Venezuela, Indonesia, dan Imperialisme AS

In’amul Mushoffa
(Pimpinan Redaksi & Direktur Eksekutif Intrans Institute)

 

Di tengah krisis yang tidak kunjung reda, Amerika Serikat (AS) terus berupaya mengintervensi situasi internal Venezuela. Seperti diberitakan berbagai media (19/2), Presiden AS Donald Trump mendesak Venezuela membuka jalur perbatasan dengan dalih agar ‘bantuan’ kemanusiaan bisa disalurkan. Padahal, jika memang berniat membantu, AS seharusnya mencabut sanksi sektor keuangan dan minyak yang melumpuhkan Venezuela.

Pemerintahan Maduro meresponnya dengan menutup perbatasan (20/2). Sebaliknya, pemimpin oposisi yang sebelumnya mendeklarasikan diri sebagai Presiden tanpa proses demokratis, Juan Guaido, dengan sok heroik kabarnya pergi ke perbatasan untuk membawa bantuan masuk (21/2). Trump juga mengultimatum militer Venezuela agar menarik dukungan kepada Maduro dan mengalihkannya kepada Guaido. Sebelumnya, berbagai cara dilakukan AS untuk menggulingkan Maduro. Mulai dari sanksi embargo dan blokade ekonomi, sampai ancaman invasi militer (7/2).

Bukan Pertama Kali

Intervensi dan sokongan AS terhadap oposisi pemerintahan di negara lain tentu bukan pertama kalinya. William Blum, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS yang hengkang karena menentang Perang Vietnam, sempat menulis berbagai intervensi kotor AS dalam urusan negara lain melalui bukunya America’s Deadliest Export Democracy (2013).

Dalam catatan Blum, sejak Perang Dunia II, AS telah secara kotor berusaha menggulingkan 50 Pemerintahan yang telah terpilih secara demokratis, mengintervensi pemilu di 30 negara, menekan gerakan nasional di 20 negara, dan berusaha membunuh 50 pemimpin negara lain.

Apa yang ditulis oleh Blum tersebut tidak sulit untuk dipahami. Sebab, meski sering disebut-sebut sebagai negara demokrasi terbesar dan selama beberapa dekade mendominasi pertumbuhan ekonomi global, AS menghadapi masalah yang sama dengan negara lain dalam soal demokrasi, yakni oligarki.

Saat ini, AS memang tercatat sebagai negara dengan APBN terbesar. Tahun 2018, APBN AS mencapai 4 Triliun USD (setara Rp. 56.000 Trillun). Namun, kesenjangan ekonomi begitu akut. Tiga pria terkaya memiliki kekayaan yang setara dengan lebih dari separuh penduduk AS (Institute for Policy Studies: 2017). Tak hanya itu, upah riil pekerja rata-rata tidak naik selama 40 Tahun (Drew Desilver: 2018). Kota-kota besar hanya menjadi milik orang kaya—sebuah krisis yang belakangan meletupkan gerakan “right to the city”.

Karena disparitas kekayaan, kelompok oligarki memiliki akses yang lebih luas pada kontestasi politik. Setelah berkuasa, mereka dapat mencitrakan bahwa kebijakan luar negeri yang diambil AS semata-semata dilakukan demi tujuan mulia. Seperti ditulis Noam Comsky dalam Hegemony and Survival (2003), tiga instrumen digunakan di sini. Pertama, media yang mencitrakan bahwa intervensi, agresi, invasi AS dilakukan demi misi demokrasi. Kedua, pranata pendidikan yang difungsikan mendoktrin “nasionalisme militeris” dan mematikan nalar kritis pada penguasa. Ketiga, kaum intelektual difungsikan menjadi corong agar semua warga negara menyerahkan nasibnya pada demokrasi pasar (Chomsky: 2003).

Pada tahun 2006, buku tersebut suatu ketika dibawa Hugo Chavez dalam sebuah sidang PBB untuk menunjukkan perilaku AS di dunia. Namun, AS tetap bergeming. Dari tahun ke tahun AS selalu meningkatkan anggaran militernya. Per 2018, anggaran militer AS mencapai angka fantastis, $ 716 miliar (Rp. 10 ribu triliun) atau separuh dari seluruh total anggaran militer semua negara selain AS jika dikumpulkan.

Kepentingan Kapital

Oligarki dan kapitalisme yang saat ini bercokol di AS ibarat dua wajah dalam sekeping mata uang. Kapitalisme menghasilkan akumulasi kekayaan yang tinggi di satu sisi dan kesenjangan yang tinggi di sisi lain. Dalam struktur ekonomi yang timpang, orang-orang yang kuat secara ekonomi akan lebih memiliki akses terhadap politik elektoral. Akibatnya, demokrasi dijalankan oleh segelintir orang.

Pendorong utama intervensi AS ke negara lain sejak lama adalah kepentingan kapital di negara pemenang Perang Dunia II ini. Mengapa?

Salah satu kontradiksi pokok kapitalisme adalah logika akumulasi. Supaya hidup, nilai kapital perlu tumbuh terus menerus. Namun, tingginya akumulasi di satu sisi memerlukan ekspansi wilayah di sisi lain, baik untuk mengakses bahan baku, tenaga kerja, maupun pasar yang kian langka di dalam negeri. Tanpa ekspansi, nilai kekayaan yang terakumulasi di kalangan kapitalis AS akan berkurang.

