Perang dan Gerakan Kiri: Pertimbangan Sejarah yang Terkotak-Kotak (Bagian 1)

Marcello Musto 

Profesor Sosiologi Universitas York, di Toronto – Kanada, direktur pendiri Laboratorium Teori Alternatif. Teoritikus global pemikiran sosialis, sejarah gerakan buruh, dan sistem sosial-ekonomi alternatif.

 

Penyebab Ekonomi dari Perang

Meskipun ilmu politik telah menyelidiki motivasi ideologis, politis, ekonomis dan bahkan psikologis di balik dorongan untuk berperang, teori sosialis telah memberikan salah satu kontribusi yang paling menarik dengan menyoroti hubungan antara perkembangan kapitalisme dan penyebaran perang.

Dalam perdebatan Asosiasi Pekerja Internasional (1864-1872), Cesar de Paepe, salah satu pemimpin utamanya, merumuskan apa yang akan menjadi posisi klasik gerakan buruh mengenai pertanyaan: yaitu, bahwa perang tidak dapat dihindari di bawah rezim produksi kapitalis. Dalam masyarakat kontemporer, perang tidak lagi disebabkan oleh ambisi para raja atau individu, tetapi oleh model sosial-ekonomi yang dominan (De Paepe, 2014a; 2014b; Musto, 2014). Gerakan sosialis juga menunjukkan kelompok masyarakat mana yang paling terdampak buruk oleh perang. Pada Kongres Internasional pada tahun 1868, para delegasi mengadopsi mosi yang menyerukan kepada para buruh untuk mengupayakan “penghapusan akhir dari semua perang”, karena merekalah yang akan menanggung dampaknya – baik secara ekonomi maupun dengan darah mereka sendiri, baik mereka yang termasuk di antara pemenang maupun yang kalah – atas keputusan kelas-kelas yang berkuasa dan pemerintah yang mewakili mereka. Pelajaran bagi gerakan buruh datang dari keyakinan bahwa setiap perang harus dianggap sebagai “perang saudara” (Freymond, 1962: 403; Musto 2014: 49), bentrokan sengit antara para buruh yang merampas sarana yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka perlu bertindak tegas untuk melawan perang, dengan menolak wajib militer dan melakukan aksi mogok kerja. Internasionalisme dengan demikian menjadi poin utama dari masyarakat masa depan, yang dengan berakhirnya kapitalisme dan persaingan di antara negara-negara borjuis di pasar dunia, akan menghilangkan penyebab utama perang

Di antara para pelopor sosialisme, Claude Henri de Saint-Simon telah mengambil sikap tegas menentang perang dan konflik sosial, dengan menganggap keduanya sebagai penghalang kemajuan mendasar bagi industri. Karl Marx tidak mengembangkan pandangannya – terpisah-pisah dan terkadang kontradiktif – mengenai perang dalam tulisannya, ia juga tidak memberikan pedoman untuk sikap yang benar terhadap perang. Ketika ia memilih di antara dua kubu yang berlawanan, satu-satunya hal yang tetap ia lakukan adalah penentangannya terhadap Rusia Tsar, yang ia lihat sebagai pos terdepan kontra-revolusi dan salah satu penghalang utama bagi emansipasi kelas buruh. Dalam Capital (1867), ia berpendapat bahwa kekerasan adalah kekuatan ekonomi, “bidan bagi setiap masyarakat lama yang sedang mengandung masyarakat baru” (Marx, 1996: 739). Namun, ia tidak menganggap perang sebagai jalan pintas yang penting bagi transformasi revolusioner masyarakat, dan tujuan utama aktivitas politiknya adalah untuk mengikat para pekerja pada prinsip solidaritas internasional. Seperti yang juga dikatakan oleh Friedrich Engels, mereka harus bertindak tegas di masing-masing negaranya untuk melawan pelemahan perjuangan kelas yang diakibatkan oleh propaganda dari musuh eksternal yang mengancam akan terjadi pada setiap pecahnya perang. Dalam berbagai surat kepada para pemimpin gerakan buruh, Engels menekankan kekuatan ideologis dari jerat patriotisme dan penundaan revolusi proletar yang diakibatkan oleh gelombang chauvinisme. Selain itu, dalam Anti-Dühring (1878), setelah melakukan analisis terhadap dampak dari perang yang semakin mematikan, ia menyatakan bahwa tugas sosialisme adalah “meledakkan militerisme dan seluruh angkatan bersenjata yang masih ada” (Engels, 1987: 158).

