Ganja, Fidelis, dan Kacamata Kuda Penegak Hukum

Oleh:

Mahruz Multatuli

(Pegiat Intrans Institute & Santri FNKSDA Malang)

 

Tuan Jaksa, jawab tuan Jaksa
Undang-undang mana bikinan siapa
Yang mengizinkan pejabat negara
Menganiaya rakyat dan menginjak haknya
Tuan Jaksa jawab tuan Jaksa
Undang-undang mana bikinan siapa
Yang memberi hak kepada pejabat negara meremehkan nyawa.
(Wiji Thukul)

 

Bukan rahasia lagi bagi publik Indonesia sudah dipertontonkan akrobat penegakan hukum, yang bolehlah ditengarai, tumpul ke atas tajam ke bawah. Begitulah anggapan kebanyakan orang Indonesia manakala disuruh menilai sejauh mana penegakan hukum di Indonesia. Tidak ada yang salah terhadap penilaian orang kebanyakan sebagaimana di atas, yang secara teoritik, kondisi yang dipersangkakan masyarakat seperti itu sangat dapat dijelaskan. Mengenai hal tersebut, akan diulas beriringan dengan pembahasan mengenai tema yang diusung dalam tulisan ini. Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus menyoroti fenomena penegakan hukum di Indonesia yang bagi penulis, menggunakan “kaca mata kuda”. Isi tulisan ini barangkali telah diulas berkali-kali oleh para pengemban hukum terdahulu. Jadi jangan heran apabila hanya berisi pengulangan teori dan analisis terutama pada wilayah model penalaran hukum dalam positivisme hukum yang bagi banyak teoritisi hukum, termasuk penulis telah menghambat pengembanan hukum (Rechtsboevening) di Indonesia. Pula, tidak akan masuk pada wilayah prosedur praktikalnya, melainkan lebih pada theoritical guessing yang filosofis-kritis.

Sejak beberapa bulan lalu, publik dikagetkan oleh pemberitaan di media massa online mengenai sepasang suami-istri yang ironis sekaligus mengharukan. Ironis dari segi penegakan hukum yang “apa adanya” dan mengharukan, karena kisah suami istri yang baik namun berakhir dengan tragis. Seorang suami, yang karena kecintaannya pada sang istri yang sakit keras, rela melanggar perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sekalipun perbuatan itu pada esensinya untuk menolong sang istri, dimana perbuatan tersebut sama sekali tidak memiliki unsur niat jahat. Perbuatan itu adalah menanam sedikit ganja untuk pengobatan sang istri. Lebih lengkap kronologinya dapat diakses di kompas.com atau media nasional lainnya. Perbuatan sang suami-pun berakhir dengan tragis pula, dia ditangkap oleh BNN dengan barang bukti berupa sedikit tanaman ganja. Singkat cerita, lelaki hebat itu divonis 8 bulan dan denda 1 Miliar oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada 2 Agustus 2017.

Kronologi Singkat Kasus[i]

Suami hebat itu bernama Fidelis Arie Suderwarto (36), yang ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat karena menanam 39 batang ganja pada 19 Februari 2017. Fidelis menanam ganja dengan alasan untuk mengobati penyakit parah sang istri (Yeni Riawati) dan sebulan kemudian pasca Fidelis ditangkap, istrinya-pun meninggal dunia. Fidelis memutuskan untuk menanam ganja setelah melalui serangkaian pengobatan namun tidak berhasil. Akhirnya dia mendapatkan informasi dari internet[ii] bahwa ekstrak ganja bisa digunakan untuk penyembuhan berbagai penyakit, termasuk penyakit yang didera sang istri. Usaha Fidelis pun membuahkan hasil, obat dari ekstrak ganja pelan-pelan membuat kondisi sang istri membaik. Diketahui, istrinya menderita penyakit Syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan di dalam sumsum tulang belakang. Kondisi Yeni yang lemah tak berdaya terlalu berbahaya untuk dilakukan dioperasi, akhirnya ajal-pun menghampiri.