Bagi kapitalis AS, ekspansi wilayah cukup dilakukan melalui jalan hegemonik (Harvey: 2003). Caranya, pemerintah AS didorong untuk memperbanyak iuran di International Monetary Fund dan Word Bank. Sebagai manfaatnya, IMF dan WB dapat diarahkan untuk mendesak program penyesuaian struktural ke negara berkembang seperti deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Tentu saja ada negara yang membangkang. Umumnya, mereka berhaluan sosialis. Terhadap negara-negara ini, kapitalis mendorong pemerintah AS membuka ruang ekspansi melalui koersi (Harvey: 2003). Mulai dari intervensi pemilu, percobaan pembunuhan, sokongan pada oposisi, sampai invasi militer. Cara inilah yang pada gilirannya sekarang diterapkan terhadap Venezuela dalam beberapa bulan terakhir.

Lima belas tahun di bawah Sosialisme Abad 21 Hugo Chavez sejak 1998 hingga 2013, banyak hal yang dicapai Venezuela. Koperasi pekerja, reforma agraria, nasionalisasi aset swasta, subsidi tinggi untuk kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan. Berbagai program populis tersebut berhasil menurunkan kemiskinan dari 53 persen pada 1996 menjadi 25 persen pada 2012.

Sayangnya, ketika harga minyak dunia anjlok beberapa saat setelah naiknya Maduro, Venezuela terkena imbasnya. Sebab, 95 persen pendapatan negara Simon Bolivar ini ditopang oleh ekspor minyak. AS memanfaatkan situasi ini untuk mengakhiri pembangunan Sosialisme Abad 21 yang dicanangkan sejak Hugo Chavez memimpin Venezuela.

Pengalaman Indonesia

Indonesia sebetulnya memiliki pengalaman yang sangat buruk dengan imperialisme AS. Sebaliknya, Indonesia dan Venezuela pernah memperdekat hubungan, terutama di era kepemimpinan Soekarno. Sebagai bentuk solidaritas antar negara berkembang, Bung Karno membangun gerakan non blok sebagai upaya untuk melepas ketergantungan negara-negara berkembang pada negara-negara adidaya.

Tahun 1961, demi mewujudkan sosialisme Indonesia, pemerintahan Soekarno menerapkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Tahap Satu 1961-1969 melalui Tap MPRS No.II/1960. Pembangunan ini diorientasikan untuk menghapus sisa-sisa kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme.

Pada bulan April 1965, PNSB Tahap I sudah hampir selesai sehingga dikeluarkan Tap MPRS No. VI/MPRS/1965 Tentang Banting Setir Untuk Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan. AS gusar melihat perkembangan ini. Apalagi, Presiden Soekano beberapa bulan berikutnya mengeluarkan beberapa undang-undang untuk keluar dari ADB, IMF, dan IBRD—cikal bakal bank dunia. Karena itu, AS melalui CIA bekerjasama dengan TNI AD merancang kudeta terhadap Soekano, yang diawali dengan genosida kekuatan kiri mulai 30 September 1965 sampai 1 Maret 1967. Soekarno pun ditetapkan sebagai tahanan kota sejak Mei 1967 dan meninggal pada 20 Juni 1970. Sejak itu, Orde Baru menerapkan pembangunan yang segaris dengan kapitalis AS (developmentalism).

Ketika menjadi Presiden, Gus Dur sempat berusaha mengubah keadaan itu. Sejak lama, ia adalah seorang yang ingin menumbangkan kapitalisme global dan, karena itu, ia memiliki pandangan positif terhadap marxisme-leninisme. Gus Dur juga adalah seorang yang gigih menolak intervensi negara lain, termasuk AS. Namun kehendak Gus Dur untuk menegakkan kedaualatan ekonomi dan politik itu pupus karena kudeta terhadapnya.

Pasca itu, pemerintah di bawah Megawati, SBY, hingga Jokowi menjalankan pembangunan dengan skema kapitalisme-neoliberal. Maka, mustahil Pemerintah RI memprotes, apalagi mengecam, intervensi AS yang menurunkan martabat, kedaulatan, dan taraf hidup rakyat Venezuela, meski amanah konstitusi adalah negara wajib ikut serta memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan. Apalagi, di tengah hajatan pemilu oligarkis yang menjadikan penderitaan rakyat hanya sebagai komoditas politik. Kedua kubu yang bertarung dalam Pilpres tampak jelas sama-sama tunduk pada imperialisme AS.

Di titik inilah, rakyat di Republik yang didirikan dengan spirit antikolonialisme-imperialisme ini perlu mengambil sikap. Venezuela perlu didukung untuk menentukan nasibnya sendiri, dan sebaliknya, imperialisme AS perlu digugat dan dikutuk. Apapun caranya. Entah demonstrasi, partisipasi dalam petisi, diskusi, menulis, menyatakan sikap politik di media sosial, dll. Paling tidak, berbagai upaya ini dapat mengingatkan sesama rakyat agar kejadian serupa suatu saat tidak terjadi di negeri ini.

Hands Off Venezuela!***

 

Sumber gambar: https://www.reddit.com/r/socialism/comments/ajhmtl/hands_off_venezuela/

Tinggalkan Balasan