Perang adalah pertanyaan yang sangat penting bagi Engels sehingga ia mencurahkan salah satu tulisan terakhirnya mengenai itu. Dalam “Can Uerope Disarm (Dapatkah Eropa Melucuti Senjata)?” (1893), ia mencatat bahwa dalam dua puluh lima tahun sebelumnya setiap negara besar telah mencoba untuk mengalahkan para pesaingnya secara militer dan dalam hal persiapan perang. Hal ini telah melibatkan tingkat produksi senjata yang belum pernah terjadi sebelumnya dan membawa Benua Lama lebih dekat ke “perang kehancuran yang belum pernah terjadi di dunia” (Engels, 1990: 372). Menurut salah satu penulis Manifesto Partai Komunis (1848) ini, “Sistem angkatan bersenjata dijalankan secara ekstrem di seluruh Eropa sehingga harus membawa kehancuran ekonomi bagi masyarakat karena beban militer, atau sebaliknya, merosot menjadi perang pemusnahan”. Dalam analisisnya, Engels tidak lupa menyoroti bahwa tentara tetap harus dipertahankan terutama untuk tujuan politik internal dan eksternal. Mereka dimaksudkan “untuk memberikan perlindungan tidak hanya terhadap musuh eksternal tetapi juga musuh internal”, dengan memperkuat kekuatan bagi proletariat dan perjuangan buruh. Karena lapisan rakyat membayar lebih banyak biaya perang, melalui penyediaan pasukan untuk negara dan pajak, gerakan buruh harus berjuang untuk “pengurangan bertahap masa tugas [militer] melalui perjanjian internasional” dan pelucutan senjata sebagai satu-satunya “jaminan perdamaian” yang efektif (Engels, 1990: 371).

Ujian dan keruntuhan

Tidak lama kemudian, perdebatan teoretis di masa damai berubah menjadi isu politik terpenting pada masa itu, ketika gerakan buruh harus menghadapi situasi nyata di mana para wakil mereka pada awalnya menentang dukungan untuk perang. Dalam konflik Prancis-Prusia pada tahun 1870 (yang mendahului Komune Paris), wakil-wakil Sosial Demokrat Wilhelm Liebknecht dan August Bebel mengutuk tujuan-tujuan aneksasi Jerman Bismarck dan memilih untuk menentang kredit perang. Keputusan mereka untuk “menolak rancangan undang-undang untuk pendanaan tambahan guna melanjutkan perang” (Pelz, 2016: 50) membuat mereka dijatuhi hukuman penjara dua tahun karena pengkhianatan tingkat tinggi, namun hal ini membantu menunjukkan kepada kelas buruh sebuah cara alternatif untuk membangun krisis.

Ketika negara-negara besar Eropa terus melanjutkan ekspansi imperialisnya, kontroversi mengenai perang semakin besar dalam perdebatan Internasional Kedua (1889-1916). Sebuah resolusi yang diadopsi pada kongres pendiriannya telah menetapkan perdamaian sebagai “prasyarat yang tak terpisahkan dari emansipasi kaum buruh” (Dominick 1982: 343). Kebijakan perdamaian yang seharusnya dari kaum borjuis diolok-olok dan digolongkan sebagai salah satu dari “perdamaian bersenjata” dan, pada tahun 1895, Jean Jaurès, pemimpin Partai Sosialis Prancis (SFIO), memberikan pidato di parlemen di mana ia menyimpulkan kekhawatiran kaum Kiri: “Masyarakat Anda yang penuh kekerasan dan kekacauan, bahkan ketika mereka menginginkan perdamaian, bahkan ketika mereka berada dalam kondisi yang tampak tenang, tetap menanggung perang di dalam dirinya sendiri, seperti halnya awan yang tertidur yang juga menanggung badai” (Jaurès, 1982: 32).