fidelis-arie-sudewarto-dan-istrinya-yeni-riawati_20170406_104111

Foto Yeni, istri Fidelis, sebelum dan sesudah sakit. Sumber: Tribun Medan

Akhirnya, Fidelis ditangkap oleh pihak BNN berserta alat bukti berupa 39 tanaman ganja. JPU kemudian mendakwa Fidelis dengan Pasal 111, 113 dan 114 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 111 menyatakan:

“Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”

Kepala BNN Sanggau menyampaikan, pidana berat bisa dikenakan ke Fidelis sesuai UU Narkotika, “Kami salah kalau tidak melaksanakan UU”, ucapnya. Karena berkasnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan, maka selanjutnya majelis hakim dalam persidangan yang akan menentukan.[iii] Kepala BNN Pusat, Budi Waseso juga menegaskan belum ada bukti medis bahwa ganja bisa menjadi obat penyakit. Semuanya masih diteliti oleh Kementrian Kesehatan. Selain itu, Kepala Humas BNN (Sulis) juga memberi penjelasan bahwa sudah jelas Fidelis menyimpan narkotika golongan satu yang berdasarkan UU Narkotika jelas dikategorikan sebagai tindak pidana.

Tentu pertanyaan yang penting untuk diajukan, selain juga kecaman karena tidak sesuai dengan rasa nurani kemanusiaan kita adalah, Mengapa penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum justru dikecam sebagai tindakan berdasar hukum yang tidak manusiawi?” Padahal hukum memiliki tujuan keadilan, tapi pada dirinya, terjadi kontradiksi yang diakibatkan oleh penerapan hukum yang “apa adanya”, yakni sebuah mekanistik dalam kerangka doktrin penalaran positivisme hukum. Yang disebutkan terakhir itulah, pada tulisan ini akan disoroti sebagai penalaran hukum yang menurut para pengemban hukum (rechstbeoefening) dianggap sumber permasalahan dan stagnansi perkembangan hukum di Indonesia, baik secara teoritik maupun praktik.

Kasus Fidelis: Kedigdayaan Mechanistic Jurisprudence (Positivisme Hukum)

Kisah Fidelis adalah kisah mengenai sebuah Negara yang masih dalam tahap belajar menjadi “Negara Hukum”, meskipun secara ius constitutum atau hukum dalam bentuknya perundang-undangan telah ada norma positif yang mengaturnya secara rigid dan rasional dalam bingkai logika hukum modern. Tapi tetap saja masih dalam ranah Apriori, masih belum melekat pada ranah Aposteriori, menjadi Legal System yang berdikari.

Para teoritikus hukum (rechstbeoefening) sepakat bahwa ironi penegakan hukum sebagaimana terjadi pada kasus Fidelis bukanlah suatu peristiwa yang tidak bersebab. Meskipun tidak semua sepakat, setidaknya penulis mengiyakan bahwa sejatinya dominasi paradigma positivisme hukum dalam sejarah hukum Indonesia adalah penyebab bekerjanya hukum yang tidak adil di negeri ini. Nyatanya nampak sekali corak penalaran para pengembanan hukum di Indonesia yang menganut gaya positivisme hukum (atau disebut juga aliran legisme), yang ruhnya bersumber dari filsafat positivisme Comte. Secara lugas dijelaskan oleh F. Budi Hardiman bahwa, “menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain seperti etika, teologi, moral karena dianggap melampaui fenomena yang teramati secara inderawi”.[iv] Dalam perkembangan ilmu hukum modern, apa yang disebut legal positivisme itu dijelaskan oleh H.L.A. Hart, dalam The Concept of Law benar-benar tidak perlu menghubungkan antara law and moral dan hukum adalah perintah dan produk penguasa.[v] Hukum untuk hukum, apapun permasalahannya, manusialah yang harus menuruti hukumnya penguasa (UU). Segala kritik berlandaskan moral tak akan mengubah dan meruntuhkan validitas formal dari legal positivisme yang telah diterapkan.

