Telusur Pilkada 2017 (Bagian 1) : Oligarki di Batu, dari Mana Kita Tahu?

Oleh: In’amul Mushoffa*

Melalui tulisannya, Demokrasi Lokal dan Kontestasi Oligark di media ini (2/2), Haris Samsuddin berupaya mengeksplor ketidakberesan Pilkada Kota Batu 2017. Mengutip tesis oligarki Jeffrey Winters dan Robinson & Hadiz serta pengamatan terhadap kekayaan para calon dan hasil survei persepsi masyarakat Batu terhadap Pilkada, Haris meyakini bahwa Pilkada Kota Batu 2017 adalah ajang kontestasi oligark. Benarkah demikian?

Artikel ini—sama sekali—tidak dimaksudkan untuk mengkritik tulisan itu. Tulisan Haris adalah opini sehingga memang tak harus terjebak dalam keketatan teoretis. Dengan pendekatan teoretis, tulisan ini secara berbeda berupaya menemukan gambaran Pilkada Batu. Apakah benar Pilkada Batu adalah kontestasi oligark? Jika benar, maka agenda progresif apa yang tepat untuk menjinakkan oligark? Jika tidak, lantas kontestasi dan dominasi politik apa yang terjadi di Batu?

Adalah penting untuk mengidentifikasi problem sosial-politik dengan kerangka teoritis, agar kita menemukan strategi perlawanan gerakan rakyat yang efektif dan akurat. Termasuk dalam meneropong Pilkada Kota Batu. Dengan cara apa dan kepada siapa gerakan perlawanan akan diarahakan, hal itu tergantung pada kajian teoretis yang kita lakukan. ”Tiada revolusi tanpa teori revolusioner”, kata Lenin. Maka, bagi siapapun yang merasa cukup bergerak tanpa teori, penulis menghimbau untuk tidak meneruskan membaca tulisan ini.

Perbedaan Teoritis

Menilai setiap politisi yang kaya dari rata-rata rakyatnya sebagai oligark adalah terburu-buru. Sama ketika sebuah tulisan dinilai bagus hanya karena apa yang disajikan di luar kemampuan penilainya: subjektif.

Dalam rangka menilai sebuah subjek politik adalah oligark atau bukan, maupun menilai fenomena politik adalah oligarki atau bukan, kita harus memutuskan teori oligarki siapa yang kita gunakan. Jeffrey Winters atau Robinson & Hadiz? Atau, yang kita sebut sebagai oligarki bukan dalam posisinya secara teoritik, melainkan sebagai salah satu varian konsep kekuasaan sebagaimana diklasifikasi oleh Aristoteles, Plato, atau Robert Michels?

Kenapa demikian? Karena sebelum diteoretisasi oleh ilmuan politik kontemporer seperti Winters, Robinson & Hadiz, kata “oligarki” seringkali digunakan secara tumpang tindih. Secara inkonsisten, oligarki sering disamakan dengan elit, penguasa, pemerintah, dan minoritas kelompok berkuasa lainnya. Ketika Robinson & Hadiz (2004) mengidentikkan oligarki sebagai relasi kekuasaan yang menopang konsentrasi kekayaan, makna oligarki ”sedikit jelas”.

Adalah Jeffrey Winters yang kemudian menteoritisasi oligarki secara lebih utuh. Melalui bukunya Oligarchy (2011), ia mengajukan dua kosakata penting dalam konteks ini: oligark dan oligarki. Oligark didefinisikan sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya” (Winters, 2011: 8). Dari definisi ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, konsentrasi kekayaan yang ekstrim harus melekat dalam oligark. Kedua, oligark menggunakan instrumen politik untuk mengongkonsentrasikan kekayaan. Ketiga, adalah kekayaan pribadi yang menjadi tujuan dari pertahanan atau peningkatan kekayaan oligark.