Ketika Weltpolitik – kebijakan agresif Kekaisaran Jerman untuk memperluas kekuasaannya di arena internasional – mengubah situasi geopolitik, prinsip-prinsip anti-militerisme semakin mengakar di dalam gerakan buruh dan mempengaruhi diskusi mengenai konflik senjata. Perang tidak lagi dipandang hanya sebagai pembuka peluang revolusioner dan mempercepat kehancuran sistem (sebuah gagasan di kalangan Kiri sejak Perang Revolusi 1792). Kini perang dipandang sebagai bahaya karena dampak yang menyedihkan bagi kaum proletar berupa kelaparan, kemelaratan, dan pengangguran. Dengan demikian, hal ini menjadi ancaman serius bagi kekuatan-kekuatan progresif, dan seperti yang ditulis oleh Karl Kautsky dalam Revolusi Sosial (1902), jika terjadi perang, mereka akan “dibebani tugas-tugas yang tidak esensial” (Kautsky, 1904:77), hal ini akan membuat kemenangan akhir menjadi lebih jauh.

Resolusi “Tentang Militerisme dan Konflik Internasional”, yang diadopsi oleh Internasional Kedua di Kongres Stuttgart pada tahun 1907, merangkum semua poin-poin penting yang menjadi warisan bersama gerakan buruh. Di antaranya adalah: pemungutan suara menentang peningkatan anggaran militer, antipati terhadap tentara dan preferensi untuk sistem milisi rakyat, dan dukungan untuk rencana pembentukan pengadilan arbitrase untuk menyelesaikan konflik internasional secara damai. Hal ini mengecualikan pemogokan umum terhadap segala jenis perang, seperti yang diusulkan oleh Gustave Hervé, karena mayoritas dari mereka yang hadir menganggap hal ini terlalu radikal dan terlalu Manikhean. Resolusi tersebut diakhiri dengan amandemen yang dirancang oleh Rosa Luxemburg, Vladimir Lenin, dan Yulii Martov, yang menyatakan bahwa

“jika perang pecah […], adalah tugas [kaum sosialis] untuk campur tangan demi mengakhiri perang dengan cepat, dan dengan semua kekuatan mereka untuk memanfaatkan krisis ekonomi dan politik yang diciptakan oleh perang, untuk membangkitkan massa dan dengan demikian mempercepat kejatuhan kekuasaan kelas kapitalis” (Vv. Aa., 1972: 80).

Namun karena hal ini tidak memaksa Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) untuk mengubah garis politiknya, perwakilannya juga memberikan suara untuk mendukungnya. Teks tersebut, sebagaimana telah diubah, adalah dokumen terakhir tentang perang yang mendapatkan dukungan bulat dari Internasional Kedua.