Soetandyo Wignjosoebroto menambahkan, pengaruh filsafat positivisme ke dalam ilmu hukum kuat terasa terutama dalam sistem hukum pidana di Indonesia, terutama analytical jurisprudence dari John Austin[vi], yang dengan logika deduksinya jelas sekali menjadi metode analitik. Meminjam istilah Soetandyo,[vii] __“tidak bertolak dari prinsip-prinsip moral, melainkan murni dari pasal-pasal dalam undang-undang”__. Dengan metode analitik tersebut, maka mudah saja bagi seorang penegak hukum menyelesaikan kasus, cukup menyelaraskan fakta yang terinderawi (berdasarkan bukti yang diperoleh Aparat Penegak Hukum (APH)) dengan pasal-pasal dalam undang-undang, meskipun tak jarang keadilan hukum terlanggar. Cara penalaran hukum seperti inilah yang oleh Soetandyo disebut “mechanistic jurisprudence.” Positivisme hukum yang menggilai objektivitas dalam pengetahuan ilmiah sebagaimana ilmu-ilmu eksak yang exactly, pasti, tepat, dan terukur haruslah menjadi jati diri dalam ilmu hukum. Maka untuk meraih keobjektif-an itu, segala penilaian yang sifatnya non-hukum (moral, ekonomi, sosial, dll) haruslah dihindari, karena sejatinya yang disebut hukum itu adalah state law, yakni peraturan perundang-undangan, bukan penilaian moral, ekonomi, sosial. Oleh karena itu, positivisme hukum dalam pengaruhnya pada hukum (APH), tak jarang alat bukti dianggap fakta yang objektif dalam maknanya yang pasti juga konkret, yang diselaraskan dengan “apa adanya” bunyi undang-undang. Ukurannya adalah apa yang nampak ada, bukan apa yang seharusnya (law as what ought to be). Inilah kemudian yang disebut oleh para teoritisi hukum, “positivisme hukum itu bersifat reduksionis”, yakni mereduksi masalah yang sebenarnya kompleks menjadi sesuatu yang “apa adanya nampak”, “mekanistik” dan “linier”.[viii] Sehingga, kepastian hukum, lebih tepatnya kepastian menerapkan pasal yang dikejar. Efek buruknya adalah hukum menjadi sangat mekanik dan tak mampu menjadi solusi keadilan. Maka, jangan sekali-kali percaya bahwa di hadapan hukum semua orang sama, apalagi keyakinan bahwa hukum di sini mendatangkan keadilan.

Maka, dalam pengaruhnya terhadap hukum, terutama dalam hal penerapan hukum oleh lembaga penegak hukum (Polisi, Jaksa, Pengadilan), akan kentara logika berfikir silogisme deduktif (silogisme logika normatif) ala Austin ataupun Kelsen,[ix] yakni penarikan kesimpulan secara deduktif dari premis mayor (normatif) ke premis minor (faktual) dan menghasilkan kesimpulan berupa putusan Hakim.[x] Dalam penegakan hukum, perwujudan logika positivisme di atas sering dipraktekkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) melalui kewenangannya untuk menyelidiki dan menyidik suatu yang diduga tindak pidana sampai proses penuntutan hingga vonis. Logika “kaca mata kuda” dalam berhukum itu seringkali hanya menjadikan fakta lapangan untuk memenuhi unsur subjektif dan objektif yang digunakan untuk mengkonstruk suatu perbuatan menjadi tindak pidana. APH, seringkali tidak mau tahu perihal apa sebenarnya yang terjadi atau apa sebenarnya kejadian yang membelakangi peristiwa yang dijadikan perbuatan pidana. APH, sebagaimana dijelaskan Satjipto Rahadjo, menerapkan undang-undang layaknya mengerjakan soal matematika bahwa 1+1=2. Dalam konteksnya, bahwa Fidelis menanam Ganja dianggap pasti untuk berbuat jahat. Tentu sangat “kaca mata kuda” bukan?!. Berfikir hukum seperti inilah yang disebut Paul Scholten sebagaimana dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai “hanteren van logische figuren”, yaitu “mematematikakan hukum.”[xi]