Lalu, apa itu oligarki? Bagi Winters, oligarki adalah ”politik pertahanan kekayaan dan memiliki berbagai bentuk seiring berubahnya ancaman terhadap kaum oligark dan tanggapan terhadapnya”. Sedangkan bagi Robinson & Hadiz, Oligarki adalah sebuah sistem pemerintahan tempat hampir semua kekuasaan politik dipegang segelintir orang kaya yang menyusun dan membentuk kebijakan publik terutama demi keuntungan diri sendiri secara finansial melalui subsidi langsung untuk lahan pertanian atau perusahaan mereka, kontrak-kontrak pemerintah yang menguntungkan, dan langkah-langkah proteksionis yang bertujuan merugikan para pesaing ekonomi mereka, sembari sedikit memperlihatkan atau sama sekali tidak memedulikan kepentingan rakyat banyak (Robinson & Hadiz, 2004:16).

Dengan narasi Weberian, Winters memaknai oligark secara berbeda dengan Robinson & Hadiz yang menggunakan oligarki dalam framework ekonomi politik Marxis. Oligarki bagi Winters adalah soal pola pertahanan dan peningkatan kekayaan, sementara bagi Robinson & Hadiz oligarki adalah persoalan relasi kekuasaan kelas tertentu.

Pilkada Batu dalam tulisan ini akan diteropong dengan menggunakan teori oligarki Winters. Akan rumit untuk menggunakan semua versi teori oligarki untuk mengamati satu objek. Sebab, setiap konstruksi teoretis yang berbeda akan memiliki implikasi teoretis yang berbeda pula. Konstruksi teoretis oligarki Winters dipilih karena, sebagaimana kritik Supriatma (2009), teori oligarki Robinson & Hadiz belum cukup jelas dalam mengklasifikasi jenis oligarki berdasarkan tempat dan waktu dimana oligarki tersebut beroperasi. Berbeda dengan tesis oligarki Winters yang jauh lebih rigid mengemukakan varian oligarki sebagaimana akan disinggung dalam tulisan ini.

Pilkada Batu 2017

Pada tahun 2017, Pilkada Batu diikuti empat pasang calon. Sesuai nomor urut, para paslon itu adalah: (1) Rudi dan Sujono Djonet yang diajukan PAN, Nasdem, dan Hanura. (2) Dewanti Rumpoko dan Punjul Santoso yang didukung PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, dan PKS; (3) Hairuddin dan Hendra Angga Sonata yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Demokrat; serta (4) calon perseorangan Abdul Majid dan Kasmuri Idris.

Sebelumnya, masing-masing pasangan calon memiliki kekurangan untuk memenuhi persyaratan, meski akhirnya semua calon dinyatakan memenuhi syarat pencalonan. Salah satunya adalah Dewanti Rumpoko. Ia adalah istri dari Wali Kota Batu Eddy Rumpoko. Ia sempat mencalonkan diri pada Pilkada Kabupaten Malang beberapa waktu lalu, tetapi gagal. Saat proses verifikasi persyaratan, nama Dewanti Rumpoko tidak sama antara ijazah dengan KTP. Akan tetapi, kekurangan itu dilengkapi sebelum penetapan itu dilakukan. Dengan penetapan pengadilan, Dewanti akhirnya menggunakan nama Dewanti Rumpoko.

Kota Batu dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Malang, yang kemudian ditetapkan menjadi kota administratif pada 6 Maret 1993. Pada tanggal 17 Oktober 2001, melalui UU No. 12 Tahun 2001, Batu ditetapkan sebagai kota otonom yang terpisah dari Kabupaten Malang. Perekonomian Kota Batu banyak ditunjang dari sektor pariwisata dan pertanian. Letak Kota Batu yang berada di wilayah pegunungan dan pembangunan pariwisata yang pesat membuat sebagian besar pertumbuhan PDB Kota Batu ditunjang dari sektor ini. Pariwisata Kota Batu merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Jumlah kunjungan wisatawan ke kota ini merupakan salah satu yang terbesar bersama dengan Bali dan Yogyakarta.

Wali kota Batu dan wakilnya dipilih langsung oleh warga kota melalui pilkada baru pada tahun 2007. Sebelumnya, Walikota dan Wakil Walikota Batu dipilih oleh anggota DPRD Kota Batu. Wali Kota dan Wakil Wali Kota Batu saat ini adalah Eddy Rumpoko dan Punjul Santoso yang berasal dari PDI Perjuangan. Eddy Rumpoko berkuasa di Batu sejak 2007 melalui Pilkada langsung. Pada periode 2007-2012, ia didampingi Wakil Wali Kota Budiono.