Persaingan yang semakin ketat di antara negara-negara kapitalis di pasar dunia, bersamaan dengan pecahnya sejumlah konflik internasional yang semakin mengkhawatirkan. Penerbitan The New Army (1911) karya Jaurès mendorong diskusi tentang tema sentral lain pada periode tersebut: perbedaan antara perang ofensif dan defensif serta sikap yang harus diambil terhadap perang defensif, termasuk dalam kasus-kasus dimana kemerdekaan suatu negara terancam (lihat Marcobelli, 2021: 155-227). Bagi Jaurès, satu-satunya tugas tentara adalah mempertahankan negara dari agresi ofensif, atau agresor yang tidak menerima penyelesaian konflik melalui mediasi. Semua tindakan militer yang termasuk dalam kategori ini harus dianggap sah. Kritik Luxemburg yang jernih terhadap posisi ini menunjukkan bahwa “fenomena historis seperti perang modern tidak dapat diukur dengan tolok ukur ‘keadilan’, atau melalui skema pertahanan dan agresi ” (Luxemburg, 1911). Dalam pandangannya, perlu diingat bahwa sulit untuk menentukan apakah sebuah perang benar-benar bersifat ofensif atau defensif, atau apakah negara yang memulainya dengan sengaja memutuskan untuk menyerang atau dipaksa karena strategi yang diadopsi oleh negara yang menentangnya. Oleh karena itu, ia berpikir bahwa perbedaan tersebut harus dibuang, dan lebih lanjut mengkritik gagasan Jaurès tentang “negara bersenjata”, dengan alasan bahwa hal itu pada akhirnya cenderung memicu tumbuhnya militerisasi di masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, Internasional Kedua semakin tidak berkomitmen pada kebijakan aksi yang mendukung perdamaian (anti-perang). Penentangannya terhadap persenjataan dan persiapan perang sangat lemah, dan sayap SPD yang semakin moderat dan legalistik menukar dukungannya untuk kredit militer – bahkan untuk ekspansi kolonial – dengan imbalan pemberian kebebasan politik yang lebih besar di Jerman. Para pemimpin penting dan ahli teori terkemuka, seperti Gustav Noske, Henry Hyndman, dan Arturo Labriola, termasuk di antara merekalah yang pertama kali sampai pada posisi ini. Setelahnya, mayoritas kaum Sosial Demokrat Jerman, Sosialis Prancis, pemimpin Partai Buruh Inggris, dan reformis Eropa lainnya akhirnya mendukung Perang Dunia Pertama (1914-1918). Hal ini tentu saja memiliki konsekuensi yang menghancurkan. Dengan gagasan bahwa “keuntungan dari kemajuan” tidak boleh dimonopoli oleh kaum kapitalis, gerakan buruh menjadi memiliki tujuan ekspansionis yang sama dengan kelas-kelas yang berkuasa dan dibanjiri oleh ideologi nasionalis. Internasional Kedua terbukti tidak berdaya dalam menghadapi situasi perang, kegagalan dalam salah satu tujuan utamanya adalah: menjaga perdamaian.

Lenin dan delegasi lainnya di konferensi Zimmerwald (1915) – termasuk Leon Trotsky, yang menyusun manifesto terakhir – meramalkan bahwa “selama beberapa dekade pengeluaran untuk perang akan menyerap energi masyarakat, merusak perbaikan sosial dan menghambat kemajuan”. Menurut mereka, perang menunjukkan “bentuk nyata dari kapitalisme modern, yang tidak dapat didamaikan, tidak hanya dengan kepentingan massa buruh […] bahkan dengan kondisi awal dari eksistensi komunal umat manusia” (Vv. Aa., 1915). Peringatan ini hanya diindahkan oleh sebagian kecil dari gerakan buruh, seperti halnya seruan kepada seluruh buruh Eropa di Konferensi Kienthal (1916):

“Pemerintah dan koran-koran mereka mengatakan kepada anda bahwa perang harus dilanjutkan untuk membunuh militerisme. Mereka menipu anda! Perang tidak pernah membunuh perang. Bahkan, perang hanya memicu perasaan dan keinginan untuk membalas dendam. Dengan cara ini dalam menandai Anda untuk berkorban, mereka mengurung Anda dalam lingkaran neraka”.

Akhirnya, dengan mematahkan pendekatan Kongres Stuttgart, yang menyerukan pengadilan arbitrase internasional, dokumen terakhir di Kienthal menyatakan bahwa “ilusi pasifisme borjuis” (Vv. Aa., 1977: 371) tidak akan mengganggu spiral perang, tetapi akan membantu melestarikan sistem sosial-ekonomi yang ada. Satu-satunya cara untuk mencegah konflik militer di masa depan adalah dengan cara merebut kekuasaan politik dan menggulingkan kepemilikan kapitalis.