Fakta yang terinderawi oleh APH dalam bentuk keterangan dan alat bukti itulah yang dijadikan bahan untuk penarikan kesimpulan menggunakan model silogisme logika normatif (silogisme deduktif) dalam positivisme hukum yang dianggap pengetahuan ilmiah yang objektif. Dari bahan-bahan tersebut, dapat dikonstruksikan seperti berikut ini:

Model Logika Silogisme Normatif (silogisme deduktif dalam positivisme hukum) dalam penalaran hukum kemudian ditarik menjadi sebuah Putusan Hukum oleh APH:[xii]

  1. Premis umum (Normatif berarti berdasar pada peraturan perundang-undangan): Setiap Orang yang mengedarkan atau memproduksi obat terlarang (narkotika) adalah tindak kejahatan yang dihukum dengan pidana penjara (dalam hal ini UU Narkotika).
  2. Premis khusus (Fakta lapangan yang terinderawi berdasarkan penyelidikan dan penyidikan berserta alat bukti yang diperoleh APH): Fidelis, diduga melakukan perbuatan tindak pidana, berdasarkan penyelidikan dan penyidikan telah terbukti menurut pengamatan inderawi (berupa alat bukti dan keterangan yang didapat) APH di lapangan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dilarang pada Pasal dalam UU Narkotika.
  3. Penarikan Putusan Hukum yang Positivistik: Fidelis, berdasarkan pembuktian di persidangan telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana memproduksi narkoba yang dilarang dalam UU, karenanya dihukum sesuai ketentuan pidana dalam UU a quo.

Fidelis bukan semata subjek hukum yang dilanggar hak asasinya oleh hukum yang mekanik, lebih dari itu, Fidelis, juga pejuang agraria, para petani yang dipaksa kalah adalah simbol dari warga Negara sebelumnya yang bernasib sama, yakni menjadi korban dari penerapan hukum yang “apa adanya” menggunakan pasal-pasal dengan mendayagunakan silogisme logika deduktif yang mekanis. Pemahaman secara sederhana dari penalaran tipe logika deduktif ini berangkat dari pernyataan umum kemudian ditarik pada simpulan yang lebih khusus (universal-partikular). Dalam kaitannya dengan hukum, penalaran ini menggunakan postulat pasal di dalam undang-undang sebagai premis umum yang kemudian dijadikan dasar untuk menilai sebuah tindakan (premis khusus) yang terkategori sebagai kejahatan dan atau pelanggaran.[xiii]

Pendefinisian positivisme hukum sebagaimana diutarakan oleh Soetandyo di atas mengenai hakikat hukum (ontologi hukum) yang dimaknai sebagai norma-norma yang telah di-positivisasi ke dalam sistem perundang-undangan. Norma-norma yang telah dipositivisasi itulah yang oleh Kelsen menjadi norma yang harus menjadi pedoman berperilaku setiap orang, “A norm is the expression of the idea, that an individual ought to behave in a certain war.”[xiv] Dengan demikian, kepastian hukum yakni merujuk pada peraturan perundang-undangan menjadi aksiologi dari penalaran hukum model Positivisme hukum. Oleh karena itu, bagi pecinta positivisme, norma hukum (dalam bentuk UU) yang tergolong “membunuh rasa keadilan rakyat” masih sah dianggap hukum, asalkan dalam pembentukan maupun penerapannya memenuhi kriteria prosedur-formal hukum.[xv]

Dalam kasus Fidelis bagaimana APH menerapkan hukum (law application) yang bersaranakan kaidah penalaran hukum model positivisme hukum sangat kentara sekali diterapkan, mulai dari sandaran kokohnya pada UU Narkotika (berfikir yuridis bersandar pada kerangka positivitas). Sebagaimana terlihat dari ucapan kepala BNN Sanggau, ““Kami salah kalau tidak melaksanakan UU.” Juga, ucapan tegas dari kepala BNN Pusat dan kepala Humas BNN Pusat di atas an sich dalam kerangka positivitas, yakni Pasal 111 UU Narkotika. Jika konsekuen mengacu pada model penalaran positivisme hukum, yang menganggap hakikat hukum adalah norma-norma positif dalam system perundang-undangan, maka benar adanya Fidelis secara fakta objektif menanam ganja yang menurut UU Narkotika dikategorikan sebagai tindak pidana. Pada titik ini, jelas juga aksiologi dari positivisme hukum adalah demi kepastian hukum semata.