Kontestasi Oligark?

Seperti disebutkan di muka, Oligarki dalam tesis Jeffrey Winters merujuk pada pola pertahanan dan pelipatgandaan kekayaan. Pola pertahanan oligark berbeda dengan pola pertahanan kekayaan orang kaya biasa. Oligark mengkonsentrasikan kekayaan dengan menggunakan instrumen pemerintah atau negara, sementara orang kaya biasa hanya melalui akumulasi laba. Dimana pun dan kapan pun, sebuah konsentrasi kekayaan akan memunculkan ancaman-ancaman terhadapnya, baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal, ancaman dapat berbentuk pembatasan kekayaan dari negara atau paksaan untuk mendistribusikannya maupun gugatan dari orang-orang yang merasa dirugikan atas konsentrasi kekayaan itu.

Perlu diingat pula, oligarki adalah produk dari strartifikasi material yang ekstrim. Semakin ekstrim konsentrasi kekayaan, akan semakin eksrim pula kekuasaan. Dalam arti lain, semakin ekstrim kesenjangan ekonomi, semakin ekstrim pula kesenjangan politik. Sebaliknya, jika konsentrasi kekayaan tidak ada, maka tidak ada pula oligarki.

Oleh karena itu, jika menggunakan konstruksi teoretis Winters, maka untuk menilai apakah pilkada merupakan kontestasi oligark tidak cukup hanya didasarkan pada kekayaan para paslon. Agar konstruksi teoretis ini semakin jelas, izinkan penulis menjelaskan varian atau tipologi oligarki Winters. Klasifikasi ini dasarkan atas bagaimana oligark mengantisipasi ancaman terhadap pertahanan kekayaan yang dilakukan: sejauhmana oligark terlibat langsung dalam melakukan pemaksaan yang menyokong klaim atau hak milik atas harta dan kekayaan; sejauhmana oligak terlibat dalam kekuasaan atau pemerintahan; bagaimana keterlibatan oligark dalam pemaksaan dan kekuasaan itu, terpecah atau kolektif; dan apakah oligarki bersifat liar atau jinak.

Empat ciri yang menjadi dasar untuk mengklasifikasi jenis oligarki itu menghasilkan empat varian oligarki: oligarki penglima, oligarki penguasa kolektif, oligarki sultanian, dan oligarki sipil. Oligarki panglima adalah oligarki yang banyak beroperasi sebelum era modern, meski secara eksis masih terus ada di abad 21. Di sini, para oligark menggunakan cara-cara kekerasan, terlibat langsung dalam kekuasaan, dan beraksi secara terpecah-pecah.

Oligarki penguasa kolektif adalah ketika para oligark masih berperan besar secara pribadi dalam pelaksanaan kekerasan, namun berkuasa secara kolektif dan melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main. Oligarki jenis inilah yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Pasca jatuhnya Soeharto, oligark yang dibesarkan oleh pemerintahan Soeharto kemudian mereorganisasi oligarki yang sebelumnya sudah terbangun. Mereka kemudian mendirikan atau membeli partai politik, menginfiltrasi parlemen, dan mencoba untuk berkontestasi menguasai pemerintahan. Tiga tahun setelah buku Oligarchy terbit, Winters (2014) mengatakan bahwa Indonesia sedang menuju oligarki kolektif liar. Satu oligarki yang tidak lagi jinak di bawah kendali pemerintahan resmi.

Oligarki sultanian adalah praktik dimana oligark tunduk pada satu figur oligark lain yang memiliki kekuasaan resmi dan memegang kendali sarana pemaksa. Aparat militer, baik resmi maupun swasta, digunakan untuk mengoperasikan kepentingan oligark. Contoh oligarki jenis ini adalah oligarki yang terjadi pada rezim Orde Baru. Yang terakhir adalah oligarki sipil, dimana oligark sepenuhnya tak bersenjata dan tak langsung memegang kendali kekuasaan resmi, dalam arti hanya berperan di balik layar. Para oligark menyerahkan sebagian besar kekuasaan mereka kepada ”pemerintah-tak pribadi dan terlembaga” dimana hukum lebih kuat daripada semua individu.