Rosa Luxemburg dan Vladimir Lenin adalah dua penentang perang yang paling keras. Luxemburg memperluas pemahaman teoretis kaum Kiri dan menunjukkan bagaimana militerisme adalah tulang punggung utama negara. Dengan menunjukkan keyakinan dan efektivitas yang tidak ada bandingannya di antara para pemimpin komunis lainnya, ia berargumen bahwa slogan “Perang melawan perang!” harus menjadi “landasan politik kelas pekerja”. Seperti yang ia tulis dalam Tesis tentang Tugas-Tugas Sosial-Demokrasi Internasional (1915), Internasional Kedua telah hancur karena gagal “mencapai taktik dan aksi bersama oleh kaum proletar di semua negara”. Sejak saat itu, “tujuan utama” kaum proletar haruslah “melawan imperialisme dan mencegah perang, baik di masa damai maupun di masa perang” (Luxemburg, 1915).

Dalam Socialism and War (1915) dan banyak tulisan lain selama Perang Dunia Pertama, jasa besar Lenin adalah mengidentifikasi dua pertanyaan mendasar. Yang pertama adalah “pemalsuan sejarah” ketika kaum borjuis mencoba untuk mengaitkan “rasa progresif pembebasan nasional” dengan apa yang pada kenyataannya adalah perang “perampasan” (Lenin, 1971: 299-300), yang dilancarkan dengan satu-satunya tujuan untuk menentukan pihak yang berperang kali ini untuk menindas sebagian besar rakyat asing dan untuk meningkatkan kesenjangan kapitalisme. Yang kedua adalah penyamaran kontradiksi oleh para reformis sosial – atau “sosial-chauvinis”, seperti yang disebutnya (1971: 306) – yang pada akhirnya mendukung pembenaran untuk perang meskipun mereka telah mendefinisikannya sebagai aktivitas “kriminal” dalam resolusi yang diadopsi oleh Internasional Kedua. Di balik klaim mereka untuk “membela tanah air”, terdapat hak yang diberikan oleh negara-negara besar untuk “menjarah tanah jajahan dan menindas bangsa asing”. Peperangan tidak dilakukan untuk menjaga “eksistensi bangsa-bangsa” tetapi “untuk mempertahankan hak-hak istimewa, dominasi, perampasan, dan kekerasan” dari berbagai “borjuasi imperialis” (Lenin, 1971: 307). Kaum sosialis yang telah menyerah pada patriotisme telah menggantikan perjuangan kelas dengan klaim atas “sepotong keuntungan yang diperoleh oleh borjuasi nasional melalui penjarahan negara-negara lain”. Oleh karena itu, Lenin (1971: 314) mendukung “perang defensif” – bukan, pertahanan nasional negara-negara Eropa ala Jaurès, tetapi “perang yang adil” terhadap “rakyat yang tertindas dan tertindas” yang telah “dirampas dan dirampas hak-haknya” oleh “kekuatan-kekuatan pemilik budak yang besar”. Tesis yang paling terkenal dari pamflet ini – bahwa kaum revolusioner harus berusaha untuk “mengubah perang imperialis menjadi perang saudara” (1971: 315) – menyiratkan bahwa mereka yang benar-benar menginginkan “perdamaian demokratis yang langgeng” harus mengobarkan “perang saudara melawan pemerintah mereka dan kaum borjuis” (1971: 315). Lenin yakin akan apa yang kemudian tidak terbukti dalam sejarah: bahwa perjuangan kelas yang dilakukan secara konsisten pada masa perang “dengan sendirinya” akan menciptakan semangat revolusioner di antara massa.

 

Bersambung ke Bagian 2

Tinggalkan Balasan