Bagi penulis, penalaran yang dipraktekkan APH dalam kasus ini lebih condong pada pemenuhan kaidah berfikir tekstual-positivistik daripada berfikir kontekstual. APH, juga telah menjadi corong undang-undang (the law enforcement as la bouche de la looi, as the mouthpiece of the law) daripada corong keadilan. Sehingga, aura penalaran model positivisme hukum yang diterapkan APH pada kasus ini sangat jelas, meminjam kritiknya Soetandyo, “benar-benar tidak bertolak dari prinsip-prinsip moral, melainkan murni dari pasal-pasal dalam undang-undang (UU Narkotika).”

Fidelis, kini Anda menunjukkan pada kami betapa mekaniknya hukum kita. Tak ada celah untuk cinta dan kemanusiaan yang kau perjuangkan. Betapa kau benar-benar mengingatkan bahwa “jangan sering percaya kalau di hadapan hukum semua orang sama, apalagi keyakinan bahwa hukum yang disponsori penguasa selalu mendatangkan keadilan.” Anda juga menunjukkan bahwa pendulum hukum kita masihlah mengarah pada pembedaan tegas antara law and morality. Para aparatus idelogisnya mirip dengan apa yang diucapkan Napoleon I, Emperor of France, “Men have feelings, but the law does not.” Fidelis, terima kasih, kini Indonesia, negara yang berdasar hukum akhirnya punya kisah nyata, yang persis dalam novel Victor Hugo, Les Miserables, dimana terdapat seorang APH bernama Javert si penegak hukum “berkaca mata kuda” dan mulutnya yang menjadi “corong undang-undang.”[xvi] Siapa si Javert dalam kisah memilukan (Fidelis) yang melecehkan hukum di sini? Silahkan tebak sendiri.

 

[*] Muhammad Ali Mahrus. Seorang yang sedang belajar memahami hukum yang sampai saat ini belum pernah menemukan bentuk keadilan hukum yang diwujudkan negara bagi si Miskin, si Lemah, si Tuna Kisma.

[i] Kronologi kasus ini disusun berdasarkan sumber media massa online nasional di antaranya: Kompas.com, m.Kumparan.com dan Tempo.com diakses tanggal 04 Agustus 2017.

[ii] Cerita lengkapnya dapat dibaca dari Pledoi Fidelis yang telah tersebar luas di media online nasional. Di antaranya: http://regional.kompas.com/read/2017/07/24/07120771/ini-isi-nota-pembelaan-fidelis-yang-membuat-haru-pengunjung-sidang

[iii] Diakses dari m.Kumparan.com tanggal 04 Agustus 2017.

[iv] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2011. Hlm 177.

[v] Raymond Wacks, Jurisprudence, London, Blackstone Press Limited, Fifth edition, 1999. Hlm,35. HLA Hart menjelaskan ada beberapa hal yang mencirikan positivisme: a. That law are command of the human beings (the state), b. That there is no necessary connection between law and morals, c. That legal system is a “close logical system” in which correct decisions may be deduced from predeterminet legal rules by logical means alnone.

[vi] John Austin adalah murid Bentham. Sebagaimana gurunya, Austin menekankan pemisahan antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya” dalam menjelaskan fenomena hukum. Bagi Austin bidang the science of jurisprudence harus membatasi hanya pada “apa yang ada”, bukan “apa yang seharusnya”. Lihat dalam: Petrus C.K.L Bello, Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga, 2012. Hlm.16

[vii] Soetandyo Wignjosobroto, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian Sosial dan Hukum, Malang, Setara Press, 2013.