Indikator Oligarki

Berdasarkan konstruksi teoretis oligarki Winters, penulis mengajukan beberapa indikator yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah kontestasi Pilkada Batu 2017 adalah kontestasi oligark. Pertama, adakah kesenjangan ekonomi yang ekstrim di Kota Batu. Kesenjangan ekonomi merupakan faktor yang menyebabkan adanya oligarki. Agar dapat mengetahuinya, kita bisa melihat: (1) rasio gini; (2) daftar orang-orang kaya di kota Batu dengan dibandingkan penghasilan rata-rata masyarakat Batu; (3) penguasaan segelintir elit terhadap mayoritas sumber daya material di Batu. Perlu diketahui, Tesis Winters tidak memberikan batasan kesenjangan ekonomi yang dapat menjadi faktor lahirnya oligark. Akan tetapi yang jelas, kesenjangan ekonomi yang memuncukan oligarki dapat berbeda di berbagai tempat dan waktu.

Kedua, berapa besar kekayaan para paslon. Meski belum tentu valid, Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) bisa dimanfaatkan untuk mengukur ini. Ketiga, apakah kontestasi para pasangan calon (paslon) didasarkan atas motivasi konsentrasi material. Hal ini penting, sebab untuk mengetahui adanya unsur oligarki, kita harus mengetahui adakah tujuan-tujuan untuk mempertahakan dan melipatgandakan kekayaan dalam kontestasi Pilkada Kota Batu. Bukan hanya terhadap Paslon, tetapi juga pihak-pihak luar yang mendukung para paslon secara material. Saat Winters menyusun teori oligarki, Winters juga mewawancarai para oligark. Pemeriksaan ini tentu memerlukan waktu panjang dan tantangan yang cukup berat. Apalagi, motif oligark ini juga tidak cukup hanya dilihat secara eksplisit.

Keempat, berapa dana kampanye yang dikeluarkan paslon. Ukuran ini tentu saja tidak hanya cukup hanya dengan melihat laporan kampanye paslon di KPU, tetapi juga mencocokkannya dengan perhitungan akurat terhadap berapa biaya yang dikeluarkan di lapangan dalam upaya pemenangan para paslon. Misalnya saja biaya kampanye di media massa, biaya yang dikeluarkan kepada saksi paslon di tiap TPS, berapa harga per KTP yang digunakan untuk memenuhi syarat administratif pada saat pencalonan, dan berapa jumlah alat-alat kampanye yang terlihat selama pilkada dan lain sebagainya.

Kelima, dari mana sumber-sumber material pemenangan paslon. Indikator ini lebih rumit lagi karena, paling tidak, kita harus memiliki akses terhadap informan yang merupakan ‘orang dalam’ para paslon. Keenam, adakah kebijakan-kebijakan yang menguntungkan elit bisnis pada masa mendekati pilkada. Hal ini bisa kita lihat dengan meriview kebijakan-kebijakan yang lahir pada masa sebelum Pilkada. Ketujuh, adakah elit bisnis yang selama ini diuntungkan dengan kemurahan pemerintah Kota Batu untuk memuluskan ekspansi usahanya.

Indikator pertama sampai lima berguna untuk menilai semua paslon. Sedangkan indikator keenam dan ketujuh adalah basis untuk mengetahui oligark atau tidaknya pasangan nomor urut dua. (Bersambung)

 

*) Penulis adalah peneliti di Intrans Institute dan
penulis buku “Konsep Memperdalam Demokrasi”

 

Pustaka

Antonius Made Tony Supriatma, Menguatnya Kartel Para Bos (Jurnal Prisma Volume 28 Oktober 2009)

Jeffrey A Winters, Oligarki Terj. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011)

______________, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia (Jurnal Prisma Volume 33 No. 1, 2014)

Michele Ford dan Thomas B Pepinsky, Melampaui Oligarki? Bahasan Kritis Kekuasaan Politik dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia (Jurnal Prisma Volume 33 No. 1, 2014)

Rochman Achwan, Hidup Bersama Oligarki, Bisnis Pakaian Jadi di Daerah (Jurnal Prisma Volume 32 No. 1 2009)

Vedi R Hadiz & Richard Robinson, Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia (Jurnal Prisma Volume 33 No. 1, 2014)

Tinggalkan Balasan