakan pembaruan agraria yang dilakukan pemerintahan Fidel Castro di Kuba.
Gambaran berbagai upaya yang memperjuankan budaya kehidupan dalam buku ini setidaknya menebalkan harapan dan keyakinan bahwa agenda revolusioner skala global untuk meruntuhkan tatanan kapitalis bisa dilakukan. Karena itu, diperlukan arah yang jelas dan jaringan yang lebih kuat kuat, menginternasional, dan memilik fondasi teologis untuk mewujudkan tatanan pasca-kapitalis. Sebagai penutup, ijinkan penulis mengutip bagian-bagian akhir buku ini:
“Seiring kehidupan terancam oleh dominasi sistem kapitalis imperial beserta antek-antekya
(termasuk kita semua jika kita tidak melawan), kita mengundang seluruh jemaat dan gereja-gereja Kristen,
rakyat dari semua komunitas iman lainnya, dan semua kalangan berbagai latar teori-teori/filafat-filsafat sosial lainnya, untuk saling bergabung satu sama lain dalam perjuangan-perjuangan bagi tanah dan kehidupan.”
Jadi, dengan posisi dan peran masing-masing, mari kita sambut ajakan solidaritas ini!***
Judul Buku : Dengarkan Jeritan Bumi; Respon Kristiani atas Krisis Keadilan Ekologis
Penulis: Oikotree Movement
Penerbit: Ultimus berkerja sama dengan Kristen Hijau
Tahun : November 2017
Tebal: 102 halaman
Ukuran: 14,5 x 20,5 cm
Infografis: Sinergy Aditya
Thanks for the article post.Really thank you! Great.