[viii] Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Hukum, Jogjakarta, Genta Publishing, 2011, Hlm. 5

[ix] Mengenai hal itu, Sidharta menjelaskan bahwa setelah Orba menggantikan Soekarno, dalam hukum Indonesia didominasi oleh legal positivism ala Kelsenian, meskipun positivisme hukum Kelsenian dengan The Pure Theory Of Law menghendaki hukum adalah system otonom, objektif yang terlepas dari anasir-anasir diluar hukum, akan tetapi seruan seperti menjadi batal dalam konteks Indonesia zaman Orba yang dalam banyak hal lebih menjadikan politik sebagai panglima, hukum sebagai abdinya yang mengabdi untuk kepentingan politik dan ekonomi. Shidharta menjelaskan, konsep dasar Kelsenian berpandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat (law as a command of lawgivers) yang berarti sumber hukum satu-satunya adalah peraturan perundang-undnagan sebagai produk politik hukum dari penguasa. Ontologi aliran filsafat hukum yang tergolong legal positivism ini menolak dan memisahkan antara hukum dan moral, dengan tujuan hanya satu, yakni demi kepastian hukum. Lihat dalam: Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2013. Hlm.7-8

[x] Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010. Hlm. 26

[xi] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan (Ed. Racmad Syafaat), Malang, Surya Pene Gemilang, 2016, Hlm. 23.

[xii] Ibid.

[xiii] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Malang, Setara Press, 2013. Hlm, 90.

[xiv] Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2013. Hlm 198-199.

[xv] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta, Prenanda Group, 2016. Hlm, 55

[xvi] Dapat disaksikan filmnya berjudul “Les Miserables” tahun 2012. Atau baca Novelnya langsung, Victor Hugo, Les Miserables. Dan banyak novel bertemakan ketidakadilan hukum , seperti dalam novelnya John Grisham : The Confession, Harper Lee, “ To Kill Mocking Bird” mengisahkan tentang lemahnya hukum di dalam masyarakat rasialisme-diskriminatif di AS yang penuh dengan prasangka buruk. Semua adalah tentang bagaimana bekerjanya hukum itu selain ditopang oleh paradigma hukum yang positivistik-mekanistik, juga dijalankan oleh aparatus negara layaknya mesin robot tak berperasaan. Sekali lagi Javert dalam Les Miserables mempertontonkan cara kerja mesin bernama “Mechanistic Jurisprudence, yang oleh Eko Prasetyo dalam bukunya “ Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin”, dikatakan, tak lagi sebagai norma melainkan kekuatan tanpa kompromi, bahkan tanpa nurani.

 

Referensi

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta, Prenanda Group, 2016.
Eko Prasetro, Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin, Yogjakarta, Resist Book, 2010.
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2011.
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.
Petrus C.K.L Bello, Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga, 2012.
Raymond Wacks, Jurisprudence, London, Blackstone Press Limited, Fifth edition, 1999.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan (Ed. Racmad Syafaat), Malang, Surya Pene Gemilang, 2016
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2013.
Soetandyo Wignjosobroto, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian Sosial dan Hukum, Malang, Setara Press, 2013
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Malang, Setara Press, 2013.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, Huma dan Elsam, 2002.
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2011.

Undang-Undang:

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Media Online:

Kompas.com diakses tanggal 04 Agustus 2017
m.Kumparan.com tanggal 04 Agustus 2017
Tempo.com diakses tanggal 04 Agustus 2017

 

*Sumber gambar utama: Instagram.com/lgn_id

 

Disclaimer: Tulisan ini telah kami ubah judulnya dari Fidelis dan ‘Kaca Mata Kuda’ Penegak Hukum menjadi Ganja, Fidelis, dan Kacamata Kuda Penegak Hukum pada 20 November 2019 karena kami anggap lebih merepresentasikan isi tulisan.

Tinggalkan Balasan